1) PUTUS

1532 Kata
Jakarta malam itu seperti berdandan untuk pesta—langit bersih tanpa awan, dan lampu-lampu kota memantul di gedung-gedung kaca yang menjulang, membuat semuanya tampak mewah dan terlalu hidup. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota yang tak pernah benar-benar tidur, sebuah café rooftop berdiri di lantai tertinggi hotel bintang lima. Tempat itu bukan untuk semua orang—menu tanpa harga, musik jazz pelan, dan pengunjung yang memakai arloji lebih mahal dari uang muka rumah. Di sudut ruang kaca yang dikelilingi pemandangan city light, Keira duduk anggun di sofa abu-abu lembut dengan segelas mocktail menyala di tangannya. Rambutnya diikat rendah, rapi tapi santai. Blazer hitam yang membingkai tubuh rampingnya membuatnya terlihat seperti CEO muda yang sedang mengambil jeda setelah menutup deal miliaran. Make-up-nya ringan, tapi cukup untuk menegaskan garis rahangnya yang tegas dan mata yang tajam. Lima menit kemudian, Elang datang. Kemeja lengan panjang putih tergulung rapi, rambutnya seperti biasa—ditata acak tapi terencana. Senyumnya hangat, sok familiar, seperti pria yang ingin terlihat tak bersalah padahal sedang membawa berita buruk. “Maaf ya, tadi sempat kejebak lampu merah di Senopati,” katanya sambil menarik kursi. Keira tersenyum kecil tanpa memperlihatkan gigi. “Lampu merah nggak bisa dijadiin alasan, Lang. Kamu yang salah pilih rute.” Mereka tertawa kecil. Untuk sepuluh menit pertama, semuanya terasa biasa. Aman. Ringan. Obrolan mereka bergulir seperti biasanya—soal kerjaan, klien yang drama, dan liburan terakhir ke Bali. “Aku masih inget banget waktu kita nyasar ke Ubud tengah malam,” ucap Keira sambil mengaduk es batunya. “Kamu salah baca maps, terus kita malah nemu warung sate kelinci di pinggir sawah.” Elang ikut tertawa. “Tapi enak banget, loh. Hidden gem banget!” “Tapi bikin aku keringetan setengah mati.” Hening turun pelan. Elang menunduk, tangannya sibuk mengaduk gelas yang sudah penuh air lelehan es. Pandangannya tak fokus. Sorot matanya... asing. Ada sesuatu yang jelas sedang dipendam. Keira menyadari. “Lang?” “Hm?” “Kamu kenapa? Dari tadi kayak nahan sesuatu.” Elang menarik napas pelan. Matanya akhirnya menatap langsung ke Keira. “Aku... ada yang mau aku omongin.” Keira bersandar sedikit, bersiap mendengar. “Oke. Bilang aja.” Senyum Elang menghilang. Bahunya turun. “Aku mau bertanggung jawab.” Alis Keira terangkat. “Tanggung jawab? Maksudnya apa?” Dia diam. Sekali lagi menggigit bibir, lalu berkata dengan nada rendah yang nyaris tenggelam di antara suara musik instrumental: “Aku selingkuh, Keira.” Dunia Keira langsung senyap. Matanya tetap menatap, tapi semua cahaya malam seperti redup. Dadanya kosong, telinganya berdesing. “Elang… apa?” “Selingkuh. Sama orang yang kamu kenal.” Nada suaranya berubah—datar, seperti bukan Keira yang bicara barusan. “Serius, lo?” Elang mengangguk pelan. “Elin.” Tubuh Keira langsung dingin. “Elin yang mana?” “Elin. Temen nongkrong kamu. Yang sering ikut ke rooftop di Senayan.” Keira menahan napas. Otaknya sibuk memproses nama itu—Elin yang duduk satu meja dengannya, yang pernah pinjam lipstiknya, yang pernah dia peluk waktu Elang telat jemput. Elin yang... ternyata menusuknya dari belakang. “Jadi, lo udah tidur sama temen gue sendiri... dan sekarang dateng ke gue buat ngomong soal tanggung jawab? Gitu?” “Dia hamil, Kei. Aku nggak bisa ninggalin dia.” Keira tertawa pendek. Dingin. “Gila sih... gokil. Dari semua cewek di Jakarta, lo milih temen gue sendiri.” “Aku minta maaf.” “Lo pikir, minta maaf cukup? Dua tahun, Lang. Dua tahun gue ada buat lo. Jadi sekarang lo anggep semua itu nggak guna? Serius?” Elang menunduk. Tak ada jawaban. Keira berdiri. Suaranya tajam. “Lo bukan cuma nyakitin gue. Lo ngehina semua versi diri gue yang percaya sama lo.” Dia mengambil clutch-nya dan merapikan blazer. “Gue pernah sayang banget sama lo, Lang. Tapi sekarang? Gue cuma bisa liat lo sebagai cowok pengecut yang lebih milih nutupin dosa pake tameng ‘tanggung jawab’.” Dia berjalan pergi tanpa menoleh. “Semoga lo bahagia, ya. Sama karma lo.” °°° Suara hak sepatunya menggema di parkiran basement. Dentingnya beradu dengan udara dingin dan lampu neon yang menyinari deretan mobil mahal. Tangan Keira menekan tombol remote. Suara ‘beep’ dari mobil sport putihnya menyambut seperti asisten pribadi yang setia. Dia masuk ke dalam, menutup pintu lebih keras dari biasanya, lalu menyalakan mesin. Tangannya gemetar saat memegang kemudi. Mobil itu melaju keluar dari basement dengan kecepatan yang tak perlu ditanya. Setiap tarikan gas seperti pelampiasan. Setiap belokan tajam adalah bentuk perlawanan dari amarah yang menumpuk. Jalanan ibu kota malam itu masih padat, tapi Keira tak peduli. Dia menyalip satu per satu, tanpa pikir panjang. Ketika mobilnya memasuki jalan tol, dia tekan gas lebih dalam. 80. 100. 120. Angin menerpa bodi mobil, tapi matanya tetap terbuka lebar meski mulai mengabur oleh genangan yang memanas di kelopak. Tangannya mencengkeram setir. Rahangnya mengeras. Satu mobil di depannya mendadak melambat. Refleks, Keira injak rem dan banting setir ke kiri. Klakson panjang membelah udara. Beberapa detik nyaris jadi tragedi. Tapi dia berhasil menepi. Mobil berhenti di bahu jalan. Mesin masih menyala. Lampu kota berkedip samar di kaca spion. Keira duduk diam. Suara knalpot dari mobil-mobil lain hanya jadi gema jauh yang tak dia dengar. Lalu... Air matanya jatuh. Tanpa aba-aba. Tanpa bisa ditahan. Satu. Dua. Tiga. Semuanya tumpah. Keira menangis. Terisak—bukan seperti di drama TV, tapi seperti seseorang yang baru saja kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Tangannya menutup wajah, bahunya terguncang. Bukan cuma karena diselingkuhi. Tapi karena semua kepercayaan, harga diri, dan kenangan yang dia jaga baik-baik... ternyata dibuang kayak sampah. “Astaga... gue bego banget,” bisiknya di balik tangis. Dan malam itu, di bahu jalan tol, Keira membiarkan dirinya hancur. Sendirian. Di bawah cahaya lampu yang terlalu terang untuk luka yang terlalu dalam. Tapi di antara isak napas dan wajah yang basah air mata, muncul sesuatu di dalam dirinya. Bukan harapan. Tapi amarah. Dan Keira tahu, ketika seorang perempuan disakiti, dia hanya punya dua pilihan: hancur... atau naik level. Dan malam itu, Keira memilih yang kedua. Setelah lebih dari satu jam duduk di bahu jalan tol, Keira akhirnya menyalakan mesin mobilnya lagi. Tangisnya sudah kering, tapi sisa-sisanya masih tampak jelas di wajah—mata sembab, hidung merah, dan riasan yang tak lagi utuh. Ia menyeka pipinya dengan tisu, tapi tak ada yang benar-benar bisa menghapus rasa hancur yang tertanam dalam. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam setir dan melaju kembali ke jalan. Jalanan Jakarta mulai sepi, hanya beberapa kendaraan lewat seperti bayangan. Lampu-lampu jalan memantul di kaca depan seperti kilasan-kilasan masa lalu yang ingin ia bakar habis. Tapi kenangan memang k*****t—selalu tahu caranya tinggal di kepala meski tidak diundang. Rumah keluarganya terletak di area elit dengan pepohonan besar dan pagar tinggi. Saat mobil Keira memasuki gerbang, sensor otomatis menyalakan lampu taman, seolah menyambutnya pulang. Tapi sambutan itu terasa palsu malam ini. Dia memarkir pelan. Sangat pelan. Tak seperti biasanya yang selalu mantap dan percaya diri. Langkahnya pun ringan, bukan karena lelah, tapi karena tubuhnya terasa tak punya bobot—kosong, nyaris melayang. Keira masuk lewat pintu samping. Tidak ada suara, hanya bunyi lembut dari kunci digital yang membuka. Rumah sudah terlelap. Ia tak menyapa siapa pun, tak menyalakan lampu tambahan. Hanya berjalan menembus sepi seperti bayangan. Di tangga, handphone-nya bergetar. Sekali. Lalu dua kali. Keira berhenti. Layar menyala: Elang – “Kei, aku minta maaf. Aku tahu ini nggak cukup. Tapi aku tetap pengen kamu tahu, aku nggak pernah main-main soal kita.” Getaran ketiga masuk: Elin – “Keira, aku nggak tahu harus ngomong apa. Tapi please, kita nggak niat nyakitin kamu. Aku hamil... dan aku juga bingung.” Keira menatap dua pesan itu cukup lama, tapi ekspresinya datar. Tak ada respons. Tak ada emosi. Hanya... datar. Kosong. Lalu dengan satu gerakan tenang, dia membuka dua chat itu, satu per satu—dan langsung menekan tombol “Blokir”. Tidak ada kata-kata. Tidak ada balasan. Tidak ada amarah di layar, tapi badai sudah cukup mengamuk di dalam dadanya. Ponsel dimasukkannya kembali ke dalam tas. Lalu dia naik ke lantai dua. Hening. Sangat hening, hanya suara halus dari lantai dan napasnya yang berat. Kamar itu menyambutnya tanpa suara. Ia menutup pintu, lalu menguncinya. Sepatunya ia lepas tanpa peduli berantakan. Clutch diletakkan asal di meja rias. Tak seperti biasanya yang rapi dan teratur. Malam ini... kekacauan di dalam dirinya perlahan mulai terlihat di luar. Keira berdiri di depan cermin cukup lama. Rambutnya sudah berantakan, pipinya masih basah, dan eyeliner-nya membentuk garis hitam samar di bawah mata. Tapi yang paling menyakitkan dari semuanya... adalah sorot matanya sendiri. Itu bukan mata yang ia kenal. Mata itu kehilangan cahaya. Mata itu... milik seseorang yang patah. Ia duduk di ujung ranjang, lalu berbaring menyamping, masih memakai baju yang digunakan untuk bertemu Elang. Tak ada tenaga untuk berganti. Tak ada tenaga untuk membersihkan wajah. Ia menatap jendela gelap yang memantulkan sedikit bayangan dirinya sendiri—rapuh, tapi berusaha tetap diam. Tak ada suara. Tak ada air mata lagi. Hanya napas yang tak beraturan, dan kehampaan yang menumpuk di d**a seperti batu. Malam itu, Keira tidak mengatakan apa pun pada keluarganya. Tidak soal Elang. Tidak soal Elin. Tidak soal hatinya yang baru saja dibantai tanpa ampun. Dan untuk pertama kalinya, Keira merasa benar-benar sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN