Bab 6

1601 Kata
"Rugi gimana? Setidaknya kan Lo bisa cari muka dulu ke ibunya," kata Indra. Pandangannya masih fokus ke layar kaca. "Iya sih. Tapi apa gunanya kalau cari muka ke ibunya?" tanya Iqbal. "Lah, aneh Lo. Kalau pandangan ibunya ke Lo baik, otomatis jika anaknya, atau gadis yang Lo sukai itu nggak suka sama Lo, maka ibunya akan memintanya untuk belajar suka sama Lo. Terus kemungkinan kedua kalau gadis itu juga suka sama Lo, maka kalian akan mudah untuk dipersatukan. Ibunya pasti akan merestui hubungan kalian karena tahu kalau Lo itu baik. Ya, walaupun dari hasil cari muka, sih. Ingat! Cinta tanpa restu itu cuma hal yang sia-sia," ucap Gibran panjang lebar, tapi dengan suara yang tak begitu keras. "Lo ngomongnya kayak orang yang udah lama mengenal cinta, padahal kan baru kemarin. Hahaha," ucap Iqbal. "Ha? Gue emang udah kenal Cinta dari dulu. Dari zaman masih duduk di bangku taman kanak-kanak pun gue udah kenal," kata Gibran. "Bukan cinta teman kita, woi! Maksud gue cinta .... Ya cinta, pokoknya," ucap Iqbal. "Ya ya, gue paham. Lo jangan salah. Hanya karena baru terjun di dunia percintaan, bukan berarti gue gak tahu apa-apa tentangnya. Ibaratnya gini. Waktu kecil Lo paling gak suka kalau harus makan tempe, eh udah besar malah terpaksa harus memakannya dan ternyata rasanya enak. Dan itulah untuk pertama kalinya Lo merasakan rasanya tempe, tapi Lo pastinya udah tahu dari dulu bahwa tempe itu berasal dari kedelai," ucap Gibran panjang lebar. "Hmm .... Kok gue gagal paham, ya," ucap Iqbal. "Huff .... Sudahlah. Sulit untuk menjelaskan sesuatu ke orang yang kapasitas otaknya kecil," ucap Gibran kesal. "Cih, biar kapasitas otak gue kecil, tapi sangat berguna. Bukan kayak otak Lo, yang katanya kapasitasnya besar tapi isinya kosong. Hahaha," ejek Iqbal balik. Perdebatan tidak penting itu terus berlanjut hingga sampai pada detik-detik yang paling membuat Gibran merasa kesal. Itu adalah saat di mana ia untuk yang kedua kalinya kebobolan di dalam permainan itu. "Gol!" teriak Indra dengan hebohnya. "Hahaha. Kebobolan," tawa Iqbal. "Cih, gara-gara Lo nih, ngajak debat mulu. Jadi kebobolan kan gue," kata Gibran. "Eh, ini apa ini, kosong. Hahaha," ejek Iqbal sambil menunjuk ke arah skor yang didapat oleh Gibran. "Itu telur, Bal. Dijadiin dadar enak kali, tuh," ucap Indra. "Udahlah, males," kata Gibran sambil meletakkan stik PS nya. "Waduh! Musuh menyerah tanpa syarat," kata Indra. "Oke, gak jadi," kata Gibran sambil mengambil stik PS nya lagi. "Waduh! Sang musuh hanya kembali untuk terbantai," ejek Indra lagi. "Halah, banyak omong Lo," ucap Gibran tak terima. "Hahaha," tawa mereka berdua. Demikianlah keseruan tiga serangkai itu. Bagi Gibran, ia sebenarnya bisa saja dengan mudah membeli PS sendiri, tapi entah kenapa ia lebih memilih untuk pergi ke rental PS bersama dua sahabatnya itu. Mungkin karena hal itu akan lebih mengasyikkan, atau apa. Hanya dia yang tahu alasannya. Yang pasti, itu bukanlah awal dan akhir dari kisah dia dan dua sahabatnya dalam bermain PS di tempat itu. Karena apa? Karena tujuan yang sebenarnya belum tercapai, yaitu untuk mendapatkan hati anak si pemilik rental PS. Entah Gibran, Iqbal atau Indra yang akan mendapatkannya nantinya, atau bahkan tidak dari ketiga orang itu. Mungkin mereka hanya merupakan tiga bocah ingusan yang bahkan usianya belum mencapai 17 tahun. Akan tetapi, mereka dengan percaya dirinya sudah mulai ingin membangun sebuah kisah cinta dengan seorang wanita. Aneh saja. Bahkan yang sudah benar-benar berusia matang saja masih sulit untuk menemukan cintanya, tapi mereka yang masih jauh dari kata usia matang sudah seperti itu. Dan pastinya, kisah cinta yang akan dihasilkan bukanlah kisah cinta sejati, melainkan cinta main-main yang berakhir dengan kata putus. Malam yang sunyi, sepi dan gelap. Desiran angin malam yang berirama turut menghiasi suasana. Cahaya rembulan dan sang bintang berhasil menjadikan semesta sedikit terlihat terang dengan dibantu oleh cahaya dari lampu-lampu rumah dan lampu-lampu jalanan. Jreng jreng! Di rumah yang besar dan megah itu, tempat di mana tiga lelaki tampan berkumpul. Ya, tidak salah lagi. Mereka adalah tiga serangkai yang tak lain dan tidak bukan adalah Gibran, Indra dan Iqbal. Kini mereka sedang berkumpul di rumah Gibran. "Lagu apa nih yang enak buat dinyanyiin di malam yang sunyi ini?" tanya Gibran. "Ah, biar gue aja sini. Lo nyanyinya gak bener. Gak enak pula," ucap Indra sambil merebut gitar yang dibawa Gibran. Gibran cuma diam memandang. "Ya, terserah lah. Silahkan nyanyi," ucap Gibran mempersilakan. Dengan petikan indah dari jemarinya itu, Indra mulai memainkan alat musik tersebut. Awalnya memang terdengar sangat merdu, tapi setelah sampai pada nyanyiannya, semuanya berubah. Bukan karena suara dia yang tidak enak, melainkan karena lagu apa yang ia nyanyikan. "Woi, yang bener dong! Ya kali nyanyi lagu itu," protes Iqbal. "Terus mau Lo lagu apa? Ini salah, itu salah," kata Indra. "Ya Lo napas aja salah, Ndra. Hahaha," ucap Gibran. Indra hanya mendecak. "Ya lagu apa aja yang penting jangan lagu itu. Kayak anak kecil, woi," kata Iqbal. Bagaimana Iqbal tidak protes sedangkan yang baru saja Indra nyanyikan adalah sebuah lagu yang berjudul "balonku". Dia mungkin sengaja membuat para sahabatnya itu kesal kepadanya dengan cara menyanyikan lagu tersebut. "Ya udah, gak usah ada yang nyanyi. Kita bahas cewek aja," usul Iqbal. "Parah, malah bahas cewek. Tapi gak apa-apa, sih. Ayo," respon Gibran. "Lah." "Apa?" tanya Gibran. "Gak, gak apa-apa," jawab Indra. "Gimana soal si anak pemilik rental PS itu menurut Lo berdua?" tanya Iqbal. "Gak tahu. Gue gak peduli," jawab Gibran. "Gue juga," jawab Indra ikut-ikutan. "Lah. Kok gitu?" "Alah, palingan juga gak cantik-cantik amat cewek yang Lo maksud itu. Lo nya aja belum pernah lihat, kan?" ucap Gibran. "Ya iya, sih. Tapi gue percaya dia cantik," kata Iqbal. "Dari bayangan Lo, cantikan mana antara dia sama Nessa?" tanya Indra. "Ya ... Sebanding, lah," jawab Iqbal. "Gak ada cantik yang sebanding. Pasti ada perbedaan. Cantikan mana?" tanya Indra mengulangi pertanyaannya. "Belum tahu, lah. Belum pernah lihat yang satunya," jawab Iqbal. "Hahaha. Parah Lo. Menyukai seseorang yang belum jelas terlihat oleh mata," sahut Gibran. "Halah, gue gak peduli. Modal keyakinan aja, sih. Gue pasti akan mendapatkan dia," kata Iqbal. "Ya ya. Sesuka hati Lo aja, deh. Tapi Nessa Lo ke manain nanti?" tanya Indra. "Ya kalau bisa dua, kenapa harus satu?" "E buset. Parah banget nih curut," kata Gibran. Kalau boleh disebutkan, Iqbal tepat jika disebut sebagai lelaki yang tidak pandai bersyukur. Ia sudah mempunyai Nessa, yang tinggal beberapa langkah lagi bisa mendapatkan hati Nessa sepenuhnya. Akan tetapi setelah ia mencapai titik yang sudah hampir mencapai puncak, ia malah jatuh hati ke gadis lain yang bahkan belum pernah sekalipun ia lihat wajah gadis tersebut. "Apa? Gue yakin kalau Lo berdua nanti lihat wajah tuh gadis, pasti si Riani sama Elsa akan kalian duain juga. Eh, kalau Riani gak akan diduain, sih," kata Iqbal. "Ya iyalah. Gue tipe cowok yang setia. Gak akan duain Riani, apapun yang terjadi," kata Gibran. "Bukan itu maksud gue," kata Iqbal. "Lalu?" "Riani gak bakalan Lo duain. Dia mau sama Lo aja enggak. Masa bisa diduain? Hahaha," ejek Iqbal. Gibran mendecak. "Eh, ngomong-ngomong soal liburan kita ke pantai nanti jadi, gak?" tanya Iqbal. "Jadi, lah. Tapi tergantung nanti, sih," jawab Indra. Karena memang dia lah sang perencana liburan itu. "Tergantung apanya? Jangan bilang tergantung punya duit atau enggaknya," ucap Iqbal. "Itu si Kahlil Gibran. Kalau gue ya gak mungkin pakai alasan yang kayak gitu," ucap Indra. Iqbal diam dan Gibran malah cengengesan. "Terus tergantung apanya, dong?" tanya Iqbal. "Tergantung gue Menang atau tidaknya dalam tantangan itu. Kalau gue gak bisa dapat cewek sampai waktu itu, ya mending gak jadi aja ke pantainya. Hahaha," jawab Indra. "Kalau Lo bisa dapat cewek, dan kita berdua enggak?" tanya Iqbal lagi. "Ya ke pantainya harus jadi. Apapun yang terjadi. Dan gak ada alasan apapun," jawab Indra. "Sialan! Curang Lo," kata Iqbal. "Iya, nih. Udah curang, pengecut pula. Masa kalau kalah malah mau ngebatalin rencana yang dibuat sendiri," ucap Gibran. Indra malah tertawa. Padahal seharusnya dia marah karena sudah dihina oleh Gibran. Tapi itulah yang namanya sahabat, yang menganggap setiap ejekan adalah sebuah pujian. Selama ejekannya tidak keterlaluan, ya tidak ada masalah yang serius. "Tapi gue gak mungkin kalah, sih. Tenang aja! Gue nanti akan bawa dua cewek sekaligus. Elsa dan si anak pemilik rental PS itu," kata Indra. "Oi, katanya Lo gak minat sama dia. Ngapain Lo mau pacarin dia?" ucap Iqbal tak terima. "Ya mana tahu nantinya gue minat. Lo pun pasti akan tersingkir. Hahaha," jawab Indra dengan tawanya. "Sabar, Bal. Ini ujian," ucap Gibran menenangkan Iqbal yang nampak tidak senang. "Eh, tapi soal traktir-traktiran itu masih berlaku, kan?" tanya Gibran kemudian. "Tentu saja, iya. Jadi siapin aja lah, duitnya. Karena si kandidat kalah yang paling mungkin adalah Lo," kata Indra. "Ooo ... Gitu, ya? Oke. Akan gue buat Lo menelan ludah Lo sendiri," kata Gibran. "Lah. Tiap hari gue juga udah nelen ludah kali, wahai Kahlil Gibran," kata Indra. "Hadeh! Terserah lah, terserah." Malam yang indah bersama para sahabat tercinta. Tapi seperti hari-hari biasanya, selalu ada konflik kecil di antara mereka. Sebuah pertikaian sederhana yang memang wajar untuk menghiasi masa muda. Tiga lelaki itu sepanjang malam hanya membahas tentang wanita. Seperti tidak ada topik lain yang lebih berguna. Selalu saja wanita, dan itu terus berlangsung sampai dua di antaranya mengucap sampai jumpa. "Gara-gara Lo nih. Gak kerasa udah jam 12 malam," ucap Iqbal. "Lo lah curhat mulu. Si anak pemilik rental PS, lah. Nessa, lah. Sampai pusing gue dengernya," balas Gibran. "Sudahi perdebatan ini, kawan! Aku sudah ngantuk berat dan ingin segera pulang," ucap Indra dengan gaya bahasanya yang aneh ketika terdengar oleh kedua sahabatnya. "Gak mau nginep aja?" tawar Gibran. "Ah, iya juga. Lebih baik nginep di sini aja," kata Iqbal. "Tapi tidur di teras. Mau?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN