Chapter Two: Mr. Troublemaker

3642 Kata
           -- “Jadi kau memang seorang stalker sejati...kau bahkan rela menghentikan aktifitas panasmu itu hanya untuk mengikutiku pulang?” Charlotte mundur perlahan. Pintu yang tadinya sudah terbuka, kembali tertutup oleh punggung Charlotte. Ia menahan napasnya saat pria itu berjarak hanya beberapa senti saja dari tubuhnya. “Jangan macam-macam...”--             Setelah 3 tahun bekerja, baru kali ini Charlotte tampil tidak sesempurna biasanya. Bukan karena pakaiannya yang tidak sesuai atau riasannya yang tidak pas. Ini lebih mengacu pada wajahnya yang tidak terlihat bersemangat seperti biasanya. Kantung matanya terlihat lebih besar dari semula dan ada garis hitam di garis mata bawahnya. Bahkan, ia sudah cukup banyak menguap sejak pagi tadi.             “Apa yang terjadi, Sayang?” tanya Gina. Gadis keturunan meksiko dengan kulit yang sedikit lebih cokelat dari Charlotte ini adalah sahabat baiknya semenjak Charlotte diterima bekerja di sini. Gadis yang iris cokelat matanya tidak kalah terang dari Charlotte itu kemudian masuk ke dalam bilik kerja Charlotte, dan mendaratkan pantatnya yang bulat sempurna bak p****t aktris Hollywood Jennifer Lopez di atas meja kerja Charlotte.         “Na-ah..” Charlotte hanya menjawab pertanyaan Gina dengan lenguhan kecil. Ia merenggangkan tubuhnya ke belakang hingga sandaran kursinya melengkung ke belakang mengikuti arah punggungnya. Rambut cokelat kepirang-pirangannya terjuntai bebas ke belakang sandaran kepalanya.         “Ke mana cepolan mikrofonmu?” tanya Gina dengan nada mengejek penuh rasa penasaran. Selama ini Charlotte tidak pernah menanggalkan gaya  ke kantornya yang khas saat bekerja; rambutnya selalu diikat cepol bulat sempurna. Gina sering menjuluki gaya rambutnya itu dengan  sebutan cepolan mikrofon karena mengingatkannya pada mikrofon tempat karaoke.         “Aku tidak sempat mencepol rambutku.”         “Apa? Jangan katakan kau bangun kesiangan karena aku tidak akan percaya!”          Charlotte memainkan ujung rambutnya, “Jangankan bangun kesiangan. Tidur pun tidak.”         “Why? You had a nightmare last night?”         “Ini lebih dari sekadar mimpi buruk, Sayang..” dengus Charlotte. Tidak mungkin, kan, ia menceritakan adegan yang ia lihat semalam pada Gina sampai-sampai ia susah tidur?         Tiba-tiba suasana kantor mendadak riuh. Pandangan Gina yang sedang duduk di atas meja kerja Charlotte segera berkeliaran bebas ke segala penjuru ruangan mencari sumber keriuhan. Pandangannya berhenti di satu titik dimana orang-orang sedang berkerumun. Beberapa dari mereka terlihat sedang saling bergantian menyalami seseorang yang tampaknya sangat disegani, bahkan para senior di kantor yang selalu menganggap diri mereka sebagai dewa yang harus diutamakan tidak sungkan-sungkan membungkukkan badan mereka memberi hormat. Gina memicingkan matanya agar dapat melihat orang yang tampak hebat itu lebih jelas. Tapi jumlah orang yang berdiri mengerumuninya terlalu banyak menghalangi pandangan Gina.         Di saat Gina mulai menyerah, seorang pria dengan setelan jas hitam berkelas menerobos keluar dari kerumunan. Ia mengenakan dasi dengan warna abu-abu muda bermotif garis merah tebal di pertengahan dasi. Pria itu jelas tahu bagaimana caranya memanfaatkan postur tubuh tinggi tegapnya itu dengan sempurna. Penampilannya semakin gagah dengan mengenakan dasi berwarna abu-abu muda bermotif garis merah tebal di pertengahan dasi. Potongan rambutnya tidak terlalu cepak, sangat cocok dengan rahang wajahnya yang tegas. Beberapa wanita benar-benar terjerat pesonanya, mereka bahkan menatap pria itu dengan pandangan 'ingin segera melucuti pakaiannya satu-persatu'.             “Ya, Tuhan...Demi apa pun...he’s so hot!” cetus Gina tanpa sadar.             Charlotte serta merta berdiri karena tidak kuat menahan rasa penasaran terlalu lama. Ia pun bertatap mata langsung dengan pria yang tengah jadi pusat perhatian di situ. Pria itu tidak asing baginya. Dave?! Alangkah kagetnya ia mendapati kehadiran pria itu. Charlotte sontak duduk kembali, setelah aksi tatap mata yang tidak lama-setelah pria itu mengedipkan sebelah matanya pada Charlotte-itu. Tiba-tiba saja Charlotte merasa kesal sendiri. Bibirnya mengatup rapat menahan emosi yang mulai mendidih di kepalanya. Tuhan, jangan katakan kalau dia satu divisi denganku..             “Sepertinya pria itu yang digadang-gadang menjadi pengganti si tua Kay, “ celetuk Gina. Kedua tangannya bersendekap di depan d**a. Ia masih tidak melepaskan pandangan kagumnya dari sosok Dave.             “Apa yang kau katakan barusan?” selidik Charlotte penuh rasa ingin tahu. Sorot matanya mendadak jadi tidak bersahabat pada Gina.             “Hah? Apa?” Gina menoleh ke arah Charlotte. Entahlah dia pura-pura tidak dengar atau ia dengar tapi tidak begitu peduli. Sepertinya Dave lebih menarik perhatian Gina daripada Charlotte. “Aww...look at him. Don’t you think he has that big candy?” bisik Gina. Ia membicarakan sesuatu yang tidak suka didengar oleh Charlotte.             “Ugh, for God’s shake... Gina Rafaela!!!!” teriak Charlotte. Terkadang Gina bisa bersikap sangat menyebalkan. Ia tidak segan melupakan dunia tempatnya berpijak kalau sudah bertemu dengan pria tampan meski dirinya sudah bertunangan.             “Astaga!” Gina mengusap-usap telinga kirinya yang mendapat serangan telak teriakan Charlotte. “Perlu banget kau teriak di telingaku seperti itu?” sungutnya kesal. Ada dengingan di telinganya yang mulai merambat ke kepala.             Charlotte mengalihkan pembicaraan ke topik awal, “Kau tadi mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan Mr. Kay...” Charlotte menunjukkan gaya khasnya ketika menginterogasi seseorang. Kedua tangannya bersendekap di depan d**a. Ia duduk bagaikan seorang hakim yang menunggu penjahat mengakui kesalahannya. Dalam hal ini, Gina penjahatnya. Ini cara ampuh Charlotte mengorek informasi dari Gina, seorang tukang gosip yang memiliki banyak telinga dan mata di setiap sudut kantor.             “Mr. Kay dipindahkan ke cabang di Canada. Aku mendengarnya kemarin lusa, belum banyak yang tahu soal ini,” jelas Gina. “But, no need to worry...aku yakin kau akan sangat betah jika mempunyai atasan baru seperti pemuda itu ketimbang si Tua Mr. Kay yang selalu berusaha menggodamu.” Gina mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Charlotte.             Charlotte tidak tahu, apakah dia benar-benar harus bersyukur atau tidak kali ini, yang pasti dia butuh penjelasan. Dave baru saja memasuki ruangannya, ini kesempatan yang bagus untuk ia bicara. Ruangan Dave terletak di bagian paling pojok sebelah kanan arah barat. Dia benar-benar menggantikan Mr. Kay seperti yang Gina katakan barusan. Mr. Kay adalah pimpinan divisi creative design, divisi tempat Charlotte bekerja. Paling tidak ia hanya mengemban tugas dari divisi ini sampai bulan lalu, ketika tiba-tiba Mrs. Halley menyuruhnya menjadi sekretaris Mrs. Halley untuk sementara sampai ia menemukan pengganti sekeretarisnya yang resign karena hamil.             Charlotte tidak perlu repot-repot mengetuk pintu ruangan Dave. Pintu itu terbuka lebar, dan Dave sedang duduk di kursinya yang menghadap langsung pada pintu. “Hai, manis,” sapa Dave. Tingkahnya seolah menunjukkan ia sudah menduga Charlotte akan menemuinya. Kedua mata pria itu aktif memandangi penampilan Charlotte dari ujung kepala sampai ujung kaki, kala Charlotte melangkahkan kakinya yang dibalut pump shoes merah marun ke arahnya.             Kini mereka hanya dipisahkan sebuah meja. “Aku akan mengatakannya langsung...., ehem!” Charlotte berdehem pelan. Sepintas, adegan Dave dengan wanita berseragam pizza tadi malam membuatnya hampir lupa caranya berbicara. “Aku tidak suka kau berada di sini. Aku tidak berharap kita bisa berteman dengan baik, tapi jangan ragukan soal profesionalitasku. Kau tahu maksudku, kan?”             “Tenang saja. Aku tidak akan mendekati wilayah amanmu, Charly—”             “Charlotte.”             “Um, Charlotte.”             Charlotte menghela napas lega, “Baiklah, semua sudah jelas. Jangan tersinggung, ini tidak sepenuhnya salahmu sampai-sampai aku tidak menyukaimu. Aku hanya memperjelas batas antara kita berdua, paling tidak sampai aku benar-benar terbiasa denganmu di kantor ini.”             “Bukan salahku kalau kau mengorbankan akhir minggumu kemarin, Charly.” Dave menyeringai, “ dan bukan salahku juga kalau semalam kau melihat sesuatu yang seharusnya tidak kau lihat.”             “Charlotte.” Charlotte mendengus kesal. “Tapi, aku butuh seseorang untuk di salahkan—dan tolong jangan bahas apa pun yang berhubungan dengan kejadian semalam,” katanya sambil mengancingkan kancing lengan blouse satin putih yang ia kenakan. “Baiklah, selamat memulai hari pertama kerjamu, Sir. Enjoy!”             “Tunggu.” Dave menghentikan langkah Charlotte. “Ada yang harus kusampaikan padamu.” Ia memberi tanda agar Charlotte kembali mendekat. Dave berdiri, berjalan santai lalu duduk di atas sofa yang tertata di samping kanan meja kerjanya. Ruangan ini masih sama seperti terakhir Mr. Kay berada di sini. Bagian ruangan bersofa ini, adalah tempat Mr. Kay menerima tamu-tamunya dulu.             Charlotte mengikuti Dave. Ia duduk berseberangan dengan Dave, “Ada apa? Apakah ini akan sangat lama sampai-sampai kau menyuruhku duduk di sini.”             “Tidak. Ini akan sangat singkat, tapi aku ingin kita lebih santai,” ujar Dave. “Charly, aku ingin kau melepaskan pekerjaanmu di divisi ini, dan fokus bekerja sebagai sekretaris Mrs. Halley. Sebentar lagi kita akan membuka lowongan kerja, tidak akan sulit mencari penggantimu.”             Charlotte tidak percaya dengan apa yang didengarnya, “Apa maksudmu? Aku menolak. Aku tidak akan melepaskan pekerjaanku di divisi ini,” tolak Charlotte. “Berada di sini adalah bentuk usahaku yang sangat mati-matian. Lalu kau tiba-tiba menyuruhku melepaskannya?” Charlotte menggebu-gebu.             “Sudah kuduga kau akan menolaknya. Tapi, ini kebijakan langsung dari Mrs. Halley. Kau tahu sendiri bagaimana sifat pemimpin kita itu.” Dave mulai merujuk pada sifat Mrs. Halley yang tidak mudah percaya dan berinteraksi dengan orang baru.             “Kalau begitu..biarkan aku yang berbicara dengannya.”             “Percuma. Saat ini Mrs. Halley sedang mengadakan perjalanan bisnis di Singapore.”             Charlotte mengernyitkan dahinya, “Apa kau bilang? Bagaimana bisa dia pergi tanpaku? Bukankah dia menyuruhku menjadi sekretarisnya? Kenapa dia melakukan perjalanan bisnis tanpa aku se-kre-ta-ris-nya?” Charlotte menekankan penggalan-penggalan kata sekretaris di akhir kalimatnya.              “Itu karena kau harus mendampingiku selama aku bertugas menggantikan dia di sini,” dengan mantap Dave mengatakan itu.             Charlotte menggigil, “Apa? Astaga... terlalu banyak kejutan hari ini.” Ia memijat pelipisnya pelan. “Sepertinya tidak ada bahasan lain..., aku permisi.” Charlotte melesat menuju pintu, meninggalkan pintu itu tetap terbuka seperti semula. Gina menyambutnya beberapa meter dari ruangan Mr. Key yang mulai hari ini sudah menjadi ruangan Dave.             “Kenapa mukamu kusut sekali?” Gina menyodorkan kopi kaleng dingin yang baru saja ia minum seteguk. Ada noda lipstiknya yang menempel di ujung kaleng. “Ah, aku lupa, kau tidak suka kopi.” Gina nyengir, menarik kembali kopi kalengnya.             “Ah, kemarikan padaku..” Charlotte merebut kopi kaleng milik Gina dan meminumnya sampai habis. “Aku akan membelikannya lagi untukmu,” kata Charlotte saat Gina akan protes. Lalu ia menarik tangan Gina, menyeretnya keluar dari ruangan itu. Ia butuh udara segar saat ini juga.             Charlotte dan Gina berakhir di sebuah kedai makanan di dalam mall yang hanya berjarak beberapa gedung dari kantor mereka.             Dave, pikir Charlotte. Pria itu tidak satu gelombang dengannya. Sepertinya akan ada banyak kejadian tidak mengenakkan jika ia berdekatan dengan pria itu. Ini bukan hanya karena kekesalannya soal hari libur yang hancur itu, tidak. Tapi, setiap ia berada di dekat orang seperti Dave, ia tidak pernah bisa tenang.             Gina yang menangkap ekspresi tegang Charlotte terlihat cemas. “Semua akan baik-baik saja, Sayang.” Ia menggenggam tangan Charlotte yang sedang memegang dompetnya di atas meja. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi....kau terlihat sangat stres.”             Charlotte meniup sulur-sulur rambutnya yang turun menutupi hidungnya. Inilah yang terjadi kalau dia tidak mencepol rapi rambutnya. “Ini bukan hanya sekedar stres. Mrs. Halley menyuruhku menjadi sekretarisnya secara resmi, seutuhnya.”             “Kalau begitu, itu kabar baik!” Gina terlonjak senang. Ia bahkan sedikit memekik senang dan terdengar begitu nyaring di telinga Charlotte. “Kau harus menraktirku!”             “Menurutmu itu kabar baik? Menurutku tidak.”             “Why, honey?” Gina terlihat kecewa. “Karena kau merasa terikat dengan divisi kita sekarang? Hm..kalau aku jadi kau, sih. Aku tidak akan berpikir dua kali,” kata Gina lagi.             “Masalahnya, sebagai permulaan aku akan bekerja dengan Dave...., aku tidak suka ide itu.”             “Dave? Siapa Dave? Ah! Pemuda tampan yang akan menggantikan Mr. Key itu?” kedua mata Gina tampak berbinar-binar saat membayangkan Dave. Charlotte tidak mengerti, dimana, sih, pesona pria itu? baiklah dia memang tampan, tapi itu tidak berarti dia adalah laki-laki paling tampan di dunia ini, kan? Gina terlalu berlebihan dengan reaksinya.             “Dia anak Mrs. Halley. Kau ingat, kan? Anak satu-satunya yang sering ia banggakan di hadapan kita—“             “Si lulusan Oxford? Tentu aku ingat. Tiada hari tanpa Mrs. Halley membanggakan anaknya,” cerocos Gina tanpa merasa tidak enak karena memotong kalimat Charlotte.             “Aku merasa tidak cocok dengannya, Gina. Seperti merasa terancam...,kau ingat saat aku menceritakan firasatku ini padamu saat aku ditugaskan dalam satu tim dengan si jalang Sofie itu?”             Gina mengangguk semangat, “Ya, siapa yang bisa melupakan kekacauan itu?” ingatan Gina melanglang kembali ke dua bulan lalu. Wanita bernama Sophie itu mengacaukan presentasi tim di hadapan para petinggi perusahaan karena terlalu banyak minum. Itu adalah puncak kekacauan yang dia timbulkan setelah sebelumnya selalu mangkir dari tugas, bahkan mencuri sebagian dana proyek tim untuk hura-hura. Entah bagaimana seseorang seperti itu bisa diterima di Whittaker Corporation. Sepertinya rumor dia memiliki hubungan khusus dengan salah satu petinggi perusahaan itu benar.             “Aku tidak ingin membuat masalah lagi, Gina. Si Jalang Sophie adalah pertama dan terakhir kalinya, aku tidak ingin ada jalang-jalang lain.”             “Hahaha, kau berbicara seolah-olah Dave adalah jalang lain yang kau maksud. Mungkin, kau hanya merasa gugup, Charlotte..” Gina tertawa. “Ah, Dave bahkan tidak pantas disebut jalang...”             Charlotte tidak menjawab. Mungkin benar apa yang dikatakan Gina. Dia hanya sedang gugup.             “Baiklah, apa kita bisa kembali ke kantor sekarang? Aku ada pertemuan dengan divisi promosi jam 10 nanti.” Gina meratap memelas. Karena terkadang Charlotte bisa menjadi terlalu egois jika sedang ingin ditemani. Ia tidak akan peduli meski sahabatnya itu akan dipecat karena terlambat menghadiri rapat dan sebagainya. “             “Aku bahkan belum menerima pesananku,” protes Charlotte tidak sabaran.             “Charlotte...” panggil Gina dengan kesabaran yang sedikit dilebihkan. “Aku akan mendapat masalah yang sangat besar jika kau seperti ini. Apakah kejadian di Jenewa waktu itu tidak cukup untukmu?” Gina mengungkit ingatan lama yang sebenarnya sangat ingin ia lupakan.             Charlotte menghembuskan napas panjang, “Baiklah..baiklah. Kita kembali ke kantor sekarang.” ***             Sekembalinya ke kantor. Charlotte dan Gina disambut riuh rendah tepuk tangan dan sorak-sorai para rekan kerja mereka. Di tengah-tengah ruangan, Dave berdiri santai, pria itu juga tengah bertepuk tangan menghadapnya. “Ada apa ini?” tanya Gina heran. Charlotte menunjukkan eskpresi yang tidak kalah heran melihat tingkah penghuni ruangan ini. Tidak sampai 20 menit ia meninggalkan kantornya, dan sekembalinya, ia diberi suguhan pemandangan yang mencurigakan. Sangat mencurigakan karena Dave berdiri di sana, di pusat keramaian yang ditimbulkan teman-temannya.             “Kami sudah mendengarnya, kau dipromosikan menjadi sekretrasi pribadi Mrs. Halley. Selamat, Sayang!” Lyn, salah satu rekan satu timnya memeluk Charlotte erat-erat. “Kami akan sangat kehilangan. Kau salah satu yang berbakat! Apa yang bisa kami lakukan tanpamu?”             “Oh, jangan bilang begitu, Lyn..” Andrea tiba-tiba menyerobot. Ia mengecup pipi kanan Charlotte, “Malam ini kami akan mengadakan pesta perpisahan untukmu, Miss Jackeens.”             Charlotte memandang lurus pada Dave yang balas tersenyum tanpa dosa padanya. Pria itu tampak menikmati suguhan pemandangan saat Charlotte kewalahan menerima ucapan selamat dari rekan-rekannya. Ini adalah hal yang sangat langka. Tiba-tiba saja seseorang diangkat menjadi sekretaris pemimpin perusahaan dari semula hanya pegawai biasa. Sepertinya hal itu hanya terjadi pada Charlotte. Suatu keberuntungan Mrs. Halley bertemu dengannya lima bulan lalu saat Charlotte mempresentasikan rencana timnya. Saat itu Mrs. Halley sangat memuji rencana yang memang dicetuskan oleh gadis bermata cokelat terang itu, dan mereka menjadi sangat akrab.             Dave meninggalkan ruangan itu tanpa Charlotte sadari. Gina yang memberitahu Charlotte kalau pria itu menyuruhnya merapikan semua barang-barangnya dan segera pindah ke ruangannya yang baru. Bos sementaranya itu juga menyuruhnya untuk segera pergi menemuinya usai ia merapikan semua barang-barangnya. Charlotte menduga, Dave akan menunggunya di dalam ruangan Mrs. Halley. Karena pria itu akan menggantikan ibunya beberapa lama, maka dia akan menempati ruangan ibunya, bukan?             Perayaan yang akan dilanjutkan setelah jam kantor berakhir itu usai dengan cepat. Semua orang kembali ke bilik kerjanya masing-masing. Charlotte mulai sibuk merapikan semua barang-barangnya dengan dibantu Gina.             “Enak sekali, kau mendapatkan ruangan dimana kau bisa memiliki sofa sendiri.” Gina menggerutu.             “Kalau begitu, kau tukar tempat saja denganku. Mrs. Halley juga akrab denganmu, aku yakin dia tidak akan keberatan.”             “Tidak. Akan merepotkan kalau Dave itu jatuh cinta padaku.”             “Ha! Kalian cocok. Sama-sama terlalu percaya diri,” ejek Charlotte. Ia menumpuk asal barang-barangnya yang memang tidak terlalu banyak ke dalam kotak besar yang disediakan kantor. Kebanyakan yang memakai kotak sejenis ini adalah mereka yang dipecat.             “Trims, Gina. Aku bisa membawanya sendiri,” kata Charlotte saat Gina hendak membantu mengangkat kotak itu.             “Benarkah tidak apa-apa?” tanya Gina memastikan. Melihat Charlotte mengangguk mantap, ia menggidikkan bahunya, “Baiklah kalau begitu. Selamat menikmati ruangan barumu. Jangan lupa perintah bos baru itu.”             “Beres,” Charlotte mengucapkan kata itu dalam satu tarikan napas yang hampir bernada muak, sebelum ia melesat keluar dari ruangan divisi yang tidak lagi menjadi divisinya terhitung hari ini. Ia akan bekerja di lantai teratas dari gedung ini. Di dalam ruangan yang berdekatan dengan ruangan Mrs. Halley. Ruangan yang lebih luas, dan lebih private. Ia tidak perlu khawatir kalau-kalau ada orang yang seenaknya memakai peralatan makannya atau mengambil alat tulisnya tanpa izin lagi seperti yang biasa terjadi padanya saat masih berada di divisi itu.             Charlotte memasuki lift sendirian. Ini adalah jam-jam sibuk pegawai hingga jarang sekali ada yang berkeliaran meninggalkan ruangannya. Hanya Charlotte dan Gina saja yang bertingkah berbeda dibanding yang lain. Mungkin itu sebabnya mereka jadi bersahabat karib, karena cocok. Sekarang, Charlotte harus menyesuaikan kadar kecocokannya dengan orang lain sampai waktu yang ditentukan. Dave, Charlotte hanya bisa berharap, paling tidak mereka tidak akan terlibat pertengkaran konyol karena berbeda pemahaman. Seperti yang dirasakannya, ia dan Dave tidak memiliki gelombang yang pas. Jadi kecil kemungkinan cara berpikir mereka akan sama.             Pintu lift terbuka bersamaan dengan bunyi ‘ting’ lift. Lantai paling atas adalah sebuah ruangan besar tanpa pintu yang memiliki dua ruangan di dalamnya. Hanya ada tiga orang saja yang bekerja di atas sini; pemimpin perusahaan, sekretarisnya, dan seseorang yang bertugas sebagai resepsionis. Saat ini Mrs. Jules yang mengisi posisi respsionis itu sedang sakit. Dua hari yang lalu, Charlotte sempat menjenguknya bersama Gina. Sakitnya tidak terlalu parah, tapi ia butuh istirahat. Mungkin, dua hari lagi wanita paruh baya itu akan kembali bekerja.             Charlotte masuk ke dalam ruangan yang masih bertuliskan nama Mrs. Joy di papan penanda yang ditempel di pintunya. Ruangan ini seluruhnya terbuat dari tembok kaca, dan hanya ditutupi gorden otomatis yang bisa menutup dan membuka sendiri dengan bantuan remote. Di atas meja kerjanya tidak ada lagi barang-barang Mrs. Joy yang tersisa. Charlotte hanya perlu mengelap mejanya sebentar, lalu menata barang-barangnya di atas meja. Memasukkan beberapa dokumen penting ke dalam laci meja yang terkunci dengan pasword digital.             Setelah semuanya dirapikan dengan sempurna. Charlotte bergerak keluar dari ruangannya  menuju ruangan Mrs. Halley yang berdepanan dengan ruangannya sendiri. Ia mengetuk pintu itu, menunggu sampai terdengar suara “Masuk,” Dave dari dalam.              Charlotte membuka pintunya, kemudian masuk, menghampiri Dave, “Kau memanggilku?”             “Kau sudah selesai memindahkan barang-barangmu dari bilik itu?”             “Sudah. Aku bahkan sudah menata mejaku,” jawab Charlotte datar. “Jadi, Sir. Ada apa memanggil saya tiba-tiba?” Charlotte mendadak merubah bahasanya menjadi lebih sopan dan itu mengundang tawa Dave.             “Kau tidak cocok berbicara denganku seperti itu. Bersikaplah seperti kau yang biasanya..., seperti saat kemarin kau marah-marah padaku,” kata Dave. Ia mengeluarkan sesuatu dari laci meja kerjanya. Sebuah amplop cokelat tanpa keterangan apa pun. “Bukalah.”             Charlotte mengambil amplop yang disodorkan Dave, lalu merobek ujung amplop dengan jari-jari rampingnya yang berkuku pendek. Charlotte tidak pernah absen memotong kukunya setiap minggu. Dia tidak suka memanjangkan kukunya, karena itu menghalangi aktifitas mengetik pekerjaannya.             Ia mengeluarkan beberapa kertas-kertas dan sebuah paspor. Itu paspor miliknya. Dia jadi ingat, seminggu yang lalu, Mrs. Halley meminta dirinya menyerahkan paspornya pada Mrs. Halley tanpa mengatakan tujuannya. Charlotte mengira itu untuk urusan kantor, dan sepertinya dugaannya benar. Ada jadwal perjalanan bisnis yang terlampir di kertas-kertas di dalam amplop itu.             “Kita akan pergi ke Paris besok pagi.”             Charlotte menatap Dave dengan terkejut. Matanya mengerjap-ngerjap bingung, butuh beberapa menit sebelum akhirnya ia memekik, “Apa?! Kenapa tiba-tiba? Aku belum menyiapkan apa pun—aku bahkan tidak tahu perjalanan bisnis macam apa yang akan kita lakukan besok!”             “Charlotte...” Dave menatap Charlotte tajam. “Tenanglah, segala sesuatunya sudah disiapkan. Aku sudah mengirimkan email apa-apa saja yang perlu kau siapkan.” Kata Dave. “Kau hanya perlu menemaniku dan memastikan semuanya berjalan baik sesuai jadwal.”             Charlotte teringat salah satu perkataan Mrs. Halley tentang Dave. Pria ini memang sangat optimis terhadap segala hal yang terjadi di dalam hidupnya. Tiba-tiba ia merasa iri tidak bisa seoptimis itu untuk beberapa hal, contohnya ini. Sesuatu yang terjadi serba dadakan bukan gaya Charlotte sama sekali. Tiba-tiba banyak sekali kejutan yang hadir padanya semenjak bertemu Dave kemarin. Di mulai dari pindahnya Mr. Key yang kemudian digantikan oleh Dave, naik jabatan menjadi sekretaris secara tidak masuk akal, dan sekarang ia baru saja diberitahu akan pergi ke Paris besok. Entah apa yang akan terjadi lagi dikemudian hari.             “Siapkan semua kebutuhanmu. Besok pagi, aku akan menjemputmu di apartemen.” Dave menatap Charlotte; gadis itu sedang berdiri kaku dengan pandangan kosong. Sepertinya banyak yang ia pikirkan di dalam kepalanya. “Kau mendengarku?”             “Ah? Ya..tentu saja.” kemudian dia bersiap meninggalkan ruangan Dave. Hanya beberapa langkah sebelum mencapai pintu, Charlotte menoleh kembali pada Dave, “Hei, memangnya kau tahu dimana apartemenku?”             Dave menyimpulkan senyumnya yang mulai akrab di mata Charlotte, “Kemarin aku mengikutimu dari belakang saat kau pulang dari apartemenku.”             “Aah... it looks like our new boss is a stalker.” timpal Charlotte dengan suara manis yang dibuat-buat.             “Stalker? Sepertinya itu cukup seksi untuk sebuah permainan imajinasi...” Dave seolah berpikir sejenak lalu mendekati Charlotte perlahan, pandangannya mengintimidasi wanita itu.             “Jadi kau memang seorang stalker sejati...kau bahkan rela menghentikan aktifitas panasmu itu hanya untuk mengikutiku pulang?” Charlotte mundur perlahan. Pintu yang tadinya sudah terbuka, kembali tertutup oleh punggung Charlotte. Ia menahan napasnya saat pria itu berjarak hanya beberapa senti saja dari tubuhnya. “Jangan macam-macam...”             Dave menyeringai. Ia menarik tubuh Charlotte menempel pada tubuhnya, merangkulkan lengan kokohnya di belakang bahu gadis yang pipinya mulai bersemu merah itu. Suara 'ceklek' pintu terdengar. “Aku hanya ingin membukakan pintu untukmu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN