Jakarta. Pagi hari.
Udara terasa basah setelah hujan semalam. Cahaya matahari menyusup lembut di antara kisi-kisi tirai ruang makan, menciptakan garis-garis keemasan di permukaan meja kayu jati. Wangi kopi arabika dan roti panggang kayu manis memenuhi ruangan, membungkus pagi itu dalam kehangatan rumah yang hanya terasa di luar—karena di dalam, ada kegelisahan yang menunggu dibuka.
Delon duduk di ujung meja panjang. Kemeja linen abu-abu yang belum disetrika rapi menggantung ringan di tubuhnya, lengan digulung asal, rambut sedikit acak-acakan. Di tangan kirinya, cangkir kopi hitam mengepul pelan; di tangan kanannya, ponsel yang sudah dua puluh menit tak benar-benar dibaca.
Pikirannya masih di mimpi dini hari tadi.
Keira.
Gaun putih.
Bisikan napasnya di kulit leher.
Sentuhan yang terlalu nyata untuk disebut bunga tidur.
Lalu terdengar suara langkah dari tangga kayu.
“Pagi, Pa.”
Delon menoleh sekilas. “Pagi.”
Elang duduk di seberang. Hoodie hitam kebesaran, kaos putih pudar di baliknya. Wajahnya sembab. Rambut acak, mata kosong. Seperti orang yang kehilangan, tapi belum siap menerima kehilangan itu.
Delon tak langsung bicara. Ia hanya menyesap kopi, lalu berkata pelan, seperti melempar kail di kolam tenang.
“Kamu semalaman nggak tidur?”
Elang membuka selai stroberi, mengolesnya ke roti tanpa benar-benar peduli.
“Nggak bisa tidur, Pa. Mikir aja.”
Delon mengangguk. “Tentang Keira?”
Elang berhenti mengoles. Tatapannya membeku sepersekian detik.
“Iya.”
Sunyi menggantung sejenak. Lalu Delon meletakkan cangkirnya.
“Kamu masih sayang dia?”
Elang tertawa kecil, hambar. “Masih.”
“Papa heran aja,” lanjut Delon, suaranya tetap tenang, tapi makin mengarah. “Kalian kelihatan cocok. Saling ngerti. Sama-sama punya, dari sisi mana pun. Papa sempat mikir, kamu akhirnya nemu orang yang bisa diajak sejalan.”
Elang menatap ayahnya, lama. Seolah mempertimbangkan apakah pertanyaan ini tulus, atau punya maksud lain.
“Aku juga pikir begitu dulu,” ujarnya akhirnya. “Kita seimbang. Aku cinta dia, dia juga kelihatan sayang. Tapi ternyata... nggak semua hal bisa disamakan.”
Delon menaikkan alis. “Contohnya?”
“Keira,” Elang berkata, suaranya lebih berat, “nggak bisa disentuh.”
Delon menegakkan duduk. “Maksud kamu...?”
“Secara fisik, Pa. Dua tahun pacaran, kita nggak pernah... sedekat itu maksud aku, dia nggak pernah mau lakuin hal itu.”
Ia menunduk, menatap tangannya yang kini berhenti menggenggam roti.
“Pelukan, iya. Cium kening. Tapi begitu lebih dari itu... dia langsung mundur. Tegas. Nggak pake nangis-nangis, tapi dia bisa bikin aku berenti cuma gara-gara satu tatapan.”
Delon tak berkedip. Di balik wajah tenangnya, dadanya mulai berdegup keras.
Elang melanjutkan, seperti seseorang yang akhirnya melepas beban dari tengkuknya.
“Aku sempat nanya, dia trauma atau gimana. Tapi dia cuma bilang: dia bukan tipe yang bisa kasih semuanya cuma karena status pacar.”
Ia menatap kosong ke cangkirnya.
“Dan aku nggak sabar. Bodohnya, aku nyari pelampiasan... dan ketemu Elin, eh malah keterusan dan Elin hamil.”
Delon tak menjawab. Tapi pikirannya mulai membandingkan.
Keira yang tak membuka ruang untuk Elang—bahkan setelah dua tahun.
Tapi malam kemarin, ia menyelinap masuk ke pelukannya. Membiarkan sentuhan. Bahkan membalas.
Delon menggenggam cangkirnya erat-erat.
Suara Elang kembali pelan.
“Kalau dipikir-pikir... dia jauh lebih kuat dari aku. Aku bilang sayang, tapi nggak tahan nunggu. Dia... tahan menjaga dirinya meski cinta. Dan karena itu, aku kehilangan dia.”
Delon ingin bicara. Tapi tak tahu harus dari mana.
Karena setiap kalimat Elang terasa seperti pisau kecil yang justru menusuk harga dirinya sebagai ayah... dan sebagai lelaki.
“Kamu masih berharap dia balik lagi?” tanya Delon akhirnya, lebih pelan dari tadi.
Elang tersenyum tipis.
“Harap sih harap. Tapi aku tahu... dia bukan cewek yang bisa disapa pakai maaf lalu lupa segalanya. Dia inget. Dan... kayaknya, dia udah jalan ke arah lain.”
Delon menggenggam ponsel di atas meja.
Dia tahu betul arah itu... mengarah padanya.
Dan semakin dia sadar Keira tak pernah membuka dirinya pada Elang...
Semakin perih, sekaligus memabukkan, kenyataan bahwa Keira pernah menggenggam tangannya di tengah malam, dan memilih tinggal di sisinya, meski hanya beberapa jam.
Meski salah.
Meski hanya mimpi.
Tapi tubuh Delon tahu: itu nyata.
Dan hatinya tahu: ia ingin lagi.
°°°
Beberapa hari setelah percakapannya dengan Elang.
Delon mulai kehilangan arah.
Ia masih memutar ulang kalimat Elang dalam pikirannya.
Kalimat itu seharusnya membuatnya lega. Keira bukan milik siapa pun. Bahkan Elang—putranya sendiri—tak pernah benar-benar menyentuh gadis itu. Tapi rasa lega itu berubah jadi liar.
Rasa bersalah dan rasa bangga bertabrakan dalam dadanya. Ia… yang telah memeluk Keira. Ia… yang telah menyentuh dan menyatu dengan perempuan itu. Dalam malam penuh peluh dan nyanyian napas yang menghanyutkan.
Sejak malam itu, Keira datang dalam mimpinya hampir setiap malam. Kadang hanya senyumnya. Kadang sekilas bayangan bahunya. Tapi kadang... lebih dari itu.
Delon bukan pria muda. Tapi malam-malam itu mengembalikan rasa liar yang sudah lama mati. Ia seperti orang gila. Bangun dengan napas terengah dan tubuh lengket oleh keringat, hanya karena mimpi. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia… sudah kehilangan kendali.
Jakarta. Siang hari.
Langit menggantung mendung di atas kaca besar ruang kerja Delon.
Udara di luar lembab, gerah, dan berat. Seperti dadanya.
Pekerjaan menumpuk. Tapi ia tidak menyentuhnya. Semua terasa hampa.
Meja marmer putihnya tampak kosong, hanya ada iPad yang mati, dua ponsel, dan setumpuk dokumen yang tidak ia baca sejak pagi. Di tangannya—ponsel pribadi.
Jempolnya berhenti pada sebuah unggahan i********:.
Keira.
Foto pertama.
Ia mengenakan gaun leopard backless. Rambutnya panjang, punggungnya terbuka. Berjalan sendirian di trotoar Paris. Eiffel Tower berdiri megah di belakangnya. Lampu kota menyinari kulit Keira yang keemasan.
Delon menggigit ujung bibirnya.
Lalu foto berikutnya.
Keira dan Sheena, tertawa lepas. Keira mengenakan dress merah marun pendek, bahunya terbuka, kulit pahanya tersingkap saat berdiri menyamping. Cahaya lampu malam menyentuh pipinya—membuatnya seperti tokoh lukisan hidup.
Ia terlalu cantik. Terlalu menggoda. Terlalu... bukan milik siapa-siapa.
Dan itu menyiksa Delon.
Tangannya menggenggam ponsel lebih erat.
Lalu perlahan, satu tangannya mengusap wajahnya, turun ke dagu… kemudian diam. Lalu bergerak turun ke d**a. Lalu...
Delon mengerjap.
Tapi matanya tak bisa lepas dari layar. Dari foto itu. Dari Keira.
Wangi tubuh Keira masih ada dalam memorinya.
Napasnya. Suaranya. Lenguhannya. Kulit hangat yang ia peluk erat di ranjang hotel malam itu.
Malam yang seharusnya salah… tapi terasa seperti puncak hidup.
Tangannya menggigil.
Delon bersandar, menutup mata.
Dan selama beberapa menit… ia membiarkan dirinya larut. Tak sadar waktu berjalan.
Lalu... detik itu juga, kesadarannya menyentak masuk. Ia membuka mata. Menatap layar gelap.
Ponselnya masih di tangan. Tapi pikirannya di tempat lain.
Keira bisa disentuh orang lain. Keira bisa dimiliki orang lain.
Dan dia tidak akan terima itu.
Ia menekan tombol interkom. Suaranya berat.
“Eva, tolong cancel semua jadwal minggu ini.”
Sekretarisnya terdengar panik, “Minggu ini semua, Pak? Bahkan yang sama Tanaka Group dan Waskita?”
Delon menutup matanya. Mengatur napas.
“Iya. Semua. Kirim permintaan reschedule. Aku nggak bisa kerja.”
“...Baik, Pak.”
Ia menutup sambungan.
Masih duduk.
Masih setengah sadar. Tapi tangannya mulai bergerak cepat.
Aplikasi travel dibuka. Tiket penerbangan dicari.
"Jakarta (CGK) → Paris (CDG)"
First class. Malam ini.
Ia membeli tiket tanpa pikir panjang.
Lalu duduk lagi. Menatap langit abu-abu di luar jendela.
Wajah Keira muncul di benaknya. Lalu suaranya.
Lalu napasnya di lehernya.
Dan pelan… bibirnya membisikkan nama itu sekali lagi:
“Keira…”
Beberapa jam setelah Delon membeli tiket ke Paris.
Jakarta. Sore hari.
Langit kelabu menyelimuti kota. Hujan turun pelan, mengalir di kaca jendela ruang kerja Delon, menorehkan jejak yang lambat dan dalam—seperti pikiran-pikiran yang kini menggerogoti benaknya.
Di dalam ruangan, lampu temaram. Aroma kopi yang sudah dingin menyatu dengan udara yang basah. Ruangan luas itu hening… tapi di dalam kepala Delon, ada ribuan suara yang berteriak, menggila, membakar.
Delon duduk membungkuk di kursinya. Kemeja putihnya lecek, dasi sudah entah ke mana. Jemarinya gemetar menggenggam ponsel. Dia menatap layar, membuka i********:, membuka akun Keira—lagi.
Dia membaca ulang caption. Menatap foto. Menyimpan tiap detail: garis rahang Keira, senyum separuh, gaun tipisnya, cahaya lampu kota Paris yang memantulkan kilau samar di rambut hitamnya.
Itu bukan sekadar foto. Itu siksaan.
Delon menahan napas. Matanya memanas.
Ia mengetik pesan. Menghapus. Mengetik lagi. Menghapus lagi.
Akhirnya…
Delon:
Kamu cantik sekali di foto tadi malam.
Paris cocok untuk kamu.
Ngomong-ngomong… kamu nginap di mana?
*Dan… kamu masih suka bunga peony, atau udah berubah selera?*
Jantungnya berdetak keras.
Dua menit.
Centang biru. “Seen.”
Lalu…
Keira:
Aku nginap di Le Metropolitan.
Dan ya… peony masih jadi favoritku. 🌸
Kamu tiba-tiba nanya semua itu kenapa?
Kamu kangen aku?
Delon menelan ludah. Napasnya mendadak berat. Dadanya sesak.
Tangannya sempat berhenti. Lalu bergerak sendiri.
Delon:
Harusnya aku bilang tidak, tapi aku tidak ingin bohong.
Aku kangen kamu, Keira.
Sejak malam itu… tidak ada yang sama lagi.
Pesan terkirim.
Dan kali ini, balasannya datang bukan dengan kata-kata.
Sebuah foto masuk.
Close-up wajah Keira. Bibir mengilap. Lidahnya nyaris menyentuh jemarinya. Lingerie merah membingkai tubuhnya, dan choker satin menghiasi leher jenjangnya dengan logam bundar kecil menggantung di tengah. Matanya… tajam. Dalam. Membakar.
Keira:
Aku juga kangen kamu.
Sheena ketemu pacarnya di sini, dan aku sendirian sekarang.
Jujur… aku berharap kamu yang datang, bukan dia.
Delon mendadak sulit bernapas.
Sesuatu dalam dirinya… runtuh.
Sesuatu yang dulu disebut kendali.
Tangannya terkepal di paha. Rahangnya mengeras. Ponsel masih di tangan, tapi pikirannya entah ke mana.
Foto itu. Kalimat itu. Keira sendirian.
Delon memejamkan mata. Ia melihat Keira di balik kelopak matanya. Duduk di ranjang hotel yang asing, tubuhnya dibalut satin merah, rambut tergerai liar, mata menunggu. Bukan untuk Elang. Bukan untuk siapa pun.
Untuk dia.
Delon menggigit bibirnya sendiri. Napasnya memburu. Tubuhnya berkeringat dingin. Ia mencengkeram lengan kursinya. Rasanya seperti sekarat—dan tetap hidup dalam derita yang manis.
Dia candu.
Candu akan aroma Keira. Candu akan suara napasnya. Candu akan kenangan kulit yang bersentuhan.
Dan yang paling b******n dari semuanya?
Dia menyukainya.
Dia menikmatinya.
Dia ingin lagi.
Delon membuka mata. Pandangannya buram.
Dia berdiri. Tersuruk. Membuka jas. Meraih koper.
Tak bisa menunggu. Tak akan menunggu.
Dia bukan anak remaja yang jatuh cinta. Dia pria 48 tahun. Ayah dari mantan kekasih perempuan itu. Dan tetap saja… hatinya luluh seperti anak kecil yang kecanduan permen.
Dia tahu dia b******n.
Dan dia akan terbang menyeberangi dunia… untuk menjadi b******n itu sepenuhnya.