Bab 7

1425 Kata
Sontak perkataan Gibran itupun memancing perdebatan lagi. Iqbal tentunya tidak terima dan memilih untuk berdebat. Sedangkan Indra cuma bisa menguap kencang karena sudah sangat mengantuk. "Sialan Lo! Beginikah cara si tuan rumah memperlakukan tamunya?" "Oh ya jelas. Keren, kan?" tanya Gibran. "Keren banget. Sampai gue kepikiran untuk membakar rumah Lo," kata Iqbal. "Bakar aja! Rumah gue tahan api," ucap Gibran dengan sombongnya. "Cih, udahlah, males," kata Iqbal. Gibran tertawa penuh kemenangan. Hari sudah benar-benar memasuki waktu tengah malam. Suasana sepi pun semakin menjadi-jadi. Hanya ada suara kedua manusia konyol itu ditambah dengan suara-suara hewan malam yang seolah menjadi musik penghantar tidur. Iqbal sudah tak sanggup lagi meladeni sang tuan rumah dalam berdebat. Kalau diteruskan, maka bisa sampai pagi ia berada di teras rumah besar itu. Kasihan juga Indra yang sudah mengantuk sedari tadi. "Pulang gue, pulang," ucap Iqbal kesal. "Nggak jadi tidur di sini? Di teras," ucap Gibran. "Nggak," jawab Iqbal ketus. "Hahaha...." Gibran tertawa. Dan setelahnya tak ada lagi pembicaraan. Iqbal mengajak Indra untuk secepatnya meninggalkan rumah si manusia tidak punya akhlak itu. Ya, mereka berdua memang datang dengan berboncengan. Lebih tepatnya Iqbal datang terlebih dahulu untuk menjemput Indra dan mengajaknya pergi ke rumah Gibran. Keseruan yang juga diliputi dengan rasa kesal itupun mau tidak mau harus berakhir. Lagi-lagi sang waktu yang melakukannya. Kalau saja sang waktu boleh disalahkan, maka semua hal buruk yang terjadi di dunia ini adalah salahnya. "Huff. Sepi lagi," ucap Gibran. Dan setelah itu ia pun masuk ke dalam rumahnya. Esok hari yang cerah pun tiba. Sang mentari memancarkan cahayanya dari ufuk timur sana. Lelaki bernama Gibran itupun bersiap untuk menjalani rutinitasnya sebagai seorang pelajar. Ya, ia tentu saja harus berangkat sekolah. "Yah," panggil Gibran ke ayahnya setelah selesai sarapan bareng. "Apa, Bran?" tanya ayahnya. "Beliin PS dong. Hehehe," pinta Gibran. "Buat apa?" tanya ayahnya. "Buat dijual lagi," jawab Gibran ngawur. "Loh. Kok dijual lagi. Lalu apa gunanya beli?" tanya ayahnya. "Habisnya, pertanyaan ayah gak bermutu. Masa PS buat apa. Ya buat main game lah," kata Gibran. "Game terus gak baik lho, Bran," kata ayahnya. "Ya nggak terus-terusan lah, Yah. Aku janji deh, cuma main 10 jam perhari," ucap Gibran. "Ya Allah. Gibran, 10 jam itu lama." "Tapi cepat kalau dibuat nge-game," kata Gibran. "Ya udah. Gak ayah beliin," ucap ayahnya. "Hmm. Kok gitu sih, Yah. Ini anak ayah satu-satunya lho," rengek Gibran. "Oke, tapi ada syaratnya. Baru nanti ayah beliin." "Syarat? Apa itu, Yah?" tanya Gibran. "Di ujian nasional nanti, nilai kamu harus bagus-bagus. Kalau tidak, ya nggak jadi ayah beliin. Dan jangan sampai dapat nilai bagus karena curang. Paham?" "Oh, itu doang? Gampang, lah. Ini Kahlil Gibran. Kalau cuma soal itu, tentu akan sangat mudah," ucap Gibran penuh dengan gaya. "Bagus. Dan nanti kalau udah ada PS, cukup 3 jam aja perhari mainnya. Dan jangan lupa belajar," ucap ayahnya lagi. "Siap, Yah," kata Gibran. Al Gibran Ramadhana. Sebenarnya dia bukanlah anak yang manja. Mungkin baru kali inilah ia meminta sesuatu dari orang tuanya. Sebelum-sebelumnya tak pernah ia meminta sesuatu yang bernilai tinggi selain hanya kasih sayang dan perhatian. Singkat cerita, dia pun berangkat ke sekolah. Dengan masih mengemban misi yang sama seperti apa yang ia lakukan di hari kemarin, kini ia pun melakukannya kembali. Ketika bel tanda istirahat berbunyi, orang pertama yang ia cari adalah Riani, si gadis cantik yang sudah menjadi incarannya. "Oi Cil, Lo lihat Riani?" Dengan wajah songong nan tidak sopannya dia bertanya kepada adik kelasnya. Parahnya caranya bertanya bisa saja mengundang kebencian yang berujung pada baku hantam. Tapi orang yang dipanggilnya sebagai bocah kecil itu justru menanggapinya dengan sikap yang biasa saja. Entah karena ia takut pada Gibran atau apa. "Kak Riani kelas 9?" tanya lelaki yang dipanggil Gibran dengan sebutan bocah kecil itu. "Ya," jawab Gibran. "Tadi kayaknya mau ke kantin, Kak," ucapnya. "Ya gak usah pakai kayaknya! Yang bener dong kalau jawab!" protes Gibran. "Iya Kak. Dia ke kantin." "Yakin? Kalau gak ada di kantin, Lo gue pukul," ancam Gibran. "Jangan, Kak," ucapnya ketakutan. "Makanya jawab yang bener. Gak usah ada keraguan! Riani di mana?" tanya Gibran lagi. "Aku .... Aku gak tahu, Kak," jawabnya. "Tadi katanya ke kantin. Sekarang kok jadi gak tahu. Lo mau mempermainkan gue? Mau gue pukul?" gertak Gibran. "Tadi aku lihat Kak Riani jalan ke arah kantin. Tapi gak tahu mau ke kantin beneran atau tidak," jawab si lelaki itu. "Dibilangin gak usah ada keraguan. Masih aja gitu," protes Gibran lagi. "Gue pukul, nih," ancam Gibran sambil bersiap dengan kepal tangannya. Lelaki yang merupakan adik kelasnya itu sudah sangat ketakutan. Namun setelahnya tiba-tiba Gibran tertawa kecil. Kepalan tangannya yang sudah bersiap memukul pun ia turunkan dan tentunya juga ia lemaskan kembali. "Hahaha. Bercanda. Udah gak usah takut. Thanks, ya," ucap Gibran sambil menepuk pundak si lelaki itu sembari memperlihatkan tawanya. Itulah Gibran. Lelaki mengesalkan yang tidak tahu aturan. Ia sudah membuat nyali adik kelasnya menciut, tapi ternyata semuanya hanyalah sebagai bentuk dari candanya saja. Kalau saja yang diperlakukan seperti itu mempunyai sikap yang berani dan juga mempunyai jiwa petarung, mungkin sudah sedari tadi Gibran diajak berkelahi olehnya. Untungnya lelaki itu mempunyai sikap yang polos dan penakut. Tapi wajar saja. Dia baru kelas 1 SMP dan Gibran sudah jelas 3 SMP. Ia kemudian berjalan menuju ke arah kantin untuk mencari sang pujaan hatinya, Riani. Tak akan ia pedulikan kalaupun kantin sedang dalam kondisi yang sangat ramai. Asal tidak ada dua orang pengganggu itu, maka ia rasa semuanya akan baik-baik saja. Ya, dua orang yang untuk kasus ini sangat tidak ia harap-harapkan kehadirannya. Siapa lagi kalau bukan dua sahabatnya, Iqbal dan Indra. "Eh, ternyata si bocil tadi gak bohong. Hahaha. Dik Riani ada di sana," ucapnya pada diri sendiri. Ia melihat Riani yang sedang duduk bersama dua teman perempuannya yang ia tidak tahu mereka siapa. Tapi sekali lagi, ia tidak peduli. Sesuai tujuan awalnya, selama tidak ada dua orang sahabatnya, maka ia akan tetap menghampiri Riani. Dan itulah sifat Gibran, yang tidak gampang mengubah tujuan awalnya. "Riani, i am coming," ucap Gibran pelan. Belum ditemukan di dalam sekolahan itu orang yang seperti Gibran. Ia yang bahkan bisa dibilang baru saja mengenal dunia percintaan, bertingkah seolah-olah ia sudah lama terjun dalam dunia itu. Tidak seperti kebanyakan lelaki yang akan malu-malu ketika untuk pertama kalinya ingin mendekati seorang gadis yang ia cintai, Gibran malah secara terang-terangan berani mendekati gadis yang ia cintai itu. Bahkan ketika gadis itu sedang bersama teman-temannya. "Hei, boleh ikut duduk?" tanya Gibran. "Ha?" Salah seorang gadis yang merupakan teman Riani itu bertanya. "Duduk," jawab Gibran. "Oh ... Iya, boleh," jawabnya. "Oke," jawab Gibran. Ia langsung mengambil duduk di samping Riani yang kebetulan memang kosong. Bodohnya, lelaki itu malah mempergunakan tangan kirinya untuk menyangga kepalanya. Pandangannya terus mengarah ke arah Riani dengan senyumnya yang manis sempurna. Sungguh, ternyata ia benar-benar tidak peduli apapun atau siapapun kecuali dua sahabatnya itu. Rasa sungkan dan keraguan pun seperti tak ada di dalam dirinya. Dalam dirinya hanya dipenuhi dengan rasa percaya diri yang hebat. "Ke kantin kok gak makan," ucap Gibran. Satu detik, dua detik tapi tak ada yang menyahut ucapannya. Ia tetap bersikap tenang layaknya manusia paling tidak punya beban di dunia ini. Setelahnya, ia pun berucap kembali. "Hei Riani, kok gak dijawab, sih," kata Gibran. "Eh, nanya ke aku?" tanya Riani sambil menunjuk dirinya sendiri. "Kan aku lihatnya ke kamu. Berarti nanyanya ke kamu dong," kata Gibran. "Kalau kayak gini, berarti aku nanya ke mereka," lanjut Gibran sambil menghadapkan wajahnya ke dua orang yang duduk di depannya. Kedua gadis itu seperti tersipu malu. Riani tertawa pelan. Ia melihat ada momen lucu ketika Gibran bertingkah seperti itu. Apalagi ketika melihat dua temannya yang malah tersipu malu akibat ulah Gibran. "Kok malah ketawa, sih?" ucap Gibran. "Emang gak boleh?" tanya Riani. "Boleh, sih," jawab Gibran. "Ya udah," kata Riani. "Emm .... Riani, kita ke kelas dulu, ya. Ambil duit dulu. Lupa gak bawa. Hehehe." Di sela-sela percakapan Gibran dan Riani, satu teman Riani itu berucap bahwa dirinya ingin pergi ke kelas terlebih dahulu. Tentunya dengan mengajak satu temannya itu juga. Alasan yang ia buat pun terdengar tak masuk akal. Sepertinya mereka memang sengaja ataupun peka, dan ingin membiarkan Gibran dan Riani berduaan saja tanpa terganggu oleh kehadiran mereka. "Eh, kok mau ke kelas, sih. Terus gue gimana?" tanya Riani. "Ya Lo di sini aja dulu. Kita nggak lama, kok. Nanti juga akan balik lagi," jawabnya. Riani nampak tidak senang. Tapi apalah daya. Ia juga tidak mungkin melarang. Ingin ikut pergi dari sana pun ia tidak enak. Ada Gibran yang kini duduk di sampingnya. Rasanya tidak sopan saja jika dia meninggalkan lelaki itu sendirian. "Yes," ucap Gibran sambil mengepalkan tangan kanannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN