Sementara Delon masih bergulat dengan pikirannya sendiri di kamar hotel—bingung, kesal, sekaligus tak mau jujur kalau hatinya mulai terbawa—Keira justru melangkah masuk ke rumah keluarganya dengan langkah ringan.
Pagi itu, sepatu hak tingginya berdetak pelan di atas lantai marmer krem ketika ia masuk. Gaun cheongsam satin hitam yang masih ia kenakan dari hotel membingkai siluet tubuhnya dengan elegan. Rambutnya masih setengah kering, diikat rapi ke atas. Satu tangan menggenggam tas kecil, tangan lainnya memegang ponsel dan boarding pass digital—penerbangannya ke Paris dijadwalkan malam ini.
Seorang staf rumah membuka pintu dan menyambutnya dengan anggukan hormat. Di dalam, aroma kopi dan gardenia bercampur halus dengan udara dingin dari AC sentral. Ruang tamu luas bergaya klasik-modern itu terasa sunyi, hingga suara langkah dari arah tangga memecah keheningan.
Maria Alexandra—Maminya—muncul dengan kimono satin biru pucat. Elegan seperti biasa, dengan tatapan tajam yang hanya dimiliki wanita yang terlalu lama hidup di antara pesta sosialita dan rapat pemegang saham.
“Ya ampun, Keira!” serunya begitu melihat putrinya. “Kamu ke mana semalam? Telepon nggak bisa, Sheena panik, Papi kamu hampir nyuruh orang cari kamu ke mana-mana.”
Dari arah belakang, muncul Jonathan Wiranata. Pria setengah baya dengan kemeja linen dan celana santai, tampil tenang namun penuh otoritas. Wajahnya datar, tapi dari sorot matanya, jelas ia menyimpan kekhawatiran.
Keira melepas kacamata hitamnya, memeluk Maminya sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Sorry, Mi. Aku nginep di hotel. Capek banget kemarin, terus ketiduran. Lupa nge-charge HP.”
Maria memeluk balik dan mencium pipinya. “Kami pikir kamu diculik.”
Jonathan hanya mengangkat alis. “Kamu nggak bisa ngilang kayak gitu, Ra. Dunia kamu bukan dunia bebas. Orang bisa bikin spekulasi dari hal kecil.”
Keira hanya mengangguk. Ia sudah kenyang dengan nasihat-nasihat seperti ini. Mereka duduk di ruang tengah, dan tak lama, salah satu staf rumah datang membawa teh panas, buah potong, dan sepotong croissant.
Ia melepas sepatunya dan menyandarkan tubuh di sofa, mencoba santai meski perutnya mulai terasa tidak nyaman—entah karena tegang, atau karena pikirannya masih tersisa di hotel, bersama Delon.
“Ngomong-ngomong,” ujar Maria dengan nada lebih ringan, “kamu beneran berhenti kerja?”
Keira mengangguk sambil menyeruput teh. “Iya. Aku butuh break. Nggak tau, kayaknya burnout aja.”
Jonathan mengernyit. “Ada masalah?”
“Nggak, Pi. Aku cuma lagi pengen mikirin diri sendiri. Tenang bentar.”
Maria menatapnya sejenak. Lalu mengangguk. Mereka memang bukan tipe orang tua yang terlalu mengekang. Sejak kecil, Keira selalu diberi kebebasan memilih—asal tahu tanggung jawab dan tahu konsekuensinya.
“Toh kamu nggak kerja juga nggak apa-apa,” ujar Maria. “Kita ini malah bingung uang mau diapain.”
Jonathan tertawa pelan. “Itu bukan masalah. Yang penting kamu sehat. Nggak main api.”
Keira nyaris tersedak, tapi ia berhasil menutupi reaksinya dengan tawa ringan. “Aman, Pi. Tenang.”
Lalu, ia berdiri. “Aku harus siap-siap ke bandara. Sheena udah nunggu. Kita terbang ke Paris hari ini.”
Maria langsung berdiri. “Hari ini?”
Keira mengangguk. “Sheena mau nambah waktu liburan, jadi kita reschedule lebih awal.”
Jonathan menatap jam tangannya, lalu Keira. “Kamu nggak lupa janji kita minggu depan, kan?”
“Tenang aja. Aku balik sebelum itu.” Keira tersenyum kecil, lalu mencium pipi kedua orang tuanya. “Aku cuma butuh... rehat. Ganti suasana. Nanti juga balik ke sini lagi.”
Maria memandangi putrinya sejenak, lalu merapikan rambut Keira dengan jemarinya. “Nikmati waktumu. Tapi jangan sembarangan. Banyak yang ngincar kamu bukan karena sayang.”
Keira hanya tertawa. Tapi dalam hati, ia tahu nasihat itu datang dari tempat yang sangat benar.
Karena kalau mereka tahu siapa yang ada bersamanya semalam... bisa jadi bukan cuma tiket ke Paris yang dibekukan. Tapi juga seluruh rekening dan paspornya.
Untuk sekarang, itu tetap menjadi rahasia. Hanya dia... dan Delon.
°°°
Sore itu, langit Jakarta mulai menguning. Cahaya matahari menerobos masuk lewat jendela besar di ruang keluarga rumah Delon—sebuah rumah modern minimalis berwarna putih tulang, rapi, tenang, dan selalu terasa terlalu sunyi sejak istrinya meninggal bertahun lalu.
Delon baru saja masuk ke dalam rumah setelah memarkir mobilnya. Ia masih mengenakan kemeja biru tua yang kini digulung sampai siku, dan celana panjang abu-abu yang terlihat sedikit kusut. Di tangan kirinya, tergantung jas kerja yang belum sempat digantungkan. Wajahnya terlihat tenang, tapi tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Atau... sesuatu yang lain.
Suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Tak lama, Elang muncul—tinggi, rapi, dan membawa sebotol air mineral.
“Papa dari mana?” tanyanya santai, tapi tajam. “Semalam nggak pulang.”
Delon hanya melirik sebentar sambil meletakkan jasnya di sandaran kursi. “Meeting. Selesai malam. Jadi Papa nginep di hotel.”
“Sendiri?”
Delon menoleh sedikit. “Ya.”
Elang memiringkan kepala, seolah sedang menimbang kebenaran dari jawaban itu. Lalu ia duduk di sandaran sofa, masih menatap ayahnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Kalau meeting sama partner bisnis, biasanya nggak sampe pagi,” gumam Elang, lalu menyesap airnya pelan. “Lagipula... sekarang udah nggak musim orang nginep sendiri di hotel kecuali lagi healing.”
Delon menghela napas dan membuka dua kancing atas kemejanya, lalu berjalan ke arah minibar kecil untuk menuang air dingin. Namun gerakan itu justru membuat bagian lehernya yang sedikit kemerahan terlihat dari sudut tertentu—tidak begitu jelas, tapi bagi mata muda yang jeli seperti Elang, cukup mencurigakan.
“Papa bohong,” kata Elang tanpa basa-basi.
Delon menghentikan gerakannya. Satu alisnya terangkat, tapi ia tidak membalas langsung.
“Di leher Papa itu bekas apa?” lanjut Elang santai. “Nggak begitu kelihatan, tapi kalau kena cahaya dari jendela... lumayan.”
Delon mendesah pelan, lalu mengambil airnya dan duduk di sofa. “Kamu mulai suka bikin drama sekarang, ya?”
Elang tertawa kecil. “Bukan drama. Aku cuma tanya.”
“Kalau Papa bilang semalam cuma tidur, kamu percaya?”
Elang mengangkat bahu. “Nggak.”
Delon menatap putranya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Cahaya senja mengenai wajahnya yang mulai menua tapi tetap karismatik—garis-garis halus di sekitar mata, rahang tegas, dan mata yang biasanya tajam tapi sore itu sedikit sayu.
“Aku nggak mau tahu sebenarnya, Pa. Tapi... jujur aja aneh lihat Papa tiba-tiba kayak—ya gitu.” Elang menunjuk leher Delon dengan ekspresi geli bercampur heran. “Bukan gaya Papa banget.”
Delon hanya tersenyum miring. “Mungkin Papa juga butuh hidup, Lang.”
“Wah.” Elang bersandar. “Itu jawaban paling jujur hari ini, kayaknya.”
Mereka terdiam sejenak. Di luar, suara burung sore dan mesin mobil tetangga mulai terdengar samar.
Lalu Elang melirik ayahnya, kali ini dengan nada lebih tenang. “Aku semalam sebenarnya cuma mau ketemu Keira. Mau minta maaf langsung aja. Biar semuanya nggak gantung.”
Delon melirik, tapi tak menyela.
“Tapi ya sudahlah, nggak jadi. Lagian... aku sama Elin udah sepakat. Kita akan nikah dua bulan lagi.”
Kali ini Delon benar-benar menatap putranya. Diam, namun dengan sorot mata yang dalam.
“Papa setuju?” tanya Elang.
Delon tidak langsung menjawab. Ia hanya menyesap airnya, lalu berkata pelan, “Itu hidup kamu. Kalau kamu yakin, ya Papa ikut.”
Elang mengangguk, lalu bangkit berdiri.
“Tapi serius, Pa. Lain kali hati-hati ya. Kalau mau ngilang, minimal bekasnya jangan kelihatan.”
Delon mendecak pelan sambil menggeleng.
“Cerewet sekali kamu sekarang.”
Elang hanya tertawa, lalu berjalan naik ke lantai dua, meninggalkan ayahnya yang kembali terdiam—menatap ke luar jendela, mencoba mengurai perasaan yang masih belum sempat ia benahi sejak pagi.
Besok... ia bahkan tidak tahu akan seperti apa besok.