Prolog

644 Kata
ajar telah menyingsing. Titik-titik cahaya-Nya menerpa bumi. Pun ruangan bercat putih yang dihiasi manik-manik keemasan. Warna putih tulangnya begitu memikat. Menerpa sepanjang ruangan. Pagi itu, sosok wanita paruh baya membantu putra satu-satunya, menyematkan baju putih tulang dengan manik-manik emas itu. Membantu memakaikannya dengan sayang seperti bertahun-tahun lalu saat ia belum bisa merangkak. Nostalgia di tengah-tengah kebahagiaan. Walau nyatanya, waktu terlalu cepat berlalu. Anak lelakinya yang dulu rewel, kini menjelma menjadi sosok yang soleh lagi berwibawa. Gurat ketegasan memancar, menambah pesona yang tak bisa di-sangkal wanita mana pun. “Mom ikhlas, jika dengan menikah dapat menjaga cintamu padanya dan juga pada-Nya,” ucapnya penuh haru sambil menepuk-nepuk bahu anak lelaki yang dulu memenuhi rahimnya. “Makasih, mom.” Hanya itu. Hanya terima kasih. Walau tak diucapkan pun, tak mengapa. Sebab kasih ibu tak memerlukan balasan. Mereka mencintai dengan penuh keikhlasan.             ♡♡♡ Mata lelaki itu menatap tajam. Berkali-kali menarik nafas dalam. Bermalam-malam gelisah. Susah tidur. Susah makan. Pun hati yang kian menyiksa dengan rasa gelisah. Walau petuah-petuah bijak telah dilantunkan namun baru dengan solat bisa meneduhkan. Ia tahu. Anaknya telah dewasa. Keputusan yang di-ambil bukan semata-mata karena nafsu belaka. Namun juga rasa taat pada-Nya. Rasa mencintai-Nya. Rasa sayang padanya sebagai orang tua. Ia juga tahu. Walau mencoba menutup mata pun, tetap terasa akan percuma. Sebab takdir-Nya mengutus hal yang sama. Jodoh memang datang namun tidak dengan tiba-tiba. Sebab segalanya telah diatur oleh-Nya. Kini biar lah Tuhan yang menjalankan keputusannya. Menjadikan takdir sebagai realita nyata di depan mata. Dalam usia muda, sudah berani mengambil keputusan untuk hidupnya. Tidak semata-mata karena nafsunya namun lebih karena cinta-Nya. Takut jika rasa yang semakin tumbuh itu membuatnya menjauh dari-Nya pun berdosa karena-nya. Ia berjalan pelan mendekati putra semata wayangnya. Merangkulnya penuh hangat. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca. Penuh haru. Tak menyangka kalau hari ini akan tiba. Tiba masanya untuk melepas anak lelaki yang dulu amat sangat ketus dan dingin ini untuk mengemban tugas baru. Menyempurnakan ibadah. Menyempurnakan separuh agama. Menikah.  “Jadilah suami dan ayah yang bisa menuntun keluarganya ke surga-Nya,” pesannya keras namun disampaikan penuh dengan kelembutan. Si anak malah terkekeh apalagi saat tangan paruh baya itu memeluk tubuhnya secara penuh. Tahu kalau lelaki yang semakin tua ini amat lah menyayanginya tanpa perlu diucap dengan kata-kata. Karena kalau sayang, tak perlu diumbar, yang bicara cukup tindakannya saja. Itu wujud cinta ayahnya padanya sebagai anaknya. ♡♡♡ Allah......ia bercerita. Ia lelah dengan hatinya. Mengeluh kesah tentang seorang perempuan. Disudut hati yang menyimpan cinta namun rasa ketakutan pada-Mu sungguh besar adanya. Allah......ia hanya lelaki biasa. Tak pandai menyimpan perasaan. Apalagi debar yang kian menyiksa setiap harinya. Tak sabar mengungkap kata. Namun disudut hati, ia takut sekali. Takut kalau cinta ini akan balik menikamnya. Takut kalau cinta ini akan membuatnya jauh dari cinta-Mu. Allah.......ia tahu bahwa Kau lah yang pandai membolak-balik hati, harapan bahkan perasaan. Tapi ia tetap berupaya teguh berada di dalam jalan-Mu meski kian gila perasaan itu mengelabuinya dengan nafsu. Namun ketakutan dan rasa cinta yang begitu besar pada-Mu, membuatnya bertahan. Bahkan rela melepas-nya jika Kau yang menginginkan. Kalau memang ia hanya ditakdirkan dalam pertemuan dengannya bukan untuk mempersatukannya dalam ikatan halal-Mu. Allah......tapi boleh kah raga yang kecil ini meminta? Meminta kasih-Mu. Sekali pun tak Kau dengar kan, tapi mohon lah sekali saja. Walau ia tahu, bukan Kau tak mau mendengar tapi Kau bosan dengan segala keluh kesahnya untuk sebuah perasaan. Namun, tak apa kan bila ia meminta? Ia hanya meminta untuk menjaga cinta padanya tanpa harus mengorbankan cinta yang lain. Apalagi cinta-Mu. Tapi Allah.....apalah ia yang hanya manusia biasa. Kadang tak begitu kuat mempertahankan keyakinan-Mu, sering kali berpaling untuk hal-hal sempit duniawi. Melupakan-Mu sejenak lalu kembali ke dalam pelukan-Mu dalam hangatnya malam. Berdua begitu indah. Namun Allah....kali ini boleh kah? Boleh kah jika di malam-malam nanti, tak lagi berdua dengan-Mu, namun bertiga dengan-Mu? Ia, Kau dan jodohnya. Cinta segitiga yang indah, yang pernah ada di dunia. Halal dengannya namun tak dimurkai-Mu. Mencintainya dengan cara tak mencemburukan-Mu. “Aku mencintaimu karena mencintai Allah-ku,” ucapnya dalam malam. Malam pengambilan keputusan. ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN