06 | The Destroyer

2450 Kata
Katakanlah Damian licik. Ya, memang itu yang pantas untuk mendeskripsikan lelaki sepertinya. Bukankah Damian pernah bersombong bahwa dirinya bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan hanya dengan menjentikan jari? Dan saat inilah buktinya. Dalam perjalanan menuju rumahnya, Sara tampak menikmati pemandangan di luar kaca mobil hitam Damian. Perempuan itu tak jarang melirik-lirik Damian karena keheningan yang tercipta. Bukan tidak menyadari, Damian justru tengah menahan tawa karena tingkah manis Sara yang menghiburnya tersebut. Begitu mereka keluar dari jalan tol, Sara bergegas memberitahu supir Damian untuk belok kanan. Namun, belum sempat ia bicara, mobil sudah berbelok ke arah yang dituju. Kening Sara berkerut samar. Sejak tadi ia bahkan belum memberi tahu di mana letak rumahnya. "Saya tahu semua tentang karyawan saya, Sara." Ucapan Damian menjawab pertanyaan di kepala Sara. Lelaki itu tersenyum pada Sara yang hanya bisa mengerjap-ngerjap menatapnya. Senyum yang dilemparkan Damian sangat manis. Benar-benar berbeda dengan iblis yang teman-teman di kantornya ceritakan. Sara jadi penasaran, bagaimana kalau Damian marah ya? Lamunan itu ternyata membuatnya tidak sadar telah menatap Damian lama. Lelaki itu tersenyum miring lantas menyentil pelan kening Sara. "Aku jadi penasaran, apa isi kepalamu itu." Sara meringis. Bukan karena sentilan Damian di keningnya, tapi karena ucapan lelaki itu. Belum lagi, Damian tidak lagi menggunakan panggilan formal. Lelaki itu tampak santai mengucapkan "aku-kamu" tanpa memikirkan debar jantung Sara yang berdegup cepat. Aneh! Ya Tuhan! Sara tidak boleh mengkhianati Adrian, suami tercintanya! Damian hanya sebatas bos yang sedang berbaik hati ingin mengantarnya pulang. Ya, hanya itu! Kukuh batinnya. Mobil Damian berhenti di depan bangunan mewah bergaya eropa. Lelaki itu tersenyum menatap Sara di sampingnya. "Tampilanmu terlalu sederhana untuk tinggal dalam bangunan itu." Itu adalah pujian bagi Damian. Menurutnya, Sara adalah perempuan yang tidak suka berfoya-foya, menghambur-hamburkan uang seperti kebanyakan perempuan berada lainnya. Lihatlah cara berpakaian perempuan ini. Sangat sederhana. Damian menyukainya. Namun, tidak dengan apa yang Sara tangkap dari ucapan lelaki itu. Sara pikir, Damian menghina penampilannya! Sara mengerling tak suka pada Damian. "Saya biasa saja di luar karena menjaga kelebihan saya di rumah yang hanya saya perlihatkan pada suami saya, Pak! Makasih sudah mengantar. Permisi." Sara membuka pintu mobil, berlalu tanpa memedulikan Damian yang tersinggung oleh ucapannya. Senyum Damian menguap. Tatapan tajam itu bertumpuk pada sosok Sara yang berjalan masuk ke dalam gerbang besar rumahnya. "Jalan," perintah Damian pada supir pribadinya saat tubuh mungil Sara sudah tertelan oleh gerbang. Mobil kembali melaju. Dalam perjalanannya, Damian kembali mengingat kerlingan mata bundar itu. Baru kali ini ada yang berani menatap tak suka Damian secara terang-terangan. Seraya mengamati pemandangan di luar dengan tatapan tak terbaca, Damian tersenyum miring. Lalu, apa kelebihanmu yang hanya bisa dinikmati Adrian, Sara? batinnya tergelitik. *** Baru saja Sara menutup pintu utama, suara Adrian mengejutkannya. "Dari mana, Sara?" Sara tertegun. Tatapan serta intonasi Adrian padanya tidak seperti biasa. Dingin. Sara bisa merasakan kebekuan yang diciptakan lelaki itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Membuat lidahnya kelu, bahkan untuk menjawab sepatah kata. "Aku..." "Aku mencarimu. Aku tanyakan pada orang-orang yang baru saja keluar dari kantormu, dan mereka bilang kamu sudah pulang. Tapi saat aku sampai dua setengah jam yang lalu, kamu tidak kunjung pulang," tutur Adrian dengan bibir menipis. Intonasinya kembali normal. Tatapannya pun melembut menatap isterinya. "Aku sengaja pulang cepat hari ini agar kamu tidak menunggu. Aku kecewa kamu tidak menungguku, Sara." Sara terkejut. Bagaimana bisa ia tidak bertemu dengan Adrian?! Suaminya itu bahkan rela pulang cepat hanya untuk menjemputnya, khawatir padanya. Tapi ia malah pulang bersama Damian! Sara benar-benar tidak habis pikir pada dirinya sendiri! Kenapa ia tidak bisa menolak Damian?! Kenapa ia mengiyakan ajakan lelaki itu untuk pulang bersama? Sara benar-benar marah pada dirinya sendiri karena telah membuat Adrian kecewa. Ingin memaki dirinya sendiri, namun yang keluar dari mulutnya justru isak tangis. Membuat Adrian cemas dan langsung menghapus jarak keduanya. Memeluk perempuan itu dengan rasa bersalah. "Ya Tuhan, Sara. Maafkan aku." Sara menggeleng dalam dekap suaminya. "Nggak. Aku yang minta maaf karena sudah mengecewakan kamu, Drian." Adrian tersenyum, mengecup puncak kepala Sara dan menghirup aroma yang menguar dalam-dalam. "Tidak apa-apa, Sara. Berjanjilah, jangan diulangi lagi. Mengerti?" Sara manggut-manggut. "Pasti!" Adrian tak melepaskan pelukannya. Oh astaga! Betapa ia mencintai perempuan ini. Adrian memaki tertahankan dalam batinnya. Mengapa ia bisa-bisanya bersikap bodoh seperti tadi? Ia nyaris membongkar siapa dirinya di depan Sara. Tidak! Adrian sudah berjanji, terlebih pada dirinya sendiri untuk mengubur jiwa yang telah lama ia bunuh. Adrian bahkan sengaja menikahi Sara untuk melatih dirinya sendiri. Namun, siapa disangka ia berhasil? Dan yang paling penting, perempuan ini juga berhasil karena telah membuat Adrian mencintainya. *** "Jadi, bagaimana Pak Damian?" Roberto masih setia mengulaskan senyum manisnya, sementara Damian asyik melamun. Lelaki itu mendengar pertanyaan Roberto, tapi tak segera ia indahkan. Damian memiringkan kepalanya. "Sayang sekali. Saya sedang malas bekerja sama dengan siapa pun, Roberto." Roberto mengernyit. Lelaki berumur itu tersenyum kikuk karena jawaban Damian yang diluar dugaannya. "Maksud Anda?" Damian menyipitkan matanya. "Saya yakin Anda paham maksud saya." Roberto berdeham. Tidak boleh! Ia harus bisa bekerja sama dengan Damian! Kalau tidak, bagaimana nasib perusahaannya yang sudah diujung tanduk?! Meski pun bekerja sama dengan Damian sama saja dengan menyerahkan perusahaan tersebut ke tangan penguasa itu, tapi setidaknya Roberto akan terhindar dari hutang-hutang dan tanggung jawab terhadap seluruh karyawannya. Damian licik. Semua orang akan berpikir ulang untuk berurusan dengannya. Tapi tidak dengan Roberto saat ini. Hidupnya terancam. Dan ia membutuhkan suntikan dana dari Damian untuk memulai rencananya. Sekalipun berisiko ia akan kehilangan perusahaannya sendiri. Ya, asal ia terbebas dari hutang! "Saya butuh bantuan Anda, Pak Damian." Roberto tersenyum. Ia tidak akan bosan mengatakan hal ini untuk mengubah pikiran Damian. Semoga lelaki itu menaruh simpati padanya yang sudah setengah abad ini. Tapi, iblis macam apa yang memiliki hati? Damian tetap Damian. Lelaki itu merenggangkan lehernya. Ia menggeram samar dengan kedua mata memicing. "Menarik ucapan adalah sesuatu yang tidak pernah saya lakukan, Roberto. Pergilah." Tapi Roberto tidak mengindahkan perintah itu. Lelaki tua itu justru menghampiri Damian dan bersimpuh di samping kursi Damian. "Tolong saya, Pak Damian. Setelah itu saya berjanji akan memberikan perusahaan saya pada Anda..." Damian tersenyum miring. "Tanpa bekerja sama pun saya bisa mendapatkan perusahaan Anda, Roberto." Tatapannya menajam, seolah tengah melubangi kening lelaki tua tersebut. "Pulanglah, kalau kau masih menyayangi keluargamu." Ancaman Damian kali ini berhasil. Roberto bergegas merapikan berkas-berkas yang dibawanya dan keluar dengan langkah terburu-buru. Damian memijit pangkal hidungnya. Pusing memikirkan dirinya sendiri dan perempuan bernama Sara. Ketertarikannya untuk bermain dengan para pengusaha kotor sepertinya bahkan sudah enyah, entah sejak kapan. Damian sudah bosan. Ia bahkan tidak berniat menambah kekayaannya. Sudah cukup ia rakus dan merampas semua yang dimiliki para pesaingnya. Minatnya dalam hal ini telah menguap tak berbekas. Yang ada kini hanya minatnya pada isteri dari lawannya sendiri. Damian membuka laci meja kerjanya, mengeluarkan sebuah kotak musik berbentuk komedi putar yang warna cerahnya telah memudar. Benda nyaris usang tersebut selalu dirawat dengan baik oleh Damian, seolah benda tersebut adalah anaknya sendiri. Tidak seorang pun yang mengetahui keberadaan kotak musik ini. Tidak seorang pun tahu, Damian sering tertidur ditemani alunan merdu yang berasal dari kotak musik ini. Pikirannya melayang ke beberapa tahun lalu, di mana ia mendapatkan kotak musik ini dari seorang gadis berkuncir dua. Damian tidak akan melupakan cengiran manis itu. Keceriaannya mampu menyelamatkan Damian dari kesengsaraannya. Damian kecil, Damian malang. Namun, tidak dengan pandangan gadis itu terhadapnya. Meskipun masih ingusan, gadis itu selalu menjadikan Damian sebagai pemimpin dalam permainannya. Damian melindunginya saat terjatuh. Damian menggendongnya saat lelah berlari. Damianlah pahlawannya. Gadis itu membuat Damian merasa berguna dan dihargai. Apa kabar gadis itu sekarang? Masih ompongkah gigi-giginya? Damian terkekeh geli mengingatnya. Ia sangat merindukan gadis kecil itu. Sampai Sara datang... Perempuan itu mengingatkannya pada gadis kecilnya dulu. Mata bundar. Bibir tipis. Hidung kecil. Tubuh mungil. Benar-benar mirip dengan gadis ompong masa lalunya. Namun, tentu saja Sara bukan gadis itu! Mereka hanya mirip. Dan kemiripan itu semakin menggoda Damian untuk memiliki Sara dan menguasai perempuan itu. Namun, semua tidak akan berjalan mudah selama Adrian masih bernapas di samping Sara. Tidak. Ia tidak akan menghancurkan Adrian untuk kedua kalinya. Ia hanya akan memisahkan duri dari ikannya. Mereka memang berpasangan. Tapi yang namanya duri, tetap harus dibuang. Di tempat lain, Adrian memeluk tubuh mungil Sara yang tertidur seraya mengelus pelan perut rata perempuannya. Di sana, tengah tertidur sebuah janin, buah cinta mereka yang Sara belum ketahui. Belum saatnya. Adrian belum mengatakan pada Sara bahwa perempuan itu tengah mengandung karena tidak ingin Sara terlalu senang dan bercerita pada teman-teman di kantornya. Bukan hal yang tidak mungkin bila kabar ini nantinya sampai ke telinga Damian. Adrian tidak mau Damian mengetahuinya! Tidak. Jangan sampai! Adrian tahu, apa yang tengah lelaki itu rencanakan. Meski tidak sepenuhnya, Adrian merasa Damian tengah gencar mengejar perempuannya. Entah bodoh atau memang sengaja ingin memamerkan permainannya, Damian mengantarkan Sara sampai tepat di depan gerbang. Membuat kamera CCTV merekam kedatangan mobil hitam tersebut. Tidak bisa Adrian bayangkan bagaimana jika Damian mengetahui Sara tengah mengandung anaknya. Apa yang akan lelaki itu lakukan? Tidak! Ia tidak akan membiarkan Damian melukai Sara dan janin dalam kandungan perempuannya. Adrian akan mempertaruhkan apa pun demi melindungi keluarga kecilnya. Sekalipun itu nyawa. Adrian mengecup ringan pelipis Sara, membuat perempuannya itu menggeliat kecil dalam tidurnya. Adrian tersenyum. Hanya Sara yang dimilikinya saat ini. Ah, ya! Tentu saja dengan calon bayinya juga. Biarlah. Adrian sudah merasa cukup bahagia dengan kehadiran Sara dan calon anak mereka. Meskipun tidak seberkuasa dulu, tidak menjadi masalah baginya selama Sara di sisinya. "Drian?" lirih Sara tiba-tiba mengejutkan Adrian. Lelaki itu menunduk, menatap Sara yang tidur berbantalkan sebelah lengan suaminya. "Kenapa, Sara?" Sara menggeleng kecil. Ia mengucak matanya sebelum akhirnya menguap kecil. Membuat Adrian terkekeh geli karenanya. "Ini jam berapa?" Adrian melirik jam kecil pada nakas di sisi ranjang. "Baru jam sembilan." Sara mengembuskan napasnya. "Ya ampun. Aku lupa buatkan makan malam ya?" Adrian menggeleng. "Nggak perlu. Aku sudah makan. Aku juga sudah menyuruh pelayan untuk membuatkan sup jagung kesukaanmu." Sara tersenyum manis dan mengucapkan terima kasih yang sangat lirih. Lucu rasanya ketika mengingat mereka jarang sekali menggunakan pelayan. Maksud di sini adalah, pelayan-pelayan di rumah ini biasanya hanya akan membersihkan rumah dan bekerja yang berat-berat. Soal masak, mencuci piring, dan merapikan kamar itu sudah menjadi kebiasaan Adrian dan Sara untuk bekerja sama. Para pelayan di sini juga jarang menampilkan batang hidungnya, tapi anehnya rumah selalu bersih! Adrian bilang, bahwa ia membayar mereka untuk melihat hasil kerjanya di rumah ini. Bukan untuk menyaksikan mereka bekerja. Yah, begitulah yang Sara tangkap. "Drian..." Kedua mata Sara berbinar dan membulat penuh. "Aku tiba-tiba pengin buah pepaya deh." Adrian mengernyit. Ia tahu perempuannya ini sedang mengidam. Tapi, kenapa pepaya ya? Sepengetahuannya, usia awal kandungan membuat perempuan tak jarang mengidam mangga muda. "Pepaya?" Sara manggut-manggut. "Kita ke supermarket, yuk? Kita beli..." Adrian meraih ponselnya di nakas dan mengeceknya. "Masih jam sembilan lewat sedikit. Aku akan menyuruh supir--" "Ih, nggak usah Adriaaan. Ayuk, kita beli berdua." Sara cemberut, "Mau ya? Aku lagi pengin jalan sama kamu." Melihat pipi perempuan itu merona setelah mengucapkan kalimat tersebut membuat Adrian tidak tahan untuk melahap bibir mungil itu. Pergulatan di atas kasur pun terjadi begitu saja. Seketika pula Sara melupakan buah pepaya yang diidam-idamkannya barusan. *** Sara memoleskan lip balm ke bibirnya. Akhir-akhir ini bibirnya terasa kering. Meski begitu, Adrian tidak pernah berkomentar dan menjadikan bibir Sara sebagai santapan favoritnya setiap pagi. Hal itu kontan membuat pipinya merona. Huh, untung saja tidak ada seorang pun dalam lift ini. Mengingat Adrian, Sara benar-benar berterima kasih pada takdirnya karena telah memberikan suami sebaik dan sepengertian Adrian. Lelaki itu mau mendengarkan penjelasannya tiap kali Sara salah. Sara berjanji, tidak akan mengulanginya lagi. Mengecewakan Adrian sama saja dengan membuat luka di hatinya sendiri. Hal itu ia buktikan dengan menjauhi Damian belakangan ini. Meskipun tidak benar-benar "menjauh" karena dirinya masih satu kantor, tapi setidaknya Sara selalu bersembunyi bahkan menghindar kalau akan bertemu dan berpapasan dengan lelaki itu. Dengar-dengar juga, Damian sering marah-marah akhir-akhir ini. Huh, ada ya bos labil seperti itu? Tidak seperti Adrian yang selalu sabar dan baik pada semua orang. Lift terbuka. Namun, sepertinya rencana untuk menjauhi Damian telah digagalkan lelaki itu hari ini. Sara tertegun mendapati sosok Damian di depan lift. Lelaki itu tersenyum miring menatap Sara sebelum akhirnya masuk dan berdiri di sebelah perempuan itu. "Kejutan yang kurang menyenangkan, Sara?" Damian mengerling pada Sara yang menghindari tatapannya. "Sepertinya kamu tidak suka aku menaiki di liftku sendiri." Sara terkejut. Ia segera memeriksa interior lift yang ditaikinya. Kemudian perempuan itu mengerling tak suka pada Damian. "Ini lift karyawan. Pak Damian yang salah naik!" Ah, betapa ia sangat suka Sara memanggil namanya. Meskipun panggilan "pak" di awal namanya masih mengganjal dan ingin ia lepaskan segera. "Kalau kamu lupa, semua yang ada di dalam perusahaan ini adalah milikku, Sara." Sombong! Sara tidak suka! Kenapa harus dirinya yang Damian usik? Jelas-jelas dirinya telah bersuami! Sara bahkan memberanikan diri untuk kurang ajar saat itu. Ia bahkan membanting pintu mobil Damian karena terlalu kesal sama lelaki satu ini! Sara tidak menanggapi. Tapi kernyitan di dahi perempuan itu menjelaskan semuanya pada Damian. Ah, kemana perempuan lugu Damian? Mengapa Sara berubah jadi pemarah dan mudah tersinggung seperti ini? Damian pikir akan mudah mendapatkannya, mengingat saat awal-awal pertemuan mereka dan bagaimana sikap Sara padanya. Mungkin Sara masih tersinggung dengan peristiwa di mobil tempo hari? "Aku minta maaf jika membuatmu tersinggung waktu itu. Aku sama sekali tidak berniat menghinamu. Aku justru memujimu." Ucapan Damian mau tidak mau membuat telinga Sara menajam. Batinnya yang sejak tadi menggerutu mengapa lift ini bisa terasa sangat lama berjalan, terhenti sudah oleh suara Damian. Damian tersenyum saat Sara melirik-lirik ke arahnya. Perempuan itu masih belum mau menoleh padanya rupanya. "Kamu tidak seperti kebanyakan perempuan yang bergaya sesuai kantungnya, Sara. Aku yakin, suamimu sangat bangga memilikimu, bukan?" Sara mengulum senyum. Bukan karena pujian yang dilontarkan Damian, terlebih karena mengingat Adrian yang terlintas di benaknya. Berbeda dengan Sara yang tengah merona, Damian justru mengatupkan rahangnya. Sebelah tangan yang tenggelam dalam saku celananya mengepal. Ting... Wajah Damian kembali normal begitu lift terbuka. Seluruh karyawan di lantai tempat Sara bekerja, kini menatap lift dengan raut keterkejutan. Sama seperti saat pertama kali ia satu lift dengan Sara. Bedanya, kali ini Damian lah yang menaiki lift karyawan. "Jangan lupa, selalu perhatikan langkahmu," bisik Damian lembut, tepat di telinga Sara begitu perempuan tersebut melewatinya. Sara menelan ludah saat ia berhasil keluar dari lift "maut" tersebut. Ia menoleh, menatap lift yang telah tertutup dan menghilangkan Damian dari pandangannya. Apa itu tadi? Mengapa lagi-lagi Sara merasakan darahnya berdesir? Bukan desiran hebat, tapi begitu lembut. Mengundang hasrat Sara untuk menahan Damian di sisinya saat itu juga. Ya Tuhan! Ada apa dengannya?! Ia tidak boleh seperti ini! Damian itu iblis! Lelaki itu akan merusak keharmonisannya dengan Adrian kalau Sara sampai terjerat dalam pesonanya! Sara bukan perempuan murah! Ingat, ia sudah memiliki Adrian, suami yang sempurna. Sara berjalan ke arah mejanya dengan langkah mantap. Damian benar-benar harus dijauhi! Lelaki itu berbahaya baginya. Bagi hubungannya dengan Adrian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN