7. ATINA BINTI YAHYA

2106 Kata
Aku seorang ibu, biasa dipanggil Umi. Namaku, Atina binti Yahya. Aku menikah dengan Umar Fadillah, suami yang keras melindungi keluarga kami. Namun, penuh kasih sayang kepada kedua putri kami, Aisyah Aswara dan Erly Natasha. Putri kami hampir seperti bulan dan matahari, mereka berbeda pesona yang membanggakan dengan tidak biasa. Aisyah Aswara, si sulung seperti bulan purnama, sementara Erly Natasha, si bungsu lebih seperti matahari siang yang terik. Sebagai Umi mereka, aku mencoba bersikap seadil yang kubisa. Namun, tidak bisa memungkiri kasih sayangku yang berlebihan untuk Erly. Erly, dia gadis yang tegar dan mandiri. Dia pernah pulang dengan wajah lebam dan mengatakan baik-baik saja sambil tersenyum, padahal aku mendapat laporan dari salah seorang teman sekelasnya, kalau Erly habis dibantai oleh seniornya, hanya karena seorang laki-laki. Aisyah, dia sudah memiliki segalanya. Namun, aku tetap mengenalnya lebih baik, sifat egois yang dimilikinya dan rasa sayangnya untuk Erly. Dia pun pernah pulang sekolah sambil menangis hanya karena dibentak seniornya dengan masalah yang sama. Sahabatnya bahkan datang ke rumah untuk melaporkan kejadian itu kepadaku, tentang dua orang laki-laki yang memperebutkan cintanya, lalu mantan para lelaki itu malabraknya. Masa muda! Sekarang aku sudah mengejar Erly, menggedor pintu kamarnya yang tiba-tiba dikunci. “Nak, boleh Umi—“ "Erly baik-baik saja, Umi." Hanya itu yang kudengar dari balik pintu, suara tangis yang jelas dari putriku yang keras kepala. Aku kembali ke ruang tamu dengan wajah mereka yang tegang menyambutku. "Bagaimana, Umi?" Abi juga ikut khawatir. "Dia mengatakan baik-baik saja," jawabku seadanya. Sangat tidak wajar berbohong saat ini, tapi aku yakin mereka mengerti. Mana mungkin Erly akan baik-baik saja, meskipun ini Erly yang sama, yang tersenyum dalam wajah lebamnya dulu. Aisyah hendak beranjak, tapi aku segera mencegahnya, "Pintunya dikunci Nak.” Aisyah kembali duduk dengan wajah masam. "Kami sangat minta maaf," ucapku kepada tamu kami sambil kembali duduk. "Kami juga minta maaf atas kelakuan putri kami," kataku merendah. Tentu saja, mereka tamu dan Erly sepenuhnya benar tentang wanita yang tertunduk ini. "Umi tidak perlu minta maaf. Erly tidak salah dan seharusnya kita mengusir mereka sekarang juga!" Aisyah tampak marah, matanya berkilat jelas menatap kepada tamu di depan kami. "Aisyah!" Suamiku bisa menempatkan diri. Aku sangat tau amarah yang sama menyala dalam matanya, tapi dia meredamnya. Umar sangat bisa membungkam putri-putri kami hanya dengan memanggil nama mereka. Itu pelajaran etika yang dikuasinya dengan baik, hanya dengan suara datar penuh peringatan bukan membentak. "Kami akan pergi Pak. Mohon maaf atas keributan ini," lelaki itu beranjak sambil menarik lembut tangan wanita yang masih menangis di sebelahnya. Mereka berjalan ke arah pintu dan aku mensejajarkan langkah. “Sampaikan permintaan maaf kami untuknya, Bu,” ucap wanita itu dengan suara serak dan terputus-putus. "Ya. Berbahagialah. Itu pesan Erly untuk kalian," balasku sambil tersenyum. Erly tidak mengatakan itu, tapi sikapnya menunjukkan kalimat itu dengan nyata. Putriku itu mencintai lelaki ini, mengagumi wanita ini, menghormati pernikahan mereka dan terluka oleh mereka ini. "Terimakasih." Mereka akhirnya pergi dengan senyuman. Aku menutup rapat pintu setelah mobil mereka bergerak keluar halaman rumah. Satu lagi masalah yang tertinggal, Aisyah. Aku kembali ke ruang tamu dan melihat wajah lelah, marah dan kecewa. Mereka tampak tidak bersahabat membahas tentang calon Aisyah setelah kejadian menghebohkan ini. "Aisyah... calon yang kamu katakan tidak datang?" tanya Umar. Aku terpaksa duduk bersama mereka lagi. Aku sebenarnya lelah dengan ketidak-pekaan suamiku ini, syukurlah dia menunjukkannya hanya sesekali. Kenapa dia masih ingin membahas lagi? "Dia di sini, Abi," Aisyah menunjuk Hans malu-malu. Sudah kuduga! Aisyah sudah jatuh hati kepada Hans sejak lelaki itu datang melamar Erly dulu. Memang tidak masalah kalau Hans setuju, kenyataannya Hans tidak terpengaruh dengan Aisyah. Lihatlah ekspresi Hans yang terkejut. "Aisyah?!" Hans menatapnya penuh curiga. "Apa? Ya, kan?" Aisyah mulai ragu. Aku menghela napas, ini akan merusak kedua anak gadisku. "Tidak. Aku mencintai Erly Natasha. Hanya dia." Oh, kepalaku pusing. Untuk tubuh tuaku hari ini seperti p********n. Aku harus menenangkan Erly dan sepertinya Aisyah juga akan membutuhkanku malam ini. "Lalu, kita apa?" Aisyah mulai berang. Suamiku menatapku dengan wajah lelah. Bagaimanapun juga dia Abi mereka. Kami menyukai Hans seperti anak laki-laki yang tidak pernah kami miliki, tapi kami tidak akan membiarkan kedua putri kami rusak oleh seorang laki-laki. "Kita berteman. Aku menganggapmu sebagai saudariku, hanya itu," Hans menjelaskan. Hans Abdul Abdillah ini sangat menyenangkan. Dia sopan, ramah dan tidak kaku. "Aku membencimu, Hans!" Aisyah juga menangis dan berlari ke kamarnya. Oh, sayangku! Aku juga rasanya ingin berlari ke kamarku sendiri. Tapi aku seorang ibu dan aku, ibu mereka. "Nak, mungkin lebih baik kalau kamu jangan datang ke sini dulu, setidaknya satu minggu. Umi khawatir." Sikap Hans yang baik dan juga terang-terangan membuatku nyaman menyampaikan hal buruk kepadanya. Lagipula anak muda satu ini sangat optimis untuk mendapatkan Erly, tapi kejadian barusan membuatku sedikit ragu. Apa yang akan Hans lakukan? Erly sungguh tidak memiliki rasa kepadanya. Entah dia akan bersikap sebagai hero untuk mengobati patah hati Erly atau menyerah seutuhnya. "Hans mengerti Umi. Tolong jangan ceritakan ini kepada Erly. Aku—“ "Kami mengerti, Nak." Suamiku angkat bicara. Senyum lelahnya terlempar untuk Hans. Meskipun aku tidak mengerti, tapi Hans tersenyum lega. Ini bahasa yang hanya digunakan sesama lelaki dan dimengerti mereka. Maka aku memilih diam. Kami mengantar Hans keluar. “Hans juga minta maaf, Umi, Abi,” katanya lagi. Aku dan suamiku mengangguk dengan senyuman, “Hati-hati di jalan, Nak.” *** Aku mengunci pintu dan sedikit terkejut saat berbalik. Hampir saja aku menabrak Umar yang ternyata masih berdiri di belakangku. "Siapa yang harus aku hibur, Tina?" tanyanya sambil menatapku galau. "Erly," jawabku yakin. Umar dengan lunglai menurut. Erly lebih terbuka dengan Abi-nya daripada aku. Kesamaan mereka yang sok tegar juga mempengaruhi kenyamanan mereka untuk saling berbagi. “Hari ini melelahkan,” ucapnya setengah berbisik. Kami menuju arah yang sama. “Ini lebih berat bagi mereka,” balasku dengan senyuman dan Umar mengusahakan tersenyum untukku. Kamu suami yang hebat, Abi. Dan mereka, putri kita. Aku memperhatikan Umar yang mengetuk ragu pintu kamar Erly. Karena tidak kunjung ada reaksi Umar kembali menatapku, ‘Mungkin sudah tidur?’ Umar mempraktekkan tanpa bersuara. Aku membalas dengan memperagakan, ‘Ketuk dan bicaralah,’ juga tanpa mengeluarkan suara. Kulihat Umar melakukannya dan dia tersenyum padaku sebelum masuk dan menghilang ke kamar putri bungsu kami. Giliranku! Aku sengaja mengetuk pintu kamar Aisyah yang terbuka, menghormati privasi yang dibutuhkannya. Meskipun Aisyah bukan Erly yang selalu membiarkan pintu kamarnya tidak dikunci. Pintu kamar Aisyah terbuka dengan sengaja, aku tau, anak ini ingin dihibur. Biasanya dia akan selalu mengunci pintu kamarnya, entah dirinya sedang di rumah ataupun di luar rumah, kunci yang selalu bergantung bersama hp-nya. Kamarnya memang selalu bersih, rapi dan nyaman, kecuali saat hatinya sedang marah. "Kenapa dia menolakku, Umi? Apa kurangnya aku!" Aisyah sempurna, memang benar, tapi dunia berputar tidak selalu sama dengan kemauan kita. "Karena dia mencintai Erly, adikmu. Kamu sempurna, Nak," aku mendekatinya pelan. "Tapi Erly sudah menolaknya, Umi!" Aisyah tidak keras kepala, dia hanya egois. "Perasaannya sudah berakar dan tumbuh dengan rindang bertahun-tahun, sudah diterpa angin, badai dan p****g beliung, Nak... tapi dia masih bertahan. Kita tidak bisa memaksanya." Aisyah bukan gadis bodoh, dia gadis yang beruntung. Dia lulus SMA dan langsung bekerja sambil kuliah, lalu lulus dan langsung mendapat gelar PNS. "Hans laki-laki yang bodoh, Umi. Aku membencinya!" Inilah gadis sempurna kami. Dia sebenarnya baik, tapi punya egoisme yang sangat sempurna. "Aisyah, bagimu dan banyak orang dia memang bodoh, Nak... tapi bagi dirinya, dia sedang berjuang dengan segenap perasaan dan raganya," jelasku lembut sambil manatap matanya yang hitam, seperti mata Erly, mata Hans dan juga mata suamiku. "Kenapa memperjuangkan yang tidak bisa dimiliki? Itu tindakan bodoh dan sia-sia!" Nada ketus miliknya meluncur dengan menawan dalam suara jernih. "Untuk kepuasan hati. Aisyah, Umi berharap kamu tidak menceritakan apapun kepada Adek tentang ini. Katakan saja calonmu tidak jadi datang." Aku harus memohon atas kemurahan hatinya, sebelum dia lebih jauh menghancurkan kehidupan Erly. "Kenapa? Aku malah ingin menceritakannya Umi, supaya Erly juga membencinya." Sekali lagi percayalah, putriku ini tidak jahat, dia hanya egois. "Mereka hanya berteman, Nak. Kamu ingin menghilangkan satu-satunya sahabat yang dimiliki adikmu?" Dia merengut tidak setuju. "Tapi Hans punya motif lain, Umi. Abi juga akan melarang Hans untuk dekat dengan Adek," ucapnya tanpa beban. Kami tidak mengajarkan k*******n kepada putri-putri kami dan kami belum pernah melakukannya. Aku sungguh berharap bisa menahan ini akan berlaku selamanya. "Sudah Umi katakan, dia sedang berjuang, Nak. Dan Abi akan menganggap ini tidak pernah terjadi. Hans juga meminta hal ini dilupakan." Aku mendengar, suaraku agak bergetar. Aku akan menahan ini. "Baiklah, tapi Umi... Umi tidak perlu marah kepadaku," dia memelas manja. Aku memeluknya. "Umi tidak marah. Umi sedang mengembalikan gadis baik Umi dari patah hatinya yang pertama." Aisyah tertawa. Dia gadis yang tidak pernah memohon, yang tidak pernah ditolak dan kali ini Hans menolaknya untuk alasan yang lebih menggerus harga dirinya, Erly. Adiknya yang tidak pernah pantas bersaing apapun darinya, tapi memenangkan Hans tanpa usaha. *** Kami keluar dari kamar mereka serempak. Suamiku menyunggingkan senyum bahagia dan aku tentu saja membalas dengan cara yang sama. Kamar mereka bersebelahan, tapi kami sudah memastikan tidak ada lubang dinding untuk mereka berdua berkomplot. Sebenarnya kami memberikan mereka kamar sebagai ruangan pribadi tanpa boleh diusik siapapun, satu tempat di mana semuanya sesuai keinginan mereka. "Bagaimana Erly?" tanyaku kepada Umar saat kami sudah di kamar dan hendak tidur. "Aku tau dia gadis yang baik, tapi malam ini aku baru melihatnya." Aku menelengkan kepala tidak mengerti dengan jawabannya. "Dia sudah dewasa, Tina!" Aku tersenyum melihat wajahnya yang terpukul. "Ya, mereka bukan gadis lagi. Mereka wanita dewasa.” Dia tersenyum sayang kepadaku, janggotnya yang mulai putih. Namun, masih terlihat hitam bagiku. Aku merasa waktu berhenti diantara kami. "Dia sepertimu." Aku merasa malu, bahkan setua ini dengan rambut yang sebagian ubanan, aku tetap merona karena pujiannya. "Kukira Erly lebih mirip sepertiku, ternyata aku salah, Tina." Matanya menatapku yakin, membuatku semakin malu. Ya. Erly punya postur turunan Abinya dan Aisyah sepertiku. Hidung mancung Umar dan paras rupawannya juga tubuh tinggi indahku yang diturunkan kepada Aisyah. "Mereka putri kita, mirip kita berdua. Ingat! Kita mendidiknya bersama." Aku lalu menguap karena kantuk. "Tidurlah... sayang," kata Umar dengan senyum jail. Sayang? Aku membelak ke arahnya dan dia tertawa. Aku menyukai segala hal tentang suamiku ini, bahkan cara tidurnya yang suka ngiler dan mengharuskanku mencuci sarung bantal setiap dua hari sekali. Inilah pernikahan, kita melewatinya bersama, menikmati proses suka lukanya dan mereguk madu pahitnya juga bersama. “Aku berharap kedua putri kita akan menemukan lelaki yang baik untuk masa depan mereka.” “Mereka pasti menemukannya. Kita sudah mendo’akan itu setiap hari,” balasnya tenang. “Ya. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja,” kataku setuju. Karena tidak semua hal baik, akan jadi baik ketika bukan pada waktunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN