Kau tahu apa yang paling mengerikan di muka bumi ini?
Kemarahan sang malaikat.
***
Sara mengernyit saat sebuah sedan berhenti tepat di depannya. Perempuan itu kemudian menggeser tubuhnya, menjauh dari mobil. Sekali lagi ia melirik arlojinya. Kemana Fandhi dan Hana? Jam istirahat keburu habis kalau sampai mereka terlalu lama menyusul Sara yang sudah gerah berdiri di depan pintu lobi utama.
Baru Sara akan menghubungi Fandhi, seseorang berpakaian hitam formal keluar dari mobil di hadapannya. Sara batal mengeluarkan ponselnya saat lelaki itu berjalan menghampirinya.
"Nyonya Dermaga?"
Dahi Sara berkerut. Apa orang ini salah satu kaki tangan Adrian? Tapi untuk apa mencarinya? Ini bahkan belum waktunya pulang. "Ya?"
Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, saya Noah."
Sara menyambut uluran tangan pemuda itu dengan ragu. "Hmm, ada apa ya?"
Noah tersenyum. "Ibu Sara pasti bingung. Biar saya jelaskan. Saya ditugaskan Tuan Adrian untuk menjemput Nyonya. Ada yang beliau ingin bicarakan, tapi tidak di sini. Saya diminta beliau untuk menjemput dan mengantar Nyonya ke restoran kesukaannya."
Sara tertegun. Tapi tidak urung seulas senyum pun muncul, menjalar sampai pada kedua matanya. "Benarkah?" tanyanya meyakinkan.
Mungkinkah Adrian akan kembali seperti dulu? Mungkinkah Adrian ingin menjelaskan soal perubahan lelaki itu padanya?
Dengan semangat, Sara manggut-manggut. "Di mana, Adrian?"
"Tuan telah menunggu Nyonya di tempat."
Sara tersenyum lebar. "Oke. Antarkan aku ke sana, ya?"
"Dengan senang hati, Nyonya."
Noah tersenyum geli melihat Sara bertingkah seperti anak kecil yang akan diberikan permen manis. Ia membukakan pintu penumpang untuk Sara sampai perempuan itu masuk, disusul olehnya.
Di tempat lain, Damian tersenyum. Entah Noah yang cerdas atau memang Sara yang terlalu polos. Rencana Damian bahkan berjalan lurus tanpa ada paksaan sedikit pun. Oh sungguh! Ini bukan rencana yang sebenarnya.
Rencana Damian yang sesungguhnya adalah menculik Sara dengan paksaan. Bukan dengan mengelabui perempuan itu dengan sikap manis Noah. Sayangnya, Zero melarang. Damian bisa saja menulikan telinganya dan mengabaikan larangan itu. Damian yang berkuasa. Tapi mengingat kondisi Sara yang tengah mengandung, membuatnya berpikir ulang untuk "bermain" dengan perempuan itu.
Ah! Sekali lagi, ia menyesali tindakan Adrian yang tidak sabaran itu! Sungguh mudahnya terpancing oleh berita murahan. Meskipun benar adanya, tapi tetap saja Adrian tampak t***l di matanya.
Kembali pada Sara yang tidak berhenti tersenyum. Perempuan itu tidak menyadari, diam-diam Noah mengetik sebuah pesan pada Damian.
Berhasil. Setelah ini, apa yang perlu saya lakukan?
Noah mengetuk-ngetuk layar ponselnya yang redup, sampai pesan dari Damian menyegarkan layar itu kembali.
Aku percayakan padamu.
Noah tersenyum membacanya. Ia senang ketika Damian memercayainya. Noah adalah kaki tangan Damian yang paling muda. Sering kali Noah dianggap sebelah mata oleh anak buah Damian yang lain. Tapi nyatanya, Damian memilihnya untuk bekerja pribadi pada tuannya dan bukan hanya untuk bisnis.
"Dari Adrian?"
Pertanyaan Sara membuat Noah terkejut, namun lelaki itu dengan mudahnya menyembunyikan raut tersebut detik kemudian.
"Ya. Beliau menanyakan sudah sampai di mana kita."
Sara tersenyum. "Kalau begitu cepatlah!" serunya tak sabar, terlebih pada supir di belakang kemudi.
"Baik, Nyonya."
Sara menggosok-gosok kedua telapak tangannya antusias. Perempuan itu bahkan tidak menyadari, sang supir sendiri adalah orang yang pernah mengantar Sara pulang bersama Damian. Benar-benar perempuan tak berdosa.
***
"Di mana Adrian?" tanya Sara saat ia tidak mendapati Adrian di dalam restoran itu. Jangankan Adrian. Orang lain pun tidak ada!
Hmm, apa Adrian ingin membuat momen khusus untuk mereka berdua? Sara jadi tersipu sendiri membayangkan pikirannya.
"Ada panggilan penting dari rekan bisnisnya. Mungkin Tuan Adrian akan kembali beberapa saat lagi." Noah tersenyum. "Ya sudah, kalau begitu saya permisi Nyonya."
Sara manggut-manggut. "Iya. Makasih ya, Noah." Perempuan itu tersenyum manis.
Noah hanya mengangguk sopan sebelum akhirnya berlalu, meninggalkan Sara yang kemudian duduk di tempat yang telah disediakan.
Sara mengembuskan napasnya. Hampir lima belas menit menunggu, tapi Adrian tidak kunjung kembali. Sara bosan. Sampai seorang pelayan menawarkan sebuah minuman terbaru keluaran restoran itu. Sara yang tiba-tiba saja haus pun menerima dan segera menyesapnya.
Sara tersenyum merasakan manis yang sangat memanjakan lidahnya. Ini adalah minuman ternikmat yang pernah Sara rasakan! Rasanya ingin menambah, tapi Sara terlalu malu untuk mengatakannya.
Dua puluh menit berlalu. Menunggu Adrian membuatnya bosan dan mengantuk! Kedua matanya tiba-tiba saja terasa lengket dan berat untuk terbuka. Sara menguap beberapa kali sampai kedua matanya berair. Perempuan itu berniat menghubungi Adrian, tapi Sara tidak mau membuat rekan Adrian terusik karenanya.
Ia tidak sanggup lagi. Sara pun menelungkupkan kepalanya di atas meja dengan kedua lengan terlipat. Perempuan itu tertidur.
Di tempat tidak jauh darinya, Noah menjentikan jemari pada beberapa pelayan restoran yang telah dibayarnya. "Bereskan semua ini. Kalian boleh buka restoran ini kembali."
Para pelayan tersebut bergegas merapikan semuanya. Membuka restoran itu kembali usai Noah membopong tubuh mungil Sara ke dalam mobilc dan berlalu.
***
"Dia tertidur seperti bayi," lirih Noah sambil tersenyum.
Damian mengamati Sara yang masih pulas di ranjangnya. Ia sudah siap dengan apa pun reaksi Sara saat perempuan itu terbangun dan menyadari ruangan yang asing baginya. "Kau beri apa dia, Noah?"
"Hanya obat tidur yang tentunya tidak berbahaya bagi kandungannya. Tuan boleh tanyakan pada dokter Bianca."
Damian mengangguk samar. "Kau boleh meninggalkan kamarku."
Noah membungkuk hormat sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Damian dan Sara berdua.
Damian membuka jas yang membalut tubuhnya dan melonggarkan dasi tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah damai Sara. Perempuan ini, mengapa sangat sulit dilupakan? Damian semakin hari merasa dirinya semakin aneh. Seperti saat ini. Ia menculik Sara, berupaya untuk melindungi perempuan ini dari Adrian.
Mungkin terkesan tidak masuk akal bagi Sara. Mana ada orang yang berniat melindunginya dari suaminya sendiri?! Belum lagi ia tengah mengandung. Terdengar gila memang. Tapi memang seperti itulah yang seharusnya. Damian lakukan semua ini, terlebih untuk Sara.
Damian melangkah ke arah interkom dan menekan tombolnya, menyuruh kepala pelayan untuk membawakan seluruh keperluan Sara yang telah disiapkan.
Untuk sementara, kamar ini menjadi milik Sara. Menurut Damian, kamarnya lah yang paling nyaman. Meskipun banyak kamar tamu di lantai dua dan dasar yang tidak jauh lebih besar.
Kamar Damian terletak di lantai tiga mansion mewah tersebut. Kalau Adrian memiliki selera bergaya eropa untuk bangunan tempat tinggalnya, lain dengan Damian yang menyukai gaya klasik Yunani. Pilar-pilar raksasa yang menjulang di setiap lantainya membuat bangunan ini terkesan kokoh. Warna cat keemasan di setiap sudut, membuatnya tampak mewah. Bila Adrian memadukan putih dengan warna keabuan, lain dengan Damian yang memilih warna putih gading. Pilihan yang bijak untuk dipadukan dengan cat emas di berbagai sudut ruang.
Tempat tinggal milik Damian memang sudah sempurna bagi siapa saja yang menginjak bahkan yang hanya dengan melihatnya dari luar saja. Namun, bagi Damian ini belum seberapa. Punya rumah yang besar sekalipun tidak berarti membuatnya merasa pulang. Ya, begitulah Damian. Selalu merasa kurang dan selalu mencari apa yang ia tidak pahami.
Damian keluar dari kamar, meninggalkan Sara sendiri. Ia tidak ingin Sara terbangun dan terkejut mendapati dirinyalah orang pertama yang dilihat perempuan itu. Mendapati Sara kebingungan saat terbangun lebih baik dari pada mendapat amukan ibu hamil yang Noah bilang lebih mengerikan dari singa betina yang lapar.
***
Damian tepat. Sara memang kebingungan!
Lihatlah perempuan itu. Di atas ranjang yang asing, Sara tak hentinya menyisir pandangan. Ruang kamar ini bahkan lebih luas dari kamarnya dan Adrian. Ini jelas bukan rumahnya! Lantas, di mana dirinya saat ini? Bukankah tadi ia pergi ke restoran untuk menemui Adrian?
"Kalau saja aku bisa membaca isi kepalamu itu, pasti sangat menyenangkan."
Ucapan itu membuat Sara kontan menoleh, terkejut mendapati Damian telah berdiri di ambang pintu.
"Pak Damian?" Sara menelan ludah. "Kenapa Pak Damian di sini?"
"Ini rumahku." Damian mendengus. "Pertanyaan yang bodoh karena tentu saja aku sedang pulang."
Sara mengernyit. "Kenapa saya di sini?"
"Aku sedang menolongmu, Sara."
"Menolong dari apa?"
Damian membalas kernyitan Sara yang tak kunjung memudar dengan tatapan datar. "Kamu akan mengetahuinya nanti. Kembalilah beristirahat," titahnya seraya melangkah mendekat pada Sara.
"Nggak mau! Saya mau pulang. Suami saya pasti menunggu--"
"Tidak ada yang menunggu dan tidak ada yang pulang," tukas lelaki itu tajam membuat Sara tercengang.
"Apa masalah Pak Damian?!"
"Aku sedang melindungimu, Sara."
Sara masih tidak memahami. "Melindungi dari apa?"
"Dari orang yang menunggumu."
Sara terperangah. Tidak masuk akal! Mana ada orang yang melindunginya dari suaminya sendiri? Dan bagaimana mungkin menahannya di sini dapat dikatakan sebagai "melindungi"?! Ini aneh. Damian pasti menyembunyikan sesuatu. Sara harus keluar dari sini.
Perempuan itu bergegas bangkit dari ranjang dan menghampiri pintu. Melewati Damian tidak berupaya menahannya. Untuk apa? Sara tidak akan bisa kabur sejengkal pun dari kediamannya.
"Lepas!"
Damian mengamati Sara yang ditahan oleh beberapa penjaga di depan kamarnya. Perempuan itu tampak frustrasi. Ya, Damian mengerti. Biarlah Sara menerka-nerka soal ini. Damian tidak akan memberitahu perempuan itu sampai datang waktu yang tepat untuk mengatakannya. Sara sedang hamil, dan Damian tidak ingin mengambil risiko untuk menyakiti mental perempuan itu.
Tunggu. Mengapa ia harus peduli?
Damian mengernyit. Masa bodoh dengan buah hati Adrian dalam perut Sara. Yang terpenting saat ini, tidak satupun orang luar yang mengetahui di mana Sara berada. Kalau tidak, Sara sendiri yang akan terancam.
"Simpan tenagamu, Sara. Perlawananmu hanya akan menyakiti dirimu sendiri."
Berhasil. Sara tidak lagi melawan kedua penjaga berbadan besar itu, tapi tatapan perempuan itu justru menajam. Mengerling pada Damian yang senantiasa menunjukkan wajah datarnya.
"Pak Damian sebenarnya mau apa sih?!" pekiknya.
Damian tersenyum miring. "Senang kamu bertanya, Sara. Dan untuk menjawabnya, kamu sendiri yang harus membuktikannya dengan tinggal di sini sampai waktu yang belum bisa kutentukan." Lelaki itu menjentikkan jemarinya, membuat salah satu penjaga itu dengan ringan mengangkat tubuh Sara kembali ke atas ranjang.
Damian beserta kedua penjaga tersebut berlalu, meninggalkan Sara yang menjerit frustrasi di dalam kamarnya.
Sara menghampiri dinding kaca pada sisi ruang. Kedua kakinya sampai gemetar karena ketinggian bangunan ini. Damian menyekap Sara bukan di lantai dasar! Licik. Sara tidak bisa kabur dari sini. Bagaimana bila Adrian mencarinya? Adrian pasti marah. Adrian pasti mengkhawatirkannya.
Oh tidak! Jangan lagi. Sara hampir saja ingin memperbaiki hubungannya dengan Adrian. Tapi mengapa semua malah jadi seperti ini? Sara hanya akan semakin membuat Adrian murka. Sara ingin Adrian kembali seperti dulu dan tidak ingin mencari masalah baru dengan suaminya.
Sara menyerah. Sekalipun terdapat beberapa jendela besar dan pintu balkon yang tertutup rapat, meskipun semua itu terbuka, Sara tetap tidak akan bisa keluar dari sini. Ia tidak mungkin meluncur turun dari ketinggian yang ekstrim ini! Berbahaya. Berhasil kabur tidak, nyawanya melayang.
Perempuan itu kembali terduduk di pinggir ranjang. Memikirkan apa yang tengah Damian rencanakan padanya. Mengapa harus dirinya? Mengapa Damian perlu menyekapnya seperti ini? Melindungi katanya. Ah, apa maksud lelaki itu? Dengan Damian menyekapnya di sini, bukankah itu namanya menyiksanya?
Kemudian Sara teringat sesuatu. Benar. Adrian tidak menyukai Damian. Mungkinkah juga sebaliknya? Dalam kasus kemarin saat pertengkarannya dengan Adrian terjadi, Sara berpikir permusuhan mereka mungkin karena persaingan dalam pekerjaan atau kecemburuan buta Adrian pada Damian. Namun, kali ini Sara meragu. Sepertinya bukan hal itu saja. Sara merasa, ada yang kedua lelaki itu sembunyikan darinya. Kalau Damian, Sara tidak peduli. Tapi Adrian? Mengapa lelaki itu harus menyembunyikan sesuatu darinya? Terlebih hal besar seperti ini.
Sara melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah sore, Adrian pasti mencarinya. Reno pasti telah sampai di--
Tunggu. Bukankah tadi ada pemuda bernama Noah yang diperintahkan Adrian untuk menjemputnya ke restoran itu?
Seolah menjawab pertanyaan di kepalanya, ketukan pintu membuat Sara menoleh. Perempuan itu tertegun mendapati pemuda yang siang tadi menjemputnya, kini tengah tersenyum manis padanya seolah tidak ada apa pun yang terjadi.
"Sore, Nyonya."
Sara mengernyit. "Kamu Noah, kan?" tanyanya membuat Noah membungkuk dengan sebelah tangan terlipat di perutnya. Sara semakin tidak mengerti. "Kenapa kamu di sini? Mana Adrian?"
Noah tersenyum. "Lagi-lagi, maaf saya harus mengecewakan Nyonya Sara. Tapi tidak ada Adrian di sini." Noah menjentikan jemarinya, membuat para pelayan berdatangan seraya mendorong trolley makanan ke dalam kamar. Ia pun turut melangkah mendekati sudut ranjang besar Damian yang Sara duduki. "Kami telah siapkan beberapa macam makanan dari berbagai negara. Tuan Damian tidak tahu apa kesukaan Nyonya, jadi Nyonya bisa memilihnya sendiri."
Tuan Damian?
Kontan Sara bangkit dari posisinya. Menatap nyalang Noah yang tidak kunjung meluputkan senyumannya. "Kamu menipuku?! Kamu bekerja sama dengan Pak Damian? Kamu bukan ditugaskan oleh Adrian?!"
Noah dengan santai menggeleng. "Saya hanya menjalankan perintah tuan saya, Damian Artadewa."
Sara terperangah. Benar-benar bodoh! Bagaimana ia dengan mudah memercayai pemuda berwajah innocent di hadapannya ini?! Ia terlalu bersemangat ingin bertemu Adrian dan memperbaiki hubungannya. Ini benar-benar menyedihkan! Sekarang ia terkurung di sini. Di sarang 'musuh' suaminya sendiri.
"Apa yang Pak Damian mau dariku?" tanyanya pada Noah yang hanya membalasnya dengan senyuman.
"Pilih makanan kesukaan Nyonya, setelah itu beristirahatlah. Permisi."
Sara tercengang, menatap kepergian Noah dan beberapa pelayan yang mengekori pemuda itu. Meninggalkan beberapa trolley berisi macam-macam makanan lezat yang menggugah selera makan Sara.
Tidak! Sara tidak boleh menyentuh apa lagi mencicipi semua makanan itu! Sara tiba-tiba saja teringat akan dirinya saat diserang kantuk yang kuat hingga tertidur di restoran setelah meminum minuman yang diberikan pelayan restoran tersebut. Bagaimana dengan makanan-makanan ini?! Apa lagi yang akan terjadi padanya kalau sampai ia tidak sanggup menahan lapar dan melahap beberapa makanan tersebut?
Mengerikan. Ini mimpi buruk! Sara tidak pernah berpikir hidupnya akan seperti ini. Sekali lagi, ia penasaran dengan masalah kedua lelaki itu yang mengharuskan dirinya turut terbawa oleh arus berbahaya.
Sara terduduk kembali di pinggir ranjang. Semua ini, masih sulit dimengerti...
***
Adrian menggeram. Laporan yang disampaikan Reno secara langsung membuatnya murka. Kali ini ia tidak berbohong. Damian memang cerdik. Tidak. Mungkin Reno atau bahkan Adrian sendirilah yang tengah lengah dan menganggap enteng semua ini. Adrian tidak menyangka Damian akan merampas Sara secepat ini. Belum seluruhnya memang. Baru sosok mungil perempuan itu. Hati Sara masih untuk Adrian meski tak jarang perempuan itu menginginkan Damian, terlebih karena buah hatinya sendiri.
Ketakutan Adrian terjadi. Sara telah direnggut darinya. Iblis itu memang mencari mati padanya!
"Sekali lagi maafkan saya Tuan."
Adrian memejamkan kedua matanya. Sosok gelap dalam dirinya memaksa untuk keluar dan berperan kembali menguasainya, tapi sebisa mungkin ditahannya. Ia butuh Adrian yang tenang agar dapat menyusun rencana sebelum mengeluarkan malaikat bertanduk dari raganya.
"Permintaan maafmu kuterima jika kau berhasil menyembunyikan berita ini rapat-rapat dari media. Jangan ada yang tahu," titah Adrian.
Reno mengangguk. "Saya mengatasinya, Tuan. Tapi, bagaimana dengan orang-orang yang bekerja pada Damian? Saya tidak yakin--"
"Aku pastikan dia tutup mulut." Adrian berbalik memunggungi Reno dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celana. "Dia tidak akan membuat media mengetahuinya. Selain karena akan membuat media mengorek masalah di antara kami, aku tidak yakin dia menyukai artikel tentang dirinya yang menculik isteri orang lain."
Reno membungkuk dalam. "Kalau begitu, saya permisi Tuan Adrian."
Adrian mengangguk samar membalasnya. Pikirannya kembali melayang setelah Reno meninggalkan ruangannya.
Damian Artadewa, pesaing nomor satu dalam segala hal. Damian iblis. Lelaki itu bisa mendapatkan apa pun dengan cara yang mudah. Damian merampas apa yang ia inginkan tanpa peduli siapa yang berkuasa. Pengkhianatan telah mengubah semuanya. Baik Damian maupun Adrian bukan lagi yang dulu. Mereka berubah. Bedanya, perubahan tersebut adalah kebalikan dari apa yang ditampilkan.
Damian adalah iblis. Adrian adalah malaikat.
Adrian tersenyum. Senyum sederhana namun sanggup menghentikan napas siapa pun yang menatapnya. Adrian beruntung karena mampu memanipulasi dunia. Gelap menjadi terang. Putih menjadi hitam. Pagi menjadi malam. Kelabu menjadi senja.
Kehadiran Sara sempat menghentikan rencananya. Dan kehilangan Sara kini, kembali menumbuhkan keinginannya untuk menjalankan rencana.
Rencana yang berbeda.
Jika saat itu hanya Damian tujuannya. Kali ini dengan Sara. Ya, bila perempuan itu yang menginginkannya.