Gosip itu menyebar luas! Insiden kopi kemarin, di mana seorang Damian tepergok tengah memeluk staffnya sendiri. Pasalnya, perempuan yang dimaksud adalah Sara yang sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun dengan Damian. Perlu ditekankan sekali lagi, Sara adalah karyawan biasa.
Damian tidak peduli. Ia bahkan ingin semua orang berpikir Sara memang memiliki hubungan dengannya. Kalau perlu, ia biarkan berita ini menyebar sampai ke telinga Adrian. Damian tidak sabar. Ia ingin menyaksikan bagaimana bentuk kemarahan seorang malaikat yang dipuja-puja itu.
Tapi tidak untuk Sara! Perempuan itu teramat peduli. Terlebih pada hatinya yang bersi keras mengukir nama Adrian di dalam. Sara merasa berdosa pada Adrian. Meskipun Damian tidak mengatakan apa pun padanya, tapi Sara tahu bila lelaki itu tengah gencar mendekatinya! Uh! Sara bukan percaya diri berlebih, tapi memang itu nyatanya! Belum lagi, Sara merasa bila anak dalam perutnya semakin hari semakin ingin dekat saja dengan sosok Damian! Dasar, bayi nakal!
Di lain tempat, Adrian mendengar dengan saksama berita tersebut dari kaki tangannya. Napasnya perlahan memburu. Adrian segera membalikan badan, membelakangi lelaki berumur yang telah mengabdi padanya sejak dulu.
"Kau tahu apa yang terjadi bila beritamu tidak benar, Barron?"
Barron membungkuk patuh dan tersenyum meskipun tuannya tidak melihat. "Sangat mengerti."
Adrian kembali menghadap Barron. "Sara menyayangiku. Apa kau yakin dia seperti yang kau lihat?"
Barron menggeleng kecil. "Saya mungkin akan meragu seperti yang Tuan alami sekarang. Nyonya Sara dan Tuan memang saling mencintai. Tapi, saya tidak punya nyali sedikitpun untuk membuat berita miring atau membohongi Tuan Adrian."
Adrian menghela napasnya. Sejak dulu hanya Barron dan Reno yang setia mengabdi padanya tanpa pengkhianatan. Bagaimana mungkin Adrian meragu pada dua lelaki itu? Mungkin benar yang Barron katakan soal berita itu.
"Apa yang Anda pikirkan, Tuan?"
Andrian tersenyum tanpa membalas tatapan khawatir Barron. "Sedikit pelajaran."
"Maaf bila saya lancang. Tapi, apa benar Tuan akan melakukannya? Bukankah itu artinya--"
"Persetan Barron!" Adrian menggebrak meja kerja di hadapannya. "Kau boleh meninggalkan ruanganku," titahnya tak terbantah.
Usai Barron meninggalkan ruangannya, Adrian termenung menatap figura keluarga kecilnya di atas meja kerja. Ya, dirinya dan Sara. Kedua matanya tak lepas dari sosok mungil dalam foto tersebut. Sosok yang perlahan mengubah perasaan semu itu menjadi nyata. Perempuan yang berhasil membuatnya menimbun rapat rencana besar yang telah disusunnya. Perempuan yang berhasil mengubur dirinya yang dulu demi sosok mungil tersebut.
Adrian telah melupakan semuanya. Sara, menjadikan hidupnya berbeda. Adrian tidak lagi peduli dengan dendamnya. Adrian tidak lagi menyesali apa yang telah terjadi. Adrian hanya ingin hidup damai dan bahagia bersama Saranya. Ya, semenjak perempuan itu hadir, Adrian berubah menjadi lebih baik.
Namun, semua ini. Yang tidak direncanakan ini, perlahan mengusiknya. Adrian tidak sanggup kehilangan Sara. Terlebih jika perempuan itu sendiri yang akan meninggalkannya.
Tidak. Tidak ada lagi yang boleh menghancurkan Adrian Dermaga. Sekalipun itu orang yang dicintainya. Adrian akan mempertahankannya dengan berbagai cara. Dan jika masih bisa terlepas...
Tidak seorang pun yang mendapatkan Sara. Tidak Damian. Tidak juga dirinya.
***
Sara masuk ke dalam kamarnya dengan dahi berkerut. Rumahnya sepi. Sosok Adrian pun tidak tampak di mana-mana. Apa lelaki itu belum pulang? Dan mengapa ponselnya tidak bisa dihubungi?
Sara menunduk lesu. Padahal, hari ini ia ingin mendapat pelukan hangat dari suaminya. Gosip itu, keinginan bayinya yang tidak masuk akal, serta tatapan beberapa karyawan penggemar Damian terhadapnya. Semuanya membuat Sara pusing. Sara ingin pulang dan tidur ditemani Adrian. Tapi, lelaki itu justru tidak ada.
Suara pintu utama yang tertutup cukup keras membuat Sara keluar dari kamarnya. Perempuan itu tersenyum mendapati Adriannya telah pulang.
"Adrian?" pekik Sara senang. Perempuan itu bahkan berlari kecil menuruni tangga untuk menghapus jarak dan memeluk Adrian.
Adrian tergoda untuk mengusap kepala Sara, tapi bayangan akan Damian yang menyeringai seraya memeluk Sara membuat Adrian berupaya keras menahan keinginannya untuk membalas rengkuhan mungil ini.
"Kenapa kamu nggak bisa dihubungi?" tanya Sara dengan mata membulat penuh.
Tatapan ini. Apa benar ia sanggup melakukannya?
"Aku lelah."
Binar di kedua mata Sara kontan meredup. Perempuan itu mengerjap-ngerjap. "Adrian, kamu kenapa?"
"Aku hanya lelah, Sara," balas Adrian sekenanya.
"Adrian--"
"Minggir Sara," tukasnya seraya melepas sepasang mungil yang melingkar di perutnya. "Aku akan beristirahat."
Adrian berlalu, melewati Sara yang kecewa. Ada apa dengan Adrian? Mungkinkah lelaki itu memiliki masalah dalam pekerjaannya? Sara ingin Adrian berbagi! Sara tidak ingin diabaikan seperti ini!
Sara menatap nanar pintu kamar mereka yang tertutup rapat. Sara merindukan senyum Adrian.
***
Ketukan lembut pintu kamar membuat Adrian memejamkan kedua matanya. Berpura-pura tengah tertidur pulas. Ia mendengar langkah kecil datang menghampiri, disusul dengan sosok mungil yang menaiki ranjang dan berbaring di sebelahnya.
Sudah dua hari Adrian mendiamkan Sara. Meskipun begitu, Sara tetap setia menganggap semua baik-baik saja. Sara bahkan tidak bosan berdekatan dengan Adrian yang dingin seperti ini. Membuat Adrian terkadang berpikir untuk menghentikan 'pelajaran kecilnya' pada Sara. Tapi tidak bisa! Sosok yang dulu di dalamnya lebih kuat. Ia ingin menyelesaikan semuanya. Membongkar semuanya secara perlahan. Menahan Sara tetap dalam kuasanya.
Sara meraih sebelah tangan Adrian dan memeluknya bagaikan sebuah guling. Perempuan itu meringkuk. Memejamkan mata dan tertidur di samping Adrian yang membeku.
Adrian membuka matanya. Posisi Sara yang meringkuk di sebelah bahunya membuat dirinya sulit mengamati wajah polos tersebut. Ingin ia membalas rengkuhan ini. Ingin ia mengatakan selamat malam, selamat tidur, dan mendoakan Sara semoga diberi mimpi yang indah. Ingin ia mengecup kening Sara. Ingin ia mengusap dengan sayang perut isterinya di mana sebuah nyawa tengah meringkuk, persis seperti posisi Sara saat ini.
Andaikan Sara tidak tersentuh oleh Damian. Adrian masih bisa memahami bila Damianlah yang menyentuh Sara. Tapi kenyataan bahwa Sara tidak menolak dan malah menangis di pelukan Damian membuat Adrian gelap mata.
Ini memang baru awal. Baru berupa pelukan. Belum yang lebih mengerikan untuk Adrian. Bagaimana kedepannya? Membayangkan Sara membuangnya saja Adrian tidak sanggup. Ia tidak ingin hancur untuk yang kedua kalinya. Bila memang Saralah yang pergi meninggalkannya, ia akan lenyapkan sosok tak berdosa ini dalam kehidupannya maupun iblis itu.
Sara menggeliat dalam tidurnya, membuat Adrian reflek mengusap lembut puncak kepala perempuan itu. Lalu dengan kening berkerut, ia menatap aneh telapak tangannya sendiri. Apa yang baru saja ia lakukan? Tidak. Tidak boleh seperti ini. Ia harus memberi hukuman ringan pada Sara. Perempuan ini harus tahu bahwa kedekatannya dengan Damian menghancurkan hati Adrian. Meskipun bagi Sara, perempuan itu sama sekali tidak dekat dengan Damian.
Adrian tidak pernah tahu, Sara berusaha keras menjauhi Damian meski makhluk dalam perutnya menginginkan lelaki itu.
"Adrian?"
Lirihan Sara membuat Adrian menyadari usapannya tadi membangunkan perempuan itu. Sial!
"Adrian, maaf kalau aku berbuat salah. Tapi, bisa kamu kasih tahu apa salahku?"
Adrian menatap langit-langit kamarnya. Menghindari tatapan Sara yang mendongak padanya. "Kamu merasa berbuat salah, Sara?"
Sara menggeleng kecil. "Aku hanya menduga. Kamu marah dan aku pikir karena aku berbuat salah."
"Ya, Sara."
"Iya?"
Adrian menunduk, membalas kedua mata bundar itu. "Ya. Kamu salah."
Sara manggut-manggut. "Maaf. Aku nggak tahu salahku apa. Bisa kamu beri tahu aku?"
Adrian tersenyum. "Kamu mau aku memaafkanmu?"
Meskipun heran karena Adrian tidak menjawab pertanyaannya, Sara tetap mengangguk.
"Berhenti bekerja."
Sara terkejut. "Apa?"
"Aku yakin kamu mendengarnya, Sara."
Sara menggeleng kecil. "Bukan itu. Maksudku, memangnya kenapa? Aku nyaman bekerja di sana. Teman-teman yang baik, kerjaan yang nggak begitu berat, dan juga--"
"Bos besar yang menarik?"
Sara tertegun. "Maksud kamu?"
"Damian." Adrian tersenyum. Ia menyentuh d**a Sara dengan ujung telunjuknya. "Bukankah jantung ini berdetak lebih cepat saat aku mengucapkan namanya?" ucapnya dengan bibir menipis.
Akuilah Sara. Aku hanya ingin mendengar kejujuran darimu. Lalu akan kupertimbangankan untuk memaafkanmu. Batin Adrian berharap.
"Kamu bicara apa?" tanya Sara tak mengerti. Mungkin, lebih tepat dikatakan berpura-pura tidak mengerti.
Adrian menggeram. Ia bangkit dan berdiri di sisi ranjang, membuat Sara kontan terduduk dan mendongak menatap Adrian yang membuat jarak. "Jangan mengelak, Sara. Kamu menginginkan lelaki lain sementara kamu mengandung anakku!"
Sara terkesiap. Bagai tersambar petir, kalimat Adrian sanggup membuatnya tertohok. Tanpa disadari air matanya merebak keluar. Bibirnya bergetar, menatap Adrian dengan nanar.
Sara membuang wajah. Selain menyembunyikan air matanya yang berlinang, ia kecewa karena kebenaran. Ia tidak bisa mengelak. Perkataan Adrian sudah telak. Benar. Ia menginginkan lelaki lain padahal ia mengandung anak dari suaminya sendiri. Bukankah dirinya sungguh menjijikan? Sara bahkan malu pada Adrian, pada harga dirinya sendiri.
"Kamu pasti bertanya-tanya dari mana aku mengetahuinya, bukan? Aku tahu semua yang kamu lakukan, Sara." Adrian mendengus, "Kamu bahkan tidak menolak saat dia memelukmu."
Berita itu pasti sudah tersebar luas. Seperti Fandhi katakan. Semua tentang Damian akan menarik perhatian banyak orang. Tapi Sara sama sekali tidak menduga bila Adrian sampai mendengarnya! Oh, benar. Seperti yang lelaki itu katakan sendiri. Adrian selalu tahu apa yang Sara lakukan.
Sara menunduk dan menggigit bibirnya. Menahan isak tangis. "Itu hanya kesalahpahaman. Aku menangis, dan sebagai teman dia menenangkanku."
Adrian terkekeh. "Teman?" Lelaki itu berdecak pelan. "Jangan terlalu naif, Sara. Dan, apa perlu aku ingatkan? Baru saja kamu mengakui bahwa pelukan itu memang terjadi."
Sara mendongak, membalas tatapan Adrian yang terasa asing baginya. "Apa masalahmu? Itu hanya sebuah pelukan! Nggak berarti apa-apa Adrian!" jerit Sara frustrasi.
Perempuan itu menahan napas saat Adrian tiba-tiba mendorong badannya hingga terlentang di atas ranjang. Kedua lengan lelaki itu mengunci tubuh Sara di bawahnya, menahan gerak perempuan itu. Lelaki itu menghapus jarak wajah keduanya. Deru napasnya bahkan begitu terasa di pipi Sara.
"Kamu milikku, Sara. Aku milikmu. Dan sampai kapan pun akan selalu seperti itu. Tidak seorang pun yang bisa merebutmu dariku. Sekalipun itu Damian. Tidak akan pernah!" tukas Adrian sebelum akhirnya berlalu. Meninggalkan Sara yang tertegun menatap punggung tegapnya.
Sara kembali terduduk. Siapa dia? Dia bukan Adrian! Suaminya tidak seperti itu! Adrian baik. Adrian lembut dan hangat. Adrian tidak pernah berbuat kasar bahkan menukas padanya. Adrian selalu mendengarkan penjelasannya. Adrian selalu memaafkannya. Lantas, mengapa hanya dengan sebuah 'pelukan' dari Damian membuat Adrian murka?
Sara mengusap wajahnya, nelangsa. Bagaimana mungkin hanya dengan sebuah pelukan tidak sengaja dapat berakibat fatal seperti ini? Ia menyesal. Terlebih pada waktu yang mempertemukannya dengan Damian! Demi Tuhan! Bagaimana bisa Adrian mengatakan bahwa dirinya akan kehilangan Sara? Damian akan merebut Sara darinya? Memangnya siapa Sara?! Sara benar-benar pusing dan tidak habis pikir dengan semua ini.
Jangan salahkan pelukannya, tapi siapa pelakunya. Damian. Dan Sara tidak menyadarinya. Mengetahui permusuhan yang kental di antara kedua lelaki itu. Sara tidak bersalah. Tapi Adrian tidak bisa menahan hasratnya untuk memunculkan sosok yang telah terkubur lama di dalamnya. Godaan untuk mengurung Sara dan menjadikan perempuan itu selamanya miliknya lebih besar ketimbang membiarkan Sara bebas dan tergapai oleh iblis perampas bahagianya.
***
"Nyonya Sara akan saya jemput 30 menit sebelum jam pulang."
Sara mengangguk. "Makasih," lirihnya.
Reno tersenyum. "Maafkan saya harus seperti ini. Saya tidak bisa membantah perintah Tuan Adrian."
Sara manggut-manggut. "Iya, Reno. Aku mengerti."
Reno melirik gedung di belakang Sara. Mobilnya berhenti di depan gerbang. Tidak memasuki area kuasa sang iblis. Tentu saja. Reno tidak ingin mengambil risiko yang berdampak bagi dirinya sendiri juga Adrian.
"Kalau begitu saya permisi."
Sekali lagi Sara mengangguk, membiarkan Reno berlalu dengan mobil pribadinya yang diberikan Adrian.
Sara menghela napas. Ia tidak pernah mengira, hidupnya akan berubah 180 derajat seperti ini! Adrian yang penyayang berubah menjadi sosok dingin dan tak tersentuh. Hanya karena gosip itu?! Oh, demi Tuhan! Adrian bahkan mengurungnya. Memenjarakan Sara tanpa mau memberikan penjelasan pada perempuan itu mengapa Adrian perlu menahannya seperti ini!
Sara tidak akan kabur! Memang mau pergi kemana dirinya? Sara tidak punya keluarga! Adrian pikir bahwa Sara akan pergi kepada Damian?! Pikiran yang bodoh! Damian bahkan bukan siapa-siapa Sara! Damian tidak akan peduli padanya. Mengapa Adrian sebegitu takut membiarkan Sara bebas seperti biasa?
Meskipun tidak tahu dengan apa yang terjadi, tapi Sara kini menyadari bahwa Adrian tidak menyukai Damian. Pantas saja Adrian selalu khawatir ketika Sara bercerita tentang kegiatannya di kantor. Adrian selalu terlihat waspada. Sekarang, Sara baru menyadari semua itu.
Di tempat tersembunyi, Zero telah mendengar semuanya tanpa Reno ketahui. Zero mendengus, terlebih untuk dirinya sendiri yang pernah tertipu. Ia benar telah salah menilai Damian. Dan kini, Adrian sepertinya telah bertindak. Tugasnya sekarang adalah memberitahu Damian dan membiarkan tuannya itu melaksanakan rencananya.
***
Damian memainkan pajangan berbentuk jam pasir di atas meja kerjanya. Telinganya menajam, mendengarkan Zero dengan saksama. Oh, benarkah? Hanya dengan berita seperti itu saja dapat memancing taring malaikat keluar? Damian mendengus. Ini bahkan belum seberapa. Damian menyayangkan. Ah, andaikan Adrian lebih bersabar dan tertantang olehnya, Damian pasti bisa 'mencicipi' Sara terlebih dulu dan memancing amukan sang malaikat lebih dalam.
Namun, Adrian bahkan telah memunculkan tanduknya hanya karena sebuah pelukan?
Damian terkekeh geli karena pikirannya sendiri. Sara yang malang. Ia pasti terkejut dan tidak habis pikir dengan suami sempurnanya itu.
"Apa yang kau pikirkan?"
Damian mengangkat sebelah alisnya. "Tidak ada. Hanya terhibur membayangkan keluguan Sara. Pasti dia bingung bukan main saat ini."
Zero mengangguk. "Ya. Dia memang terlihat pucat tadi. Aku juga melihat lengannya memerah. Entahlah, tidak begitu jelas." Ia membenarkan posisi duduknya lebih dulu sebelum akhirnya berdeham kecil, "Kalau kau tidak keberatan, aku akan mengawasi Adrian diam-diam."
"Untuk apa? Itu mustahil. Dia lebih berbahaya dariku, Zero." Damian berdecak. "Reno yang kau lihat tadi mungkin sedang lengah. Tapi saat dia mengetahui keberadaanmu, Adrian tidak akan segan untuk turun tangan menghabisi nyawamu."
"Lalu? Apa yang perlu kubantu?"
Damian tersenyum. "Untuk saat ini tidak ada. Aku akan memerintah kawanan Noah untuk merampas Sara darinya."
"Jangan terlalu lama. Aku khawatir, Adrian akan melukai Sara..."
Damian menggeleng. "Sebelum dia dapat menyentuhnya, kupastikan Sara sudah ada di tanganku."
Zero manggut-manggut menyetujui, membuat Damian diam-diam menyeringai.
"Jadi, kau sudah memercayai iblis ini?"
Zero menggedikkan bahunya. "Ya. Kurasa iblis ini lebih waras dibanding malaikat bertopeng itu," ujar Zero sekenanya membuat Damian terkekeh.