Bab 9

1998 Kata
Al Gibran Ramadhana. Satu langkah yang hebat telah ia jalani. Sepertinya, cinta dari seorang Riani semakin dekat untuk ia dapat. Sementara itu, untuk kedua sahabatnya, bukannya semakin dekat dengan orang yang mereka cintai, malah kelihatannya semakin jauh. Tapi, bukan hal yang mudah juga bagi Gibran untuk melakukan langkah selanjutnya. Bahkan hanya untuk mendekati Riani saja, dirinya harus melihat-lihat sekitar layaknya mata-mata. Pastinya adalah untuk mengawasi apakah ada dua orang pengganggu itu atau tidak. Seperti apa yang dilakukannya ketika jam istirahat kedua tiba. Ia ingin melanjutkan pembicaraan dengan Riani yang sempat terpotong akibat kedatangan dua manusia pengganggu tadi. "Huff, aman. Sepertinya gue harus cepat-cepat pergi ke sana, sebelum dua kecebong sialan itu muncul lagi," ucap Gibran. Sebelumnya ia telah melihat Riani masuk ke dalam perpustakaan. Kini ia pun berencana juga untuk pergi ke sana. Padahal dia pun belum tahu ada siapa saja di dalam sana. Tidak menutup kemungkinan juga kalau dia sahabatnya itu ada di sana. Namun, sepertinya itu adalah hal paling mustahil yang ada di sekolahan itu. Seorang Indra dan Iqbal, mana mungkin mau menghabiskan waktunya untuk berkunjung ke suatu tempat yang disebut dengan perpustakaan. Dan apa yang dipikirkan Gibran memang benar. Tak ada dua makhluk itu di dalam sana. Ada beberapa orang yang di antaranya juga ia kenal. Tapi ia tak begitu memperdulikannya. Fokusnya hanya ke satu orang yang duduk sendirian di kursi ujung sana. Ya, orang itu adalah Riani. Kini gadis itu sedang membaca buku. "Hei, ketemu lagi," ucap Gibran basa-basi. Riani yang sedang membaca buku pun sontak langsung mengalihkan pandangannya dari buku. Kini fokusnya dialihkan ke wajah tampan Gibran. "Hei, kamu ngapain ke sini?" tanya Riani. "Lah. Emang kalau orang pergi ke perpustakaan itu untuk apa?" tanya Gibran balik. "Ya baca buku atau pinjam buku, sih," jawab Riani. "Nah, itu tahu," kata Gibran. "Jadi, kamu mau baca buku?" tanya Riani. "Nggak." "Oh, mau pinjam buku, ya?" tanya Riani lagi. "Enggak juga," jawab Gibran. "Terus?" "Ingin ketemu kamu. Ea," jawab Gibran. Mendapatkan jawaban yang seperti itu membuat senyum Riani mengembang. Ia mungkin salah tingkah dengan apa yang Gibran lakukan ke dia. Sekali lagi, Gibran bukan sembarang laki-laki. Dirinya mempunyai ketampanan yang di atas rata-rata, yang bisa dengan mudah membuat para kaum hawa tergila-gila sama dia. "Bercanda aja, ah," kata Riani. "Aku serius, lho," kata Gibran. Riani lagi-lagi tertawa. "Oh ya, kakiku capek banget kenapa, ya?" tanya Gibran kemudian. "Emang habis ngapain, kok capek?" tanya Riani balik. "Ya nggak ngapa-ngapain, sih," jawab Gibran. "Terus kenapa bisa capek?" tanya Riani. Gibran mendecak sebal. Bukannya apa-apa. Perkataannya yang basa-basi ternyata tak dipahami oleh Riani. Hal itulah yang membuat dia sedikit merasa sebal. "Sumpah deh, gak peka banget," gumam Gibran. "Apa, Bran?" tanya Riani. "Eh, enggak kok. Gak apa-apa," jawab Gibran. "Oh." Untuk kedua kalinya, di hari dan tempat yang sama, Riani berhasil membuat Gibran sebal kepadanya. Namun atas dasar cinta, seorang Al Gibran Ramadhana pun tetap berusaha untuk sabar dalam menghadapi gadis itu. "Aku boleh ikut duduk, nggak?" tanya Gibran tanpa basa-basi lagi. "Boleh, kok," jawab Riani. Gibran tersenyum dan kemudian duduk di kursi yang tersedia di depan Riani. Kini hanya meja yang membatasi posisi mereka. "Oh ya, baca buku apa, tuh? Kayaknya serius sekali." Gibran kembali dalam mode basa-basinya. "Ah, enggak. Ini buku novel. Kan ada tugas disuruh buat novel, tapi aku gak begitu paham soal novel. Makanya aku ke sini buat nyari contohnya," jawab Riani. "Oh, kalau novel sih gampang. Aku juga bisa," kata Gibran dengan entengnya. "Oh ya?" tanya Riani. "Iya. Bisa pusing mikir bagaimana cara buatnya," ucap Gibran. Riani tertawa sambil menutup mulutnya menggunakan tangan. "Kok ketawa lagi, sih." "Hahaha, habisnya kamu lucu," ucap Riani. "Hmm, gak apa-apa, lah. Aku senang," kata Gibran. "Senang kenapa?" tanya Riani. "Senang lihat kamu senang," jawab Gibran. Riani kembali tertawa. Fakta membuktikan, bahwa Gibran bukanlah lelaki yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam upaya pendekatan ke seorang gadis. Malahan, ini adalah kali pertama dan juga gadis pertama yang didekati oleh Gibran. Tapi anehnya, caranya dalam melakukan pendekatan seperti orang yang sudah sangat berpengalaman. Malahan mendekati cara seorang playboy. "Eh tapi aku bingung, deh," kata Gibran. "Bingung kenapa? Apa bingung dengan tempat ini lagi? Yang kamu pikir surga tapi ternyata adalah dunia?" tebak Riani. "Hahaha, bukan itu," jawab Gibran. "Lalu?" "Aku bingung. Biasanya kan cewek sangat suka baca. Terlebih lagi baca novel. Lalu kenapa kamu yang tergolong murid pintar malah mengaku tidak begitu paham soal novel? Apa kamu tidak pernah baca novel?" tanya Gibran. "Bukan tidak pernah sih, tapi jarang. Aku sukanya baca buku komik. Hehehe," jawab Riani. "Ih, kok sama," kata Gibran. "Oh ya? Kamu juga suka baca komik?" tanya Riani. "Enggak, sih," jawab Gibran. "Lah, terus sama gimana?" tanya Riani bingung. "Kok sama kayak ibuku. Ibu juga lebih suka baca komik daripada novel," jawab Gibran. Riani kembali tertawa. "Loh. Ketawa lagi," kata Gibran. "Kenapa sih jawaban kamu gak pernah sesuai dengan apa yang aku pikirkan?" "Emang kamu mikirnya gimana?" Tanya Gibran. "Em ... Nggak, lupain aja!" jawab Riani. Kedua manusia itu pun saling pandang. Tak tahu mengapa. Tapi kalau dilihat-lihat, dari tatapan yang mereka lakukan, mereka berdua sedang memendam satu rasa yang sama, yaitu cinta. Sepertinya cinta Gibran tidak bertepuk sebelah tangan. Bukan cuma dia yang cinta ke Riani, tapi Riani juga cinta ke dia. Dan jika itu benar-benar terjadi, maka pemenang dari tantangan itupun sudah diketahui. "Oh ya, maksud kedatanganku ke sini sebenarnya adalah untuk menjawab pertanyaan yang kamu berikan tadi waktu di kantin," kata Gibran. "Pertanyaan yang mana?" tanya Riani. Gibran lagi-lagi mencoba sabar. Ia tahu Riani cuma berpura-pura saja. Riani bukan orang bodoh yang bisa dengan mudahnya melupakan sesuatu. "Yang waktu di kantin tadi. Yang tiba-tiba dua tikus pengganggu itu datang," jawab Gibran. "Oh, tikus apa curut?" tanya Riani. "Ah, sama deh intinya. Terserah yang nyebut aja," jawab Gibran. Riani pun tertawa. "Jadi, gimana jawabannya?" tanya Riani kemudian. Sejatinya ini adalah jawaban yang sangat berat untuk diucapkan seseorang ke gadis yang ia cintai. Seharusnya, dibanding disebut sebagai jawaban, lebih tepat jika disebut sebagai ungkapan. Hanya saja, sesuatu telah terjadi dan mengubah ungkapan itu menjadi sebuah jawaban. "Soal alasan kenapa aku tiba-tiba kayak gini, itu adalah karena aku sudah mulai mengenal arti dari cinta. Aku pun tak tahu kapan rasa ini mulai tumbuh. Tapi yang jelas, hati dan pikiran telah menciptakan sebuah ketertarikan kepadamu. Aku tahu kita masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan. Tapi, apa salah jika rasa ini tumbuh, secara ini adalah rasa yang tumbuh secara alami tanpa aku minta," ucap Gibran panjang lebar. "Hei Riani. Kamu gadis yang cantik, sangat cantik. Aku mengakuinya. Pasti banyak laki-laki yang menyukaimu. Aku cuma menjadi salah satunya saja. Tapi, biarkan aku mengungkapkan satu hal kepadamu," ucap Gibran lagi. Riani menunggu apa yang akan diucapkan Gibran dengan jantung yang berdebar kencang. Sejatinya ia pun sudah punya tebakan tersendiri atas apa yang akan dikatakan eh Gibran. Tapi ia tidak tahu apa tebakannya itu benar atau salah. "Aku .... Aku mencintaimu," kata Gibran. "Ah, bercanda mulu deh," kata Riani malu-malu. Gibran diam dan memandangnya serius. "Aku tidak pernah main-main kalau soal rasa," kata Gibran serius. "Gibran," panggil Riani lirih. Entah apa arti dari panggilan itu. "Kan kamu juga melihat sendiri, tentang bagaimana aku tiba-tiba bisa berubah sikap. Dulu aku yang tidak peduli dengan cinta-cintaan, sekarang bisa seperti ini. Kamu tahu karena apa? Tentunya karena perasaan cinta yang tiba-tiba muncul ke kamu," ucap Gibran panjang lebar. Riani masih diam. Ini jelas terlalu mendadak bagi Riani. Ia tak bisa begitu saja memutuskan untuk menerima atau menolak cinta yang diberikan Gibran kepadanya. Ia dilanda dilema. Tak tahu apa yang harus ia lakukan. "Bran..." panggilnya lagi. "Iya, aku mengerti. Kamu belum bisa menjawabnya sekarang. Tidak apa-apa. Pasti butuh waktu ya, untuk memberikan jawaban?" sahut Gibran. "Bukan soal itu," kata Riani. "Lalu?" tanya Gibran. "Jujur aku sangat tidak menyangka," kata Riani. "Ya, aku juga. Nggak nyangka bisa menyatakan cinta secepat ini," sahut Gibran. "Bukan. Bukan itu, Bran," ucap Riani. Gibran mengangkat sebelah alisnya. Ia sedikit bingung dengan maksud gadis cantik itu. Mulai muncul pertanyaan demi pertanyaan di dalam hatinya. "Lalu apa?" tanya Gibran. "Aku tidak menyangka, orang yang selama ini aku kagumi, ternyata juga mencintai. Kukira aku cuma akan menjadi pengagum tanpa bisa menjadi pemilik, tapi hari ini nyatanya apa yang aku pikirkan itu salah," kata Riani. "Maksudnya, kamu juga menyukaiku? Malahan menyukai dari dulu. Gitu?" tebak Gibran. Riani mengangguk. Gibran tersenyum. Kali ini ia ikut-ikutan tidak menyangka. Kemenangannya sudah di depan mata. Riani telah menyatakan bahwa dirinya juga menyukai Gibran. Bahkan menyukai dari dulu malahan. Gibran bersorak heboh dalam hatinya. Hal utama yang membuat dia senang sebenarnya bukanlah karena gadis cantik itu ternyata juga memiliki rasa yang sama dengannya, melainkan karena dia merasa akan menang dalam tantangan yang ia buat bersama kedua sahabatnya. Harga dirinya tidak akan jatuh setelahnya. Dan yang paling penting, ia bisa membuktikan bahwa dirinya sangat mudah dalam hal mencari seorang pacar. Ia juga bisa membuktikan kepada semuanya bahwa ia bukanlah lelaki tidak normal yang tidak pernah ada rasa dengan kaum perempuan. "Kamu nggak bercanda, kan?" tanya Gibran basa-basi. "Tidak sama sekali. Aku serius," jawab Riani. "Kalau begitu, apa kamu mau jadi pacarku?" tanya Gibran. Sudah tidak ada keraguan di hatinya untuk mempertanyakannya ke Riani. Pikiran remajanya mengatakan bahwa hanya ada satu pilihan yang akan dipilih oleh Riani nantinya sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Satu pilihan itu adalah tentang Riani yang secara sukarela menerima cintanya. "Iya," jawab Riani. Lagi-lagi dengan raut wajah pemalunya. "Iya apa?" tanya Gibran. "Iya, aku mau jadi pacar kamu," jawab Riani. Gibran tersenyum. "Em, bentar. Kok aku rasa kurang keren, ya," kata Gibran. "Coba kita ulang," lanjut Gibran. "Apanya yang diulang?" tanya Riani bingung. "Ya kalimat pernyataan cintaku dan jawabanmu, lah," jawab Gibran. Riani memberikan tatapan malasnya ke Gibran. Lelaki yang sangat aneh, pikir Riani. "Nggak usah deh. Kan jawabannya pasti akan sama," kata Riani. "Ya udah deh, gak usah. Ngikut kamu aja," kata Gibran. "Hahaha." Riani tertawa. "Jadi sekarang kita udah resmi pacaran, kan?" tanya Gibran memastikan. "Iya Gibran," jawab Riani. "Tapi ada syaratnya," lanjut Riani. "Syarat? Syarat apa? Jangan bilang kalau syaratnya itu menguras air laut sampai kering, atau melakukan pembunuhan ke seseorang. Aku jelas gak bisa. Aku kan lemah lembut dan baik hati," kata Gibran. "Hahaha. Udah ah, jangan bikin aku ketawa mulu. Syaratnya gampang kok," kata Riani. "Iya apa?" tanya Gibran. "Jangan ada panggilan spesial. Cukup panggil seperti biasanya aja, dengan nama masing-masing," kata Riani. "Itu doang?" tanya Gibran. "Iya." "Oke, gampang. Akan aku laksanakan," kata Gibran. Riani pun tersenyum senang. Syarat yang sangat tidak berbobot. Bagaimana mungkin seorang Al Gibran Ramadhana akan terbebani dengan syarat yang sangat mudah seperti itu? "Sip," ucap Riani sambil memberikan jempol untuk Gibran. "Iya sayang," kata Gibran. "Loh." "Eh, maaf. Hahaha. Khilaf," ucap Gibran. Riani malah tertawa. Dipandanginya lelaki tampan yang kini berada di depannya itu. Tatapannya yang aneh, dengan senyuman manis yang menjadi penghiasnya membuat Gibran merasa malu sendiri. Bisa dibilang, Gibran sedang salah tingkah sekarang. "Riani. Ada apa, sih?" tanya Gibran. "Nggak apa-apa, kok. Aneh aja gitu," jawab Riani. "Di mana letak keanehannya?" tanya Gibran. "Apa wajahku ini yang aneh?" lanjutnya. "Bukan. Bukan itu. Setelah kamu menyatakan cinta ke aku tadi, aku jadi ingat bahwa sering sekali aku mendengar teman-teman perempuanku bercerita tentangmu," jawab Riani. "Tentangku? Emang apa yang mereka ceritakan?" tanya Gibran. "Mereka bilang, kamu itu tampan. Mereka juga bilang, bahwa hanya perempuan yang spesial saja yang bisa memiliki kamu. Dan sekarang aku jadi mikir, apa yang spesial dari dalam diriku, sih?" ucap Riani. Gadis yang polos. Dia tidak tahu saja bahwa alasan sebenarnya dari Gibran mencintainya adalah karena dorongan tantangan yang ia buat pada hari itu. Mungkin agak keterlaluan, tapi itulah kenyataannya. Meski begitu, sepertinya Gibran pun memang sungguh-sungguh menyukai Riani walau pada awalnya adalah karena tantangan itu. "Hahahaha." Gibran tertawa. "Kok malah ketawa," ucap Riani. "Ya karena aku nggak nangis. Makanya ketawa. Coba aja kalau aku nangis, pasti gak akan ketawa," ucap Gibran. "Ih, aku serius," kata Riani manja. "Aku juga serius. Serius mencintaimu. Jadi jangan pernah tanyakan lagi apa yang spesial dari dalam dirimu sehingga aku bisa menyukaimu. Karena menurutku, cinta gak butuh sesuatu yang spesial. Rasa cinta selalu muncul dengan sendirinya," ucap Gibran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN