08 | Rival

2206 Kata
Bayangan akan masa lalu perlahan memudar seiring kotak musik di hadapannya berhenti berputar. Jemari Damian kembali memutar benda itu. Mendengarkan alunan lagu pengantar tidur yang merdu dengan kedua mata terpejam. Damian merenggangkan dasinya dan menarik napas dalam-dalam. "Baru beberapa bulan katamu?" Di hadapannya, Zero mengangguk. Ia tidak mungkin salah. "Ya. Maka dari itu, sangat kejam kalau kau ingin menghancurkan pernikahan mereka yang baru seumur jagung." "Kau yakin?" Zero mengernyit. "Kenapa akhir-akhir ini kau sering meragukanku?" "Aku hanya tidak ingin salah untuk Sara." Damian menghela napas. "Aku meragu..." lanjutnya. Zero mendelik. "Kau benar-benar meragukanku, Damian?!" "Jangan berteriak padaku, Zero." Damian mengerling tajam padanya. "Aku bukan meragu padamu. Terlebih pada diriku sendiri." Alih-alih bertanya maksud dari ucapan Damian, Zero justru bungkam. Ia membiarkan Damian bangkit dari kursinya dan melangkah ke arah lemari besar di belakangnya. Lelaki itu membongkar berkas-berkas di sana, sampai Zero menangkap sebuah undangan berwarna merah di tangan Damian. "Ini, yang membuatku meragu." Damian melangkah mendekat tanpa mengalihkan pandangan dari undangan merah marun di tangannya. "Di sini tertera dengan jelas. Pernikahan mereka dilaksanakan kurang lebih sekitar dua tahun yang lalu." Zero meraih undangan tersebut dan membacanya. "Ashara Awla Havisa," Zero mengernyit saat mengingat hal lain. "Kalau kau memang sudah mendapatkan undangan sekitar dua tahun yang lalu, kenapa kau tidak tahu bahwa Sara adalah isterinya?" "Berhenti mengucapkan 'isterinya' ataupun 'suaminya', mengerti?" Damian memijit pangkal hidungnya. Ia duduk di pinggir meja kerjanya sebelum kembali bersuara. "Aku tidak pernah datang ke acara sakral seperti itu, hanya akan membuatku muak. Ditambah dengan 'siapa' tuan acara itu. Dan satu lagi, apa kau akan menduga bahwa nama Ashara Awla Havisa memiliki nama panggilan sebagai Sara? Maaf jika hanya aku yang keliru, tapi nama itu sangat aneh," lanjutnya frustrasi. Zero terkekeh geli. Benar apa yang Damian katakan. Pemilik nama Ashara biasanya dipanggil Asha [read: Asya] atau mungkin Shara [read: Syara]. Jarang sekali ada yang dipanggil Sara [read: Sara]. Bahkan baru Sara yang ia temui seperti itu. "Jangan menghina namanya kalau kau mencintai orangnya." Damian tersenyum tipis. "Aku tidak menghinanya. Aku justru memujinya." Zero berdecak. "Sama sekali tidak terkesan memuji!" "Berhentilah membantah ucapanku, Zero. Lanjutkan pembahasan kita sebelumnya." Damian bangkit dan kembali duduk di kursinya. "Apa hanya aku yang merasa pernikahan itu direncanakan?" Zero menggeleng. "Setiap pernikahan memang butuh persiapan. Pasti direncanakan." Damian mengerling tajam dengan mata menyipit. "Jangan menjadi bodoh di ruanganku, Zero." Zero meringis, "Aku hanya tidak berpikiran seperti itu. Maksudku, apa salah Sara? Jangan karena Adrian adalah lawanmu nomor satu lantas kau mengarahkan semua kemungkinan buruk padanya." Damian menautkan jemarinya di atas meja. Badannya mencondong ke depan, menatap tajam Zero yang membeku di tempatnya. "Aku tersinggung oleh ucapanmu. Boleh kuperbaki?" Bibir lelaki itu menipis. "Kalau sudah kuperingatkan, mari kuulangi. Mungkin Damian memang jahat. Perampas nomor satu yang semua orang takuti. Tapi, dia juga manusia. Tidak selamanya kejam seperti iblis. Dan apa kau yakin, malaikat berwujud manusia seperti Adrian tidak memiliki sifat keji?" Damian kembali menyandarkan punggungnya. Di depannya, Zero masih tertegun dengan ucapan Damian. "Aku minta maaf padamu kalau begitu. Aku berjanji, akan mencari tahu hal ini segera. Kupastikan, kau tidak akan lagi meragu padaku." Damian manggut-manggut. Membiarkan Zero pergi. Namun, belum juga lelaki itu sampai di depan pintu ruang Damian, Zero kembali menoleh. "Dan soal kotak musik itu. Aku mungkin perlahan yakin kalau seorang Damian tidak sekejam itu." Zero tersenyum miring, "Tidak ada iblis yang menyukai mainan anak perempuan." Sebuah pajangan mungil pun mendarat di depan pintu, tepat saat Zero telah berhasil kabur dari amukan sang iblis. *** Sara berlari kecil ke arah pantry kantor. Melihat Fandhi menyesap kopi hitamnya membuat Sara ingin mencicipinya. Belum lagi aroma kopi tersebut. Ah, astaga! Bagaimana Sara bisa berubah menjadi orang celamitan sepeti ini? Ia tidak mungkin minum satu gelas dengan Fandhi. Dan jangankan mencicipi, memintanya saja Sara berpikir ulang untuk melakukannya. Jadilah ia di sini. Lebih baik membuatnya sendiri dan menikmati secangkir kopi itu di sini. Sara berjinjit, meraih toples berisi bubuk kopi dan gula di dalam kabinet atas. Ia merutuk kecil karena sulit menggapai. Perempuan itu tersenyum senang saat ia berhasil meraih toples berisi gula. Namun, baru ia akan menurunkan toples berisi bubuk kopi, toples tersebut melayang di atasnya. Tidak bukan melayang. Tapi diambil alih oleh seseorang di belakangnya. Sara akan merutuk siapa pun yang seenaknya mengambil toples itu dari tangannya. Namun, tubuhnya membeku saat aroma maskulin itu membelai penciumannya. "Sejak kapan ibu hamil boleh mengkonsumsi kopi, hm?" Sara tertegun. Ia mendongak dari balik bahu, mendapati Damian tengah memandangi toples kopi di tangannya itu dengan hidung berkerut. Seolah toples tersebut berisi racun tikus yang akan Sara minum! Dari mana Damian tahu dirinya sedang hamil? Sara menggigit bibirnya. Ia sudah berjanji pada Adrian untuk merahasiakan ini dari siapa pun bahkan teman-teman kantor terdekatnya. Sara sudah menutup mulutnya rapat-rapat agar tak seorang pun tahu kabar menyenangkan baginya ini. Lantas, bagaimana Damian bisa tahu?! Seolah tahu apa isi kepala Sara, Damian menyentil ringan dahi yang berkerut samar itu. "Semua, Sara. Apa pun tentangmu, aku tahu." Sara menelan ludahnya. Kali ini, Damian hanya mengucapkan namanya. Tidak lagi membawa-bawa nama karyawan sebagai alasan lelaki itu. Damian menimang toples di tangannya. "Apa kamu tahu? Salah satu alasan mengapa kopi cukup mengancam ibu hamil adalah karena kafein dapat dengan mudah menembus plasentamu. Hal itu bisa berdampak pada detak jantung bayi di dalam perutmu, Sara," tuturnya dengan tatapan tidak luput dari kedua mata bundar Sara. Sara terkejut. Kontan saja ia memeluk perutnya yang masih rata. Ia menatap Damian dari balik bulu matanya. "Makasih," cicitnya. Damian tersenyum miring. "Itu tidak gratis." Sara mengerjap-ngerjap. "Maksudnya?" "Peringatanku bukanlah bentuk perhatian, Sara. Aku ingin kamu membalas budi untuk itu." "Kenapa begi--" "Ingatlah, Sara. Kalau aku tidak ada saat ini, kamu sudah meminum kopi itu. Bayangkan apa yang terjadi..." "Oke!" pekik Sara kesal. "Pak Damian mau apa?" Damian memejamkan kedua mata dengan telunjuk menempel di bibirnya. "Jangan berteriak di hadapan atasanmu, Sara. Aku sedang berbaik hati hari ini. Jadi, tolong buatkan secangkir kopi untukku." "Kenapa malah Pak Damian yang pengin minum kopi?!" pekik Sara tertahankan. Mengingat pekikannya beberapa menit lalu dapat membuat satu kantor mendengarnya bila ia masih meneruskan intonasi seperti itu. Damian mengangkat bahunya. Lelaki itu berjalan meja bar di depannya dan duduk di bangku yang tersedia. "Aku mewakilimu, Sara. Kamu bisa mencicipi mulutku kalau nantinya kamu masih menginginkan kopi itu." Sara mendelik jijik. Perempuan itu bergegas membuatkan Damian kopi dengan posisi membelakangi lelaki itu. Tidak menyadari tatapan geli Damian padanya. Lelaki itu bahkan susah payah menahan tawanya. Akhirnya, yang dilakukan Damian adalah memandangi punggung mungil Sara sembari tersenyum tipis. Seraya menunggu airnya mendidih, Sara memasukan beberapa sendok bubuk kopi dan... Ah! Kenapa tidak ia masukan garam saja? Sepertinya, lelaki seperti Damian perlu diberikan pelajaran 'kecil' olehnya. Sara menuangkan beberapa sendok garam ke dalam cangkir tersebut. Untunglah, toples garam berada di kabinet bawah. Tempatnya meracik kopi. Kalau tidak, Damian pasti tahu. Dari posisi lelaki itu, Damian bisa melihat dengan jelas bahan-bahan yang ada di dalamnya. Begitu airnya matang, Sara segera menuangkannya pada cangkir tersebut. Mengaduknya perlahan, sampai semua terlihat larut di dalam. Perempuan itu berbalik dengan senyum tertahankan. Nyaris menyerupai kuluman yang membuat Damian menaruh curiga. Belum lagi saat Sara dengan manisnya meletakan cangkir itu di hadapannya. "Silakan diminum, Pak." Damian menyipitkan matanya. "Wajahmu menjelaskan perasaanmu, Sara. Kamu tampaknya sangat bangga karena bisa menyembunyikan sesuatu dariku." Sara membeku. Bagaimana mungkin Damian mengetahuinya?! Sara memasukan garam itu dengan sembunyi-sembunyi. Ia menggunakan tubuhnya untuk menutupi aksinya. Menghalangi Damian melihat apa yang telah dilakukannya. Damian menggeser cangkir tersebut ke pada Sara di sampingnya. "Ini. Cicipi terlebih dulu sebelum aku menyesapnya." Sara mengernyit. "Bukannya Pak Damian sendiri yang bilang kopi berbahaya untuk bayi saya?" Seringai lantas muncul di wajah lelaki itu. "Aku ingin kamu merasakan bagaimana dampaknya kalau bermain-main denganku, Sara." Damian mengaitkan jari telunjuknya pada kuping cangkir tersebut dan mengangkatnya. Mendekati bibir cangkir panas tersebut pada Sara. "Minum," titahnya. Sara menggeleng saat merasakan panas cangkir itu membelai bibirnya. Kedua matanya terpejam, menghindari tatapan tajam Damian yang seolah tidak segan menghabisinya saat itu juga. "Cicipi, Sara. Untukku. Aku ingin tahu, semanis apa kopi buatanmu sampai kamu perlu menambahkan garam di dalamnya." Sara membuka matanya. Memberanikan diri membalas kedua mata Damian yang berkilat menakutkan. Bibir cangkir itu kembali menempel di bibirnya. Membuat rasa panas itu kembali menyengat bibirnya. Sara ingin meminta maaf, tapi yang keluar justru isak tangis dari mulutnya.  Perempuan itu tidak dapat menolak saat kedua lengan kokoh Damian merengkuh tubuh mungilnya. Lelaki itu bahkan harus menunduk agar bisa mengecup puncak kepala Sara dan membisikannya. "Jangan diulangi. Mengerti?" Sara manggut-manggut. Ia biarkan dirinya menangis dalam dekap lelaki yang bukan suaminya. Ia bahkan merasa ingin terus-menerus berada dalam rengkuhan pemilik aroma maskulin ini. Terlebih karena keinginan sang janin di dalam perutnya. Entahlah, Sara tidak tahu. Mengapa harus Damian yang diinginkan anaknya? Mengapa bukan Adrian, suaminya sendiri? Bersama Adrian, Sara tidak pernah tergoda sekuat ini untuk berdekatan dengan lelaki itu. Meskipun Sara sangat menyukai saat-saat di mana Adrian memeluknya dari belakang. Menggendongnya. Menyentuhnya. Dan lain-lain yang membuat Sara bisa merasakan aroma lelaki itu. Tapi bersama Damian... Tanpa diperintahkan, dirinya tergoda untuk terus-menerus bersama lelaki ini. Tangis Sara berhenti, Damian pun melepaskan rengkuhannya. Sampai pekikan kecil dari OB yang berada di ambang pintu, mengejutkan Sara. Perempuan itu limbung karena terburu-buru mengambil langkah mundur sebanyak mungkin. Namun, lagi-lagi. Damian dengan sigap menahan tubuh itu membentur kerasnya lantai. Damian mengerling tajam pada OB yang masih terkejut memandangi keduanya. "Sekali lagi kamu bertindak tidak menyenangkan, lepaskan seragam itu selamanya. Mengerti?" OB tersebut manggut-manggut, bergegas akan berlalu. Namun, baru saja ingin berbalik, perintah Damian menghentikannya. "Tunggu." Damian menggerakan jemarinya, menyuruh OB tersebut untuk menghampirinya. "Habiskan ini." OB tersebut tertegun. Ia bahkan tidak percaya, seorang Damian memberikan secangkir kopi hangat untuknya. "Untuk saya, Pak?" tanya OB itu memastikan. Damian mengangguk datar, membuat sang OB pun tersenyum sumringah. Tidak menyadari ringisan kecil Sara di samping Damian yang menatapnya penuh rasa kasihan. Satu teguk... Dua teguk... Tiga... "Habiskan. Saya tidak suka membuang-buang minuman." Perintah tak terbantah Damian membuat sang OB menelan habis kopi dengan rasa tidak karuan itu. Ingin menyembur dan memuntahkannya, tapi posisinya berada tepat di depan Damian. Ia tidak ingin mengambil risiko. Alhasil, ia merelakan lidahnya merasakan rasa mengerikan itu. "Enak?" tanya Damian. OB tersebut manggut-manggut. "Banget, Pak. Saya senang sekali meminum kopi buatan Bapak!" bohongnya dengan nada antusias. Damian tersenyum miring. "Berterima kasihlah padanya." Lelaki itu menggedikkan dagu pada Sara di sampingnya. "Karena buatannya, kamu bisa merasakan kopi menakjubkan pertama kali di dunia." Damian bergegas keluar dari pantry. Meninggalkan Sara serta sang OB yang tengah mati-matian mempertahankan senyumnya. Sara meringis, simpati pada OB di hadapannya. "Kalau kamu mau muntah, boleh kok." Perintah Sara pun segera dilaksanakan oleh OB yang malang tersebut. *** "Aku tidak tahu apa ini kebetulan atau tidak. Tapi..." "Zero, aku malas berbicara lewat telfon. Datanglah. Aku juga sedang ingin memaki orang." Terdengar decakan dari seberang. "Aku bisa mengancam tidak akan memberitahumu apa pun kalau kau sampai memakiku." "Ya. Dan aku bisa tidak membayarmu." "Dan kau rela kehilangan informasi berharga tentang Sara?" "Kau menang," tukas Damian dengan geraman kecil. "Kemarilah." "Aku sudah ada di ruang tunggu depan ruanganmu sejak tadi," ucap Zero, disusul dengan pintu ruangan Damian yang terbuka dan menampakkan dirinya. "Kemana saja kau? Aku benar-benar gerah berada di ruang tunggu seperti orang bodoh. Untungnya aku masih punya sopan santun agar tidak masuk ke ruangan ini tanpa izinmu." "Terima kasih atas sopan santunmu," sindir Damian kemudian mendengus. "Jelaskan semua hal yang membuatmu berani mengganggu waktuku." "Aku tidak yakin ini akan mengganggu waktumu." Zero membalas tatapan datar milik Damian dengan raut wajah bersungguh-sungguh. "Orang tua Sara meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kurang lebih sekitar dua tahun yang lalu, tepat saat Sara baru akan dihadapkan oleh skripsinya." Damian mengernyit. "Lalu?" "Ingat pembahasan kita beberapa hari lalu soal undangan pernikahan itu?" Zero mengembuskan napas saat Damian mengangguk, mulai menyadari kemana arah percakapan ini. "Ini semua terasa direncanakan." Damian menggeram dengan mata terpejam. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal, memukul kuat meja kerjanya hingga beberapa benda di atasnya bergetar. "Sudah kukatakan, bukan aku yang berbahaya di sini." Zero manggut-manggut. "Ya, meskipun sulit dipercaya." Lelaki itu diam sejenak. Membiarkan keheningan menyergap mereka sampai kemarahan iblis di depannya terlihat mereda. Zero kembali angkat bicara, "Mungkin ini aneh. Tapi, apa kau memiliki hubungan dengan Sara sebelumnya?" Damian mengerling. "Aku bahkan baru mengenalnya saat dia bekerja di sini." "Kau yakin?" "Apa yang kau pikirkan, Zero?" Zero mengangkat bahu. "Seperti yang kukatakan barusan. Ini aneh. Kenapa harus Sara? Aku pikir, Adrian menginginkan perempuan itu karena memiliki hubungan denganmu, Damian. Kau tahu, ya kira-kira sepertimu." Damian menyipitkan kedua matanya, "Aku tersinggung. Perlu kau pahami, aku tidak menginginkan Sara karena dia milik Adrian. Persetan dengan semua itu! Aku menginginkan Sara karena hanya perempuan itu yang membuatku menginginkannya." Damian menghela napas. "Dan aku tidak yakin, siapa Sara bagiku dulu. Tapi sekarang, perempuan itu tujuanku. Jika Adrian berani melukainya, aku rampas Sara darinya saat itu juga." Zero menggeleng. "Adrian sekarang sangat mencintainya. Aku tidak yakin dia akan melukai Sara. Mungkin juga, dia menyesali perbuatannya dulu." Zero menelan ludahnya. "Justru yang kutakutkan adalah, Sara terluka oleh kalian berdua." Tatapan tajam Damian pun kembali membekukan Zero di tempatnya. "Adrian Dermaga tidak seperti yang terlihat. Kalau kau tidak percaya, kau boleh menyaksikannya sendiri saat aku berhasil merampas Sara darinya." "Ya, kuharap persaingan kalian tidak menyakiti Sara." "Aku tidak mungkin menyakiti perempuanku. Kecuali, dia sendiri yang meminta." "Kau gila, Damian." Seringai bengis pun muncul menghiasi wajah Damian. "Kau akan menyukai kegilaanku nanti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN