Chapter 6

1413 Kata
"Ada-ada aja si Poko itu." Gaishan melebarkan lubang hidungnya kesal. "Ppffttt!" Nibras, sepupu Gaishan menahan tawa. "Huuhh, untung sayang sama si Poko, kalau nggak udah aku, hum!" Gaishan menggertakan giginya. Saudara lelaki yang lain menahan tawa. Setelah Popy menelepon, seluruh ponsel saudaranya mendapat telepon dari orang tua mereka masing-masing, kecuali Nibras, anak Farel Nabhan, cucu dari Agri Arelian Nabhan. "Makanya hati-hati kalau mau berbuat sesuatu di depan Poko, udah tahu kalau dia panik gitu pasti lapor om Randra." Celetuk Alamsyah. Ari dan yang lainnya geleng-geleng kepala. "Untung saja kita nggak disuruh balik oleh om Randra," Ibrahim bernapas lega. "Apalagi hari senin aku mau pindah tugas." Lanjut dia. "Ppfftt!" Ghifan menahan tawa. Sedangkan Alan dan dua saudaranya mendatarkan wajah mereka, cukup sudah seminggu lalu ayah mereka terlihat bengis di depan mereka, jangan lagi sekarang. Mereka bertiga benar-benar kapok, takut kalau terjadi apa-apa dengan kakak perempuan mereka. Mungkin saja para tetua Basri akan menggiling kepala mereka jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh Popy. "Huuuhh..." tiga bersaudara itu menghembuskan napas lega. "Aku hanya tahu kalau om Randra sangat memanjakan Popy, tapi...ini benar-benar diluar dugaanku." Nibras berbicara. Yang lain melirik ke arah Nibras. "Ini melebihi memanjakan, hm...melindungi," lanjut Nibras. Saudara yang lain mengangguk serempak. "Sudahkan kau melihat kakekmu begitu memanjakan dan melindungi nenekmu Lia?" Alamsyah bertanya ke arah Nibras dan Gaishan. Nibras, Gaishan dan Ghifan mengangguk serentak. "Tentu saja." Jawab mereka serentak. Alamsyah manggut-manggut. "Nah, kurang lebihnya saudara perempuan kami, Poko juga seperti itu." Nibras manggut-manggut. "Aku penasaran, apa yang akan terjadi jika nanti sepupu kalian menikah." Alamsyah, Alan, dan saudara lainnya melirik ke arah Nibras. "Kurang lebih akan seperti anak dari pemimpin perusahaan Ruiz." Celetuk Ghifan. Nibras mengerutkan keningnya. "Memangnya ada apa dengan anak dari pemimpin perusahaan Ruiz?" "Sshh..." Alan dan saudara yang lainnya menghembuskan napas lelah. "Jangan bahas dia, aku sekarang sedang dalam mood kurang bagus." Gaishan mencibir. "Oh...ok." Sahut Nibras. "Sudah  jam sembilan, kita tidur saja, besok baru kita melakukan sesuatu yang sudah diagendakan." Ujar Ariansyah. Yang lainnya mengangguk dan ada juga yang menggeleng. "Sebaiknya jangan tidur dulu, ada game terbaru yang ingin aku mainkan dengan Bilal." Ujar Gaishan. Bilal mengangguk. "Hem, ayo Shan, mumpung sekarang masa tenang," ajak Bilal. Gaishan mengangguk. ♡♡♡ "Cari siapa?" "Hak!" "Ooh ternyata manusia," Popy mengusap d**a sebelah kirinya. Nibras tersenyum ke arah Popy. "Mencari siapa?" "Kamarnya Alan, Bilal dan Liham di sebelah mana yah?" Popy bertanya. "Ehm...saudaramu?" Popy mengangguk. "Mereka di kamar itu, kalau yang lain di kamar sebelahnya." Jawab Nibras sambil menunjuk beberapa kamar di dalam vila milik ayahnya. Popy manggut-manggut. "Jadi kamar di samping kiri yang Poko pakai itu kosong?" Popy bertanya ke arah Nibras. Nibras menggeleng. "Itu kamarku." Dia tersenyum ke arah Popy. "Eh?! Poko kira sebenarnya kamar yang ini harusnya ada kak Alam." "Tapi itu selalu kamarku." Ujar Nibras. Popy cemberut. "Nggak bisa kak Alam di kamar ini, tukaran saja dengan kakak." Nibras tersenyum geli. "Well...jika kau tidak keberatan aku bisa menumpang satu orang lagi dikamarku." "Mungkin salah satu sepupumu." Popy terlihat berpikir. "Siapa yah..." "Begini saja, bagaimana kalau Gaishan saja?" tanya Nibras. Popy terlihat berpikir. "Nabhan, kan?" Nibras mengangguk. "Kau tahu?" Popy mengangguk. "Kalau tidak salah ingat," "Kau mengingatku?" Nibras bertanya. Mereka sedang berdiri sambil bersandar pada pembatas tangga. "Sudah lama." Ucap Popy. Nibras tersenyum lebar. "Ok, kita berkenalan, namaku Nibras Arelian Nabhan, aku adalah saudara sepupu Gaishan, sepupumu itu." Popy manggut-manggut. "Poko sudah tahu kalau kakak ini sepupunya Gaishan." Nibras tersenyum cerah. "Lalu...ehem...kau sendiri?" "Popy Aira Basri, tapi panggil saja Poko." Popy menjawab. Nibras mengangguk. "Nama panggilanmu? Tapi kupikir nama Popy lebih enak didengar." Ujar Nibras. Popy menggeleng lalu ia melototkan matanya. "Nanti Poko lapor ayah Ran loh, kalau kak Nibras ini bilang nama Poko itu nggak bagus." "Eh...bukan itu maksudku, maksudku aku lebih suka memanggilmu Popy dari pada Poko." Nibras membenarkan maksudnya. Popy mengangguk. "Ok, panggil saja Popy," Nibras mengangguk lega. "Lalu kamu masih ingin mencari kakak sepupumu?" Popy mengangguk. "Ayah Ran bilang kalau kamar Poko harus ada di tengah antara kamar kak Alam dan Alan." "Bisa digantikan dengan Gaishan kan?" Nibras bertanya. "Bisa, sama saja sebenarnya." Popy mengangguk. "Ok, kita kesana saja, aku sebenarnya ingin berbicara lebih denganmu, boleh?" "Tentu saja boleh, memangnya kak Nibras mau bicara apa sih?" Mereka berjalan menuju balkon vila. "Begini, aku dengar kamu kuliah di jurusan manajemen bisnis?" Nibras bertanya sambil duduk di kursi. Popy mengangguk. "Ya, baru semester satu." "Hah?" Nibras melirik kearah Popy memasang tampang cengo. "Bukannya kamu ini kakak dari Alan?" Popy mengangguk. "Memang Poko kakak dari Alan, Alan duluan yang lulus kuliah," "Heh? Kok bisa?" Nibras terheran-heran. "Kita lulus SMA bersama, tapi Poko kuliah baru tahun ini, tahun-tahun yang lalu Poko masih...hm..." Popy terlihat berpikir. Apakah dia akan memberitahukan bahwa dia memfokuskan dirinya dalam mengejar Ben ataukah tidak. "Pertanyaan yang lain saja, pass." Ujar Popy. "Pfft!" Nibras menahan tawa. "Ok. Hm...bagaimana dengan keluargamu? Maksudku sepupu-sepupumu yang disini, darimana kalian bersaudara?" "Oh...itu," Popy mengangguk. "Kak Ibrahim itu anak satu-satunya tante Cika dan om Adam." Ujar Popy. "Nah, tante Cika itu sepupu bunda Momok, kakek Jamal, ayahnya tante Cika itu adalah kakak dari kakakekku, ah...begini, ayahnya tante Cika itu bersaudara dengan kakek Mochtar, ayah dari bunda Momok." Lanjut Popy menjelaskan. Nibras terlihat manggut-manggut. "Kak Rahim ikut jadi tentara soalnya kakek Jamal juga tentara, kalau kak Alamsyah dan Ari itu anaknya Om Agil dan tante Riandri, om Agil itu kakaknya bunda Momok. Itu yang polisi." Ujar Popy. "Makanya kak Alam jadi polisi ikut om Agil tapi kalau Ari katanya mau jadi dokter saja ikut tante Riandri." Nibras mendengarkan sambil manggut-manggut. "Terus ada Gaishan, Ghifan dan Bushra, pasti kak Nibras tahu anaknya siapa, ya kan?" Popy melirik ke arah Nibras. Nibras tersenyum sambil mengangguk. "Tahu." "Anaknya tante Gea dan om Busran." "Tante Gea itu adiknya mama kamu kan?" Popy mengangguk. "Itu tahu kan." Nibras tersenyum. "Om Busran itu adik papaku." Popy mengangguk. "Tahu. Nabhan kan?" Nibras mengangguk. "Pintar." "Hehehe...kak Nibras bisa saja." Popy menyengir. "Oh iya, lupa Aliza." Ujar Popy. "Yang pakai baju biru tadi itu namanya Aliza, nah itu anaknya om Gilan dan tante Anindya. Om Gilan dan tante Gea itu kembar." Ujar Popy. Nibras manggut-manggut. "Pernah dengar, jarang punya kembar beda kelamin." "Kakak dari nenek aku juga kembar, tapi kembar laki-laki." Ujar Nibras. "Aku juga punya saudara kembar, tapi perempuan, hm...tiga tahun di atasku, nama mereka Daniah dan Diyanah." Popy manggut-manggut. "Oohh padahal kak Nibras ini juga punya saudara kembar?" Nibras mengangguk. "Gaishan dan Ghifan mereka juga kembar, mungkin gen bawaan dari tante Gea dan om Bushran, mengingat ada riwayat gen kembar di keluarga kami." Popy mengangguk. "Iya benar." "Untung aja kak Nibras nggak punya kembaran, yah." Ujar Popy. Nibras tersenyum. "Memangnya kenapa kalau aku punya kembaran?" "Terlalu banyak wajah yang sama dalam rumah, bosen lihat terus, nggak ada freshnya." "Hahahaha!" Nibras terbahak. "Iya juga yah." Nibras membenarkan. "Berarti kamu sudah bosan lihat wajah Gaishan dan Ghifan?" "Hehehe! Sekali-sekali." Popy cengir tanpa dosa ke arah Nibras. "Astagfirullahaladzim!" Popy yang sedang menyengir terjungkal kaget. "Gaishan! Ngagetin Poko aja ah!" Popy melotot ke arah Gaishan yang memandanginya datar. "Ooohh...jadi Poko udah bosan lihat wajah aku? Hm!?" Gaishan ikut melotot. "Ish...sembarangan, Poko nggak bilang gitu." "Ah bohong, tadi jelas-jelas aku dengar sendiri kok." Alamsyah muncul dari belakang Gaishan. "Kalau Poko bosan lihat wajah kamu memangnya kenapa? Aku juga bosan lihat wajah kamu, lubang hidung besar kaya gitu, ngupil sembarangan." Alamsyah mencibir di sebelah kanan Gaishan. "His...kak Alam ngagetin aja." Celetuk Gaishan. "Ngapain kalian berdua?" Ibrahim memandang tajam ke arah Nibras dan Popy. "Oh kak Rahim, kak Nibras dan Poko sedang berbicara lebih." Jawab Poko santai. Nibras mengangguk membenarkan. "Berbicara lebih apa? Jangan modus-modus yah." Ibrahim melirik ke arah Nibras. "Halah, terlambat kamu kak Rahim, sudah dari tadi dia modus-modus." Celetuk Gaishan. "Ck!" Nibras berdecak ke arah Gaishan. "Heum, apa? Benar kan? Ambil kesempatan dan kesempitan aja kamu kak Ibas." Ujar Gaishan sambil duduk di dekat Popy. Popy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Poko, sudah jam sepuluh, jangan bergadang, nanti om Randra marah." Alamsyah menutup tubuh Popy dengan sweaternya. "Hm..." Poko menyahut. "Ayo tidur." Alamsyah ikut duduk di sebelah kiri Popy. "Nanti Gaishan tidur disebelah kamar kiri kamu, kanan ada Alan, Bilal, nanti di sebelah kamar mereka kak Alam dan yang lainnya." Alamsyah menjelaskan. "Ok, Poko masuk yah, dadah semuanya." Popy berjalan memasuki kamarnya. "Jangan lupa pintunya di kunci." Alamsyah mengingatkan. Popy mengangguk tanda mengerti tanpa berbalik ke arah Alamsyah. Sepeninggal Popy, Gaishan, Alamsyah dan Ibrahim duduk bergabung bersama Nibras. "To the point saja, anda menyukai adik sepupu saya kan?" Alamsyah memulai pertanyaannya. Nibras menaikan sebelah aliasnya. "Interogasi?" "Bisa dibilang begitu." Ujar Alamsyah. Lalu Nibras melirik ke arah Ibrahim dan Gaishan yang sedang memandangnya serius. "Shh..." Nibras mengambil napas. "Apakah kalian keberatan?" Alamsyah memandang ke arah Nibras serius. "Jika kakak perempuanku bisa menyukaimu tanpa paksaan, kenapa harus?" Nibras menoleh ke arah Alan yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Terlihat juga Ghifan sedang memasukan kedua telapak tangannya ke saku celana yang dia pakai. "Jadi...tanpa paksaan?" Nibras melirik ke arah mereka semua. "Nibras Arelian Nabhan, pewaris masa depan Nabhan Corporation and Resort, dua puluh empat tahun, master manajemen bisnis pada umur dua puluh dua tahun, prestasi cumlaude berturut-turut, sekarang merupakan pemimpin Nabhan's Bank, salah satu anak perusahaan dari Nabhan Corporation." Alamsyah memandang ke arah Nibras. "Hm." Nibras tersenyum kecil ke arah Alamsyah. "Tidak heran, kamu menjadi salah satu anggota Divisi Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepolisian di Mabes Polri yang berbakat mengikuti ayahmu Insperktur Jenderal Polisi Mochtar Agil Baqi, baru satu tahun lulus dari akademi kepolisian, sekarang Inspektur Polisi Dua Alamsyah Mochtar Baqi dua puluh tiga tahun." Alamsyah tersenyum kecil ketika mendengar penuturan dari Nibras. "Tidak perlu basa-basi." "Ya, saya menyukai adik, saudara perempuan kalian, Popy Aira Basri." ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN