Chapter 7

1723 Kata
"Ben, kamu tidak sarapan? Mau kemana?" Mali bertanya ke arah Ben. "Ben akan ke kantor." Jawab Ben. Mali mengerutkan keningnya. "Ini hari sabtu, akhir pekan, istirahat dirumah saja." Ujar Mali. Ben menggeleng. "Ada sesuatu yang harus Ben urus, ada rapat hari ini." Mali mengangguk. Sebelum kaki Ben menjauh dari ruang makan, Mali memanggil. "Ben," Ben berbalik. "Mama tahu apa yang kamu mau, jangan paksakan kehendak papa kamu," Ben memandangi ibunya dengan ekspresi terkejut. Dia tidak berbicara. "Sshh..." Mali mengambil napas. "Ben," Ben memandangi ibunya diam. "Bukan hanya Tinar Group yang bisa membantu perusahaan Ruiz Food Company, ada yang lain, om kamu juga bisa bantu," ujar Mali. "Mama tahu, Tinar Group bukan perusahaan kecil, tapi..." ucapan Mali terhenti. Mali yang berdiri di sudut meja makan menekan telapak tangannya kuat. "Tapi..." Mali membuang wajahnya ke arah lain. "Penyesalan itu pasti ada." Ujar Mali. Ben memandangi ibunya yang terlihat tertekan. "Sshh..." Mali terlihat menghirup udara di sekitarnya. "Mama tidak pernah menyesal sedikitpun ketika menikah dengan papa kamu, meskipun diusia yang begitu muda." Ujar Mali. "Mama justru bersyukur papa kamu melepaskan sebagian masa depannya yang cerah karena menikah dengan mama, melepaskan kesempatan yang besar untuk bisa menjadi pemimpin perusahaan terbesar di Spanyol," "Tapi bukan berarti mama senang dengan semua itu." "Awal mama dan papa kamu bertemu di Kordoba, mama adalah mahasiswa baru disana, mama kuliah disana dan bertemu ayahmu." Ujar Mali mengingat masa lalu. "Papa kamu mengalah dan ingin ikut kepercayaan mama, bahkan dia melepaskan pabrik pengolahan anggur terbesar di Spanyol karena alasan mama yang tidak menyukai itu," lanjut Mali. "Disitulah pukulan terbesarnya ketika sepupunya mengambil alih pabrik pengolahan anggur itu, melihat papa kamu dalam situasi yang tidak stabil, mereka selalu berencana menyenggol kepemimpinan papa kamu." "Keluarga Ruiz, mereka itu munafik, jangan kira mama tidak tahu bahwa disetiap anggota keluarga Ruiz itu memiliki hati yang hitam, mama juga berpikir papamu seperti itu, namun melihat usaha papamu sampai sekarang, mama membuang jauh-jauh pikiran itu." "Papa kamu ingin kita selalu aman, jika dia jatuh atau lengser dari dewan direksi Ruiz Company, maka orang-orang akan membuka gigi mereka tertawa senang." "Itulah yang kamu lihat ketika dari kecil sampai remajamu, bodyguard sudah terlalu banyak." "Mama tahu, cara papa kamu mendidik kamu agak keras dan tegas, tapi itu mungkin karena masa lalu dan pengalamannya hidup didalam keluarga Ruiz ketika muda." Lanjut Mali. "Meskipun papa kamu adalah anak sah satu-satunya kakek kamu, tapi anak haram kakek kamu juga tidak sedikit, belum lagi ditambah dengan sepupunya yang lain." Mali masih melihat ke tempat lain, ia tak mau melihat ekspresi anaknya. "Mama tidak melarang kamu untuk berkorban, tapi kamu harus tahu," "Berkorban itu tidak perlu menyakiti batin kita sendiri, ketika penyesalan itu datang, kamu sudah terlambat." Tak Tak Hap Ben memeluk ibunya. "Apa yang telah kamu lakukan, siapa yang kamu singgung dan perasaan siapa saja yang kamu sakiti." Tutup Mali mengakhiri ceritanya. "Ben mengerti." ♡♡♡ "Hei," "Sut!" "Ck! Masih molor." "Kak Gaishan apa-apaan sih bangunin kak Poko? Biarin aja kak Poko tidur, nanti juga bangun sendiri." Bushra terlihat menyisir rambutnya. Aliza terlihat sedang berjalan ke kamar mandi. "Udah jam delapan woy! Mau jam berapa kita pergi ke kebun vila ini?" Gaishan menongka dagunya di pinggir tempat tidur yang ditiduri Popy, pemuda 22 tahun itu  berbaring miring. "Kak Gaishan biarin aja kak Poko tidur, jangan di ganggu, kata mama kalau bangunin paksa orang dari tidur itu nggak baik." Aliza bersuara dari kamar mandi. "Justru kalau tidur kesiangan itu nggak baik," "Anak gadis kalau bangun kesiangan nanti rejekinya di patuk ayam--oh! Bangun juga rupanya." "Hiiss...Gaishan nih selalu saja tukang ganggu, jahil terus." Popy bangun seketika dari tidurnya. "Mandi, mandi sana, bau surga tak sanggup ku cium," Gaishan menjauhkan kepalanya dari Popy. "Ck!" Popy mendecak ke arah Gaishan. "Keluar!" "Hahahaha!" ♡♡♡ "Baik, kami dari India Food akan bekerja sama dengan Ruiz Food Company, kami juga tidak punya banyak hak dan keputusan karena perusahaan kami sudah diakuisisi oleh Ruiz Food Company satu tahun lalu." Seorang pria paruh baya memandang ke arah Ben. Ben terlihat mengangguk. "Hari ini kita sudah menyelesaikan rapat mengenai pemindahan saham dari India Food ke Ruiz Food Company, hari senin adalah penandatanganan surat pernyataannya." Pria paruh baya itu mengangguk tanda mengerti. "Kami tidak ada syarat yang diajukan, hanya ada beberapa itupun hanya sebagai formalitas saja." Ben mengangguk. "Kalau begitu sampai disini saja pertemuan kita, hari senin kita akan bertemu di ruangan yang sama lagi." "Baik, tuan." Pria paruh baya itu mengangguk lalu dia berdiri dan berjabat tangan dengan Ben. "Saya permisi." Pamit pria paruh baya itu. Ben mengangguk. Sepeninggal pria paruh baya tadi, Sasha membereskan beberapa dokumen yang ada di atas meja sofa di ruangan Ben. "Bagaimana dengan Aladin Company? Apakah mereka telah memberi kabar?" Ben bertanya. Sasha yang sedang mengangkat dokumen terhenti. "Aladin Company masih meminta waktu." Ben menaikan sebelah alisnya. "Sudah satu minggu dan masih meminta waktu? Hem." Ujar Ben sinis. Sasha hanya diam. "Aku rasa mereka tidak berniat untuk menganggapi permintaan kita." Ujar Ben bangkit dari kursi sofa dan berjalan duduk ke kursi kerjanya. "Kau boleh pulang, ini akhir pekan." "Terima kasih tuan." Sasha keluar sambil membawa file dokumen di tangannya. Sepeninggal Sasha, Ben terduduk di kursi sambil menarik napas gusar. "Sshh...huuff..." "Aku tidak pernah menyinggung Farikin maupun Nabhan," gumam Ben. "Begitupun juga dengan Anggara dan Naran," lanjut Ben bergumam. Ben terlihat berpikir. Drrtt drrtt Ben merogoh ponselnya. "Halo, om." "Ada yang ingin om bicarakan denganmu, datanglah ke rumah." Terdengar suara seorang lelaki paruh baya di seberang telepon. "Baik, Ben ke sana." Ujar Ben. ♡♡♡ "Kak Alam! Kak Alam! Hari ini kita mau ke belakang vila ini kan?" Popy bertanya antusias kearah Alamsyah. Alamsyah mengangguk. "Ada kebun bunga dan kebun sayur di belakang vila ini," ujar Gaishan. Popy manggut-manggut. "Ok, kita pergi, tapi Poko mau bawa topi dan kain bali ah." Gaishan mengerutkan keningnya. "Mau ngapain bawa topi dan kain bali?" "Yah kan kita mau panen kentang, wortel, sayur dan bunga juga." Popy menjawab. "Sssuusss..." Gaishan membuang napasnya kasar seperti banteng. "Yang ada kalau mau panen sayur di kebun itu pakai keranjang dan penggali, panen sayur kok pakai topi dan kain bali, memangnya kamu mau piknik santai di pantai?" Popy mendelik ke arah Gaishan. "Nggak pernah senang dengan kesenangan orang lain." "Pfftt!" Ariansyah menahan tawa. "Penghancur kebahagiaan orang." Popy mencibir, lalu setelah itu dia memakai topi piknik dan berjalan ingin mengambil kain bali. "Ck!" "Untung sayang." Gaishan berdecak ke arah Popy yang sedang menaiki tangga. "Hehehe, dibawa santai sajalah, Shan. Kamu tahu kan memang begitu sifat Poko, nggak ada gunanya kamu berdebat dengan dia, yang ada kamu malah cari celaka sendiri." Ibrahim menepuk-nepuk punggung adik sepupunya. "Nasib punya saudara perempuan, semuanya serba benar, kita serba salah." Ujar Gaishan. "Yah suka-suka kak Poko lah mau pakai topi dan kain bali ke kebun, buat saja dia senang, daripada kejadian tadi malam terjadi lagi, kita disuruh pulang." Ariansyah memandang ke arah Gaishan sambil tersenyum geli. "Hem..." Gaishan menghembuskan napas kasar bantengnya. "Kak Gaishan, kak Poko mana?" Aliza mencari Popy. "Di atas, lagi cari kain bali." Jawab Gaishan. "Eh?! Buat apa kain bali?" Aliza cengo. "Buat piknik." Sahut Gaishan. "Ini kan puncak, mana ada pantai untuk piknik?" Aliza terbingung. "Piknik di kebun." Celetuk Ari. "Hoh?!" Aliza cengo. ♡♡♡ "Mencari apa?" "Hak!" "Huuff! Kak Ibas suka ngagetin Poko aja." Ujar Popy ke arah Nibras. Nibras tersenyum ke arah Popy. "Terlalu serius." "Sedang mencari apa?" "Dari tadi kamu bolak balik kamar ini dan kamar saudara-saudaramu." "Ini loh, Poko cari kain bali, tapi kain balinya nggak ada, Poko nggak bawa, pas Poko cari ke kamar Alan dan Bilal juga nggak ada, mereka nggak bawa kain bali." Jawab Popy. "Heh?!" Nibras mengerutkan keningnya. "Memangnya kain bali untuk apa?" "Poko mau pakai buat pergi ke kebun panen sayur di belakang vila ini." Jawab Popy. "Hah?!" Nibras terlihat cengo. "Em..." pemuda 24 tahun itu terlihat berpikir. "Memang disini tidak ada kain bali mengingat disini kan bukan pantai," ujar Nibras. Wajah Popy berubah cemberut. "Tapi kita bisa mendapatkan kain bali segera, pengecualian untukmu," lanjut Nibras. Popy membulatkan matanya senang. "Benar?" "He'em." Nibras mengangguk. "Tapi mungkin kau harus menunggu beberapa menit." "Tidak masalah," Popy menggeleng senang. Nibras tersenyum. "Tunggu sebentar, disini jangan kemana-mana." Ujar Nibras. Popy mengangguk. Nibras membalikan badannya lalu dia merogoh ponselnya, terlihat dia sedang memanggil seseorang, beberapa detik kemudian panggilan tersambung. "Saya tuan," sahut orang diseberang telepon. "Dalam sepuluh menit aku sudah melihat satu lusin kain bali di vila puncak kakek Agri." Klik Nibras memutuskan panggilannya setelah dia mengutarakan niatnya. Sret Nibras berbalik ke arah Popy dan tersenyum manis. "Sedikit lagi, kita duduk disana." Popy mengangguk. ♡♡♡ "Aduh! Poko mana sih? Ini udah jam sembilan, mau jam berapa kita ke kebun? Panas!" Gaishan bersungut di teras belakang vila. "Hm..." Aliza dan Bushra sibuk bermain game di ponsel mereka. Terlihat saudara-saudari Popy yang sedang menunggu Popy muncul, Liham yang paling sering melirik jam tangannya. "Kak Poko niat ke kebun nggak sih? Kok nggak muncul-muncul." Ariansyah bersandar di kursi kayu. Gaishan mencibir ke arah Ariansyah. "Biarkan sajalah Poko seperti itu, buat dia senang, kamu kan yang bilang? Heh malah ikut bersungut." Ariansyah mengambil napas. "Sshhh..." "Katanya kita mau buat acara barbecue, mana acara barbecue? Jam berapa acara barbecue?" Gaishan bersungut. "Bersungut terus, tidak apa-apa, tidak ada yang marah, tapi kalau Poko dengar, kamu tanggung sendiri resikonya." Alamsyah memainkan ponselnya. Gaishan yang mendengar ucapan sang kakak sepupu hanya melebarkan lubang hidungnya. Tak lama kemudian langkah kaki dan suara celoteh riang seorang gadis terdengar. "Makasih yah kak Ibas, udah mau bawa kain bali buat Poko." "Poko jadi malu kan nyusahin kak Ibas." Nibras tersenyum manis ke arah Popy. "Tidak masalah, bukan masalah serius." Popy tersenyum girang. "Untung aja ada kak Ibas." Gaishan dan yang lainnya memandang cengo ke arah datangnya Nibras dan Popy. "Mereka barengan." Celetuk Gaishan. Arianyah mengangguk. "Ketawa bareng lagi." "Secepat itukah?" Alan terlihat cengo. "Kak Ibas lancar banget." Cengo Ghifan. Sedangkan Alamsyah dan Ibrahim yang melihat interaksi antara Nibras dan Popy, memandang serius ke arah mereka. ♡♡♡ "Om sudah dengar dari ibumu bahwa ada beberapa perusahaan besar yang memutus kontrak kerja sama dan menarik dana mereka dalam investasi perusahaanmu." Ujar pria paruh baya yang berusia 57 tahun. Ben mengangguk. "Kejadiannya sudah seminggu lebih." Ruslan Darlan, sang kakak dari ibu Ben memandang keponakannya serius. "Apakah kamu tahu siapa yang telah  kamu singgung?" Ben terlihat berpikir. "Farikin, Nabhan, Anggara dan Naran, Ben berpikir tidak pernah menyinggung mereka." "Benar?" Ben mengangguk. "Sudah kau telusuri mengapa mereka membatalkan kerja sama mereka?" Ben terlihat berpikir. "Mereka membatalkan kontrak kerja sama dengan membayar biaya denda atas pelanggaran kontrak, tidak ada alasan yang jelas." Ruslan mengangguk. "Berarti kau menyinggung salah satu dari mereka." Ben mendongak ke arah pamannya. Terlihat jelas kerutan di kening pria 29 tahun itu. "Tapi selama ini kerja sama kita selalu baik, hubungan kerja sama selalu diikuti oleh itikad baik." Ujar Ben. Ruslan memandangi Ben. "Sudah kau telusuri hubungan mereka?" Ben menggeleng. "Disitulah kesalahanmu." Ujar Ruslan. Ben memandang serius ke arah Ruslan. Lalu Ruslan terlihat membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebuah file. Sret Dia menyerahkan file itu ke arah Ben. Ben meraih file itu dan membukanya, dia terlihat membaca serius file itu, setelah pertengahan file dibaca oleh Ben, mata pemuda itu terbelalak. "Busran Afdal Nabhan, ibunya merupakan putri bungsu Farikin's Food, ayahnya adalah penguasa Nabhan Corporation," ujar Ruslan. "Busran Afdal Nabhan, Dwi Putra Anggara, dan Naran Taranta, mereka merupakan lulusan sekolah SMA Socien di Yayasan Basri School, tempat yang sama ketika ibumu lulus dari sekolah itu, dan tahun yang sama mereka bersama-sama lulus, tiga puluh dua tahun yang lalu." Sambung Ruslan. Ben menutup file yang telah ia baca. Lalu ia memandang ke arah Ruslan. "Basri." Ujar Ben. "Kamu telah menyinggung Basri." ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN