13 | A Story

2817 Kata
Gadis itu terus menghadapkan wajahnya ke samping, seolah tengah asyik memandangi pemandangan. Sedan tua yang ia tumpangi terus berjalan dengan santai, tidak memedulikan hatinya yang tercubit seiring jarak yang tercipta. Tangannya bergerak menurunkan kaca mobil. Ia mengadahkan wajahnya, menghadap ke langit yang mendung seolah mewakili perasaannya. "Dammy..." lirih gadis itu lantas menggigit bibirnya. Ia tidak pernah menyangka bila akan berpisah dengan Dammy secepat ini. Dammy. Ya, hanya itu panggilan yang diketahuinya untuk bocah lelaki tersebut, sahabat yang ia kenal di taman itu. Lelaki yang membuatnya nyaman dan merasa dilindungi. Menurutnya, ia selalu merepotkan Dammy dengan kecerobohan yang dibuatnya. Tapi Dammy tidak pernah mengeluh. Mungkin terkadang kesal, namun. bocah lelaki itu tidak jarang tertawa dan terhibur karenanya. "Sayang, kamu pasti punya teman baru di sana." Gadis itu mengangguk tanpa mengalihkan pandangan pada ibunya. Meski begitu, batinnya mengelak. Ia tidak akan bertemu lelaki seperti Dammy. Bocah yang lebih tua darinya. Dammy membuatnya merasa aman karena lelaki itu tidak jarang bersikap dewasa. Dan wajahnya. Meskipun masih kecil, Dammy adalah lelaki tertampan yang pernah dikenalnya. Ia jatuh cinta pada Dammy, meskipun ia sendiri tidak tahu apa artinya. Bayangan akan dirinya tengah tertawa bersama Dammy pun memudar. Gadis itu perlahan terlelap. Dalam tidurnya, ia merasakan suatu hal yang buruk menimpanya. Entah itu hanya mimpi atau memang benar terjadi. Yang pasti, gadis itu terbangun di tempat yang berbeda, dengan sisa ingatan yang tidak termasuk Dammy di dalamnya. *** "Maaf bila saya lancang, tapi apa sikap Tuan tidak begitu keras?" Sepasang alis Damian bertaut mendengarnya. "Dia yang meminta," tukasnya dengan bibir menipis. "Kalau saja dia tidak membanding-bandingkanku dengan Adrian, mungkin aku masih bersikap lembut padanya." Noah menghela napasnya diam-diam. "Kalau memang itu yang terbaik buat Tuan, saya tidak bisa apa-apa." Usai berucap, Noah membungkuk untuk berpamitan diri. Namun, belum sempat membalikan badan, kalimat Damian menghentikan geraknya. "Aku membutuhkan bantuanmu, Noah." Noah tersenyum. "Dengan senang hati, Tuan. Apa itu?" Damian terdiam sejenak sebelum akhirnya bersuara. "Ceritakan yang sesungguhnya pada Sara." Noah tertegun. Apa ia tidak salah dengar? Noah yang harus mengatakannya? Bukankah sejak dulu Damian ingin dirinya sendiri yang menceritakan semua ini pada Sara? Tidak seorang pun yang dibiarkan Damian untuk membocorkan hal ini di depan Sara terkecuali dirinya. "Maaf, Tuan. Apa Tuan tidak keliru?" Damian menggeleng. Lelaki itu bangkit dari kursinya dan menghampiri Noah. Ditepuknya bahu Noah dengan ringan, "Aku percayakan padamu." "Tapi kenapa Tuan?" Damian mengembuskan napas. "Sara sudah menganggapku orang terjahat di dunia. Coba kau pikirkan, berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mendapat kepercayaan darinya kalau aku yang mengatakan semua ini?" "Tuan Damian tidak jahat." Damian tersenyum. "Ya, karena itulah kau bekerja padaku." Noah mengangguk. "Baiklah. Tapi, bagaimana kalau Nyonya Sara tidak memercayai saya juga, Tuan?" "Kau punya segudang cara untuk meluluhkan perempuan dengan tatapan juga ucapanmu, Noah. Itulah kenapa aku masih mempekerjakanmu." *** Adrian tidak berhasil melacak keberadaan Sara. Walaupun ia yakin kini Sara tinggal di kediaman Damian, lelaki itu tidak mungkin menembus sarang Damian dengan mudah. Adrian harus memiliki rencana, dan tentunya melawan Damian bukanlah bayangan yang mudah. "Entah disengaja atau tidak, tiap kali kami hendak mengikuti, selalu saja ada hambatan. Kami nyaris tertangkap," jelas salah seorang kaki tangannya. Damian benar-benar berbahaya. Sepertinya, lelaki itu tahu bahwa Adrian tidak tinggal diam untuk melacaknya dan menarik Sara kembali. Damian menyebarkan seluruh kaki tangannya di berbagai tempat agar Adrian tidak dapat mengikutinya sejengkalpun. "Kalian berhasil menembus kantornya?" Salah satu dari mereka kembali menggeleng. "Tidak, Tuan. Rekan kami tidak ada yang berhasil masuk. Baik itu dengan menyamar maupun sembunyi-sembunyi." Adrian menggertak giginya, membuat rahangnya mengeras. "Aku baru sadar jika aku mempekerjakan orang-orang bodoh seperti kalian," ucapnya sarkasme. Mereka menunduk, tidak berani menginterupsi. Dalam diamnya, pikiran Adrian berkelana. Jika benar begitu, Adrian sendirilah yang harus turun tangan. Ia sendirilah yang perlu memancing, bahkan memaksa Sara untuk kembali padanya. Ah tidak. Adrian menggeleng. Tidak dulu, Adrian! Jangan dengan paksaan. Bukankah dengan kelembutan Sara justru akan kembali tanpa diminta? Dan dengan begitu, Damian akan hancur sendiri tanpa perlu mengotori tangannya. "Aku punya rencana." Ucap Adrian membuat semua mata memandang ke arahnya. *** Sara mengusap air matanya saat pintu terbuka. Harapannya terkabul, bukan Damian yang datang menemuinya. Melainkan pemuda itu, Noah. "Selamat malam, Nyonya." Sara mengerling tak suka. "Mau apa?" Jawaban ketus itu justru membuat Noah tersenyum. "Mau menanyakan, apa yang Nyonya ingin santap malam ini?" Sara menyipitkan matanya. "Aku ingin menyantapmu kalau kamu nggak membiarkan aku pergi!" Noah terkekeh. "Maaf Nyonya, daging saya kurang lezat. Tidak baik, apa lagi untuk Nyonya yang tengah mengandung," guraunya. "Untuk apa kamu peduli?" tanya Sara dengan dagu terangkat. "Untuk menghargai Nyonya dan menghormati Tuan Damian." "Aku bukan Nyonya di sini!" "Tapi Tuan Damian pemilik mansion ini." "Apa hubungannya denganku?!" Noah tersenyum manis. Ia perlahan melangkah, menghampiri Sara yang semakin menatapnya tajam. "Maaf jika saya lancang, tapi perkenankan saya untuk menceritakan sebuah kisah yang cepat atau lambat ingin Nyonya ketahui." Sara mengernyit. "Kisah apa?" tanyanya. Mau tidak mau Sara penasaran juga dibuatnya. Mungkinkah Noah mau menceritakan kisah Damian dan Adrian? Tentang hubungan kedua lelaki itu yang membuat Sara terjebak di sini? Sara tidak menolak Saat Noah nyaris mendekat. Tidak sampai menghapus jarak, karena bila Damian melihat, kepala Noah tidak akan segan dipenggalnya. "Kisah tentang rival sepasang sahabat." Sara menelengkan kepalanya. "Siapa mereka?" Noah tersenyum. "Saya akan menceritakannya perlahan Nyonya. Dan hari ini, Nyonya hanya akan mendengar sepenggal ceritanya." Kedua bola mata Sara membesar. "Apa mereka yang kamu maksudkan itu Damian dan suamiku?" Noah terkekeh geli. Pasti Damian akan geram mendengar sebutan Sara untuk Adrian. Perempuan itu masih setia dan berharap untuk "kembali" rupanya. Noah menggeleng. "Saya tidak dapat memberitahu sekarang. Hari ini, Nyonya akan mendapatkan sebagian kisah mereka. Tapi, dengan sebuah syarat!" Sara manggut-manggut dengan antusias. "Apa syaratnya?" tanyanya cepat. Ia yakin. Noah pasti ingin menceritakan kisah tentang Damian dan Adrian. Sara benar-benar penasaran! Ia ingin tahu, apa yang terjadi dan juga alasan kuat mengapa ia disekap di sini. Noah menjentikan jemarinya, kemudian datanglah seorang pelayan yang membawakan nampan besar. Noah mengangguk pada pelayan yang segera meninggalkan kamar, lantas beralih dan tersenyum pada Sara yang belum mengerti. "Saya akan menceritakan kisah mereka setiap Nyonya menghabiskan makanan tanpa tersisa. Baik itu makan malam, pagi, maupun siang. Tak kenal waktu. Saya berjanji, selalu datang dan menceritakannya." Sebenarnya Sara tidak mau makan. Niatnya sudah bulat untuk mogok makan karena perlakuan Damian yang seenaknya. Biar saja Sara sakit! Pokoknya, sampai ia keluar dari penjara ini! Namun, bagaimana dengan rasa penasarannya yang membuncah? Sara ingin mendengarnya! Meskipun tidak yakin bahwa alasan dan cerita itu dapat membuatnya keluar dari sini, tapi setidaknya Sara akan memahami mengapa ia harus dikurung di kediaman Damian. Dengan ragu Sara mengangguk. "Baik. Tapi benar, ya? Kamu harus cerita! Kalau aku habis makan dan kamu tidak ada atau tidak mau melanjuti ceritanya, aku akan memuntahkan semuanya!" ancam Sara. Noah menahan senyum melihat Sara yang mendelik seraya mengepal erat tangannya, seolah tinju mungil itu dapat melukai wajah Noah. "Saya berjanji!" tegas Noah seraya memberi hormat pada Sara. Sara mengamati makanan yang tersaji lezat di hadapannya. Makanan kesukaan Sara. Tapi, mengapa rasanya tidak nafsu? Hmm. Tiba-tiba saja Sara ingin sup makaroni ayam. "Noah?" Noah yang masih setia menunggui Sara makan dan ingin menyaksikan sendiri perempuan itu menghabiskan makanannya, lantas menatap Sara dengan bingung. "Ada apa Nyonya?" "Aku nggak nafsu." Sara menggigit bibirnya. "Boleh aku minta sup makaroni ayam? Aku ingin yang hangat dan berkuah." Noah mengangguk mantap. "Dengan senang hati, Nyonya. Sebentar kalau begitu, saya akan turun ke dapur secara langsung dan memastikan mereka membuatkan yang terbaik untuk Nyonya." Sara tersenyum. Ia menyandarkan punggungnya begitu Noah berlalu. Sudah lebih dari seminggu ia berada di sini. Mansion besar Damian yang begitu dingin sekaligus mengagumkan. Sara bisa mendapatkan semuanya di dalam istana ini. Bahkan, milik Damian lebih besar dari Adrian. Sara menggeleng! Tidak. Ia tidak boleh terpesona dengan bangunan dan segala kemewahan di sini! Ini bukan tempatnya! Tempatnya adalah di samping Adrian, bersama suaminya di rumah mereka. Uh! Lagi-lagi, ia memikirkan bagaimana cara keluar dari sini. Ia benar-benar cemas sekaligus merindukan suaminya. Adrian... Apa lelaki itu merindukannya? Apa lelaki itu kelimpungan mencarinya? Apa lelaki itu menangisinya? Menyesali perilakunya terakhir kali pada Sara dengan hilangnya perempuan itu? Pikiran-pikiran tentang Adrian pun menguap saat Noah kembali. Pemuda itu terlihat senang membawa nampan di tangannya. "Ini adalah pertama kalinya saya menyaksikan kelihaian para koki dapur. Ini juga pertama kalinya saya mengantarkan makanan dengan tangan saya sendiri." Noah tersenyum manis seraya meletakkan mangkuk berisi sup tersebut di atas nampan emas Sara. "Ini spesial untuk Nyonya. Silakan. Hati-hati masih panas." Sara mengulum senyum tipis. Ia terhibur dengan kehadiran Noah di sini. Sepertinya hanya kepada Noah ia bisa dengan bebas mengutarakan perasaan, uneg-unegnya, tanpa rasa takut sedikit pun. Yah, tidak seperti Damian! "Noah, berapa usiamu?" tanya Sara sambil menyantap semangkuk sup panasnya. Noah terlihat berpikir. "Sepertinya dua puluh tiga. Atau dua puluh empat?" tanya Noah pada dirinya sendiri kemudian mengangkat bahu. "Entahlah. Saya lupa kapan tanggal lahir saya," lanjutnya lantas terkekeh geli. Sara cemberut. "Masa umur saja tidak tahu!" Sara terdiam sebentar, sebelum akhirnya bersuara. "Hmm, kalau Damian berapa?" Noah menahan senyumnya. Akhirnya, nama tuannya pun terucap oleh bibir mungil Sara. Pasti Damian akan menyukainya. Bukan karena hanya nama yang terucap, tapi rasa penasaran Sara yang perlahan tumbuh pada sosok beku Damian. "Sama seperti suami Anda, Nyonya." Sara manggut-manggut. Ia semakin yakin, yang Noah ingin ceritakan adalah kisah Adrian dan Damian. Tak terasa Sara selesai menghabiskan sup dan nasinya. Perempuan itu begitu semangat mendengar kisah dari Noah rupanya. "Aku sudah selesai!" ucap Sara terlalu antusias, membuat Noah terkikik geli. "Baiklah." Pemuda itu menyingkirkan nampan dari hadapan Saa terlebih dulu sebelum akhirnya memulai cerita. "Suatu hari..." Dari balik pintu yang sedikit terbuka, Damian bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah antusias Sara. Ia menghela napasnya. Apa yang ia lakukan sudah benar? Kalau tidak, ia meminta pada takdir untuk menghentikan Noah untuk bercerita bagaimana pun caranya. Tapi, hingga detik ini cerita itu tetap mengalir. Mungkin memang pertanda bahwa tindakannya benar. Lagi pula, Sara tidak mungkin percaya begitu saja omongannya. Damian tersenyum tipis. Benar-benar tipis sampai kedua penjaga di depan kamarnya tidak menyadari hal itu. Noah memang dapat menarik perempuan mana pun untuk memerhatikannya. Yah, setidaknya untuk saat ini ia dapat menyaksikan kembali rona di wajah Sara. Perempuan itu juga menyantap makanannya sampai habis. Damian meninggalkan tempatnya. Membiarkan Noah kembali melanjutkan ceritanya pada Sara yang jarang berkedip karenanya. Noah memang sengaja membuka sedikit pintu kamar Damian agar lelaki itu bisa melihat bagaimana Sara kembali bersemangat. "Siapa nama bocah miskin itu?" tanya Sara dengan mata membulat penuh. Noah tersenyum. "Sampai di sini dulu cerita saya, Nyonya. Saya berjanji besok seusai sarapan, saya akan melanjutkannya." Sara mendelik. "Aku bertanya tadi! Siapa nama bocah miskin itu?" Mungkinkah Adrian? Atau justru Damian? Tapi, mengingat semua yang Damian miliki, sepertinya lelaki itu bukan si bocah miskin yang diceritakan Noah. Lagi pula, tampilan Adrian lebih sederhana dibandingkan Damian! "Saya tetap akan melanjutkannya besok," tegas Noah. "Ya ampun!" seru Sara gemas. "Yasudahlah. Aku mau tidur!" Noah tersenyum. "Baiklah Nyonya. Saya permisi kalau begitu. Tidur yang nyenyak." Sara hanya menggumam kecil menjawabnya. Masih kesal dengan Noah yang ternyata sangat pelit! *** Seperti biasa, Sara datang ke kantor diantar oleh Noah. Damian mampu membuat semua terlihat baik-baik saja di luar. Tidak sedikit pun yang mencurigai siapa yang mengantar Sara, dan kemana sebenarnya Sara pulang akhir-akhir ini. Di depan komputernya, Sara merenungi kisah Noah tadi malam. Setelah sarapan tadi, ia tidak sempat mendengar kisah pemuda itu karena rasa mual yang hebat pagi ini. "Suatu hari, ada seorang bocah laki-laki yang miskin. Ia sebatang kara. Bocah itu tidak punya siapa pun di dunia ini. Ia bekerja untuk hidup. Ia mencari uang untuk makan." Sara manggut-manggut. "Lalu?" "Seolah kasihan pada penderitaan bocah itu, takdir mengirimkannya seorang teman. Teman ini sangat-sangat kaya. Orang tuanya memiliki perusahaan terbesar di mana-mana. Bocah kaya itu pun sudah memiliki perusahaan atas namanya sendiri berkat orang tuanya." "Wow," kagum Sara membayangkan hidup si bocah kaya yang sangat mudah karena harta berlimpah. Masa kecilnya sepertinya tidak seindah itu. Ah, bahkan Sara lupa akan masa kecilnya. "Si bocah miskin sangat beruntung bertemu dengan si bocah kaya," lanjut Noah membuat bibir Sara gatal untuk menginterupsinya. "Si bocah kaya pasti rugi bertemu si bocah miskin," ucapnya polos. Noah terkikik geli. Damian pasti akan murka mendengarnya. "Tidak. Keduanya sama-sama beruntung. Hidup si bocah miskin perlahan berubah, lebih baik. Dari penampilan hingga pendidikan, semua dibiayai oleh keluarga si bocah kaya tersebut. Sementara si bocah kaya pun juga beruntung, karena kehadiran si bocah miskin, ia pun memiliki teman. Mereka bersahabat dengan baik. Benar-benar tak terpisahkan. Si bocah kaya sangat menyayangi si bocah miskin, begitupun sebaliknya." Sara mengernyit. "Mereka saling menyukai?" Noah menepuk dahinya mendapati kepolosan Sara yang tidak memahami ucapannya. "Menyayangi bukan berarti suka, Nyonya." Noah nyaris memekik saking gemasnya. "Oh iya iya." "Nah, sudah habis. Besok lagi, Nyonya." Sara mengernyit, kecewa. "Kenapa sudah? Aku kan masih ingin mendengar! Itu bahkan baru awalan, tidak membantu!" "Sesuai perjanjian, Nyonya." Sara mengembuskan napas. "Siapa nama bocah miskin itu?" "Sara?" Sara terkesiap saat Fandhi tersenyum di sampingnya. "Iya?" "Kamu melamun lagi." Sara menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Maaf. Tadi kamu bicara apa?" "Tidak. Aku hanya bertanya, apa pulang kerja nanti kamu bisa menemani kami? Hana ulang tahun," jelas Fandhi. Bibir mungil Sara terbuka. Perempuan itu bahkan memukul ringan keningnya. "Ya ampun, Fandhi. Aku lupa. Aku belum beli kado..." huh! Jangankan beli kado. Memikirkan bagaimana keluar dari rumah Damian saja membuatku pusing! Lanjutnya dalam hati. Fandhi tergelak. "Tidak masalah Sara. Hana hanya butuh kehadiran kita. Dia mengadakan acara kecil-kecilan di rumahnya. Bagaimana? Kamu bisa datang?" Sara mengangguk antusias, tapi kemudian menggeleng. "Iya, tapi juga tidak. Aku usahakan ya?" Fandhi tersenyum. "Kalau tidak juga tidak masalah. Kamu bisa menemuinya nanti saat jam makan siang. Ucapan dan doa darimu saja sudah cukup." Sara manggut-manggut. Meskipun tersenyum karena pengertian Fandhi, keningnya tetap berkerut. Ia memikirkan bagaimana caranya keluar dari area kantor untuk membeli kado di mall terdekat? Meskipun Fandhi dan Hana tidak mempermasalahkan hadiah, tapi tetap saja Sara tidak enak hati. Akhir-akhir ini mereka jarang berkumpul. Tidak pernah bahkan! Noah selalu datang membawa bekal untuknya tanpa membuat curiga siapa pun siapa dirinya. Sara tidak ingin Hana menganggapnya "lupa" dengan pertemanan mereka, meskipun Hana tidak akan berpikir sedemikian. Perempuan itu sangat baik. Dan karena kebaikannya itulah yang membuat Sara tidak enak hati karena sampai melupakan ulang tahun Hana. Sampai jam menunjukkan waktu makan siang akan tiba. Sara harus bergegas keluar dari kantor ini sebelum Noah muncul. Hmm, sepertinya ia harus bersembunyi-sembunyi agar tidak ada yang tahu bagaimana ia bisa keluar. Meskipun rasanya itu sangat sulit. Sara berhasil mengendap-endap ke arah basement dengan perjuangan yang tidak mudah! Tapi untunglah, dari sekian banyak penjaga yang terlihat, Sara berhasil turun menggunakan lift hingga sampai di parkiran bawah. Sara yakin, tidak akan ada yang menduga Sara kabur melewati basement luas ini. Sara mengulum senyum geli memikirkan para penjaga dan keamanan kelimpungan mencarinya. Sampai seseorang menariknya mendekat. Sara nyaris berteriak, tapi jemari yang melingkar di lengannya sangat lembut. Menggoda Sara untuk mengadah. Dan perempuan itu tertegun... "Adrian?" tanya Sara meyakinkan. Apa ia bermimpi? Ya Tuhan. Betapa ia merindukan lelaki ini, suaminya sendiri. "Sara..." lirih Adrian seraya menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajah perempuan itu. "Adrian..." Sara tidak kuasa memeluk Adrian. Lelaki itu tersenyum. Ia memeluk puncak kepala isterinya dengan lembut, menghirup dalam-dalam aroma manis yang begitu ia rindukan. "Aku mencarimu. Aku mengkhawatirkanmu," bisiknya, kemudian menarik diri dan meremas lembut sepasang bahu mungil Sara. "Aku tersiksa, Sara. Tanpamu aku kehilangan arah." Adrian tidak berbohong. Ia benar-benar merindukan Sara. Ah, perasaannya belum hilang. Masih terdapat sosok mungil ini di hatinya. "Maafkan aku. Aku--" "Sssst." Adrian menempelkan telunjuknya pada bibir Sara yang merona dan lembab. Menggodanya untuk segera membawa perempuan ini pulang. "Aku hampir gila mencarimu. Lelaki itu tidak membiarkan aku bertemu denganmu." Sara tertegun. Benarkah? Benarkah selama ini Adrian mencarinya? "Apa yang kamu maksudkan adalah Damian?" Adrian mengangguk lemas. "Ya. Tapi tidak masalah. Aku tidak akan mengingatnya kembali bagaimana perlakuan dia padaku. Yang terpenting kamu kembali." Adrian mengecup kening Sara dengan lembut. Kecupan lembut Adrian bahkan tidak terasa untuknya. Pikiran Sara sibuk pada Damian. Lelaki itu ternyata sangat licik! Ia mengatakan bahwa Adrian tidak pernah datang mencarinya, tapi ternyata dalang di balik semua ini adalah Damian sendiri! Lelaki itu pasti telah menghalalkan segala cara untuk membuat Adrian tidak dapat menemuinya. "Bawa aku pulang, Adrian!" Sekali lagi Sara memeluk Adrian. Menumpahkan segala kekesalan dengan isak tangi. Adrian mengangguk. "Pasti, Sayang." Ia menarik diri dari Sara. Menangkup wajah perempuan itu dan menghapus air matanya yang berlinang. "Aku minta maaf atas perlakuanku terakhir kali. Aku marah pada diriku sendiri. Aku hanya cemburu. Aku benar-benar tidak dapat mengendalikan perasaanku saat itu, Sara." Sara manggut-manggut dengan senyum bahagia tak terbendung. Jemarinya meremas kedua tangan Adrian di wajahnya. "Iya. Aku paham. Aku nggak akan membuat kamu cemburu lagi. Lagi pula, aku dan Damian nggak seperti yang kamu pikirkan. Damian kejam..." Damian kejam. Adrian tersenyum. Terlebih karena kalimat terakhir perempuannya. "Baiklah. Kita pulang dan mulai semuanya dari awal." Sara mengangguk semangat. Rencananya untuk membeli kado Hana pun menguap. Yang terpenting saat ini, ia kembali. Kembali pada pelukan Adrian. Sara benar-benar pulang. Ya, semoga begitu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN