Sosok Hitam

1477 Kata
Gudang tua di tepi sungai itu sudah berantakan. Dindingnya penuh lubang peluru, lantai bercak darah yang mengering jadi noda hitam pekat. Bau amis bercampur dengan bau besi dan rokok basi, membuat siapa pun yang masuk merasa mual. Tiga pria berdiri di tengah ruangan, wajah mereka tegang. Salah satunya masih berbalut perban di bahu, sisa luka tembak malam itu. Tangannya gemetar saat menyalakan rokok, nyaris dua kali gagal sebelum api menyala. “Sial… sial… aku masih nggak bisa lupa suara pistolnya,” desisnya, asap mengepul cepat. “Telingaku masih berdenging tiap kali aku coba tidur.” “Diamlah, kau bikin kepalaku makin sakit,” sahut pria kurus dengan wajah cekung. Ia menendang botol kosong di lantai, botol itu menggelinding menabrak dinding. “Kau pikir cuma kau yang trauma? Aku lihat sendiri kepala Bargo pecah di depan mataku. Otaknya tumpah, anjing!” Pria dengan perban langsung menunduk, wajahnya pucat. Rokok di tangannya nyaris jatuh. Pria ketiga, yang paling tua di antara mereka, membentak keras. “Cukup! Kau mau anak buah dengar kalian merengek kayak bocah?! Tutup mulutmu, sekarang!” Hening. Suara hujan deras di luar masuk lewat celah atap bocor. Dari kejauhan, samar terdengar suara kapal tongkang menderu, menambah muram suasana. Pria tua itu melangkah ke meja reyot di tengah. Tangannya menghantam permukaan kayu, membuat debu berhamburan. “Kita dipermalukan! Dua belas orang malam itu, empat mati, empat luka parah, sisanya kabur kayak tikus! Kau tahu artinya apa? Nama kita sudah jadi bahan tertawaan di jalanan!” “Bukan salah kita…” bisik pria kurus itu lirih. “Orang itu… dia bukan manusia. Cara dia bergerak, cara dia nembak—” Plak! Tamparan keras mendarat di wajahnya. Pria kurus itu terhuyung, bibirnya pecah, darah menetes. “Jangan bicara omong kosong! Semua orang berdarah daging! Tidak ada yang kebal peluru!” bentak pria tua itu. Namun, di balik amarahnya, matanya sendiri tak bisa menyembunyikan rasa takut. Ia juga tahu… malam itu bukan malam biasa. Pria kurus itu masih mengusap darah di bibirnya, matanya merah menahan amarah. “Aku tahu apa yang kulihat,” gumamnya serak. “Aku lihat dia muncul dari kegelapan… seakan bayangan itu sendiri yang hidup. Peluruku nggak satupun kena. Kau tahu itu artinya apa? Dia bukan orang biasa.” Pria dengan perban ikut mengangguk cepat. “Benar. Aku juga lihat. Cara dia jalan… tenang, tapi cepat. Seolah dia tahu langkah kita sebelum kita bergerak. Satu peluru, satu kepala. Presisi macam tentara. Atau… lebih dari itu.” Pria tua itu menghempaskan kursinya dengan kesal. “Omong kosong kalian bikin aku muak! Itu cuma trik! Orang itu pasti punya tim, punya intel, kita yang lengah!” Namun kata-katanya tak cukup kuat menutupi kegelisahan di wajahnya. Tangan tuanya gemetar saat ia meraih botol minuman keras di meja, menenggaknya dalam sekali teguk. Keheningan kembali menekan. Hanya suara hujan dan derit atap bocor yang menemani. “Aku dengar kabar…” bisik pria kurus, nyaris tak terdengar. “Orang itu… ada hubungannya dengan Dirgantara.” Ruangan seketika mencekam. Pria dengan perban menoleh kaget, sementara pria tua menghentikan tegukannya. “Kau… bilang apa?” suaranya serak, matanya menyipit. Pria kurus menelan ludah, suaranya gemetar. “Ada gosip di jalanan. Katanya… pewaris Dirgantara sendiri turun tangan. Bukan cuma main bisnis, bukan cuma duduk di gedung tinggi. Dia masuk ke lumpur, membersihkan kotoran dengan tangannya sendiri.” “b******n…” pria tua memaki lirih. Ia membanting botol kosong itu ke lantai, pecahannya menyebar. “Kalau itu benar, kita semua sudah selesai.” Pria dengan perban menepuk meja keras. “Kau gila? Kenapa perusahaan besar kayak Dirgantara mau repot-repot urus kita? Kita cuma pengendali pelabuhan! Mereka sudah punya miliaran, triliunan! Untuk apa?!” “Untuk apa?” pria kurus menyeringai pahit. “Untuk kekuasaan. Kau kira mafia bisa hidup tanpa sentuh jaringan besar? Semua uang kotor akhirnya melewati bank, melewati perusahaan, melewati mereka. Dan kalau ada satu noda kecil yang bisa bikin nama mereka kotor… mereka akan sapu bersih.” Pria tua itu memijat keningnya, wajahnya pucat. “Kalau betul itu pewaris Dirgantara… kita bukan berurusan dengan manusia. Kita berurusan dengan bayangan yang bisa masuk ke mana saja. Kita tidak akan aman, bahkan di kamar tidur kita sendiri.” “Aku bilang, ini bukan kebetulan,” pria kurus menggebrak meja. “Ada orang di antara kita yang bocorin info!” “b*****t, tuduhanmu ngawur!” pria berperban langsung berdiri, wajahnya merah. “Kau kira aku yang kasih tau mereka?! Aku hampir mati ditembak malam itu, kau lihat sendiri pelurunya nembus bahuku!” “Justru itu, bisa aja kau sengaja bikin drama biar keliatan korban!” pria kurus balik menuding, matanya liar. “Cukup!!” teriak pria tua, suaranya menggema di ruangan. Tapi suaranya tidak cukup kuat menghentikan perdebatan. Pria berperban mendorong d**a pria kurus. “Kalau aku pengkhianat, kenapa aku masih di sini?! Kenapa aku nggak kabur sekalian bawa uang?! Jawab!!” Pria kurus membalas dorongan itu, hampir menghantam kursi ke lantai. “Karena kau bodoh! Karena kau kira kita semua nggak bakal curiga sama sandiwara busukmu!” “Diam, anjing!!” Tangan pria berperban meraih leher pria kurus, mencekik keras. Kursi berderak, meja hampir terbalik. Suara napas tersengal-sengal bercampur dengan makian. Pria tua akhirnya membanting botol lain ke lantai. BRAK! Suara pecahan kaca membuat keduanya terhenti, meski tangan pria berperban masih menekan leher lawannya. “Kalau kalian terus ribut kayak bocah, kita semua mati lebih cepat!” bentak pria tua dengan wajah merah padam. “Dengar aku baik-baik! Kalau benar itu orang Dirgantara yang datang malam itu… kita butuh rencana. Kita butuh perlindungan. Kalau tidak, habis kita!” Pria kurus terbatuk-batuk setelah dilepas, suaranya serak. “Perlindungan? Dari siapa? Dari polisi? Hah! Polisi udah lama dibeli orang kaya. Mereka nggak bakal lawan Dirgantara. Kita nggak punya siapa-siapa lagi.” Pria berperban menggertakkan gigi. “Kalau begitu, kita cari dia duluan. Kita balik buru dia sebelum dia buru kita.” Pria tua menatapnya lama, lalu tertawa hambar. “Kau benar-benar t***l. Kau kira kita bisa lawan? Kalau memang itu dia… kita bahkan nggak tahu wajahnya. Bayangan, itu yang kita hadapi.” Keheningan kembali merayap. Kali ini lebih berat, lebih menakutkan daripada sebelumnya. Di luar, petir menyambar, cahayanya menembus celah dinding gudang. Dalam sekejap kilat itu, ketiganya saling tatap dan untuk pertama kalinya, ketiganya sama-sama sadar: rasa takut mereka jauh lebih besar daripada rasa benci satu sama lain. Petir masih menggelegar di luar, mengguncang dinding gudang yang sudah rapuh. Tapi di dalam ruangan itu, suasana jauh lebih berat. Ketiganya diam, mata saling menatap, ada ketakutan yang mulai merayap di setiap sudut ruang. “Dia datang ke sini, dan dia nggak akan pergi,” suara pria tua itu pelan, tapi penuh arti. “Jadi sekarang, kita punya dua pilihan: kita cari dia dan mati, atau kita sembunyi dan biarkan Dirgantara nyapu bersih.” Pria berperban menggertakkan gigi. “Kita nggak akan mundur. Aku nggak takut sama orang itu, dia cuma manusia! Kita harus berani!” Pria kurus menggelengkan kepala, suaranya lemas. “Berani? Dengan apa? Kita nggak punya apa-apa, gak ada bekal, gak ada senjata yang cukup untuk ngelawan dia. Kalian pikir dia datang cuma buat main-main? Dia datang untuk bersih-bersih.” Pria tua menatap ke luar jendela, matanya kosong. “Kalian masih nggak paham, ya? Kalau dia bener-bener dari Dirgantara, kita nggak cuma berurusan sama mafia kecil. Kita berurusan sama keluarga yang punya segalanya.” “Kau pikir aku nggak tahu itu?!” Pria berperban hampir berteriak. “Aku tahu betul siapa Dirgantara itu! Tapi kita nggak bisa lari terus. Kita nggak bisa cuma menunggu mati!” Pria tua itu menghela napas, hampir terputus. “Tapi, kita nggak bisa… kita nggak bisa melawan bayangan yang sudah siap mencabut nyawa kita kapan saja.” Klimaks malam itu datang tiba-tiba. TAP… tap… tap… Langkah kaki terdengar dari lorong gelap. Suara itu berat, pasti, seakan langkah itu menguasai setiap inci ruang. Ketiganya terdiam sejenak, hati mereka berdegup kencang. “Siapa itu?!” pria kurus hampir menjerit, suara napasnya semakin cepat. Pria tua itu melangkah mundur, wajahnya pucat. “Jangan bergerak… jangan ada yang bergerak.” Suara langkah itu semakin dekat, semakin jelas. Pintu gudang berderit, suara itu menusuk ke telinga mereka, membuat darah mereka mendingin. Lalu— DOR! Tembakan menggelegar, peluru menembus udara. Pria kurus yang berdiri di sudut, yang sempat panik, terjatuh dengan darah menyembur dari d**a. “Tidak!” teriak pria berperban, berlari ke arahnya. Namun saat ia mendekat, sosok hitam itu sudah menghilang dalam bayangan. Dia datang dan pergi seperti angin. Pria tua terdiam, matanya kosong. “Aku bilang kan? Kita nggak bisa melawan… dia sudah ada di sini.” Pria berperban merangkak, mengguncang tubuh pria kurus yang sudah tak bergerak. “Bangun, bangun, tolong! Jangan mati! Aku butuh jawabanmu, anjing!” Tapi sudah terlambat. Di luar, petir kembali menyambar. Ketiganya tahu, mereka tidak akan pernah bisa lari dari bayangan itu. Dan malam itu, hanya ada satu pertanyaan yang berputar dalam pikiran mereka: Siapa yang akan mati berikutnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN