Bab 5

1437 Kata
"Ah, bodoamat lah soal itu. Kalau emang pinter main PS, ya hal itu gak menjadi masalah," kata Indra. "Iya, lagipula kita ke sana datang dengan misi yang berbeda. Bukan cuma sekedar ingin main PS aja," ucap Iqbal. "Maksud Lo?" tanya Gibran tak paham. "Katanya ya, anak pemilik rental PS itu sangat cantik. Umurnya pun gak jauh beda dari kita," kata Iqbal. "Lalu?" tanya Gibran. "Ya kita deketin dia lah. Kita bertanding lagi. Mana dari kita yang bisa dapetin dia," kata Iqbal. "Lah, masih nyari cewek lagi? Terus si Elsa mau Lo ke manain?" tanya Gibran. "Elsa pala Lo. Elsa punya gue, woi," sahut Indra. "Oh iya. Hahaha. Maksud gue si Nessa," kata Gibran lagi. Iqbal pun menghembuskan napasnya. Entah kenapa ia merasa pertanyaan si Gibran sangat tidak bermutu ketika terdengar oleh telinganya. Ia sebenarnya malas untuk menjawab, tapi ia mau tidak mau harus menjawab. "Hadeh. Gini ya, Bran. Kita gak boleh hanya terfokus pada satu cewek. Kita harus mencari yang lain. Contohnya ya anak si pemilik rental PS itu. Biar kita gak terlalu kecewa nantinya jika gagal mendapatkan salah satunya," ucap Iqbal. "Ingat! Lo nggak boleh cuma terfokus pada satu titik yang menurut Lo paling bisa membuat Lo bahagia. Percayalah! Ketika titik itu ngehancurin Lo, Lo gak akan bisa dengan mudah bangkit dari keterpurukan," lanjut Iqbal. Sontak ucapannya itupun disambut dengan suara tepuk tangan yang meriah oleh Gibran dan Indra. Entah sadar atau tidak, sejatinya Iqbal telah mengucapkan sebuah kata-kata yang penuh dengan makna. "Wih, keren kata-kata Lo," puji Gibran. "Terima kasih, terima kasih. Jangan puji gue secara berlebihan. Gue tahu gue bijak, tapi nggak perlu lah menunjukkan ke dunia kalau gue ini bijak," ucap Iqbal. "Cih, udahlah, kembali ke topik awal saja," ucap Indra. Nampaknya ia menyesal telah memberikan tepuk tangan ke Iqbal. "Hmm. Tapi, ya, waktu gue ke sana dulu, gue gak lihat tuh ada cewek cantik," ucap Gibran. "Mata Lo bermasalah kali, tuh," sahut Indra. "Sabar, Bran. Nggak usah marah," ucap Gibran menenangkan dirinya sendiri. "Mungkin saja waktu itu dia emang lagi gak ada di rumah. Lagi main sama temannya mungkin," kata Iqbal. "Bisa jadi, sih. Lalu, maksud Lo ngajak main PS ke sana itu apa, sih?" tanya Gibran. "Kan udah gue bilang. Kalau gue niatnya mau ngedeketin dia. Ya entah Lo berdua. Kan lumayan kalau bisa jadi pacarnya. Udah dapat pacar cantik, dan yang lebih penting lagi adalah kita bisa aja tiap hari main PS gratis di sana. Hahaha," jawab Iqbal. "Astaghfirullah." "Kenapa?" tanya Iqbal. "Parah Lo. Itu namanya memanfaatkan. Jahat amat, sumpah," jawab Gibran. "Ya terserah sih, apa namanya. Yang penting bisa dapat gratisan. Hahaha," kata Iqbal. "Iya iya terserah. Jadi kapan kita berangkatnya? Keburu sore, nih," ucap Indra. "Sekarang, lah," kata Iqbal. "Gas." Pada akhirnya, dengan mengendarai motor masing-masing mereka pun mulai berangkat dari rumah Iqbal menuju ke tempat rental PS yang dituju. Tanpa mengenakkan helm pun mereka dengan bangganya berkendara di jalan raya. Memang, prinsip mereka adalah aturan ada untuk dilanggar. Tapi yang menjadi permasalahannya bukan itu. Helm bukan cuma untuk menaati aturan berkendara, tapi juga untuk keselamatan mereka sendiri. Tapi itulah anak muda, yang pemikirannya masih sangat labil. Jalanan itu begitu tenang. Entah karena apa tiba-tiba tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Tentu hal itu membuat ketiga manusia tampan itu dengan mudahnya menyeberang, dan akhirnya sampai di depan bangunan yang mereka tuju. "Berapa jam?" tanya Iqbal. "Biasa lah. Tiga cukup," jawab Gibran. "Okelah," kata Iqbal. Lalu mereka pun masuk. Iqbal bertugas untuk memanggil sang pemilik rental PS agar keluar dari tempat persembunyiannya, sedangkan Indra dan Gibran bertugas untuk memilih tempat mana yang paling sesuai. "Mana orangnya?" tanya Gibran ketika Iqbal kembali. "Tuh," jawab Iqbal sambil menunjuk seseorang dengan isyarat. "Woi, katanya cantik. Ini kok tua," bisik Indra ke Iqbal. "Itu emaknya, woi. Anaknya gak tahu ke mana," kata Iqbal. "Ooo. Percuma dong kita ke sini kalau ketemunya sama emaknya," kata Indra. "Udah, lebih baik Lo berdoa aja semoga nanti dia muncul," kata Iqbal. "Aamiin," ucap Indra sambil mengusapkan tangannya ke wajah. Dan setelahnya, trio sesat itupun mulai bermain PS. Tak perlu ditanya lagi tentang permainan apa yang mereka mainkan. Pastilah jawabannya adalah sepak bola. Ya, bagi mereka tidak ada permainan lain yang lebih menyenangkan daripada sepak bola. Namun, di saat giliran Indra melawan Gibran, Iqbal malah clingak-clinguk seperti mencari sesuatu. Pandangannya tak terfokus ke layar kaca, melainkan terfokus ke sisi lain. Ia nampaknya masih berharap dan menantikan akan datangnya anak si pemilik rental PS yang katanya cantik itu. "Gue rasa dia gak akan datang, Bal," kata Gibran di sela-sela permainannya. "Halah. Sok tahu. Selalu ada harapan di setiap kemungkinan," ucap Iqbal. "Terserah Lo aja lah, Bal," kata Gibran. "Wah, udah enak juga nih stik. Gak b****k kayak dulu lagi," ucap Gibran lagi. Detik demi detik berlalu. Belum ada dari mereka yang berhasil mencetak gol. Hingga saat-saat yang menegangkan datang dan pada akhirnya Indra berhasil mencetak gol dalam permainan tersebut. "Gol! Hahaha. Gampang banget. Kayak main lawan bocah SD," ejek Indra. "Alah. Stiknya nih bermasalah. b****k," kata Gibran. "Malah nyalahin stik," kata Indra. "Hmm. Apa gue beli kopi atau es aja gitu, ya? Mana tahu yang datang nganterin kopinya nanti si gadis itu," ucap Iqbal. "Lah, parah nih anak. Malah masih mikir itu," ucap Indra. "Kasih saran dong makanya. Apa gue harus pesen es atau kopi gitu?" tanya Iqbal. "Iya deh kayaknya. Lo perlu pesen es buat kita bertiga," ucap Gibran. "Enak aja. Maksudnya buat gue doang," kata Iqbal. "Wah, parah Lo. Bukannya apa-apa, Bal. Kalau Lo pesen satu, cewek itu akan berpikir kalau Lo itu pelit. Mana ada cewek yang suka sama cowok pelit. Tapi beda cerita kalau Lo pesen tiga. Pasti cewek itu akan kagum sama Lo," ucap Gibran. Iqbal nampak berpikir, mempertimbangkan keputusan apa yang akan ia ambil setelahnya. Ia ingat, ia cuma membawa uang sebesar 20 ribu rupiah. Kalau ia gunakan untuk membayar PS dan untuk mentraktir es dua sahabatnya itu, bisa saja uangnya akan habis tak tersisa. "Eh, tapi kalau gak mau gak apa-apa sih, Bal. Biar gue aja yang traktir kalian berdua. Biar gue yang dapetin tuh cewek. Hahaha," ucap Gibran. "Eh, jangan! Iya, biar gue aja yang traktir," ucap Iqbal. "Eh, biar gue aja lah," ucap Gibran. "Gak-gak. Lo berdua tunggu di sini aja. Gue mau pesen," ucap Iqbal sambil berdiri dan melangkah pergi. Gibran tertawa kecil setelahnya. Ia tak menyangka kalau sahabatnya yang satu itu bisa dimanfaatkan dengan begitu mudahnya. "Woi, ketawa mulu Lo. Lanjutin ini, lah. Udah keok juga masih berani-beraninya ketawa," ucap Indra. "Wah, ngeremehin. Oke, mode serius nih," ucap Gibran. Dan selanjutnya, Indra dan Gibran pun melanjutkan pertandingan itu lagi. Iqbal juga kembali setelah beberapa saat, dan selang beberapa menit pula, seorang wanita paruh baya yang mereka ketahui adalah ibu-ibu si pemilik rental PS itupun datang sambil membawa tiga gelas minuman. "Sial! Parah, parah. Gue kira anaknya yang akan nganterin. Eh ternyata dia lagi. Ke mana sih, anaknya?" ucap Iqbal dengan berbisik-bisik. "Hahaha. Nasib, nasib." "Kalau mau tahu di mana, ya Lo tanyain lah. Gitu aja repot," ucap Indra. "Eh, iya juga, ya. Gak kepikiran gue," kata Iqbal. "Makanya otak tuh dipakai," oceh Gibran. "Bacot Lo." Seperti apa yang dikatakan oleh Iqbal, bahwa harapan itu akan selalu ada. Saat wanita paruh baya itu menyerahkan tiga gelas berisi minuman yang merupakan pesanan dari Iqbal, Iqbal pun mulai beraksi dengan menanyakan keberadaan anak wanita paruh baya itu. "Mbak, anaknya ke mana, ya? Kok dari tadi gak kelihatan. Nih dia dicariin sama teman saya," kata Iqbal sambil menunjuk Gibran. "E buset. Malah bawa-bawa gue," ucap Gibran. "Lagi main keluar rumah sama temannya," jawab si wanita itu sambil tertawa kecil. Entah apa arti tawa itu. "Waduh! Gak ada di rumah ya, Mbak?" tanya Iqbal. "Iya. Kalau hari-hari sekolah gini dia jarang ada di rumah. Kalau mau ketemu ya di hari Minggu," katanya. Tetap saja dengan menyertakan tawa kecil di setiap ucapan katanya. Tak tahu kenapa. Mungkin itu adalah sebuah bentuk dari keramahannya saja. Mau diakui ataupun tidak diakui, faktanya Iqbal mempunyai tingkat keberanian dan percaya diri yang sangat tinggi sehingga dengan tanpa ragunya ia mau menanyakan hal semacam itu. Padahal bisa dibilang, ini adalah kali pertama ia datang. Akan tetapi ia seolah-olah memposisikan diri seperti orang yang sudah kenal lama. Iqbal nampak agak kecewa setelah mendengar pernyataan dari wanita paruh baya itu yang mengatakan bahwa anaknya tidak ada di rumah. Bukannya apa-apa. Sebenarnya dia pun juga belum tahu secantik apa gadis yang dimaksudnya itu. Ia hanya tahu dari katanya, bukan melihatnya secara langsung dengan mata kepalanya sendiri. "Cih, rugi gue. Udah sok-sokan nraktir Lo berdua, eh dianya gak ada di rumah. Parah, parah," keluh Iqbal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN