Hari ini Sara membawa bekal ke kantor. Entahlah, ia sedang tidak berselera makan masakan orang lain. Semalam saja Sara dibuat bingung oleh dirinya sendiri. Tidak biasanya Sara memilih-milih makanan. Hingga Adrian sempat dibuat cemas karena Sara mendadak tidak nafsu makan. Lelaki itu sampai memanggil dokter pribadinya untuk memeriksa isterinya tersebut.
Sara tidak tahu apa yang dokter katakan pada Adrian. Lelaki itu hanya tersenyum dan mengusap kepala isterinya lembut saat Sara bertanya kondisinya sendiri. Selalu begitu. Adrian tidak ingin Sara cemas.
Perempuan itu nyaris menabrak seseorang di hadapannya kalau saja tidak segera menghentikan lamunannya. Sara sedikit membungkuk kaku saat menemukan orang yang nyaris ditubruknya adalah Damian.
"Maaf, Pak!" ucap Sara, menatap Damian dari balik bulu matanya.
Lelaki itu mengangguk. "Tidak apa-apa. Lain kali, perhatikan langkahmu. Bukankah saya sudah pernah memperingatkan?"
Sara meringis. "I-iya, Pak. Terima kasih."
Tanpa berkata sepatah kata pun, Damian berlalu meninggalkan Sara. Perempuan itu langsung mengembuskan napas lega karena Damian telah menjauh darinya. Astaga! Kedua mata tajam itu seolah menjerat Sara! Perempuan itu nyaris tidak bisa bernapas karena tatapan Damian yang mengunci geraknya. Apa ada yang salah dengan tampilannya?
Sara melirik arloji di pergelangan tangannya. Huh, masih sangat pagi. Pantas jika kantor masih sepi. Adrian sedang buru-buru hari ini, tapi lelaki itu juga tidak ingin membiarkan Sara berangkat sendirian setelah semalaman perempuan itu membuatnya cemas. Lelaki itu akhirnya mengantar Sara lebih dulu sebelum akhirnya pergi ke kantornya.
Perempuan itu menuju lantai tempatnya bekerja dengan menggunakan lift karyawan. Sesampainya di sana, Sara tidak lupa absen terlebih dahulu sebelum akhirnya duduk seorang diri di bilik meja.
Berbeda dengan Sara yang tidak nafsu makan, Damian justru merasa lapar! Aroma bekal Sara yang menguar, menggelitik penciumannya. Membangkitkan selera Damian saat itu juga. Tapi, mana mungkin ia merebut bekal mungil itu?! Kotak berwarna kuning dengan tutup biru tersebut telah berhasil menggoda Damian untuk meminta disuapi oleh pemiliknya. Ah! Sungguh gila keinginannya!
Pada akhirnya Damian meminta office boy untuk membelikannya makanan serupa seperti bekal Sara yang bahkan ia sendiri tidak ketahui apa isinya.
Kembali pada Sara yang sedang asyik melamun. Kedatangan OB secara tiba-tiba padanya membuat Sara mengerjap-ngerjap.
"Eh? Ada apa ya?"
OB tersebut tersenyum. "Ibu Sara, kan?"
Sara manggut-manggut. "Iya. Kenapa? Kamu perlu bantuan?"
OB tersebut menggeleng. "Nggak, Bu. Saya cuma mau tanya, bekal ibu isinya apa ya? Ibu makan apa?"
Sara mengernyit. Meski merasa aneh, akhirnya ia menjawab juga. "Rendang sama nasi. Udah itu aja. Kenapa? Kamu mau?"
Bukannya menjawab, OB tersebut lantas mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya berlalu.
Dahi Sara masih setia mengernyit sampai punggung OB tersebut menghilang dari pandangannya. Ada apa ya dengan bekalnya? Namun, tidak ingin ambil pusing, perempuan itu akhirnya menghidupkan komputernya dan mulai bekerja.
***
Damian menatap lapar daging berbumbu di atas kertas berwarna cokelat, pembungkus nasi itu. Ah, semua ini pasti akan mengundang beberapa karyawan untuk menggosipinya. Tapi, tidak Damian biarkan satu pun orang mengetahuinya. Ia telah menutup mulut OB tersebut dengan memberi "bonus" yang sepadan, bahkan lebih bagi OB itu sendiri.
Lelaki itu menggigit daging rendangnya dengan lahap. Tidak peduli dengan sendok plastik yang bahkan tidak tersentuh. Ia memakan nasi dan rendang tersebut dengan jemari telanjangnya. Persis seperti apa yang Sara lakukan saat itu.
Usai menyantap habis nasi bungkus tersebut tanpa sisa, Damian bergegas merapikan meja kerjanya dan membuang bungkusan itu ke dalam tempat sampah. Lelaki itu bahkan menjilati jemarinya yang masih dilumuri bumbu rendang.
Hmm, tidak buruk. Rasanya enak. Damian jadi penasaran, bagaimana rasanya bila Sara yang memasak? Pasti akan terasa sangat-sangat lezat.
Belum terlalu lama larut dalam lamunannya, dering ponsel Damian mengalihkan perhatian lelaki itu. Ia mengernyit saat mendapati nama Zero tertera pada layar.
"Ada urusan apa?" jawab Damian langsung pada intinya.
"Woah, calm down. Aku baru saja mendapati sebuah fakta secara cuma-cuma. Kau mau tahu?"
Damian mengernyit. "Aku tidak punya waktu untuk bermain-main."
Kekehan Zero dari seberang membuat Damian ingin segera mencekik lelaki itu. "Mana mungkin aku bermain-main soal Sara, Damian?"
Damian tertegun. Meski rasa penasaran membuncah di d**a, ia merilekskan bahunya yang sempat menegang. "Apa itu?"
Zero tersenyum di seberang meski Damian tidak bisa melihatnya. "Aku hanya tidak sengaja mendengar. Aku juga belum membuktikan kebenarannya. Tapi yang jelas, perempuan incaranmu itu adalah isteri dari..."
***
Adrian Dermaga.
Rahang Damian mengeras. Bibir lelaki itu terkatup rapat, menandakan ia tengah berupaya keras menahan amarahnya.
Di hadapannya, Zero tengah asyik menceritakan sebuah fakta yang di dengarnya secara cuma-cuma dari salah satu karyawan Damian.
Ya. Ternyata inilah yang membuat Zero dan Damian sulit mendapatkan identitas Sara sebenarnya. Seluruh data perempuan itu telah dimanipulasi oleh orang dalam yang berkhianat. Katakanlah karyawan itu sedang lengah. Tapi ketololannya benara-benar akan merugikan dirinya sendiri. Damian pasti tidak akan mengampuninya. Bukan hanya kehilangan pekerjaan, karyawan itu juga akan kehilangan apa yang Damian ingin renggut darinya.
"Siapa dia?"
Zero mengembuskan napasnya. Akhirnya, setelah nyaris lima belas menit tidak bersuara, rasa penasaran Damian memecah keheningan.
"Vicent. Karyawanmu sendiri, Damian. Ternyata dia ditugaskan Adrian untuk melindungi Sara darimu."
Karyawan itu pasti dibayar sangat sangat mahal sampai berani mengambil risiko untuk pekerjaan satu ini. Siapa yang tidak mengenal Damian? Apa lagi, karyawan itu hanya orang biasa. Ingin bermain-main dengan Damian yang berkuasa? Oh, jangan harap dia akan selamat!
Meski tidak tahu pasti apa penyebabnya, tapi Zero mengetahui hubungan apa antara Adrian dan Damian. Ya. Sejatinya seorang musuh, masing-masing dari keduanya akan saling bersaing, melawan, bahkan menghancurkan siapa pun yang menghalangi keinginannya.
Meskipun Damian tidak mengutarakannya, tapi Zero tahu rencana apa yang tengah disusun lelaki tersebut.
"Kau tidak berniat untuk menghancurkannya lagi, kan?" tanya Zero waspada. Pasalnya, jika Damian menghancurkan Adrian, Sara juga akan ikut terluka.
Damian menggeleng. Jemarinya bertaut di bawah hidungnya, menyembunyikan bibirnya yang tengah menyeringai. "Tidak. Tapi aku akan menghancurkan hidup Sara jika dia masih berada di sisi Adrian."
Zero tertegun. Ia bahkan tertawa canggung. "Jangan bercanda."
"Apa aku terlihat bermain-main?"
"Damian!"
Damian menempelkan telunjuk di bibirnya. "Sssh. Sudah kukatakan, aku tidak akan menghancurkan Adrian. Aku hanya perlu menculik Sara dan menjauhkan perempuan itu dari kuasa Adrian."
Zero menggeleng tak percaya di tempat duduknya. "Kau iblis, Damian! Apa kau gila?! Kau boleh merebut Sara, tapi tidak dengan menghancurkan Adrian apa lagi hidup perempuan itu!"
Damian berdecak. "Kau terlalu serius, Zero. Apa aku tampak seperti psikopat yang berambisi untuk menghancurkan Sara?"
Zero terdiam. Tatapan tajam Damian mampu mengunci pergerakannya. Menjadikan tubuhnya membeku tanpa mampu menghindar.
"Sara adalah tujuanku sekarang. Jika aku menghancurkannya, apa lagi alasanku untuk tetap hidup, hm?" Damian mengembuskan napasnya. "Aku tidak akan pernah menghancurkannya. Yang aku lakukan semata demi melindunginya."
"Kau berniat menculiknya," sergah Zero, memperingati lelaki itu.
Damian manggut-manggut. "Ya. Demi kebahagiaannya."
Zero mendengus. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kau menculik demi kebahagiaannya? Dengan kau memisahkan dia dan suaminya saja sudah sanggup menghancurkan Sara, Damian!"
Damian menggebrak meja kerjanya, membuaf Zero tersentak dan nyaris kabur kalau tatapan itu tidak lagi-lagi membekukan tubuhnya.
"Kau, aku membayarmu untuk sesuatu yang hanya menjadi urusanmu. Soal rencana ke depan, itu urusanku. Kau lakukan apa yang kuinginkan, dan aku membayarmu. Sesederhana itu, mengerti?"
Zero mengangguk. Ia tidak bisa melawan Damian bila sang iblis tengah menguasai sosok itu.
Damian pergi berlalu, meninggalkan Zero yang bergeming. Namun, baru beberapa langkah, lelaki itu berbalik. Menatap Zero dengan pandangan tak terbaca.
"Perlu kau ketahui, Zero. Di sini, Adrianlah yang berbahaya. Kuberi kau tugas untuk menjaga Sara setiap kali Adrian bersamanya. Mengerti?"
Tanpa menunggu balasan dari Zero, Damian berlalu. Keluar dari ruangannya yang sudab terasa panas.
Masi di tempatnya, Zero mengacak rambutnya gusar. Ia tidak habis pikir dengan Damian! Bagaimana bisa lelaki itu memberinya tugas yang tidak masuk akal?! Menjaga Sara dari suaminya sendiri? Apa-apaan itu!
Namun, tidak mau membuat Damian juga ikut murka padanya, alhasil ia mengambil tugas tersebut. Ia akan mengawasi Sara. Yah, setidaknya selama perempuan itu berada dalam jangkauannya.
***
Sara tersenyum pada Fandhi yang baru saja datang. Lelaki itu tampak sedikit berantakan. Hal itu membuat Sara terkekeh geli.
"Ada apa?" tanya Fandhi dengan kening mengernyit.
Sara menggeleng seraya mengulum senyumnya. "Nggak apa-apa, kok."
Fandhi manggut-manggut. Lelaki itu terlihat sibuk merapikan meja kerjanya. Sepertinya, Fandhi tidak sedang mood untuk mengobrol dengannya? Hmm. Yasudahlah. Sara hanya bisa mengangkat bahu, dan kembali berkutat pada komputernya.
"Kamu tahu berita terbaru itu, Sara?" tanya Fandhi tiba-tiba, membuat Sara menoleh dan lantas menggeleng.
Lelaki itu menghembuskan napas. "Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan Vicent..."
"Vicent?" tanya Sara dengan kening mengernyit. "Siapa itu?"
Fandhi tersenyum. Ia memaklumi Sara yang belum mengenal banyak karyawan di kantor ini. "Sama seperti kita, Sara. Hanya saja, Vicent akhir-akhir ini senang sekali lembur. Hmm, kalau tidak salah, keanehan itu tepat sekali saat kamu mulai bekerja di sini. Dia jadi aneh, dan nggak jarang bahkan sering terkejut kalau kami memanggilnya namanya."
Sara menelengkan kepalanya. "Mungkin dia punya masalah?" tebaknya sok tahu.
Fandhi terkekeh. "Ya, mungkin. Tapi..."
"Tapi apa, Fandhi?"
"Aku benar-benar kasihan dengannya. Beberapa hari lalu katanya ia dipecat. Entah apa yang membuat perusahaan ini membuang begitu saja orang sepintar dan serajin Vicent. Belum lagi, di hari setelah ia dipecat, rumah tempat tinggal keluarga kecilnya kebakaran." Fandhi mengembuskan napasnya. "Tapi kami sudah memberikan bantuan berupa uang kepada Vicent secara diam-diam. Yah, meski pun tidak seberapa. Dan kami tidak ingin pihak penting di sini mendengarnya dan melapor pada Pak Damian."
"Apa urusannya sama Pak Damian?" cicit Sara begitu lirih.
"Dengar-dengar, Pak Damian sendiri yang meminta Vicent untuk dikeluarkan dari perusahaan itu. Entah apa masalah mereka." Fandhi mengangkat bahunya. "Yah begitulah kalau berurusan dengan Damian Artadewa. Malaikat pun tidak sanggup melawannya, apa lagi kami orang-orang biasa?"
Sara menunduk. Menatap jemarinya yang saling meremas. Oh, astaga! Benarkah Damian semengerikan itu? Sepertinya lelaki itu baik. Damian bahkan selalu memperingati Sara untuk memerhatikan langkahnya. Damian tidak pernah marah-marah seperti yang Fandhi dan beberapa temannya bicarakan. Ng, atau mungkin memang Sara yang belum tahu dan belum kecipratan amarah sang iblis tersebut? Uh! Jangan sampai!
***
Sara merapatkan tubuhnya. Atap halte di depan kantornya ini sangat sempit! Ujung kaki Sara sampai basah akibat percikan hujan yang menghantam pijakannya.
Perempuan itu berulang kali melirik arlojinya. Kemana Adrian? Tumben sekali lelaki itu telat menjemputnya? Adrian itu orang yang sangat tepat waktu menurut Sara. Kalau lelaki itu mengatakan 15 menit lagi akan sampai, dia benar-benar akan sampai tepat 15 menit bahkan bisa kurang.
Lantas, di mana Adrian saat ini? Hujan memang turun dengan deras, tapi jalanan sedang tidak padat. Sara yakin, tidak ada kemacetan sedikit pun yang menghambat laju Adrian. Tapi, mengapa sampai detik ini Adrian belum muncul?
Bukan tidak sabar. Tapi akhir-akhir ini, Sara sering merasa pegal-pegal yang berlebihan. Berdiri semenit saja, kakinya serasa mau copot! Belum lagi saat harus naik turun tangga begitu lift karyawan di kantor macet, menghambatnya untuk bekerja. Huff!
Tepat saat Sara ingin mengecek ponselnya, sebuah mobil tidak dikenal berhenti di depannya. Kaca penumpang perlahan turun, memperlihatkan Damian yang tengah duduk manis di belakang kemudi.
"Apa yang membuatmu betah di sana?" tanya Damian, memerhatikan kondisi Sara. Celana bahan perempuan itu sudah berubah warna di bagian bawahnya.
Sara menggeleng. "Saya lagi menunggu, Pak."
Damian tersenyum tipis. Sangat tipis sampai Sara tidak menyadarinya. "Masuklah."
Sara mengernyit lantas menggeleng. "Saya kan sudah bilang, lagi menunggu, Pak."
Keras kepala. Tapi Damian menyukainya. Perempuan ini bukanlah perempuan murah yang sembarangan masuk ke dalam mobil lelaki lain. Meskipun kali ini dengan supir pribadi Damian--yang artinya mereka tidak berduaan saja, Sara tetap bersi keras menolak ajakan Damian. Bagaimana kalau nanti Adrian datang dan melihatnya? Sara pasti akan melukai perasaan lelaki tercintanya itu.
Damian manggut-manggut. "Baiklah," ucapnya.
Sara mengembuskan napas lega. Perempuan itu berpikir bahwa Damian akan segera berlalu meninggalkannya. Tapi ternyata tidak! Damian justru turun memutari mobil bagian belakangnya dan menghampiri Sara yang tertegun.
"Saya temani kamu menunggu."
Sara mendongak, menatap tidak percaya pada Damian yang menjulang di sampingnya. Apa ia sedang bermimpi? Bagaimana mungkin lelaki berkuasa--yang kata teman-temannya tersebut bisa sangat kejam kalau ia mau--ini menawarkan diri untuk menemaninya? Ah, tidak. Bukan menawarkan. Bahkan tanpa persetujuan Sara, Damian kini dengan santai berdiri di sampingnya.
"Pak Damian memangnya nggak pulang? Bapak pulang aja gih," ucap Sara polos.
Damian terkekeh. "Kamu mengusir saya?"
Sara tergagap. "Ng-nggak, Pak. Cuma, nggak enak dilihat karyawan lain."
Damian tersenyum miring. Ia melirik beberapa karyawan--yang juga tengah menunggu di halte--sedang memerhatikan keduanya. Damian menatap tajam satu persatu dari mereka sampai semua menunduk. Memilih untuk membunuh rasa penasaran mereka dari pada harus berurusan dengan Damian.
Damian melirik arlojinya. "Sudah sepuluh menit. Kamu benar-benar yakin jika orang yang menjemputmu akan datang?"
Sara manggut-manggut. "Yakin, Pak!" sahutnya mantap.
"Baik. Kita tunggu sepuluh menit lagi. Kalau masih juga belum datang, saya antar kamu pulang," tegas Damian, tak terbantahkan.
Sara menelan ludahnya. Astaga! Bagaimana ia bisa keluar dari situasi ini? Ia benar-benar harus menghubungi Adrian! Tapi ponsel lelaki itu masih juga belum aktif! Terbukti dari w******p yang dikirimnya sejak setengah jam lalu, masih setia menampilkan satu ceklis.
Ya Tuhan, apa yang harus Sara perbuat? Ia benar-benar tidak ingin Adrian mengetahui bahkan melihatnya sendiri jika Sara diantar oleh lelaki asing, bos besar Sara sendiri!
"Habis."
Sara mengerjap-ngerjap. Ia kemudian mendongak, menatap Damian tidak mengerti. "Apanya habis?"
Damian meliriknya sekilas. "Sepuluh menit sudah berlalu. Saya antar kamu pulang."
Lelaki itu berjalan mendahului Sara. Perempuan itu pikir, Damian akan membukakan pintu untuknya, tapi tidak. Ah! Apa yang ada dipikirannya?!
Sara membuka pintu mobil Damian dan duduk di sebelah lelaki itu. Dengan sekali perintah tegas dari Damian, supir tersebut melajukan mobilnya. Mengantarkan Sara ke rumahnya.
Dalam hati, perempuan itu berdoa. Semoga Adrian memang sangat sibuk dan belum pulang! Semoga Adrian tidak ada di rumah, dan tidak seorang pun yang mengadukan hal ini pada lelaki itu. Meski tidak pernah marah sekali pun pada Sara, tetap saja perempuan itu takut menghadapi amarah Adrian yang sudah terbayang-bayang olehnya. Kata orang, kemarahan orang yang bersabar itu lebih mengerikan! Kurang sabar apa Adrian pada Sara? Dan Sara benar-benar gelisah akan pikiran-pikiran buruk yang mendatanginya!