PROLOG
Di dunia Keira Wiranata, air mata bukan solusi. Balas dendam adalah seni.
Usia 23 tahun, karier sedang naik, hidup cukup nyaman, dan prinsip hidupnya jelas: kalau lo nggak dihargai, jangan nangis. Naik level. Tapi prinsip itu diuji habis-habisan ketika Elang Atmadja, pacar yang dia percayai selama dua tahun, mengkhianatinya—dengan cara paling menyedihkan dan konyol.
Berselingkuh dengan teman tongkrongannya sendiri? Sudah cukup memuakkan. Tapi saat cewek itu hamil dan Elang malah bilang, “Aku harus bertanggung jawab,” Keira tahu, ini bukan cuma akhir sebuah hubungan. Ini adalah awal peperangan.
Keira tidak menangis. Dia tidak melempar barang, tidak merusak apapun. Dia hanya menatap pantulan dirinya di cermin—mata bengkak tapi sorotnya dingin. Di saat itulah, muncul satu pertanyaan di kepalanya:
Bagaimana rasanya... jadi mama tiri dari mantan lo sendiri?
Ide itu datang dari sahabatnya, Shena—perempuan gila dengan akal setajam eyeliner-nya. Bukan rayuan yang Shena tawarkan, tapi informasi: Delon Atmadja. Duda kaya, ayah Elang. Mapan, karismatik, dan—yang paling penting—belum menikah lagi.
“Lo serius?” tanya Keira.
“Gue cuma kasih pilihan,” jawab Shena. “Lo mau balas dendam pake air mata, atau pake cincin kawin?”
Dan begitulah... rencana Keira dimulai. Bukan hanya untuk menyembuhkan luka. Tapi untuk membuktikan satu hal:
Perempuan yang disia-siakan, bisa bangkit. Bahkan duduk di singgasana yang lebih tinggi dari siapa pun yang pernah menyakitinya.
Tapi... apa Keira siap dengan permainan yang dia mulai sendiri?
Karena cinta dan dendam, kadang cuma dipisahkan oleh satu garis tipis: perasaan yang tumbuh diam-diam.