Chapter Three: Bounjour Trouble

3290 Kata
--“Aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan. Aku cemas bahwa kau akan mempermalukanku dengan sengaja, mengingat hubungan kita yang tidak harmonis, kurasa. Tapi sekarang aku mencemaskan hal lain.” Dave tersenyum penuh arti sambil meletakkan tangannya di bahu Charlotte, mengarahkan telinga gadis itu ke bibirnya lalu berbisik, “Aku takut tidak dapat melepaskan tanganku darimu malam ini.”--         Charlotte menghela napas panjang saat menutup retsleting kopernya. Semua sudah siap tapi tidak hatinya. Sampai sekarang ia masih belum merelakan posisinya di divisi creative design ia lepas begitu saja. Setelah memastikan semua alat-alat listrik dimatikan, Charlotte keluar dari kamarnya. Ia bergegas menuju lobby, Dave barusan menelponnya dan mengabari kalau ia sudah di bawah sana. Hari ini, mereka benar-benar akan ke Paris.         Dave sedang berdiri bersandar pada meja respsionis saat Charlotte menghampirinya keluar dari lift. Pria itu sedang mengutak-atik layar ipadnya, dan terlalu asyik sendiri sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Charlotte.         “Ehem!” Charlotte berdehem keras. “Kita jadi pergi atau tidak?” tanyanya ketus. Dave mendongak menatap Charlotte. Tapi gadis itu sudah berbalik dan berjalan menjauh dari Dave tanpa menunggu pria itu membuka suaranya.         Dave menghembuskan napas berat, lalu berlari kecil menyusul Charlotte dan mengambil geretan koper dari tangan gadis itu, “Biar aku saja.” Ia menggeret koper itu lebih cepat dari Charlotte, lalu mengopernya ke supir taksi yang sudah menunggu di samping mobil saat Dave keluar dari lobby, menyusul Charlotte kemudian. Pria itu membukakan pintu mobil untuk gadis yang baru kemarin resmi menjadi sekretaris sementaranya itu.         “Jadi, ini pertama kalinya kau pergi ke Paris?” tanya Dave dengan setengah berbisik. “Aku jamin ini akan menyenangkan.” Dave melepaskan cardigan abu-abu gelapnya, ia sampirkan di pundak lalu diikat sekali.          Charlotte menghemat dengan tidak menjawab; ia hanya menganggukkan kepalanya pelan tanpa melihat Dave. Ia berusaha tidak memperhatikan bagaimana Dave menatapnya penasaran dan serba salah. Ayolah, saat ini ia bahkan lebih salah tingkah lagi. Sangat sulit baginya untuk beramah-tamah dengan Dave.         “Kau tidak usah tegang, Charly.” Dave mengangkat tangannya, menepuk pelan bahu Charlotte. “Pesawat kita akan lepas landas 2 jam lagi. Masih ada waktu yang cukup untuk bersantai membeli cokelat panas dan sandwich,” imbuhnya.         “Ide bagus. Aku belum sempat sarapan dan perutku sedikit sakit karena terlalu banyak minum semalam.” Charlotte menoleh sesaat pada Dave hanya untuk menatapnya tajam. “Ini semua karena kau tidak mau menjadi ksatria kuda hitamku semalam dan membiarkanku meminum semua alkohol sialan itu.” tiba-tiba Charlotte berubah menjadi lebih cerewet dan bertenaga.         Tawa Dave tenggelam di antara klaksonan mobil yang ingin saling menyalip untuk lewat lebih dulu di lampu merah, “Ayolah, aku tahu kau kuat minum,” timpalnya.         Charlotte mencebik, “Oh, yeah? Aku juga tahu kalau kau takut terlihat memalukan di depan bawahanmu karena tidak bisa mengalahkan Gina.”         “Ah...perempuan itu. Baru kali ini aku melihat seorang perempuan sekuat dia.” Dave terlihat sumringah, “Mungkin aku bisa mendekati teman mantan satu divisimu itu.”         “Lupakan. Dia sudah bertunangan,” sambar Charlotte sebelum Dave berbicara lebih banyak.         Dave menunjukkan ekspresi kecewa yang dibuat-buat, “ too bad.” Sungguh dibuat-buat. Lalu Dave mengeluarkan ponselnya. Konsentrasinya tercurahkan ke deretan email dari semalam yang belum selesai ia cek satu persatu, dan sekarang sudah bertambah email baru lainnya. Beberapa di antaranya adalah berita olahraga, berita pasar saham, dan notifikasi b**********n majalah pria online.         “Dave..” suara Charlotte memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua cukup lama. “Aku sudah mempelajari email yang kau kirimkan padaku, dan sudah menjadwal ulang pertemuan yang kau minta semalam.” Charlotte membicarakan perihal telpon dadakan Dave semalam yang meminta Charlotte mengatur ulang jadwal mereka dengan beberapa kolega bisnis. “Aku ingin kau mengeceknya.”         Dave mengangkat tangannya, “Tidak perlu. Aku percaya dengan hasil kerjamu.” Ia mengatakan itu tanpa berpaling sedikitpun dari layar ponselnya. Mendengar itu, Charlotte menutup kembali tasnya. Ia baru saja akan mengeluarkan notes kecilnya tapi tidak jadi.         Setelahnya tidak terjadi percakapan apa pun di antara mereka berdua. Satu jam perjalanan Charlotte habiskan hanya dengan usaha menahan kantuk. Semalam ia susah tidur, mempersiapkan barang-barang untuk perjalanan ke Paris dan mengatur ulang jadwal pertemuan Dave dengan pemimpin-pemimpin bisnis kelas dunia itu benar-benar memakan waktu yang tidak sedikit. Ia hanya sempat tidur kurang dari satu jam karena takut tidak bisa bersiap-siap tepat waktu. Ia tidak bisa tidur di dalam mobil karena cemas tidak bisa mengontrol ekspresi wajahnya saat tidur. Bayang-bayang Dave menertawakannya menjadi penangkal ampuh agar ia tidak tertidur di dalam mobil. Selain itu, perutnya juga terasa sedikit perih.         Taksi menurunkan Dave dan Charlotte tepat di pintu masuk utama terminal keberangkatan mereka berdua. Charlotte menunggu Dave memberikan tip pada sopir taksi itu, sebelum akhirnya mereka masuk bersama ke dalam pemeriksaan security. Setelah selesai mengurus bagasi dan check in, Dave menggiring Charlotte memasuki lounge maskapai perjalanan mereka. Ini pertama kalinya Charlotte menggunakan tiket bussiness class, jadi ia sedikit kikuk saat memasuki ruang tunggu keberangkatan khusus penumpang kelas bisnis ini.         Masih ada sekitar 45 menit lagi sebelum keberangkatan mereka. Waktu yang lebih dari cukup untuk sekedar menghabiskan segelas cokelat panas dan sandwich seperti yang Dave katakan di mobil tadi. Pesanan mereka berdua sama dan Dave yang membayar tagihannya. Charlotte tidak menolak saat pria itu menyodorkan kartu debit terlebih dahulu ke kasir, ia tidak berusaha menghalangi. Baginya, hanya orang bodoh yang bertindak seolah-olah ingin menolak tapi kemudian menerima di akhir. Mereka memang tidak memakan makanan mereka di tempat ini, melainkan membawanya ke dalam ruang tunggu di gerbang keberangkatan mereka di dalam. Charlotte yang mengusulkan. Ia khawatir mereka akan keasyikan berada di dalam dan tidak mendengar pemberitahuan dari maskapai. Dave setuju, pria itu menyadari sifatnya yang bisa tidak memperdulikan keadaan sekitar jika sudah fokus ke satu hal.         Sepertinya itu merupakan keputusan yang tepat. Berselang beberapa menit mereka sampai di ruang tunggu, pengumuman keberangkatan mereka pun mengudara lebih cepat 10 menit dari yang jadwal boarding. Dave dan Charlotte berjalan berdampingan mendahului penumpang lain yang berada di kelas ekonomi. Sepertinya penerbangan mereka tidak memiliki penumpang terlalu banyak. Saat seluruh penumpang pesawat berada di dalam, Charlotte mengamati sekitarnya yang penuh dengan keluarga dan anak-anak. Gadis itu sempat berpikir, betapa beruntungnya mereka yang bepergian untuk liburan, sementara dirinya terjebak di sebuah perjalanan bisnis bersama Dave.         Setelah meletakkan tasnya di dalam bagasi kabin, Charlotte duduk. Dave sudah asyik mendengarkan lagu sambil membaca berita bisnis dari koran yang disediakan pesawat. Charlotte berusaha mengabaikan rasa sakit di perutnya yang masih tidak bersahabat. Ia benar-benar mengutuk Gina yang menantang dirinya minum banyak lewat permainan bodoh yang mereka mainkan semalam.         “Hei, Charly. Look at that..” nada bicara Dave terdengar sangat genit. Ia menunjuk dua orang pramugari cantik dengan tubuh yang bagus, sembari mengenakan sabuk pengamannya. Pria itu duduk di pinggir luar, dekat dengan lorong jalan, dan Charlotte duduk di samping jendela.         Charlotte menoleh ke arah Dave, memutar bola matanya-menunjukan ekspresi jijik hingga pria itu tertawa. Ia sama sekali tidak merasa tersindir dengan sikap Charlotte. “Jangan mempermalukan aku di sini,” protes Charlotte. “Jangan coba-coba merayu pramugari-pramugari itu dan membawaku ke dalam masalah yang timbul nantinya karena tingkahmu!”         Dave mulai berkilah, “Aku sudah biasa bermain cantik, Sugar.” Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Charlotte, “Kau bisa memintaku mencobanya padamu kalau kau penasaran.”         “Tidak terima kasih.” Charlotte berusaha mengontrol nada suaranya yang mulai kacau karena wajahnya seketik menjadi merah padam. “Kau membuat perutku semakin sakit dan mual,” gumam Charlotte hampir tidak terdengar. Suaranya tenggelam di antara deru mesin pesawat yang perlahan mulai berjalan bersiap lepas landas. Tayangan peragaan keselamatan di putar melalui layar multimedia yang terpasang menyatu dengan kursi yang ditopang oleh sambungan kayu berlapis kulit. Charlotte terpaku menatap layar itu, sementara Dave tampak berbicara dengan salah satu pramugari. Charlotte kira, Dave tengah menggoda pramugari itu seperti apa yang pria itu katakan padanya barusan.         Setelah pesawat lepas landas, Dave bangkit dari duduknya. “Kau mau kemana?” tanya Charlotte. Sedetik kemudian ia menyesal telah bertanya.         “Toilet. Mau ikut?” jawab Dave sedikit memperolok Charlotte.         Charlotte membuang muka, “Bicara apa sih, kau?” katanya galak. Tawa Dave terdengar beberapa saat menjelang pria itu semakin mendekati toilet. Rasanya penerbangan ini akan terasa bagaikan berabad-abad lamanya bagi Charlotte, kalau ia belum juga bisa mencairkan suasananya dengan Dave.         “Ini.” Seseorang menyodorkan segelas s**u putih pada Charlotte. Pupil mata gadis itu melebar kala melihat itu adalah Dave, “Bukannya kau baru saja pergi ke toilet? Cepat sekali...,dan..ini?” Charlotte menatap gelas s**u yang sekarang sudah berada di tangannya.         Dave kembali duduk di kursinya, “Aku tidak benar-benar ke toilet. Aku pergi mengambil s**u ini dari pramugari yang tadi kumintai tolong menyiapkannya. Tidak hangat sih, tapi paling tidak, itu bisa menetralkan perutmu sebelum kau meminum cokelat panas yang tadi kita beli di lounge.”         Daripada menjawab, Charlotte mendekatkan gelas itu ke bibirnya dan mulai meminumnya sedikit-sedikit. Dengan sungguh-sungguh ia berusaha mengabaikan tatapan Dave yang menunggu sesuatu darinya. Charlotte bisa merasakan pengaruh tatapan pemuda itu pada saat ia sedang meminum susunya.         “Argh..oke..oke...” Charlotte frustrasi. Ia meletakkan gelasnya yang sudah kosong-lebih tepatnya mengoper gelas itu ke tangan Dave dengan sedikit gerakan menghentak. Bibirnya yang dipoles lipstik merah itu sedikit mengerucut saat mengucapkan, “Terima kasih, Dave.”   ***         Begitu menjejakkan kaki di Paris, Charlotte menghirup udara sedalam-dalamnya, dan menghembuskannya dengan kuat. Salah satu impiannya terwujud, pergi ke Paris-meskipun bukan untuk liburan. Tapi sekali Paris, ya tetap Paris. Rasanya berada di sini selama tujuh hari saja tidak cukup untuknya.         “Charlotte,” panggil Dave dari belakang. Gadis itu menoleh, mendapati ekspresi muka Dave yang sangat masam. “Cepat cari taksi. Aku tidak ingin terlambat di pertemuan pertama kita dengan mereka.” Pria itu mulai memerintah. Ia jadi sedikit gampang marah karena orang yang ditugaskannya untuk menyewakan mobil beserta supirnya selama mereka berada di Paris, melupakan tugasnya. Sekarang dia benar-benar kalut karena pihak hotel pun kehabisan mobil hotel yang biasa digunakan untuk menjemput tamu mereka di bandara.         Apa tidak ada cara memerintah yang lebih baik?sungut Charlotte dalam hati. Tanpa berkata apa pun, Charlotte menerobos kerumunan orang-orang yang lalu lalang di depan pintu kedatangan bandara Paris. Seharusnya ia bisa menemukan loket pemesanan taksi di sini. kalau tidak ada, maka ia terpaksa harus menyeret Dave menaiki kendaraan umum seperti bis atau kereta. Semoga saja pria itu tidak keberatan.         Tapi seolah keberuntungan belum enggan meninggalkan sisi pria itu. Charlotte berhasil menemukan taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya. Langsung saja ia menghadang taksi itu; menyuruhnya untuk tetap menunggu di tempat semula selagi ia memanggil Dave.         “Dave!” teriak Charlotte. “Ayo, cepat! Aku sudah mendapatkan taksi untuk kita!”         Dave berjalan cepat membawa koper miliknya dan Charlotte. Sementara si supir memasukkan barang-barang mereka ke dalam bagasi taksi, Charlotte masuk ke dalam taksi lebih dulu. Tepat saat Dave akan masuk ke dalam taksi, Charlotte menutup pintu taksi dengan sengaja. Dave berteriak dari luar, memprotes sikap Charlotte yang menurutnya sangat kekanakan. Belum lagi, saat gadis itu tidak ingin bergeser memberi tempat agar Dave bisa duduk. Pemuda itu sampai berjalan memutar ke sisi lain taksi, barulah ia bisa mendapatkan tempat duduk. Charlotte harus bersusah payah menahan tawanya di dalam taksi, atau dia akan mendengar Dave mengomel lagi. Untuk hal satu itu, pemuda ini benar-benar mirip ibunya.         Hotel mereka memang berada tidak jauh dari bandara. Hanya 10 menit dan mereka sudah sampai. Seperti biasa, Charlotte membiarkan Dave yang membayar. Gadis itu melesat masuk ke dalam hotel sambil membawa koper miliknya, meninggalkan Dave yang masih menunggu kembalian biaya taksi.         “Kami sudah memesan kamar atas nama David Whittaker,” kata Charlotte sembari menebar senyum termanisnya pada petugas resepsionis. Dia tidak bisa berbahasa Prancis tapi tidak mungkin seorang petugas hotel tidak lancar berbahasa inggris, kan?         Dave datang dari belakang punggung Charlotte, “Kau sungguh tidak sabaran,” katanya sinis. Kemudian ia beralih pada petugas respsionis dan menyodorkan bukti pemesanan hotel yang tertera di layar ponselnya. Petugas itu terlihat sibuk beberapa saat dengan komputernya, sebelum akhirnya memberikan kunci kamar berbentu kartu pada Dave. Pria itu menerimanya, lalu segera berbalik berjalan menuju lift setelah mengucapkan terima kasih, diikuti Charlotte di belakangnya.         Mereka berdua masuk ke dalam lift yang memiliki dekorasi senada dengan lobbynya. Khas Whittaker Corporation; pegawai biasa yang ditugaskan melakukan perjalanan bisnis selalu menginap di hotel terbaik. Tentu saja, pemimpin mereka akan mendapatkan yang lebih baik lagi dari itu. Hotel tempat Dave dan Charlotte menginap tidak bisa dijelaskan dengan kata ‘mewah’ saja, karena ini jauh lebih baik dari itu.         Saat angka di atas lift menunjukkan lantai 15, pintu lift terbuka. Dave melangkah keluar, menggeret kopernya dan Charlotte. Pria itu menolak tawaran bellboy untuk membantunya tadi, juga tidak mengacuhkan omongan Charlotte yang mengatakan kalau gadis itu bisa membawa barang-barangnya sendiri, dan terus berjalan ke arah kanan, mengikuti lorong yang lantainya dilapisi karpet bercorak bunga-bunga abstrak berwarna cokelat tua keemasan, lalu berhenti di depan kamar 15330.         “Ini dia kamarnya,” ujar Dave sembari menyerahkan kartu bertuliskan angka yang sama dengan yang tertera di pintu.         “Lalu kamarmu?” tanya Charlotte. Kita tidak mungkin sekamar, kan?         “Tentu saja kita tidak tinggal di satu kamar yang sama,” kata Dave seolah ia dapat membaca pikiran Charlotte. “Kamarku berada di dua lantai di atasmu. Kamar 17390, jangan sampai lupa. Sekarang kau istirahatlah, kutemui kau di lobby setengah jam lagi.” Itu kalimat terakhir Dave. Pemuda itu pun mulai berjalan menjauh dari Charlotte, dan menghilang di belokan lorong menuju lift.         Charlotte pun masuk ke dalam kamar. Kamarnya sangat luas untuk ditempati hanya untuk satu orang saja. Tepat di tengah-tengah ruangan – berpola garis-garis halus abu-abu tikus pada wallpaper berwarna putih gading di dindingnya – diisi sebuah kasur berukuran king size dengan sprei putih yang terselubung di dalam bed cover abu-abu gelap. Seperti ciri khas hotel pada umumnya; di kedua sisi kepala kasur, diletakkan dua buah nakas kecil yang menopang lampu tidur berukuran sedang.         Charlotte melepaskan sepatu sendal berhak 3 cmnya, lalu berjalan di atas karpet yang juga berwarna abu-abu sama dengan bed cover. Gadis itu meletakkan kopernya di sudut ruangan dekat dengan meja yang mirip dengan meja kerjanya di kantor, lalu duduk di atas kursi meja itu. Ia memeriksa buku menu makanan hotel, menimang-nimang makanan apa yang akan ia pesan nanti sekembalinya ia dari pertemuan pertama dengan kolega bisnis Dave.         Setelah merapikan semua barang-barangnya, Charlotte bergegas melucuti semua pakaiannya lalu mandi. Seperti dugaannya, kamar mandinya memiliki jacuzzi bath up yang menggodanya untuk mencelupkan badannya di dalam sana dan berendam sampai kantuk melanda. Inginnya seperti itu, tapi Charlotte melawan keinginan itu daripada harus menghadapi ocehan Dave yang tidak akan selesai hanya dalam waktu satu atau dua jam.         Setelah menghabiskan waktu 15 menit di dalam kamar mandi, telepon di kamarnya berdering menyambut Charlotte. Tetesan air dari rambutnya membasahi meja saat Charlotte mengangkat telepon itu, “Halo?”         “Ini aku. Apa kau sudah siap?” terdengar suara Dave dari seberang sana.         “Aku baru saja selesai mandi.”         “Cepat sedikit.”         “Aku tahu.” Charlotte menutup teleponnya. Sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, ia berjalan menuju lemari, ia mengambil gaun malamnya yang sudah ia gantung di dalam sana sebelum mandi tadi. Pertemuan pertama dengan kolega bisnis kali ini bukanlah rapat menegangkan seperti yang biasa ia lakukan kala menemani Mrs. Halley. Malam ini akan ada gala dinner, karena itu Charlotte sengaja membawa pakaian yang paling pantas dan sekiranya cukup mengesankan. Gaun backless hitam ini sengaja ia beli untuk menghadiri pesta pertunangan Gina dengan mantan tunangannya dulu. Ia belum pernah memakai gaun ini sebelumnya karena pertunangan itu batal sebelum pestanya terlaksana. Pria Meksiko yang Gina kenal dari salah satu situs kencan buta itu ternyata menipunya. Butuh waktu yang cukup lama hingga Gina bisa kembali percaya pada laki-laki dan menemukan tambatan hatinya yang baru. Sayangnya, kisah pahit itu tidak membuat Gina jera agar berhenti bergenit ria dengan para pria.         Charlotte mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer di dalam kamar mandi. Ia memutuskan menggerai rambutnya dengan menjepit sebagiannya di belakang kepala. Sebagian sulur rambutnya ia biarkan membingkai sisi wajah kanan dan kirinya. Wajahnya ia hias dengan make up tipis berpadu lipstik merah marun tanpa kilap - yang baru ia beli - di bibirnya, dan tiba-tiba ia merasa menjelma menjadi seorang vampir. Sepertinya, ia salah mempercayakan Gina memilihkan warna lipstik untuknya. Charlotte memperhatikan penampilannya sendiri di kaca. Ia tidak terlalu percaya diri dengan penampilannya saat ini. Tapi, Gina bilang, ini adalah gaya yang sedang tren di musim ini.         Charlotte mendengus pelan, Baiklah, mari kita lakukan ini, Charlotte, ia berusaha menyemangati dirinya sendiri. Ia segera keluar dari kamar mandi lalu mengenakan sepatu stiletto hitam yang biasa ia kenakan di kantor dengan tergesa-gesa. Lipstik vampir sialan itu sudah membuatnya kehilangan beberapa menit berharga yang bisa memicu pertengkaran antara dirinya dan Dave. Sebenarnya, ia akan menerima dengan senang hati jika pria itu mengajaknya beradu mulut, sayangnya, Charlotte terlalu lelah untuk itu. Paling tidak, itu yang ia pikirkan sebelum membuka pintu kamarnya dan mendapati Dave berdiri di luar sana. Posisi tangannya terangkat dan sedikit mengepal, seperti ingin mengetuk pintu.         “Kau lama sekali.” itu kalimat pertama yang Dave lontarkan begitu melihat Charlotte. Gadis itu masih berdiri di belakang garis pintu.         “Saya yakin anda akan sangat mengerti, apa yang menjadi alasan seorang wanita lama berdandan sebelum pergi ke pesta, Sir.”         “Ini bukan pesta dan jangan panggil aku Sir. Aku merasa menjadi orang yang lebih tua dari umurku.” Dave memprotes. Ia melirik sekilas penampilan Charlotte dari ujung kepala hingga ujung kakinya, kemudian mengangguk-anggukkan kepala perlahan, “Sekarang coba berputar.”         Charlotte menurut, meskipun ia merasa seperti orang bodoh.         “Seleramu bagus. Syukurlah.. aku sudah cemas kau akan mempermalukanku di acara itu nanti.”         “Jika yang anda maksud adalah saya memiliki selera yang buruk dalam bidang fashion, maka dengan jujur saya katakan bahwa saya merasa tersinggung, Sir.” Charlotte melirik sekilas ke arah bos-nya yang entah mengapa terlihat tampan malam itu – tentu saja hal tersebut cepat-cepat ia tepis dari pikirannya. Dengan langkah cepat, ia menuju ke arah kasur untuk mengambil clutch bag warna hitam yang berada di sana. Tanpa Charlotte sadari, Dave sudah berada di belakangnya.         “Dan mengapa kau harus tersinggung, hmmm?”         Bulu kuduk Charlotte meremang. Ada sedikit keterkejutan yang ia rasakan dengan kehadiran Dave yang tiba-tiba sangat dekat dengannya. Perlahan Charlotte kembali ke posisi berdiri setelah sebelumnya merunduk untuk mengambil clutch bag miliknya.         “Saya punya hak untuk merasakan berbagai hal tanpa harus menjelaskannya kepada anda, Sir.” Charlotte menoleh dari balik bahunya ke arah Dave.         Dave mendekat, lebih dekat dari jaraknya semula. Charlotte bisa mencium aroma parfum khas milik pria itu dan punggungnya yang terbuka tidak membantu otaknya untuk membayangkan hal lain selain kedekatan mereka berdua.         “Aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan. Aku cemas bahwa kau akan mempermalukanku dengan sengaja, mengingat hubungan kita yang tidak harmonis, kurasa. Tapi sekarang aku mencemaskan hal lain.” Dave tersenyum penuh arti sambil meletakkan tangannya di bahu Charlotte, mengarahkan telinga gadis itu ke bibirnya lalu berbisik, “Aku takut tidak dapat melepaskan tanganku darimu malam ini.”         Dalam hitungan detik, Charlotte sempat merasakan tangan Dave menelusup ke dalam gaunnya, tepat menuju ke bagian pinggir tubuh wanita itu. menyentuhnya dengan cepat namun intens, cukup bagi Charlotte untuk merasakan sesuatu yang tidak dapat ia pahami.         “Aku akan menunggumu di bawah, Charly.” seruan Dave menghentakkan Charlotte dari apa pun yang berada di benaknya. Charlotte mengerjap beberapa kali lalu mendapati dirinya berada sendirian di dalam kamarnya dengan pintu kamar terbuka lebar.         Pria sialan itu lupa menutup pintu.         “Oh, dan jangan lupa, tidak ada pembicaraan formal denganku nanti.” Dave kembali ke ambang pintu dan terperangah sesaat ketika melihat muka Charlotte yang merah padam. Ia menyunggingkan senyum khas-nya, “kecuali kau ingin tahu kelanjutan yang tadi.         Mata Charlotte membelalak, spontan, ia meleparkan clutch bag yang ada di tangannya ke arah Dave yang dengan lincah menghindar lalu pergi dengan tawa kemenangan. Charlotte menutup wajahnya yang terasa panas dengan kedua tangan.         “Tampaknya aku akan terlambat malam ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN