Adrian melangkah mantap, melenggang santai melewati beberapa pasang mata yang terkejut. Beberapa dari mereka saling berbisik dengan kedua mata yang tidak lepas dari sosoknya.
"Maaf, Bapak tidak diizinkan berada di kantor ini."
Salah seorang keamanan dengan sigap menghalangi langkahnya. Sebelah alis Adrian terangkat. Lelaki itu mengangguk dengan senyuman tak terbaca. "Sayang sekali. Padahal, saya hanya ingin bertemu dan memberinya undangan."
Semua orang tahu, siapa yang ingin ditemui lelaki itu. Adrian menghirup napasnya dalam. Atmosfer gedung kini terasa berbeda. Seraya menyisir pandangan, tatapan lelaki itu menajam.
Beberapa keamanan yang ikut turun tangan pun saling berpandangan. Sudah menjadi rahasia umum di kantor ini tentang siapa Adrian Dermaga. Siapa pun yang telah lama mengabdi di kantor ini pasti mengenalnya. Kehadiran Adrian selalu mengundang kontroversi. Bukan dalam bentuk keributan kecil apa lagi besar. Adrian selalu tenang. Namun, dalam ketenangan itu tersirat kebengisan yang membuat semua orang kontan mengambil langkah mundur, tidak berniat ikut campur.
"Baik. Tunggu sebentar di sini," tegas salah seorang keamanan tersebut sebelum akhirnya berlalu.
Masih dengan dijaga oleh beberapa keamanan berbadan besar, Adrian semakin menampilkan seringainya. Beberapa karyawan baru yang melewatinya dari kejauhan bahkan berani melempar tatapan nyalang seolah mencelanya.
Hebat, decak kagum batinnya.
Langkah demi langkah yang terdengar tegas membuat Adrian tahu siapa pemilik sepasang kaki itu. Adrian mengalihkan perhatiannya pada lelaki di hadapannya. Sekian lama menanti hari ini. Teman lamanya pun hadir, bertemu secara langsung dengannya.
"Apa kabar, Tuan Damian?" tanya Adrian seraya mengulurkan tangannya. Lelaki itu tersenyum seolah semua baik-baik saja.
Damian melirik sekilas uluran tangan di hadapannya tanpa berniat membalas. Lelaki itu justru mengangkat sebelah alisnya, seolah tindakan Adrian tadi adalah hal yang bodoh.
Merasa uluran tangannya diabaikan, Adrian mengepal erat jemarinya lantas menenggelamkan tangannya ke dalam saku celana.
"Bukan untuk mencari masalah. Kedatangan saya kemari untuk mengundang Anda," jelas Adrian lantas mengulurkan undangan merah itu pada Damian.
Senyum Adrian begitu ganjil di mata Damian. Lelaki itu mungkin mudah mengelabui publik, tapi tidak dengan dirinya yang telah lama mengenal sosok Dermaga.
Damian menerima undangan tersebut tanpa membacanya. Tatapannya tidak lepas membalas kedua mata Adrian yang menyimpan begitu banyak rahasia gelap dan kebencian. Entah apa yang Adrian rencanakan kali ini. Apa pun yang terjadi nantinya, Damian akan tetap melawan dan mempertahankan apa yang ia miliki.
"Sepertinya Tuan Damian begitu bangga dengan semua yang Anda miliki saat ini." Adrian terkekeh sejenak kemudian mengernyitkan kening. "Hmm, saya benar-benar iri. Kalau saja saya mampu mempertahankan perusahaan ini dari Anda, pasti saya akan sebahagia Anda saat ini. Ah, bukankah jabatan saya dulu yang membuat Anda 'tinggi', Tuan Damian?"
Damian mendengus remeh. "Simpan semua sindiranmu. Omong kosong tak berguna itu tidak mampu membuatku rendah sepertimu." Ia berdecak, "Orang sepertimu memang tidak pantas untuk perusahaan sebesar ini. Terima kasih sebelumnya. Karena kaulah, aku 'meninggi'."
Tatapan tenang Adrian berubah menajam. Bibir lelaki itu menipis sebelum akhirnya menunjukkan seringai bengis. "Senang bisa 'membantu' Anda. Semoga Tuan Damian menyukai risikonya."
Adrian membungkuk sebelum akhirnya berlalu, menyingkirkan beberapa keamanan yang menghalanginya dengan para pengawalnya yang berdatangan.
Damian menatap punggung Adrian yang menjauh dengan sebelah mata menyipit. Memang benar, ada yang direncanakan lelaki itu. Mutiara yang indah telah berubah menjadi berlian yang tajam. Sahabat lama yang dulu setia telah mati, berubah menjadi ular berbisa yang bengis.
Katakanlah Damian iblis. Ia dengan tega merampas seluruh milik Adrian setelah sahabatnya tersebut memberikan sebuah rahasia terbesarnya. Tidak ada yang tahu. Hanya Damian pemegangnya. Damian pertaruhkan hubungannya dengan Adrian. Damian pertaruhkan kebahagiaannya yang dulu. Damian pertaruhkan segalanya demi menggenggam seluruh milik Adrian dalam kuasanya.
Namun, bukan hanya Adrian yang penuh dengan rahasia. Damian pun begitu.
Entah bagaimana rahasia Adrian terbongkar. Perusahaannya saat itu dilanda ketakutan yang Adrian tidak sadari. Semua orang mencemaskan masa depan mereka jika tetap mengabdi di bawah Adrian.
Cara Damian mungkin salah. Namun, hanya dengan mengambil alih seluruh kuasa Adrian saat itulah yang dapat menyelamatkan sahabatnya itu. Kalau tidak, berita akan semakin menyebar dan membuat Adrian tidak selamat karena negara juga akan turun tangan menghadapinya.
Dan seperti saat inilah dirinya. Berkuasa dengan jabatan yang pernah Adrian tempati. Menduduki kursi Adrian dan membuat semua ini, termasuk seluruh yang pernah mengabdi pada Adrian tunduk padanya.
Damian meninggalkan tempatnya. Para karyawan telah membubarkan diri tanpa ia sadari. Sejak tadi, Damian termangu seorang diri dan tidak satu pun yang berniat mengusiknya.
Kalimat terakhir Adrian masih terngiang di benaknya. Apa risiko yang akan didapatnya dari semua ini?
***
Sara memasuki dapur yang luas dengan canggung. Beberapa koki dan pelayan yang tengah bekerja sampai berhenti karena kedatangannya.
Sara berdeham. "Aku mau buat sup jagung. Boleh?" tanyanya meminta izin pada mereka.
Mereka serempak mengangguk. Namun, di detik kemudian serempak juga menggeleng tidak setuju.
"Maafkan kami, Nyonya. Tapi Tuan Damian melarang Anda untuk beraktivitas yang berat-berat."
Sara mengernyit. "Hmm? Berat di mananya ya? Saya cuma memasak sup, bukan merebus kepala kalian."
Ucapan Sara membuat semuanya terdiam. Sara mendengus. Bersiap untuk tidak segan mengancam kembali. "Aku benar-benar akan merebus kepala kalian kalau kalian nggak mengizinkanku--"
"Dan kamu akan kulaporkan pada polisi kalau sampai memutilasi mereka semua."
Kedatangan Damian membuat Sara terlonjak. Perempuan itu berbalik, mengerling tajam pada Damian. Yang telah berdiri tepat di belakangnya.
"Leluconmu mengerikan, Sara. Lebih baik kamu beristirahat di kamar," ujarnya menahan senyum geli.
"Nggak!" pekik Sara, mendongak menantang Damian. "Aku mau buat sup!"
"Mereka bisa melakukannya untukmu. Dan tentunya, lebih lezat dari buatanmu," ujar Damian ragu. Ia sendiri tidak yakin, buatan para kokinya senikmat buatan sepasang tangan mungil di hadapannya ini.
"Kamu jahat! Kamu menculikku, mengurungku, dan sekarang kamu membuatku seakan terpasung! Aku nggak boleh berbuat apa pun di sini!" jerit Sara, menatap nyalang Damian.
Ucapan Sara justru menciptakan seulas senyum di wajah adonis itu. Bukan penderitaan Sara yang membuat Damian senang, tetapi cara perempuan itu berbicara padanya. Sara sudah menggunakan "aku-kamu" padanya. Mungkin terdengar kurang ajar bagi orang lain yang berbicara di hadapan Damian. Tapi khusus Sara, perempuan itu justru membuat keduanya terasa tak berjarak karena panggilannya.
"Keras kepala."
Sara memekik kencang saat tubuhnya terangkat. Damian dengan mudah membopong tubuh mungil Sara. Dahinya lantas mengernyit begitu menyadari betapa ringannya tubuh Sara. Berapa berat badan perempuan ini? Damian seperti menggendong seorang bocah saja. Padahal, kondisi Sara tengah mengandung. Bukankah ibu hamil biasanya berat badannya meningkat? Sara harus makan yang banyak. Ia berniat akan menyuapi perempuan itu dengan mulutnya langsung sekalipun kalau Sara menolak.
Damian membopong Sara masuk ke dalam lift mansionnya. Perempuan itu terus meronta sampai Damian nyaris kewalahan. Hingga tibalah mereka di lantai teratas, di mana kamar Damian terletak.
Lelaki itu meletakan Sara dengan hati-hati di atas ranjangnya. Ah, ia sungguh merindukan tidur di kamar ini. Namun, Sara lebih membutuhkan kenyamanan. Terlebih untuk anak dalam kandungannya.
Lagi. Damian mengernyit. Untuk apa ia peduli? Tapi yah, memang. Selama makhluk tak berdosa itu masih tinggal dalam perut Sara, mau tidak mau Damian harus peduli. Demi Sara, perempuan yang berhasil memporak-porandakan hidupnya. Namun, tidak dipungkiri. Hidupnya kini juga berwarna. Yah, setidaknya kali ini Damian memiliki tujuan yang pasti.
"Aku benci kamu!"
Damian tersenyum miring. "Aku masih menjadi bos besarmu, Sara."
"Aku nggak peduli! Lagi pula ini bukan kantor!" elak Sara membuat Damian lagi-lagi tersenyum dibuatnya.
"Aku suka pemikiranmu."
Sara mendesis. "Aku mau pulang! Ini sudah berhari-hari, kamu menyekapku. Membiarkan suamiku menunggu! Dia pasti kelimpungan mencariku!"
Damian bersedekap. "Berikan aku bukti untuk melepasmu. Benarkah dia mencemaskanmu? Maaf membuatmu kecewa. Tapi sejauh ini, tidak seorang pun yang datang baik kemari maupun ke kantor untuk mencarimu, Sara."
Ucapan Damian menohoknya. Benar. Mengapa Adrian tidak mencarinya? Setidaknya, mengapa tidak lelaki itu menyuruh Reno atau beberapa anak buahnya untuk mencari dan mengecek Sara di kantor? Mengapa juga Adrian tidak memanggil polisi karena kasus penculikan ini? Apa benar yang Damian katakan jika Adrian tidak mengkhawatirkannya? Adrian tidak acuh padanya?
Tidak mungkin! Adrian mencintai Sara, begitupun sebaliknya.
Sara bangkit dari tempatnya. Ia mendongak, menatap nyalang Damian yang setia menampilkan wajah datarnya. "Kamu benar-benar kejam. Aku nggak tahu apa masalahmu padaku dan suamiku sampai kamu mengurungku tanpa alasan seperti ini. Aku sedang mengandung, tahu? Anakku butuh peran ayahnya. Jangan menjadi pengecut karena membawa seorang perempuan dalam masalah kalian. Aku yakin, Adrian mau berbicara sejara jantan jika kamu memulai. Jangan seperti ini!"
"Adrian tidak seperti yang kamu pikirkan, Sara."
"Tahu apa kamu?!" pekik Sara.
"Aku mengetahui Adrian lebih dari 'isterinya' sendiri." Tatapan Damian menajam. "Kamu pikir, aku menahanmu di sini karena apa? Aku paham betul apa yang terjadi pada Adrian. Aku sedang menolongmu, Sara. Kamu tidak tahu apa di balik wujud malaikat 'suamimu' itu. Dia memiliki taring yang siap menirkam siapa pun, tak terkecuali kamu."
"Nggak masuk akal! Kamu hanya mengada-ada." Sara membalas tatapan Damian dengan tak kalah tajam. Sara menusuk-nusuk d**a Damian dengan telunjuknya. "Kamu yang bertanduk. Kamu yang iblis. Semua orang tahu itu! Adrianku tidak seperti itu. Kalaupun iya, mungkin itu dulu! Dulu, saat kamu ada di hidupnya. Dan sekarang, aku tahu apa yang menyebabkan perubahan Adrian kemarin. Kamu! Kehadiran kamu yang membuat hubungan kami berantakan."
"Apa barusan kamu menyalahkanku atas rusaknya hubungan kalian?" tanya Damian santai.
"Iya!" Sara mengangkat dagu semakin tinggi. "Setelah ada kamu, hidup kami yang tadinya baik-baik saja jadi hancur berantakan! Kamu jahat, Damian!" lanjutnya memekik frustrasi.
Kamu jahat, Damian.
Sebelah matanya menyipit. Menyaksikan Sara yang menunduk, mengacak rambut perempuan itu sendiri.
Damian benci. Damian tidak suka bila Sara yang mengatakan 'jahat' padanya.
Lelaki itu maju. Menghapus jaraknya pada Sara lantas mengunci kedua tangan perempuan tersebut dalam genggamnya yang erat. Sara meringis karena pergelangan tangannya yang terasa sakit. Tapi kali ini, Damian tidak peduli!
"Aku hanya berniat membantumu. Kamu akan menyesal dengan ucapanmu, Sara."
"Nggak! Kamu memang jahat! Bahkan lebih dari kejam!" Sara menjerit, tepat di depan wajah Damian.
Lelaki itu memejamkan kedua matanya, dengan kedua tangan tak melepaskan Sara. "Tarik ucapanmu," tukasnya dengan bibir menipis.
Sara bergeming. Perempuan itu hanya meronta, meminta dilepaskan. Damian membuka kedua matanya dan kembali menyelami sepasang mata bundar itu.
"Baik. Jika itu maumu."
Damian menyentak genggamannya kasar, membuat Sara terduduk di pinggir ranjang.
"Seperti yang kamu minta." Lelaki itu berjalan mundur, mencapai pintu kamar di belakangnya. "Aku adalah orang yang jahat."
Damian keluar dan menutup pintu dengan cepat. Suara pintu terkunci membuat Sara tersadar. Perempuan itu berlari ke arahnya dan memukul-mukul pintu kokoh tersebut hingga telapak tangannya terasa sakit.
"Damian, buka!" pekik Sara.
Damian tidak pernah mengunci pintunya. Damian hanya membiarkan dua keamanannya berjaga di depan kamar, mengawasi Sara jika perempuan itu berniat keluar kamar.
Sara menatap pergelangan tangannya yang memerah. Damian juga tidak pernah menyakitinya seperti ini.
Perubahan Adrian. Perubahan Damian. Kebaikan Adrian dulu. Kebaikan Damian dulu. Semua membuatnya bingung. Siapa yang harus ia percayai sementara keduanya tanpa segan menyakiti Sara yang tidak tahu menahu soal masalah mereka? Kemana Sara harus berlindung sementara keduanya bertanduk?
Sara merosot di balik pintu. Ucapan Damian terasa benar meskipun Sara terus menerus mengelaknya. Sara berusaha menyelami tatapan tajam itu, dan tidak sedikit pun kebohongan yang tersirat di dalam. Tapi, mengapa harus dirinya? Kalau memang Adrian sejahat yang Damian katakan hingga lelaki itu harus mengurungnya di sini, mengapa Adrian harus menikahinya?
Semuanya lagi-lagi membuat kepala Sara berdenyut, nyeri. Sara harus menelan mentah-mentah semua ini tanpa ia ketahui sebabnya. Sara pusing. Perempuan itu pun tergeletak di balik pintu. Sara tidak sadarkan diri.
***
“So I lay my head back down... and I lift my hands and pray... to be only yours I pray...”
Tatapannya tidak lepas dari gadis yang tengah asyik bernyanyi. Gaun merah muda gadis itu telah usang, tapi ia selalu setia mengenakannya. Rambut panjang hitam kelamnya sudah kusut karena terlalu lama bermain.
Bocah laki-laki itu tersenyum. Hanya dengan melihat gadis itu bernyanyi dengan gaun usang pemberiannya saja membuat hatinya damai. Ya, gaun itu ia yang berikan. Ia beli dari pasar loak terdekat. Bocah itu bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri. Gajinya yang tidak seberapa itu ia kumpulkan untuk membelikan gadis tersebut sebuah gaun di hari ulang tahunnya minggu lalu.
Keduanya selalu bertemu di sini. Taman ini. Bocah lelaki itu tidak tahu di mana rumah gadisnya dan gadis itu sepertinya tidak berniat memberi tahu, tapi ia tidak memusingkan. Selama gadis itu masih selalu datang ke tempat ini setiap sore untuk menemuinya bahkan bermain seorang diri.
"Aku suka lagu ini." Gadis itu memekik senang dan menghampiri si bocah lelaki. "Kamu beli di mana kotak musik ini?"
Bocah lelaki pun terkekeh. "Aku mengambilnya di pasar loak."
Gadis itu menelengkan kepalanya bingung, sebelum akhirnya mengernyit. "Kamu mencuri ya? Itukan nggak boleh!"
"Hanya meminjam kok, besok juga kukembalikan."
Gadis itu manggut-manggut. "Bagus. Besok kamu harus kembalikan, ya?"
"Tapi aku suka melihatmu bernyanyi."
Gadis itu menunjukkan cengiran ompongnya. "Aku punya kotak musik di rumah. Nanti kubawakan kalau kamu mau. Kupikir, anak lelaki nggak menyukai kotak musik..."
"Ini tidak seburuk itu."
Gadis itu mengangguk. "Kamu suka lagu itu juga ya? Aku bisa membawakan pianika milikku dan memainkannya untukmu. Karena di kotak musikku, tidak ada instrumental lagu seperti di kotak musik itu."
Laki-laki itu menggeleng. "Aku ingin melihatmu bernyanyi. Bukan untuk meniup pianika."
Si gadis terkikik geli. "Okay. Besok aku akan datang lebih awal. Semoga Ayahku pulangnya agak malam, jadi aku bisa berlama-lama dengan kamu."
Ucapan polos gadis itu entah mengapa membuat si lelaki menghangat. Hatinya terasa nyaman. Gadis ini, sejak kapan telah menjadi prioritasnya. Gadis ini mewarnai hari-harinya.
Sampai bocah lelaki bernama Adrian Dermaga datang. Adrian yang menjadi pewaris tahta keluarga Dermaga membuat hidupnya tidak seburuk dulu. Berteman dengan Adrian membawanya merasakan masakan lezat dan tempat tinggal yang mewah. Begitu terlena dengan kehidupannya yang sekarang, membuat ia nyaris lupa dengan gadisnya yang setiap hari menunggu di taman yang sama.
Suatu hari bocah itu datang ke taman. Namun, tidak menemui gadisnya di manapun. Bocah itu melirik arloji mahal di tangannya. Penampilannya kini tidak lagi usang. Keluarga Dermaga secara tidak resmi tengah menganggapnya seperti keluarganya sendiri. Ayah dan bunda Adrian sangat senang dengan kehadirannya karena bisa menjadi teman untuk Adrian yang tidak jarang sendirian.
Hari ini, ia ingin menceritakan seluruhnya pada gadis itu. Ia ingin berbagi kisah menyenangkan yang dalam sekejap mengubah hidupnya. Ia ingin menceritakan Adrian kepada gadisnya.
Tapi hari itu gadisnya tidak datang. Di hari-hari berikutnya, tidak pernah lagi ia mendapati gadis itu menunggunya. Gadis itu menghilang. Damian Artadewa nelangsa karenanya.