06 |MASSER

1313 Kata
“Apa kau jantan ataukah betina?” tanyaku. Lalu mendadak serigala itu berhenti, memandangku dengen ekspresi kesal. “Apa aku terlihat seperti serigala betina di matamu?” sindirnya yang langsung membuatku meringis mendengarnya. “Tidak. Tentu saja tidak! Aku tahu kau serigala jantan, hanya mengetes saja. Hahaha…” Aku tertawa sumbang berusaha menutupi kebodohanku akan pertanyaan yang kuajukan sebelum ini. Dasar jeha! Mau dilihat dari sisi manapun, kelihatan jelas kalau dia serigala jantan. “Siapa namamu?” tanya serigala itu ketika kami kembali melanjutkan perjalanan. Sedangkan aku menjawab kikuk, “Aku? Namaku?” Lirikan tajam darinya seketika membuatku langsung menyahut, “Namaku Jehasalma Sabila. Teman-temanku memanggil Jeha. Siapa namamu?” “Sergio.” Dia menjawab singkat. Kepalaku manggut-manggut. “Namamu Sergio, bagus juga! Tapi itu terlalu bagus untuk ukuran seekor serigala sepertimu,” ceplosku, yang langsung dihadiahi pelototan tajam Sergio. “Aku akan memanggilmu Mas Ser!” pekikku, saat menemukan panggilan yang cocok untuknya. “Mas Ser?” Dia mengulang panggilanku dengan nada tidak suka. “Iya. Mas adalah sebutan untuk kakak laki-laki. Dan Ser adalah potongan dari namamu Sergio dan juga kata depan dari Ser—igala. Bagus kan?” Aku menjelaskan dengan antusias, pasalnya ini pertama kali aku menciptakan panggilan khusus untuk seseorang yang kukenal. “Terserah kamu saja lah,” jawabnya acuh tak acuh Muncul sebuah pertanyaan dalam benakku. Karena pada dasarnya aku orang yang kepo, maka aku tanyakan. “Oh ya, teman-teman serigalamu memanggil kau apa?” “Tidak ada serigala lain yang hidup di hutan ini selain aku.” Mulutku melongo, “Benarkah? Lalu kau tinggal bersama siapa selama di sini?” “Tidak ada. Aku tinggal sendirian.” Dahiku mengernyit, bibirku mencebik. Malang sekali nasib serigala satu ini. Sudah dikutuk oleh penyihir, hidup sendirian, tidak punya teman lagi. “Mulai sekarang Mas Ser tidak akan sendirian,” kataku, berharap dapat membuatnya senang. Tapi ekspresi serigala tidak mudah terbaca oleh penglihatan manusia. Aku tidak tahu jenis tatapan yang Mas Ser berikan kepadaku, tapi lewat binar matanya aku bisa menebak kalau dia terharu mendengar ucapanku sebelumnya. Baiklah, mari kita mulai petualangan mencari cara mengubah Mas Ser menjadi manusia seutuhnya. Aku tidak sabar ingin melakukan berbagai cara untuk bisa membantunya, sebab penasaran bagaimana wujudnya ketika sudah menjadi manusia nanti. Apakah dia akan setampan pangeran kodok? Atau lebih dari itu. *** Langit mulai gelap saat perjalanan kami mulai dekat dengan area camping. Aku juga mendengar suara teriakan orang-orang yang sedang mencariku. “Mas Ser mendengarnya kan?” tanyaku pada Mas Ser yang mengangguk. Dia kemudian mengarahkanku mendekati tempat mereka dan membuatku akhirnya melihat teman-teman yang kukenal, salah satunya adalah Rossa. “Teman-teman!!” Aku berteriak sambil melambaikan tangan ke arah mereka yang langsung tersenyum semringah. “Jehaaa!!!” Suara Rossa terdengar paling keras di antara suara teman-teman lainnya. Seakan memberi tahu betapa bahagianya dia setelah melihatku kembali. “Rossa!!!” Bak film romantis India, aku dan Rossa berlari lalu saling berpelukan erat. “Hiks… gue pikir lo sudah mati dimakan serigala!” Rossa tak dapat membendung air matanya dan menangis dalam dekapanku. Sementara aku terkekeh sekaligus terharu mengetahui sudah membuat banyak orang cemas, termasuk sahabatku sendiri. “Jangan nangis, aku baik-baik aja kok,” jawabku sambil mengelus punggungnya yang bergetar. “Jeha! Hewan itu…” Salah seorang mahasiswa bernama Fadil menunjuk Mas Ser yang berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri. Seluruh mahasiswa sontak melangkah mundur dengan ekspresi ketakutan. “Jangan takut. Namanya Mas Ser, dia anjing yang selametin aku waktu tersesat di hutan! Dan aku memutuskan akan pelihara dia mulai sekarang.” Aku melepas pelukan Rossa dan berpaling memperkenalkan Mas Ser sebagai hewan peliharaan ke teman-teman. “Masser?” Fadil mengulang panggilanku dengan dahi berkerut heran. “Jadi dia seekor anjing? Bukannya serigala?” sahut Irfan, teman satu angkatanku yang lain. Senyumku berubah meringis, semoga saja alibiku tidak ketahuan oleh mereka. “Bu-bukan! Kalian nih norak banget. Gatau apa kalau ada jenis anjing yang bentuknya mirip serigala?” Fadil dan Irfan garuk-garuk kepala sambil berpikir. “Emang ada ya?” tanya Fadil. Yang kemudian ditambah oleh Irfan, “Apa nama jenis anjingnya?” Hadeh, pakai tanya nama jenisnya lagi. Aku kan bukan pecinta binatang, bukan juga mahasiswa jurusan dokter hewan. Ya mana aku tahu?! “Alaskan Malamute.” Mas Ser berbisik memberiku petunjuk. Lalu akupun dengan pede menjawab, “Alaskan Malamute.” Seluruh mahasiswa yang mendengar ucapanku berdecak kagum. Salah satu di antara mereka menceletuk, “Ah ya! Aku tahu jenis anjing itu!” Dan aku meresponnya dengan anggukan kepala girang. Ternyata Mas Ser pintar juga bisa tahu jenis-jenis anjing. Oh, atau karena jelmaannya seekor serigala membuatnya jadi tahu semua jenis binatang di dunia ini. Bisa jadi, bisa jadi. Anak-anak kemudian mengerubungi Mas Ser. Melihat serigala yang mereka kira anjing itu lebih dekat, bahkan mengelus bulu tebalnya yang berwarna putih keabu-abuan. “Anjing itu yang bawa lo sampai ke sini?” Wajah Rossa setengah tidak percaya, tetapi aku mengangguk untuk meyakinkannya. “Yup. Mas Ser anjing yang pinter. Kayaknya ada orang sengaja buang dia di tengah hutan. Karena kasihan, kubawa aja sekalian dan mutusin buat dipelihara.” Rossa tersenyum memercayai ucapanku kemudian merangkul pundakku dari samping dan mengajak semua anak-anak kembali ke tempat camping untuk melaporkan bahwa aku telah kembali dengan selamat. *** Sekembalinya aku ke tempat camping, aku dan Mas Ser langsung disidak oleh rektor dan beberapa dosen termasuk Pak Glen. Aku menceritakan semua yang terjadi apa adanya kecuali di bagian aku bisa berkomunikasi dengan Mas Ser yang sebenarnya adalah seekor serigala. Ikut terharu mendengar ceritaku yang mengatakan Mas Ser menyelamatkan nyawaku, pak rektor dan para dosen akhirnya memberi izin aku membawa Mas Ser asalkan dia tidak akan menakuti orang-orang di sini atau melakukan kekacauan. “Kau beruntung sekali Jeha. Kusuruh mencari serigala, malah bertemu dengan seekor anjing pintar,” ucap Pak Glen, lebih ke arah sindiran halus yang hanya membuatku tersenyum cengir meresponnya. “Anjing ini juga sepertinya anjing mahal, dia memiliki bentuk hampir menyerupai serigala dan bulu yang tebal. Kamu pasti untung banyak jika menjualnya,” celetuk Pak Glen, yang langsung membuat sepasang mataku berubah hijau seperti tuan Kreb. “Benarkah? Berapa harganya kalau dijual Pak?” tanyaku. Pak Glen mengusap dagunya sembari berpikir. “Emm, mungkin sekitar 15-30 jutaan,” jawabnya yang kembali membuat mataku penuh dengan gambar uang. Astaga, dengan uang sebanyak itu aku bisa membeli album-album oppa korea kesayangan. Aku juga bisa memborong bakso sampai gerobak-gerobaknya. Halusinasi indahku tiba-tiba buyar ketika merasakan tangan berkuku tajam milik Mas Ser menyentuh salah satu kakiku erat. Aku menunduk, kemudian merinding ketika melihat kilat matanya yang seolah ingin menerkamku. “Aku tidak mungkin menjual Mas Ser, dia terlalu berharga bagiku hehe,” kataku meski dengan ekspresi menahan tangis. Bahaya juga membiarkan siluman serigala ini dekat-dekat, kalau sedikit saja aku melakukan kesalahan—tamatlah riwayatku. “Tentu saja, jangan jual anjingmu. Ada yang bilang, anjing adalah hewan paling setia dan akan melindungi pemiliknya sampai akhir hayat,” ujar Pak Glen sambil berjongkok di depan Mas Ser seraya mengusap puncak kepalanya lembut. Pria itu tampak menyukai binatang terlihat dari bagaimana ia memperlakukan Mas Ser. “Kenapa dia tidak menggonggong? Atau mengibaskan ekornya?” Pak Glen menatap Mas Ser heran. Aku sontak ikut dibuat berpikir karena pertanyaannya. Mas Ser seekor serigala, dia tidak mungkin bisa menggonggong seperti anjing ataupun mengibaskan ekornya saat dielus bulunya. “Apakah dia sakit?” tanya Pak Glen sembari berpaling menatapku. Kepalaku otomatis menggeleng, tapi tidak lama berubah mengangguk. “Ya! Dia sariawan, sementara ini tidak bisa menggonggong. Nanti sepulang dari camping, aku akan membawanya ke dokter,” alibiku dengan senyum merekah lebar untuk menutupi kecemasanku yang takut ketahuan. “Aku baru tahu kalau anjing juga bisa sariawan.” Pak Glen menggaruk kepala heran, tapi dia tak ambil pusing dengan itu dan lanjut berkata cuek, “Yasudahlah, lebih baik kamu sekarang istirahat. Kamu pasti lelah setelah seharian tersesat di hutan.” Pak Glen menepuk-nepuk pundakku kemudian pamit keluar dan meninggalkanku di ruang UKS bersama Mas Ser berdua. BERSAMBUNG...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN