11 | k********g

2485 Kata
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sara menoleh dan mendapati Damian telah rapi dengan setelan kerjanya. "Belum bersiap-siap?" tanyanya melihat Sara masih duduk di pinggir ranjang. Apa perempuan itu tidak tidur? Posisinya tidak berubah sejak Noah melaporkan keadaan terakhirnya semalam. "Untuk apa?" Seulas seringai terlukis di wajah lelaki itu. "Begitu nyamannya kamarku sampai kamu enggan pergi dari sini, hm?" Dahi Sara berkerut. "Bukan begitu!" pekiknya mengelak. "Memang mau kemana sampai aku harus bersiap-siap?" lanjutnya dengan tatapan waspada saat Damian bergerak maju. "Aku belum memecatmu, Sara. Kamu masih bekerja padaku." Bekerja? Pikiran Sara langsung mengarah ke hal lain. Ya, pelarian. Bukankah ini bagus? Sara pikir, Damian akan menyekapnya di sini tanpa ampun. Ternyata lelaki itu mengizinkannya tetap bekerja. Sara akan menggunakan kesempatan ini untuk kabur! Sara harus menemui Adrian. Suaminya itu pasti cemas karena dirinya menghilang. Apakah Adrian sedang mencarinya? Apakah Adrian menduga bahwa Sara ada bersama Damian? Terlalu asyik melamun membuat Sara tidak menyadari posisi Damian yang telah menghapus jarak. Damian menunduk, menyentil pelan dahi Sara yang berkerut. "Jangan berpikir untuk kabur, Sara. Atau tidak kamu sendiri yang akan menyesalinya." Sara menatap tajam lelaki itu. "Saya nggak tahu apa masalah Pak Damian sama saya, tapi saya punya keluarga. Suami saya pasti cemas saya nggak pulang semalam! Ponsel saya hilang, nggak bisa mengabarinya. Saya tidur di kamar laki-laki lain. Pak Damian membuat saya berdosa, tahu?!" tutur Sara dengan napas memburu. d**a perempuan itu naik-turun. Sara mengerling, "Atau benar dugaan saya bahwa Pak Damian bermasalah sama suami saya?" "Simpan kecurigaanmu." Damian melirik arloji silver di tangannya. "Lima belas menitku terbuang hanya untuk curahan tidak penting. Bersiaplah Sara, aku menunggumu di bawah." Damian meninggalkan Sara yang mematung di tempatnya. Curahan tidak penting?! Sungguh! Apa mau lelaki itu? Sara hanya ingin tahu alasan mengapa dirinya dikurung seperti ini. Semua ini masih tidak masuk akal! Ketukan pintu kembali mengalihkan perhatiannya. Baru Sara berniat menyemburkan u*****n-umpatannya pada Damian, bibirnya kontan terkatup saat mendapati Noah lah yang datang dengan senyum manisnya. Sara mendesis. "Kamu!" Telunjuknya mengarah pada Noah yang setia menampilkan wajah tak bersalah. "Kamu pasti yang mengambil ponselku, kan? Kembalikan sekarang juga!" Noah menggeleng. "Maaf, Nyonya. Saya hanya melakukan perintah dari Tuan Damian. Dan barusan beliau memerintahkan saya untuk membuat Nyonya bersiap-siap." "Aku nggak mau!" pekik Sara, menantang. Noah mengangguk. "Baiklah." Sara mengernyit saat Noah justru menyerah begitu saja. Pemuda itu menghilang dari balik pintu sebelum akhirnya datang kembali dengan beberapa pelayan perempuan mengekorinya. "Lakukan yang Tuan Damian mau." "Baik!" jawab keempat pelayan wanita itu dengan serempak. Noah berlalu, meninggalkan keempat pelayan tersebut bersama Sara. Mereka terlihat berbisik-bisik sebelum akhirnya salah satu dari mereka bertepuk tangan, membuat sinyal untuk memulai tugas mereka. Sara kontan naik ke atas ranjang saat para pelayan itu menghampirinya. Perempuan itu meraih bantal Damian sebagai senjatanya. "Aku akan memukul kalian kalau berani mendekat!" Para pelayan itu terkikik geli. "Nyonya, tenangkan diri Anda. Kami tidak berniat untuk melukai Anda sedikit pun. Tuan Damian hanya menyuruh kami untuk membantu Nyonya bersiap-siap," jelas salah satu dari mereka. "Nggak peduli! Dan nggak mau peduli!" balas Sara, keras kepala. "Bukankah Nyonya Sara memiliki teman baik di kantor? Bagaimana kalau Nyonya tidak masuk? Pasti teman-teman Nyonya akan cemas." Yang lain ikut bersuara. "Apa pedulimu?!" Sara mengerling tajam. "Suamiku di rumah pasti lebih mencemaskanku karena tidak pulang semalam. Dan Pak Damian tidak peduli itu!" Para pelayan itu menunduk. "Maafkan kami, Nyonya. Tuan Damian melakukan semua ini untuk kebaikan Anda. Cepat atau lambat, beliau juga akan membeitahukan alasan dari semua ini." "Apa alasannya? Ini nggak masuk akal, tahu?!" "Kami tidak berwenang untuk menceritakan semua itu, Nyonya. Biarkan Tuan kami yang menjelaskannya nanti." Sara mencebik. "Nggak berguna!" Ketiga dari mereka terkikik geli, membuat salah satunya hanya bisa tersenyum masam. Baru kali ini sang kepala pelayan wanita dipusingkan. Terlebih oleh perempuan muda di hadapannya ini. "Izinkan kami untuk membersihkan diri Anda, Nyonya." "Nggak mau!" bantah Sara. "Maaf, kali ini tidak ada penolakan." Ucapan itu kontan membuat tubuh Sara melayang. Seraya mengangkat tubuh Sara yang ringan, ketiga pelayan itu mendengarkan instruksi sang kepala untuk membawa Sara ke kamar mandi pribadi Damian. *** "Bagaimana dengan dia?" Zero menyesap kopinya terlebih dulu sebelum membuka mulut. "Tenang. Dia benar-benar sangat tenang. Adrian menyembunyikan berita ini dari semua orang sepertinya. Yah, terkecuali pada kaki tangannya." Damian mengembuskan napas. "Aku pikir dia akan mengamuk." Zero menjentikan jemarinya. "Kupikir juga seperti itu. Tapi buktinya? Sama sekali tidak. Adrian seperti tidak terpancing dengan kehilangan isteri--" "Sara." "Ya. Kehilangan Sara," ralat Zero lantas memutar bola matanya. "Kuingatkan bahwa perempuan itu masih menjadi isterinya, Damian." "Tidak lagi dalam waktu dekat." Zero mengernyit. "Kau berniat memberitahu Sara dalam waktu dekat ini? Kau tahu apa risikonya? Sara akan menganggap sebaliknya. Sara pasti akan membencimu karena alasan dari semua ini terasa tidak masuk akal baginya. Sara akan pergi darimu!" "Dia akan kembali padaku." Damian mengerling tajam. "Adrian sendiri yang akan membuat Sara lari darinya." Zero mendengus. "Ya Tuhan! Mengapa kau percaya diri sekali?" Zero menggeleng. "Masalahnya, kalau Sara melarikan diri pada Adrian, apa kau yakin Adrian akan membiarkan Sara kembali lagi padamu?" Pertanyaan itu menohok Damian. Lelaki itu berdecak. Benar. Adrian tidak akan membiarkan Sara pergi begitu saja. Entah itu untuk mengancam Damian, atau untuk menyakiti Sara sendiri. Damian menggeram, mengusap wajahnya gusar. Hal itu membuat Zero mengernyit. Damian selalu tenang. Bahkan sewaktu melawan orang yang sama dahulu. Damian tidak pernah cemas apa lagi takut. Damian adalah dingin yang menghanyutkan. Selalu memiliki rencana briliant di dalam kepalanya. Namun, rasanya tidak untuk saat ini. Damian menyertakan hati di dalamnya kini. Ada Sara yang harus dilindunginya. Ada Sara yang menjadi prioritasnya saat ini. "Perempuan itu mengubahmu, Damian." Zero tersenyum geli. "Iblis yang kukenal ini memiliki tanduk di kepalanya, bukan sayap putih yang membentang indah di punggungnya." "Tutup mulutmu, Zero. Namanya Sara. Ucapkan namanya dan jangan pernah menyebut "perempuan itu" maupun "isterinya"!" tukas Damian. Zero menahan tawanya. Ia menghargai Damian yang pikirannya tengah kalut. Lelaki itu memang tidak pernah dekat dengan perempuan. Iblis tidak pernah menggunakan hatinya. Dan Sara pun datang. Ah, Zero jadi penasaran. Apa yang dimiliki perempuan itu sampai bisa mengubah iblis menjadi malaikat dan malaikat menjadi iblis? Adrian pernah berubah karena Sara. Sekarang, Damian yang berubah karena Sara. "Aku ingin kau mengawasi gerak-gerik Adrian. Tidak peduli bagaimana pun caranya." Perintah Damian segera dibalas anggukan oleh Zero. "Pasti. Lalu, bagaimana dengan Sara?" Damian menelengkan kepalanya. "Apa barusan kau meragukan kehadiranku?" Zero menggeleng. "Tidak, tidak. Aku hanya berbasa-basi tadi," elaknya lantas menyengir tak bersalah. "Jika kau sudah paham, silakan keluar dari ruanganku." Zero berdecak. "Ya, ya, ya. Selamat bekerja Pak Damian," godanya dengan menirukan suara Sara. *** "Nyonya Sara masih bekerja. Hari ini, saya melihat salah seorang kaki tangan Damian mengantarnya ke kantor, Tuan." Adrian hanya bergeming. Jemari lelaki itu bertaut seraya menopang dagu. "Dia benar-benar bermain seolah semua baik-baik saja rupanya," lirih Adrian dengan bibir menipis. "Maaf bila saya menginterupsi, tapi apakah Tuan Adrian yakin? Nyonya Sara pasti akan curiga jika Anda tidak mencarinya." Adrian mendengus. "Apa kau yakin aku bisa menembus sarang Damian dan membawa Sara kembali? Jangan bermimpi Barron. Damian tidak semudah itu." Adrian memejamkan matanya sejenak seraya melonggarkan dasinya. "Cepat atau lambat, kecurigaan Sara akan terbukti. Kita bisa lihat, kemana perempuan itu akan kembali." Barron mengangguk. Ia pasrah, meskipun semua ini berbahaya. Damian bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Beberapa kawanan Barron pernah dibuat menyerah oleh sosok itu. Ini bukan pertama kalinya Adrian melawan orang yang sama. "Aku ingin kau mengirim beberapa kawananmu untuk memata-matai Sara," titah Adrian. Barron membungkuk patuh sebelum akhirnya meninggalkan ruang Adrian. Pikiran lelaki itu melayang pada Sara. Perempuan itu terlalu naif. Sara yang malang. Ia pasti kebingungan dengan semua ini. Tenang, Sara. Pada akhirnya kemenangan ada di tanganmu. Kamu yang harus memilih. Dan siapa yang kamu pilih adalah pemenangnya. Dan siapa yang kamu abaikan adalah yang menghantuimu. *** "Kemarin kamu menghilang, Sara. Kami mencarimu, dan tidak ada yang tahu. Bahkan keamanan yang berjaga di depan lobi seperti tutup mulut dan tidak mau tahu!" Fandhi mengacak rambutnya. "Kamu tahu? Aku dan Hana hampir memanggil polisi!" Sara menatap Fandhi dengan haru. "Terima kasih," balasnya tulus. Pikirannya saat ini ingin menyetujui ucapan Fandhi untuk memanggil polisi. Sara ingin melaporkan bahwa dirinya diculik oleh bosnya sendiri karena alasan yang bahkan ia tidak ketahui. Sara ingin kembali pada Adrian. Tapi semua itu tidak mungkin! Sara teringat perkataan Noah saat pemuda itu mengantarnya ke kantor. Noah membisikan sebuah peringatan bernada lembut yang terdengar seolah itu berbahaya. "Percayalah pada Tuan Damian, Nyonya. Kami tidak akan menyakitimu. Justru, kalau Nyonya pergi dari kuasanya, Nyonya akan menyesalinya nanti." Pemuda itu berbicara seolah semua baik-baik saja. Senyum manis setia terlukis di setiap kata yang terucap. Namun, peringatan demi peringatan pun turut tersirat di kedua matanya. Kalimat itu seolah memiliki kekuatan magis yang membuat kontan Sara terdiam. "Sara?" Sara mengerjap. "Ya?" "Kamu melamun." Sara menggeleng. "Nggak. Cuma kepikiran aja." "Kamu benar-benar memiliki masalah ya?" Fandhi menelengkan kepalanya, menatap Sara ingin tahu. "Aku benar-benar tidak memaksa. Tapi kalau memang masalahmu seberat itu, aku akan setia menampung keluh kesahmu." Lagi-lagi Sara menggeleng. Kali ini disertakan senyum manis yang menjalar sampai ke Fandhi. "Baiklah. Aku hanya menawarkan. Semoga masalahmu cepat selesai," ucap Fandhi. Sara mengangguk membalasnya. Ya, semoga Tuhan selalu melindungi, batinnya berharap. Fandhi melirik arlojinya. "Sudah waktunya makan siang. Kamu mau ikut, Sara? Tapi kali ini jangan menghilang ya." Sara terkikik geli. Baru saja ia akan mengangguk, seseorang menginterupsi keduanya. "Maaf mengecewakan Anda, tapi Nyonya Sara sudah saya bawakan makanan kesukaannya." Sara maupun Fandhi kontan menoleh. Bahkan beberapa orang di sana yang mendengarnya pun mengamati pemuda tampan itu. "Noah? Buat apa kamu di sini?!" pekik Sara tertahankan. Bagaimana Noah bisa-bisanya mengantar makanan sementara tadi pagi, pemuda itu sendiri yang mengatakan bahwa Sara harus terlihat seperti biasa?!Dan kehadiran Noah pasti mengundang seluruh perhatian semua orang. Noah tersenyum. Ia mengangkat kedua tangannya yang menjinjing beberapa kantung plastik. "Membawakan makanan untuk Nyonya." Sara terkejut, belum lagi ia mendapati sekelilingnya tengah terperangah melihatnya. "Pulang, Noah!" Noah mengangguk. "Iya. Tapi setelah Nyonya menghabiskan makanan ini." Noah lantas memelas begitu Sara membuang pandangan. "Ayolah Nyonya. Apa Nyonya tega membiarkan saya dipukuli Tuan--" "Oke! Sini makanannya," ujar Sara cepat, memotong ucapan Noah. Tidak. Jangan sampai rekan-rekannya tahu. Jika nama Damian sampai disebut, pasti rekan-rekan kerjanya, termasuk Fandhi akan mencecarnya dengan ribuan pertanyaan. Bahkan tidak jarang mungkin, tatapan tajam beberapa dari mereka akan menusuk Sara. Noah memberikan seluruh kantung plastik di tangannya. Diam-diam pemuda itu mengulum senyum. Lagi pula, siapa yang berniat untuk mengucapkan nama Damian? Noah hanya memancing Sara karena sepertinya dugaannya memang benar. Sara benar-benar membenci tuannya. "Ini apa?" tanya Sara. Mengerling tajam pada Noah yang tengah mengulum senyum. "Nasi padang, Nyonya." Noah berdeham. "Tenang saja. Nasi padang itu dibuatkan khusus untuk Nyonya dari tangan koki terbaik di kota ini." Sara mendengus. "Aku lebih suka buatan rumah." Noah mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Lain kali saya akan menyuruh kokinya untuk memasak di rumah." Sara mendelik. "Aku heran, kenapa bisa dia mempekerjakanmu?" tanyanya sarkasme. Noah terkekeh sebelum akhirnya pemuda itu membungkuk pamit. "Saya permisi kalau begitu. Semoga Nyonya suka. Selamat makan!" Noah menghilang di balik pintu lift. Meninggalkan beberapa tatapan yang mengarah ke arahnya. Tidak terkecuali Fandhi. "Tuan? Nyonya?" Fandhi terkejut. Namun, sedetik kemudian ia menyengir lebar. "Woah! Suamimu konglomerat ya?" Sara meringis, tapi tidak mengelak. Adrian memang lelaki kaya raya. Tapi Noah bukanlah bawahan suaminya. Noah bekerja pada dan untuk Damian. Andaikan Sara bisa dengan leluasa bercerita. Sara tidak akan pusing sendiri menghadapi semua yang membingungkan ini. *** Beberapa kawanan Barron tengah mengamati Sara dari kejauhan. Perempuan itu tidak menyadari dan tetap melengos masuk ke dalam mobil yang telah dibukakan oleh Noah. Berbeda dengan Sara, Noah menyadarinya. Ia merasa beberapa tatapan tengah mengamatinya dan Sara. Namun, pemuda itu dengan mudah menyembunyikannya. Ia bersikap seolah semua baik-baik saja. "Bagaimana nasi padangnya tadi, Nyonya?" Sara mengerling kesal. "Berhenti memanggilku Nyonya! Kamu bukan bekerja untuk suamiku!" Noah tersenyum. "Kedatangan Nyonya membuat saya merasa lengkap." "Maksud kamu?" Noah menyatukan kedua telunjuknya. "Ada Tuan, ada Nyonya." "Aku milik Adrian, bukan Damian!" desis Sara tajam. Noah menghela napasnya. "Tuan Damian pasti kecewa mendengarnya." "Aku memang kecewa mendengarnya." Tanpa Sara sadari, mobil yang ditumpanginya terhenti. Pintu belakang pada sisi Noah terbuka dan menampilkan Damian yang tersenyum masam. Damian menggedikkan dagunya, memberi sinyal pada Noah untuk keluar. Kecemasan Sara terjadi! Benar saja. Lelaki itu justru masuk dan menggantikan Noah di sampingnya. Dengan sepatah perintah tegas, mobil kembali melaju. Sara menoleh ke belakang, mendapati Noah yang telah menghilang dari pandangannya. "Mau kemana dia?" "Kamu tidak akan mau tahu, Sara." Sara menoleh kesal ke arahnya. "Kalau aku bertanya, itu artinya aku mau tahu!" Damian tersenyum. "Sejak kapan kamu menjadi seperti ini, Sara? Kemana Sara yang lugu dan pemalu dulu?" Pertanyaan itu kontan membuat Sara terdiam. Ia mengingat pertama kali bertemu dengan Damian dan menganggap lelaki di hadapannya ini bukan manusia karena terlalu tampan. Fisik Damian terbilang sempurna. Kalau boleh Sara durhaka, Damian lebih menarik dari pada Adrian. Senyum misterius juga tatapan tajam sang empunya membuat hati Sara sempat goyah saat itu. Bahkan, anak di dalam kandungannya pun mengakui. Hentikan! Sara tidak seharusnya berpikir seperti itu! Ia benar-benar telah mengecewakan Adrian. Dan kini, pikirannya dicemaskan oleh suaminya. Bagaimana keadaan Adrian saat ini? Apa lelaki itu sudah makan? Apa lelaki itu kalang kabut mencarinya? "Aku harap kamu tidak sedang memikirkan hal yang mustahil." Sara menoleh. "Seperti apa mustahil yang Pak Damian maksud?" "Aku suka pertanyaanmu." Damian tersenyum. Menatap Sara dengan tatapan memperingati. "Melarikan diri. Aku bersumpah Sara, kamu akan berterima kasih padaku nanti." "Pak Damian nggak masuk akal!" "Ada hal-hal di luar akal sehat yang perlu dilakukan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, Sara." "Apa yang Pak Damian inginkan?" tanya Sara, memancing Damian. Damian mengerling. "Aku tahu apa yang sedang kamu lakukan. Berhentilah bertanya. Itu hanya akan membuat waktumu terbuang sia-sia." "Saya hanya ingin kepastian mengapa Pak Damian harus menyekap saya," lirih Sara frustrasi. Damian mengalihkan tatapannya saat kedua mata perempuan itu berkaca. "Menyekap bukanlah kata yang tepat. Aku menolongmu, Sara. Sudah kukatakan berulang kali mengenai hal ini." "Tapi saya--" "Hentikan, Sara!" tukas Damian sedikit keras, membuat Sara nyaris terlonjak dari tempatnya. "Aku tidak akan memberitahumu. Dan tidak akan pernah ada yang memberitahumu selain aku!" Sara ingin menangis. Percuma saja. Ia tidak berhasil memancing Damian untuk mengatakan hal yang sesungguhnya terjadi. Alasan mengapa dirinya harus terjerat bersama lelaki ini dan tinggal di rumahnya. Sara hanya ingin tahu kebenaran. Sara ingin kembali pada Adrian. Sara menyesal pernah menginginkan Damian waktu itu! Lelaki ini kejam. Sara bahkan terperangkap dalam kuasanya karena masalah kedua lelaki itu sendiri! Diamnya Sara selama perjalanan membuat Damian diam-diam melirik perempuan itu. Tidak ada yang bisa Damian tangkap selain air mata yang terjatuh, mengalir dari sudut matanya. Damian menghela napas samar. Pikirannya tiba-tiba melayang pada gadis masa kecilnya. Tidak jarang seperti itu setiap ia usai berbicara dengan Sara. Lelaki itu asyik bernostalgia sampai sebuah pesan dari Noah menyadarkannya. Selesai. Mereka berhasil dibekukan. Damian tersenyum. Adrian, "sulit" juga "mudah" menyatu saat mengalahkannya. Damian selalu menang. Ia selalu bisa menyingkirkan siapa pun dan apa pun yang menghalangi langkahnya. Namun, kali ini terdapat Sara di dalam lingkarannya. Ada hati yang terlibat. Mungkinkah kali ini takdir masih akan berpihak padanya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN