Seharian ini aku melakukan hal-hal dengan riang, bernyanyi kesana-kemari tanpa peduli pandangan orang. Abi sedang tidak di rumah, beliau kadang menjaga sendiri minimarket kami kalau Anita sedang libur. Anita sepupu kami dan Abi mempekerjakannya. Sementara Ayuk adalah guru SD, jadi dia sudah pasti tidak akan di rumah saat hari sekolah seperti ini. Tapi aku bisa membayangkan Ayuk juga akan secerah aku, menanti malam ini dengan tidak sabar.
Suara nyaring dan sumbang bercampur semangat memeriahkan suasana hatiku. Lirikan mata dan gerak mulut yang imut seperti penari dambus yang, aduhai syahdu. Benar yang dikatakan orang-orang tentang virus merah jambu ini, segalanya tampak berbeda, tampak istimewa, tampak indah. Ah... jatuh cinta, bisakah aku bangun cinta bersamanya? Maukah dia menarikku bangkit? Senyum dalam mata cokelatnya terbayang-bayang di mataku, belum lagi kalimat santun yang selalu dipakainya, membuat perasaan rindu membakar jua dalam hatiku.
Do’a-do’a selesai dipanjatkan dan penerus generasi yang sedang menimba ilmu akhlak berbaris menunggu giliran, sebagian usil saling mengganggu dan sebagian yang lain tengah serius mengulang pelajaran dalam kitabnya.
"Ustadzah sangat senang hari ini," santriku berbisik kepada teman di sebelahnya.
Tentu saja aku senang, akhirnya seseorang akan jadi teman hidupku. "Pstt, jangan berisik." Mereka pura-pura membaca iqro'nya masing-masing. Oh, aku ingin mengajari sendiri anak-anakku nanti, menjadikan mereka pribadi yang baik dan taat. Senyumku mekar membayangkan memangku bayi cokelat dalam pelukanku.
***
Akhirnya malam pun menjelang, Sang pujaan segera akan datang. Berulang kali make and remove, belum juga bayangan di cermin terasa cukup memuaskan. Tubuh imutku terbungkus gamis warna hijau muda, tampangku menyedihkan. Aku berdandan, satu hal yang tidak lazim kulakukan, tapi ini malam yang spesial dan perasaan ingin tampil terbaik benar-benar tidak bisa kuabaikan.
"Cieee... yang udah lama dandan tapi masih belum puas juga."
Suara Ayuk cukup membuat pensil alis yang kupegang bergerak keluar jalur. Meskipun aku Erly Natasha, pensil alis bergeser itu... You know dong... what I mean.
”AYUK!” Aku merengek karena sebal, tapi dia dengan senyuman masuk tanpa permisi atau peduli. Aku memutar badan dan memasang wajah merengut kepadanya. Wanita di depanku ini sangat cantik, wanita manapun pasti ingin memiliki hidup yang dimilikinya. "Ketuklah pintu lebih dulu!"
"Salahmu sendiri, kenapa tidak dikunci saja," katanya acuh duduk di tempat tidurku.
Dia memang selalu mengabaikan permintaanku. Aku suka Ayuk, tapi saat ini Erly sedang tidak mood bercanda atau berdebat. Aku mengela napas. Erly ingin sekali tampil cantik untuknya, calon imamku. Arif Gunawan.
"Kamu terlihat seperti badut," komentarnya tanpa perasaan.
Aku mematut diri di cermin sekali lagi. Aku sependapat dengannya. Mengerikan adalah kata yang paling cocok untuk hasil sapuan make up karyaku. “Bagaimana ini, Yuk?" Tubuhku juga mendadak hopeless. Aku sangat berharap memiliki kemampuan seperti yang Ayuk miliki. Dia cantik tanpa riasan dan lebih cantik lagi dengan riasan. Saat ini wajahnya dibubuhi corak make up natural, benar-benar tamu yang spesial. Biasanya Ayuk tidak akan repot-repot memoles bedak untuk tamu siapapun yang datang.
"Biar Ayuk bantu," dengan senyum sayang Ayuk mendekat. “Tutup matamu Dek,” pintanya dengan senyuman dalam suaranya. Aku menurut dan dalam beberapa menit kemudian Ayuk kembali bersuara, “Selesai,” ucapnya senang.
Aku membuka mata. Pelan. Khawatir melihat hasilnya. Aku memang punya penyakit yang suit membedakan wajah, juga tidak terlalu yakin tentang pengaruh bubuk warna-warni itu akan menghasilkan kesan berbeda dari wajahku, tapi kali ini aku mengakuinya. Mataku membulat melihat wajah yang terpantul di cermin, sekejap mata yang Ayuk kerjakan jauh lebih baik daripada yang kulakukan hampir satu jam terakhir. “Cantik sekali!”
“Benar. Kamu harus belajar melakukannya sendiri, Dek. Harus terlihat cantik untuk suamimu, supaya dia tidak melirik wanita lain,” sarannya sambil mengerling kepadaku.
Oh, aku sangat menyukainya. My sisterhood. "Insyaallah. Ayuk memang berbakat!" Aku memuji sepenuh hati. Terutama dengan, "Hidungku nampak lebih mancung," ucapku dengan cengiran.
Dia tertawa. "Namanya shading."
Aku mengangguk. Akan aku ingat. "Lelaki itu mungkin akan langsung melamar Ayuk malam ini. Ayuk luar biasa cantik." Aku mengangkat dua jempol untuknya.
"Apa sih Dek." Ayuk bergerak malu-malu, "Kamu yang akan dilamar malam ini, bukan Ayuk."
Aku tersenyum malu. Aku sangat berharap hal itu berjalan lancar. Kami berdua sama deg-degan saat menuju ruang tamu. Aku melihat... HANS?! Kenapa dia di sini?
Hans sepertinya menyadari kehadiran kami. Dia berdiri menyambut, "Waw! Erly... you look awesome!" senyumnya merekah.
"Asem! Kenapa kamu di sini?" Aku mengalihkan pembicaraan. Syukurlah Ayuk menambahkan perona pipi, sehingga tidak akan ada yang menyadari diriku yang merona atas pujian itu.
"Aisyah memintaku datang," jawab Hans masih menatapku.
Aku melirik Ayuk yang anehnya terlihat malu-malu. Jangan bilang mereka...!
"Hoi-hoi, kamu tidak mengundangku untuk menyaksikan lamaran ini? Kamu seperti tidak menganggapku sahabatmu," Hans berlagak merajuk.
Malam ini dia terlihat awesome yang sebenarnya. Aku sudah tau dan mengakui Hans Abdul Abdillah memang tampan, tapi malam ini dia... luar biasa. "Hoi-hoi, aku takut kamu akan menertawakan calonku." Aku meniru irama suaranya sambil menatapnya agak tajam. Arif Gunawan bukanlah tandingan Hans dari segi fisik, tapi Erly memang tidak mencari sesorang berdasarkan fisik sebagi imamku.
"Erly, itulah yang para sahabat lakukan," katanya tersenyum malas.
Aku memonyongkan mulut tidak setuju. Aku tidak punya sahabat, jadi tidak terlalu yakin apakah mereka yang disebut sahabat memang melakukan hal itu. Tapi kalau iya, maka aku bisa mengakui bahwa hampir seluruh siswa-siswi sekolahku dulu adalah sahabatku, sahabat karibku. Kami mendengar ketukan di pintu. Darahku berdesir, dadaku berdegup sedikit lebih bersemangat dari biasanya dan kami bertiga memperhatikan gerakan lugas Umi yang berjalan ke asal suara.
"Ehm!" Hans berdeham dengan sengaja. "Ciee Erly... ciee ciee," godanya.
Aku tidak bisa marah karena terlalu senang. Kami bertiga mengambil tempat untuk duduk tapi masih berdiri menunggu tamu spesial ini mendekat. Umi menyambut tamu kami. Lalu mataku menangkap sosok lain. Arif datang dengan seseorang wanita, yang jelas lebih tua daripada dirinya. Mungkin Ayuknya? Tapi ada sesuatu yang terlalu intim jika disebut saudara di antara mereka. Aku berdoa semoga tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Setidaknya jangan hari ini, disaat hatiku membuncah penuh cinta.
"Maksud kami datang kemari adalah untuk melamar putri Bapak, Erly," suara Arif sangat lembut.
Aku memang sejak lama pernah jatuh hati padanya, tapi kupikir semuanya tidak mungkin. Aku menggenggam erat tangan Umi dengan hati berdebar, merapalkan do'a dalam hati sebisaku. Entah mengapa, tiba-tiba perasaan dingin menyapaku. Penolakanku atas Hans tempo hari menggelitik saat ini.
"Saya Arif dan ini istri saya, Fatimah."
Apa? ISTRI?! Aku jelas tidak tahu-menahu dan terguncang dengan fakta ini.
"Kamu sudah beristri? Lalu kenapa... kenapa?" Hans yang malah angkat bicara dengan suara yang sebenarnya tidak sopan, "Kenapa kamu? Mau menjadikan Erly istri kedua?!!!" tanyanya mewakili semua mulut keluargaku.
Aku terlalu shock untuk bisa berkomentar saat ini. Aku bahkan berharap ini hanya mimpi.
"Ya. Kupikir Erly sudah tau," Arif bingung. Gerakannya berubah canggung, begitu pula dengan Fatimah.
"Aku belum tau. Aku sama sekali tidak tau," bantahku, sama tidak sopannya dengan Hans.
"Kamu tidak memberitahunya?" Fatimah bertanya kepada suaminya dengan... suara yang lembut. Sangat lembut.
"Dia pasti mendengar cerita kita dari orang lain," Arif menjawab.
Arif Gunawan tampak sangat mencintai wanita itu. Perlakuan dan matanya menunjukkan segala hal yang memaksaku untuk terhina. Sebeginikah sakitnya? Apa Hans juga seperti ini saat aku menolaknya? Aku melirik Hans, perasaan bersalah dan gamang menyergapku. Lelaki itu marah, matanya berkilat menuding Arif dan istrinya. Seperti itukah seorang sahabat? Kalau iya, aku masih punya sedikit harapan. Hans, sahabatku itu, tidak akan mengucilkanku. Aku yakin sekali.
"Erly mungkin belum mendengarnya Nak. Dia sebenarnya sangat tidak suka menggosipi orang lain." Umi terdengar tenang dan sopan.
Beliau memang tegar dan kadang lebih bijak daripada Abi. Sayang sekali. Hari ini Umi dan Abi sungguh dalam penampilan terbaik mereka, seperti Hans, Ayuk dan Erly. Aku merasa sangat menyedihkan.
"Suamiku 23 tahun dan aku sekarang 32 tahun. Kami menikah sejak suamiku lulus sekolah karena dijodohkan dan aku..." Dia ragu melirik suaminya.
Sopan, lembut juga cantik sebenarnya. Fatimah terlihat lebih muda dari usia yang diakuinya.
"Kami belum memiliki keturunan." Arif meneruskan sambil menggenggam tangan istrinya.
Aku cemburu? Pasti. Tapi, ingatkan aku, aku... bukan siapa-siapa.
"Jadi putriku akan dinikahkan untuk—" Abi mulai meradang, reaksi yang sedikit terlambat.
"Bukan Pak, maafkan saya. Arif memang menyukai putri Bapak bahkan sebelum kami menikah. Hanya saja..." Fatimah, wanita yang tangguh seperti namanya, seperti putri Rasulullah. Lihatlah! Wanita ini melindungi suaminya. Apa aku bisa seperti itu?
"Maaf, Yuk Fatimah. Erly tidak ingin merebut suami siapapun. Erly juga tidak ingin menikah untuk dijadikan istri kedua." Aku sungguh tidak bisa menahan airmataku. Aku merasa terharu akan kisah cinta mereka, perlakuan mereka satu sama lain, tapi cintaku ini... Oh, ini sungguh menyakitkan.
"Dan Arif! Aku sangat ingin mengajakmu fight. Kamu beruntung, punya istri seperti Yuk Fatimah. Aku tidak akan pernah bisa jadi istri sebaik dia untukmu." Aku berani mengancamnya, berani bertaruh atas amarahku, juga rasa percayaku akan sosok wanita di samping Arif, yang tertunduk dalam tangis. Dia pasti sudah bertahan dengan berat hati. Oh, Aku ingat! Dua bulan... dua bulan kedekatanku dengan SUAMI-nya!!! Kenapa Erly Natasha seburuk ini?! Air mataku mengalir lebih deras. Aku tidak suka menangis dan sangat tidak suka menunjukkan airmataku. Tapi kali ini... biarlah!
"Erly... Nak, tenanglah!" Umi mengusap jilbabku dengan sayang.
Aku merasa kali ini Umi tidak berhasil meyakinkanku. Rasanya bukan malah reda, tapi bertambah sakit. Umi... kenapa cinta Erly seperti ini, Umi?! Kenapa semuanya selalu buruk?!
"Kamu akan dikutuk membusuk di neraka kalau sampai meninggalkannya!" Aku mengumpat dan berlari ke kamar dengan luka hati, mengunci pintu dan menangis sepuasku. Apa aku memang dikutuk, Yaa Allah? Aku bukan ingin takabur, tapi ini keterlaluan! Sekali saja! Tidak adakah kebahagiaan untukku?!