Seberapa kuat dirimu hingga bisa menolak pesona Damian, Sara?
Sara mengepalkan tangannya. Batinnya tidak kunjung berhenti berargumen. Tindakannya menjauhi Damian sudah dilakukannya sedemikian rupa, namun yang didapatinya justru lelaki itu semakin gencar mendekati Sara. Entah mengapa. Sara masih tidak habis pikir, mengapa harus dirinya? Parahnya, Sara selalu dihantui rasa bersalah karena justru ia menginginkan untuk dekat dengan Damian. Mungkin Sara memang sudah gila.
Terbukti saat ini. Ia kembali terjebak dengan Damian seorang di dalam lift. Entah mengapa lelaki itu bisa sekali mengatur waktu "khusus" untuk berduaan dengan Sara. Meski Damian berdiri di dekat tombol lift, aroma parfumnya sanggup menggelitik penciuman Sara. Menggoda Sara untuk menghapus jarak mereka.
Memikirkan hal itu membuat Sara jijik pada dirinya sendiri. Sejak kapan ia menjadi murah seperti ini? Ia mencintai Adrian. Dan selamanya akan seperti itu. Bagaimana mungkin Adrian yang sudah sempurna masih belum cukup bagi Sara hingga tergoda oleh lelaki di hadapannya ini?!
Kedua mata Sara terpejam. Ia menyandarkan punggungnya pada sisi belakang lift. Akhir-akhir ini, Sara sering kelelahan dan pusing. Belum lagi masalah Damian dan dirinya yang ia sendiri tidak pahami, begitu menyita waktu. Tidak jarang Sara memikirkannya hingga kepalanya pening.
"Kamu terlihat lelah."
"Bukan urusan Pak Damian sepertinya."
Damian tersenyum miring, melirik Sara dari balik bahunya. Perempuan itu masih setia memejamkan kedua matanya tanpa berniat membukanya dan menatap kedua mata tajam Damian yang menggoda secara langsung.
Perempuan ini sudah berani padanya. Namun, Damian justru semakin tertantang. Hatinya tergelitik untuk mendekat tiap kali perempuan itu menciptakan jarak. Sementara Sara, ia tengah berargumen sendiri dengan batinnya. Bagaimana cara membenci lelaki seperti Damian? Sulit. Sara tidak menemukan kekurangan sedikit pun dalam sosok lelaki adonis ini. Ya, kecuali sikapnya yang suka seenaknya.
"Wajahmu pucat, Sara. Kamu sakit?" tanya Damian dengan suara melembut.
Kali ini ucapannya berhasil membuka sepasang mata bundar Sara. Perempuan itu mengernyit samar sebelum akhirnya mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas dan memeriksa wajahnya sendiri.
Benar. Wajahnya sangat pucat. Meski bibirnya telah ia oleskan lip balm, namun rona di pipinya menghilang.
"Saya cuma kelelahan mungkin..."
Damian tersenyum tipis. "Jangan terlalu sering naik angkutan umum, Sara. Atau kamu menunggu aku menawarkan pulang bersama kembali?"
Sara tertegun. "Jangan mengada-ada, Pak. Ini bahkan masih sore. Belum malam dan belum waktunya tidur untuk bermimpi."
Damian terkekeh mendengar ucapan sarkasme Sara. Oh, Adrian. Mengapa dia selalu beruntung dalam hal-hal yang membuat Damian tertarik? Katakanlah Adrian adalah lelaki paling beruntung. Sampai Damian memulainya. Kata "beruntung" akan lepas begitu saja dari kehidupan Adrian.
Keheningan yang tercipta membuat bibir Sara gatal ingin bertanya, "Kenapa Pak Damian suka sekali sih naik lift karyawan? Seingat saya, lift 'khusus' Bapak itu lebih bagus!" ujar Sara dengan penekanan pada kata "khusus".
"Tanyakan pada dirimu sendiri, Sara." Damian mengerling menggoda padanya. "Kenapa kamu senang sekali merayu saya untuk berada di dekatmu..."
Sara mendelik. "Saya nggak pernah merayu siapa pun!"
"Kehadiranmu, Sara. Itu sudah cukup."
Sara menggerutu. Percuma berbicara dengan Damian. Lelaki itu hanya akan membuatnya kesal karena terus menerus menggoda Sara.
Sara bisa menghela napas lega karena lift yang ditumpangi mereka telah berhenti. Sara buru-buru keluar mendahului Damian. Ia bahkan tidak berniat sedikit pun untuk melirik ke belakang. Batinnya tak usai menggerutu karena halte yang terasa jauh. Belum lagi sepasang betisnya yang lelah. Sara harus sampai di bus secepatnya, ia benar-benar ingin duduk dan beristirahat!
Sara sampai di halte, tepat saat bus berhenti di depannya. Segera saja ia masuk ke dalam dan mencari tempat yang kosong. Sara berjalan hingga tempat paling belakang, namun tidak ada bangku yang tersisa. Sara menghela napas. Ia tergoda untuk turun kembali dan menunggu bus selanjutnya, tapi ia ingin buru-buru merebahkan diri di ranjang. Ah, tidak masalah mungkin. Perjalanan ke rumahnya tidak sampai satu jam. Ya, itu juga kalau tidak terjebak macet, pikirnya.
Sara menyandarkan pinggangnya pada sisi bangku. Kedua lengannya memeluk tasnya dengan erat. Rasa mual itu melanda kembali. Apa lagi saat bus sudah mulai bergerak akan melaju.
Saat tatapannnya sedang asyik menatap kedua ujung sepatunya, Sara mendapati sepasang sepatu asing yang berdiri tepat di depannya. Ia mengernyit. Seingatnya barusan, hanya dirinya yang berdiri. Jam pulang kerja seperti ini kebanyakan orang lebih memilih menunggu di halte dan mencari bus yang masih kosong dari pada berdiri.
Aroma ini. Sara tidak merasa asing. Akhirnya perempuan itu mendongak, mendapati Damian yang berdiri menjulang di hadapannya.
Sara terkesiap. Untuk apa lelaki ini menaiki bus? Pasalnya, Damian adalah orang yang tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang demi mendapat kenyamanan. Mobil-mobil pribadi lelaki itu sepuluh kali lipat lebih bagus dari pada bus ini!
"Kamu keras kepala, Sara. Wajahmu akan semakin pucat kalau tidak segera turun dari bus ini dan menunggu bus kosong lainnya datang."
Damian benar. Sara sudah benar-benar merasa lelah. Belum lagi kepalanya yang seperti ditusuk-tusuk jarum tak kasat mata. Sara ingin segera turun, namun sudah terlambat. Bus yang mereka tumpangi telah melaju.
Alih-alih membalasnya, Sara justru bertanya. "Kenapa Pak Damian naik bus ini?"
"Aku tidak melihat adanya larangan bagi seorang Damian menaiki bus ini, Sara."
Sara membalasnya hanya dengan helaan napas. Ia malas berbicara banyak pada lelaki ini. Hal itu hanya akan membuat Sara ingin terus-menerus mendengar suara Damian. Belum lagi tatapan Damian yang tidak pernah lepas dari Sara. Semakin lama, Sara merasa dirinya semakin aneh.
Sara merasakan bus yang ditumpanginya berhenti. Ia segera menoleh dan mendapati bus ini terjebak macet. Demi Tuhan. Sara sedang tidak bisa bertoleransi. Kepalanya benar-benar pusing. Belum lagi perutnya yang terasa mual. Sara memejamkan kedua matanya, mencoba meredakan sakit di kepalanya.
Bus kembali melaju. Kali ini dengan tiba-tiba, membuat Sara yang tidak siap pun terhuyung dan nyaris limbung kalau saja Damian tidak sigap menangkap tubuhnya.
"Lihat, Sara. Kamu bisa beristirahat semaumu di dalam mobilku," bisik Damian tepat di daun telinga Sara. Lelaki itu menunduk tanpa melepas rengkuhannya. "Andai saja kamu mau ikut pulang bersamaku tadi."
Damian tersenyum miring mendapati Sara membalasnya dengan tatapan ingin memukul kepala lelaki itu. Meski tergoda ingin membalasnya, Sara hanya bergeming. Indra pengecapnya terasa pahit, mulutnya benar-benar tidak enak bahkan untuk berucap sepatah kata. Perempuan itu segera menutup mulutnya saat mual kembali datang...
"Huek!"
Sara membekap mulutnya semakin erat. Kedua matanya bahkan berkaca. Sara ingin menumpahkan tangisnya karena tidak bisa meredakan suara menjijikan itu!
"Sara?" Damian menunduk. Mengamati Sara yang tampak berkeringat dingin. "Ada apa?"
Sara mendongak, menatap Damian yang lantas terkejut mendapati Sara sedang menahan tangis. "Mual..."
Damian mengernyit, tetapi sedetik kemudian ia mengerti apa yang Sara inginkan. "Tahan. Jangan dimuntahkan, mengerti? Kita turun dari sini."
Bus belum memasuki tol. Itu artinya, Damian masih bisa berhenti saat ini juga. Lelaki itu bergegas menghampiri kondektur bus dan menyuruh sang supir untuk menghentikan kendaraan ini segera.
Namun, belum sempat Damian membawa Sara turun bersamanya, perempuan itu limbung. Sara tidak sadarkan diri.
***
"Bagaimana keadaannya?"
Bianca tersenyum. Perempuan berkemeja biru langit itu adalah seorang dokter. Dokter pribadi yang bekerja untuk Damian.
Bianca tersenyum. "Dia nggak apa-apa. Hanya saja kandungannya lemah."
Damian kontan menoleh, menatap Bianca dengan kedua mata terbelalak. "Apa?"
"Saya yakin Anda tidak salah dengar, Tuan."
Damian menunduk. Terpaku pada tubuh Sara yang terbaring di atas ranjangnya. Sosok itu bergeming, pucat. Namun, wajahnya sangat damai. Tidak sedikit pun kerutan hadir di sana. Damian bersyukur, setidaknya dengan begini ia tidak melihat Sara sengsara seperti saat di bus tadi. Angkutan k*****t!
Damian tak berniat sedikit pun memutuskan pemandangannya pada wajah Sara. Ia biarkan Bianca keluar dari kamar setelah berpamitan. Pikiran lelaki itu melayang pada satu-satunya orang yang membuat Sara seperti ini...
Adrian. Apa lelaki itu ingin menunjukkan kepemilikannya pada Damian? Apa lelaki itu ingin mengatakan bahwa Adrianlah yang berkuasa atas Sara?
Damian menahan geramannya. Meski ingin menghancurkan janin bernyawa di dalam perut Sara, lelaki itu tidak berniat sedikit pun untuk menyentuhnya. Apa pun milik Adrian akan sebisa mungkin ia hindari, kalau perlu ia hancurkan detik itu juga. Kecuali Sara, tentu saja.
Ketukan di pintu mengenyahkan lamunannya. Seorang pemuda berpakaian hitam-hitam, masuk dan segera membungkuk hormat pada Damian.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
Damian mengangguk sekilas. "Ya. Antarkan perempuan ini ke rumahnya."
"Ba--"
"Noah, ganti pakaianmu terlebih dulu. Aku tidak mau dia mencurigaimu."
Pemuda bernama Noah itu mengangguk dan segera berlalu, bergegas mengganti pakaiannnya. Ia tahu, siapa "dia" yang dimaksud oleh Tuannya. Pasalnya, meskipun Damian tidak pernah bercerita, semua orang yang bekerja untuknya mengetahui siapa musuh terbesar sang majikan.
***
Adrian cemas bukan main. Ia mondar-mandir di beranda rumahnya yang luas tanpa menghiraukan teh hangat yang sudah dingin. Pikirannya hanya satu. Sara. Kemana perempuan itu? Sara hanya mengiriminya pesan, memberitahukan Adrian bahwa perempuan itu sedang di dalam perjalanan pulang. Meski Adrian melarang Sara, menyuruh Sara untuk bersabar sedikit sampai Adrian bisa menjemputnya, perempuan itu tetap bersi keras ingin pulang dan tidak ingin menunggu lama.
Kalau sudah begitu, Adrian bisa apa? Perempuan itu bahkan tidak ingin dijemput oleh Reno maupun bawahan Adrian lainnya. Sejak Sara bekerja, perempuan itu hanya ingin Adrian yang mengantar-jemputnya.
Lamunan Adrian terhenti saat sebuah mobil asing memasuki perkarangan rumahnya. Mobil itu berhenti tepat di depan beranda rumahnya. Tepat di hadapan Adrian berdiri saat ini. Bagaimana bisa para penjaga itu membiarkan mobil ini masuk?!
Seorang pemuda keluar dari pintu kemudi. Lelaki itu bergegas menghampiri Adrian dengan wajah panik.
Pemuda itu membungkuk hormat sebelum akhirnya bersuara, "Maafkan saya kalau lancang masuk, Pak. Saya yang memohon para penjaga untuk membuka gerbang karena Sara pingsan."
Jantung Adrian serasa diremas. Lelaki itu bergegas menghampiri mobil sang pemuda dan mendapati Sara tengah berbaring memanjang di kursi penumpang. Segera saja Adrian meraihnya. Dengan hati-hati, lelaki itu menggendong Sara seolah takut tubuh mungil isterinya akan terluka.
"Terima kasih." Adrian menatap pemuda itu dengan senyum, penuh rasa terima kasih.
Pemuda itu membalas senyumnya. "Sama-sama, Pak. Sara teman baik kami di kantor. Titip salam kami, semoga dia lekas sembuh."
Adrian mengangguk. Ia membawa Sara ke dalam rumah dan membiarkan pemuda itu berlalu dari rumahnya.
Di dalam mobilnya, pemuda bernama Noah itu menekan nomor Damian dan menghubungi majikannya tersebut.
"Sudah sampai dengan selamat."
"Bagus. Kau tidak dicurigai, kan?"
Noah tersenyum meskipun Damian tidak bisa melihatnya. "Anda tidak perlu meragukan saya, Tuan."
Sambungan terputus. Di tempatnya, Damian tersenyum bengis menatap sosok yang tengah tersenyum dalam foto berukuran besar di ruang rahasianya. Di atas sofa tunggalnya, ia terduduk di dekat perapian. Jemari lentiknya memegang segelas sampanye. Damian sedang dingin. Ia butuh kehangatan untuk mencairkan hatinya yang membeku.
Kewarasannya menolak, tapi hatinya bersi keras ingin tetap menjalankan rencananya.
Ia meneguk habis sampanye di tangannya tanpa sisa. Damian tidak bisa mabuk hanya dengan berbotol-botol minuman beralkohol. Tapi Sara, perempuan itu mengubah segalanya. Damian mabuk, terlebih pada perempuan mungil itu.
***
Adrian berhenti menciumi jemari Sara saat jemari itu bergerak. Tatapan lelaki itu tidak lepas dari wajah perempuannya. Sampai kedua mata bundar itu terbuka dan mendapati Adrian tersenyum padanya.
"Adrian?"
"Iya, Sara." Lelaki itu mengusap dahi Sara dengan lembut. "Ingin kuambilkan sesuatu?"
Sara mengangguk. "Aku haus."
Adrian meraih gelas yang memang telah tersedia di atas nakas. Lelaki itu membantu Sara terduduk dan meminum airnya sebelum akhirnya membantu Sara untuk berbaring kembali.
"Apa yang kamu rasakan, Sara?"
Sara mengulum senyum. "Nggak ada. Tadi di kantor aku sempat pusing, mual, dan badanku terasa aneh."
Jemari Adrian mengelus lembut rahang mungil Sara. "Tadi teman kantormu yang mengantarkan kamu kemari."
Sara mengernyit. Hatinya bertanya-tanya, mungkinkah yang dimaksud Adrian adalah Damian? Huh. Damian itu bukan teman kantor! Damian itu adalah bos yang ia hindari. Namun, alih-alih menjawab seperti yang ada dalam pikirannya, Sara hanya tersenyum dan mengangguk. "Aku akan bilang terima kasih padanya."
Adrian tersenyum. Lelaki itu mengunci kedua mata bundar Sara tanpa berniat melepas kontak keduanya.
"Kamu harus berjanji untuk tidak mengulanginya, Sara."
Sara manggut-manggut. "Aku berjanji. Aku akan meminta Reno menjemput kalau kamu sedang sibuk. Atau kalau bisa, menunggumu saja. Hmm, aku merasa aroma bus akhir-akhir ini membuatku mual."
Adrian terkekeh. Lelaki itu meraih tangan Sara dan meremasnya lembut. Sorot mata geli beberapa detik lalu telah menguap, berganti menjadi tatapan serius yang enggan Sara hindari.
"Ada apa, Drian?"
"Kamu sedang hamil, Sara."
Sara tertegun. Sebelah tangan yang terbebas dari Adrian pun mengelus perutnya. Memang, akhir-akhir ini Sara merasa seperti ada yang salah di dalam perutnya. Sesuatu yang aneh. Sara bahkan sempat berpikir untuk menceritakannya pada Adrian, apa dirinya terkena santet? Tapi tidak! Ini bukan jaman kuno. Sara pasti hanya tidak enak badan.
"Aku hamil?"
Adrian mengangguk. Senyum tipis muncul di wajah tampan itu. "Maafkan aku karena belum bisa mengatakannya kemarin. Aku hanya takut membuat kamu kepikiran, Sara..."
Sara langsung menggeleng. "Mana mungkin aku kepikiran, Drian? Justru aku kepikiran karena aku tidak tahu kalau aku hamil, ada nyawa di dalam perutku. Aku sempat berpikir aku ini diguna-guna orang."
Adrian tergelak. Sara bahkan sampai meringis karena merasa bodoh ditertawakan oleh suaminya sendiri.
"Tidak, Sayang. Kamu benar hamil. Dan aku baru bisa memberitahumu sekarang karena kurasa, kamu harus lebih memerhatikan kondisimu." Adrian mengelus perut Sara. "Di sini, ada buah hati kita. Berjanjilah untuk menjaganya. Kalau kamu merasa lelah, kamu bisa hubungi aku kapan pun. Aku selalu ada untukmu, Sara."
Sara mengulum senyum. Bahagia mendengar penuturan Adrian yang manis di telinganya. Perempuan itu meraih tangan Adrian di atas perutnya. Menggenggam tangan besar itu dengan kedua tangan mungilnya.
"Aku berjanji. Aku akan menjaganya selalu, bahkan tanpa berjanji terlebih dulu, Adrian."
Janji lembut itu menenangkan hatinya. Ya, semoga ia tidak salah melangkah. Semoga Saranya selalu dilindungi oleh Tuhan di mana pun dan kapan pun. Semoga iblis itu tidak mendengar percakapan ini.
Sayangnya, iblis yang dimaksud Adrian memang tidak mendengar. Tetapi iblis adalah iblis. Ia telah mengetahui apa yang tengah tertanam dalam perut Sara. Nyawa janin tidak berdosa itu memang bukan incarannya. Namun, perempuan yang mengandung janin tersebut tetap menjadi tujuannya.