Bab 8

1568 Kata
"Kenapa?" tanya Riani. "Ha? Enggak. Senang aja," jawab Gibran. "Senang kenapa?" tanya Riani. "Senang aja kita bisa cuma berdua di sini," kata Gibran. Riani memasang wajah yang sangat lucu. Ia menengok ke arah sekitar dan mendapati masih banyak orang yang berada di kantin. Pikirnya, lantas mengapa Gibran bilang seperti itu? "Kan masih ada banyak orang," ucap Riani. "Aduh! Riani. Maksudku .... Aduh, gimana ya cara menjelaskannya?" ucap Gibran sambil garuk-garuk kepala. "Hahahaha." Riani tertawa pan sambil menutup mulutnya menggunakan tangan. "Kok ketawa lagi, sih," ucap Gibran. "Eh, enggak kok," jawab Riani. Dengan tingkat kepercayaan diri yang begitu tinggi, seorang Gibran memandang Riani dengan sangat serius. Seolah-olah orang yang ia pandang itu adalah si bayi yang belum sampai berumur satu tahun. "Kenapa?" tanya Riani yang merasa risih. "Enggak kok, gak apa-apa," jawab Gibran. Lalu ia pun menghentikan aktivitas memandangnya. "Aku cuma bingung," lanjut Gibran. "Bingung kenapa?" tanya Riani. "Entahlah. Aku bingung dengan tempat ini. Kukira ini dunia, tapi kenapa rasanya seperti di surga? Kukira ini sekolahan, tapi kenapa sekarang di depanku tersaji sebuah keindahan?" kata Gibran. Riani langsung mengerti dengan gombalan maut dari seorang Al Gibran Ramadhana. Ia tersenyum malu berusaha menahan diri untuk tidak terlihat salah tingkah. Ya biar bagaimanapun juga, ia baru saja dipuji oleh seorang lelaki yang ketampanannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Mungkin banyak yang iri dengan posisinya saat ini. "Apaan, sih?" katanya. "Hahaha. Oh ya, kamu belum pesan makan?" tanya Gibran serius. Riani menggeleng-gelengkan kepalanya. Lucu sekali dia. "Ya udah. Kamu mau makan apa? Biar nanti aku pesenin," kata Gibran. "Eh, nggak usah. Aku nunggu teman-temanku saja, nanti," kata Riani. "Oh. Ya udah deh," ucap Gibran. Sejauh ini belum ada gangguan. Terutama gangguan yang datang dari dua sahabat laknat Gibran. Alhasil ia bisa dengan leluasa melancarkan aksinya untuk sedikit demi sedikit melangkah maju dalam upaya pendekatannya dengan Riani. "Kamu cantik, ya," ucap Gibran memuji Riani. "Jangan gitu, ah! Aku malu," kata Riani. "Ya aku cuma berbicara soal fakta. Apa nggak boleh?" tanya Gibran. "Emm .... Boleh, sih." "Hehehe. Kalau bisa kembali ke masa lalu, jujur aku sangat ingin bertemu dengan nenek moyangmu," kata Gibran. "Loh. Kenapa?" tanya Riani. "Gak apa-apa, sih. Pengen tahu aja, secantik apa dia hingga bisa mempunyai keturunan seperti kamu," jawab Gibran. Lagi-lagi Riani tersipu malu. "Hahaha. Pastinya jauh lebih cantik daripada aku," kata Riani. "Masa, sih? Tapi kalau bener begitu, bisa-bisa aku terpesonanya ke dia dong, bukan ke kamu," ucap Gibran. Selalu ada tawa kecil di setiap ucapan katanya. Keduanya sama-sama tertawa, seperti dua orang yang sudah kenal dekat. Padahal baru beberapa hari inilah hubungan Gibran dan Riani mulai dekat. Sebelumnya hanyalah saling mengenal saja dan jarang ada komunikasi di antara mereka berdua. "Emang kamu terpesona sama aku?" tanya Riani. "Menurut kamu?" tanya Gibran balik. "Gak tahu," jawab Riani. "Aku juga gak tahu," kata Gibran. "Lah, kok?" "Iya. Gak tahu bagaimana cara menyembunyikannya dari kamu," kata Gibran. "Terlalu sulit. Takutnya nanti aku malah semakin menyesal kalau harus menyembunyikannya," lanjut Gibran. "Semakin menyesal?" "Iya. Aku sudah menyesal, kenapa gak dari dulu aja kayak gini. Kenapa juga baru sekarang? Nah, maka dari itu aku gak mau semakin menyesal," ucap Gibran. "Hahahaha." Riani tertawa. Sungguh telah Gibran temukan jati diri sang bidadari dari dalam diri Riani. Riani pun sepertinya sama. Ia sangat senang karena sang pangeran telah memperlakukan dia seperti itu. Mungkin yang ia rasakan hanyalah sesuatu yang indah dan nyaman. Penuh dengan kebahagiaan dan jauh dari rasa sakit. "Kamu ketawa mulu, ih," protes Gibran. "Ah, enggak. Habisnya kamu lucu," katanya. "Lucu gimana?" tanya Gibran. "Iya. Tadi kamu bilang, kamu terpesona ke aku. Emang apa yang istimewa dari dalam diriku?" tanya Riani. Gibran tersenyum singkat. "Waduh, kamu gak tahu, ya? Bahkan hembusan napasnya pun bisa membuat orang lain terpesona ke kamu," kata Gibran. "Hahaha. Bisa aja, kamu," ucap Riani. Walau bagaimanapun juga, Gibran itu masih seorang remaja SMP kelas 3. Cara dia mendekati seorang gadis pun pastinya masih dengan cara yang kurang keren. Apalagi ditambah dengan dirinya yang baru terjun ke dunia percintaan. "Tapi, aku serius, Riani," kata Gibran. "Aku serius terpesona ke kamu. Dari awal aku melihatmu, sebenarnya perasaan ini sudah muncul, tapi aku tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya," lanjut Gibran. "Tapi, Bran ...." Riani menggantung ucapannya. "Tapi apa, Riani?" tanya Gibran. "Hmm. Tidak. Aku cuma ingin tahu aja yang sebenarnya. Apa alasan kamu tiba-tiba kayak gini? Bukankah kamu selama ini gak peduli dengan hal yang seperti ini?" tanya Riani. "Alasanku, ya?" tanya Gibran. Riani mengangguk. Itu pertanyaan yang begitu mudah untuk dijawab oleh Gibran. Ia tentu sudah mempunyai jawabannya. Namun, tak disangka-sangka tiba-tiba bola matanya menangkap pergerakan dua manusia menyebalkan yang ia yakini akan merusak pertemuannya dengan Riani. "Waduh, sialan! Para curut pengganggu datang," gumam Gibran. "Apa, Bran?" tanya Riani. Dan Gibran pun kembali fokus ke Riani. "Eh, enggak. Riani, soal pertanyaan kamu itu, jawabnya nanti aja, ya. Sekarang aku harus pergi. Tuh, para pengganggu udah datang. Bye," ucap Gibran. Dan tanpa menunggu persetujuan dari Riani, ia pergi begitu saja dari hadapan gadis cantik itu. Sebisa mungkin ia mencari jalan yang nantinya bisa membuat dirinya tidak akan berpapasan dengan kedua sahabatnya itu. Suasana hatinya sudah cukup baik. Ia tak mau merusaknya hanya gara-gara memperdebatkan hal yang tidak berguna jika bertemu dengan kedua sahabatnya itu nantinya. "Dasar pengganggu sialan. Padahal hampir saja tadi gue bisa jadiin Riani pacar gue," gumam Gibran. Ia yang sudah bisa lolos dari pengelihatan dua sahabat laknatnya itupun kini berniat untuk pergi ke kelas saja. Tak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain itu. Riani sedang berada di kantin, dan ia tak mungkin menemui Riani lagi secara di sana sedang ada dua sahabat laknatnya itu. Maka satu-satunya pilihannya adalah dengan pergi ke kelas dan tidur seperti apa yang setiap harinya dilakukan oleh Billy. Dalam perjalanannya menuju ke kelas, ternyata ada suatu hal yang membuatnya mengurungkan niatnya lagi. Di depan sana nampak seorang perempuan yang sangat ia kenal. Ya, perempuan itu adalah Elsa. "Wih, si Elsa, tuh. Deketin ah," ucap Gibran pelan. Lagi-lagi, dengan tanpa ragu dirinya pun langsung mendekati si gadis cantik incaran salah satu sahabatnya itu. Bukan karena ingin berusaha merebut Elsa dari incaran Indra, tapi lebih tepatnya hanya ingin menanyakan sesuatu ke gadis cantik itu saja. "Eh, Rapunzel mau ke mana?" tanyanya. "Elsa, Gibran, Elsa," protes Elsa. "Iya iya. Itu maksudku," kata Gibran. Elsa hanya menghembuskan napasnya. "Ke kantin," jawab Elsa. "Eh, mau ngapain ke kantin?" tanya Gibran. "Ya mau makan dong, Gibran. Masa mau jual emas," jawab Elsa. "Hmm. Oke oke. Tapi aku ingin nanya sesuatu dulu ke kamu," kata Gibran. "Nanya apa?" tanya Elsa. "Tadi malam, kamu jadi diajak ke toko buku sama Mas Indramu?" "Enggak. Kan akunya nggak mau," jawab Elsa. "Bagus. Pilihan yang tepat," kata Gibran sambil memberikan dua jempolnya. "Iya. Lagipula tadi malam juga aku diajak sama ayah pergi ke rumah nenek," kata Elsa lagi. "Nah, tambah bagus. Dengan begitu kamu punya alasan kenapa gak mau pergi. Biar gak perlu bohong. Hahaha," ucap Gibran. "Hmm.... Iya." "Eh, katanya mau ke kantin," kata Gibran kemudian. "Iya. Tapi kamu ngajak ngobrol mulu," kata Elsa. "Iya juga, ya. Ya sudah sana! Eh, tapi ada Indra di sana," kata Gibran. "Ya sudahlah. Aku lapar. Gak peduli mau ada guru, kepala sekolah atau siapapun di sana. Yang penting aku kenyang," kata Elsa. "Oh, jadi kamu lapar?" Gibran bertanya seperti orang yang tidak punya dosa sama sekali. "Ya iyalah," jawab Elsa. "Aku saranin, gak usah lapar," kata Gibran. "Kenapa?" "Kalau kamu lapar, otomatis kamu akan beli makanan di kantin. Tadi aku lihat, si ibu penjaga kantin menggoreng tempe sambil ngupil. Hiii...," ucap Gibran. Dan itulah Gibran. Tak perlu kaget lagi soal kelakuannya. Kalau saja diadakan sebuah perlombaan tentang siapa orang terjahil di sekolahan itu, sudah pasti Gibran akan menjadi kandidat yang paling diunggulkan untuk menang. Kejahilannya sudah sangat keterlaluan. Bahkan ke Elsa yang bisa dibilang adalah orang yang tidak begitu dekat dengan dia pun, dia masih sempat-sempatnya jahil. Dan lebih parahnya, ia membawa-bawa nama baik dari sang ibu kantin. Kalau saja saat itu juga si ibu kantin mendengarnya, mungkin Gibran sudah akan dimarahi habis-habisan. "Yang bener aja, Bran. Masa ibu kantin kayak gitu?" tanya Elsa memastikan. "Iya. Malahan tadi ingusnya juga jatuh ke adonan tempenya. Kan dia kena flu," jawab Gibran. "Hiii ... jijik," ucap Elsa. "Hahaha." Gibran tertawa. "Lah, kenapa ketawa?" tanya Elsa. "Aku cuma bercanda, woi. Mana ada begitu. Udah, makan aja di kantin! Dijamin deh, higienis semua makanan di sana," kata Gibran. Elsa nampak terdiam dengan penjelasan Gibran. Tak tahu karena apa. Mungkin saja ia merasa kesal dengan lelaki tampan yang berada di depannya itu. "Resek Lo," ucap Elsa, dan kemudian langsung pergi dari hadapan Gibran. "Wih, luar biasa incarannya si Indra. Mendadak pakai panggilan 'Lo gue'. Hahaha," ucap Gibran. Perasaan senang Gibran semakin bertambah setelah ia tahu bahwa Indra gagal untuk mengajak Elsa pergi ke toko buku tadi malam. Itu berarti kesempatan dia untuk menang dalam pertandingan yang ia buat sendiri pun semakin terbuka. Namun, ia merasa ada yang aneh dengan masalah gagalnya indra yang mengajak Elsa pergi ke toko buku. "Eh, bukannya tadi malam si Indra ke enam di rumah gue, ya? Itu artinya harusnya tadi malam pun gue udah tahu bahwa ia gagal mengajak Elsa pergi ke toko buku. Waduh! Kalau gitu ngapain senengnya baru sekarang?" ucapnya pada diri sendiri. Dan itulah jawaban atas keanehan yang ia rasakan. Ia benar-benar baru menyadarinya sekarang. Padahal seharusnya ia sudah bisa menertawakan sahabatnya itu dari tadi malam. Padahal pula, di malam yang sunyi itu dirinya dan kedua sahabatnya sedang membicarakan tentang pasangan masing-masing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN