First Mission (2)

1151 Kata
Algie bersandar di sofa, menyilangkan kakinya sambil terus mengamati Rick Baker. “Jadi siapa kau sebenarnya?” Rick bingung sekaligus gugup. “Apa maksudmu? Aku manusia biasa, sama sepertimu.” Algie tampak sangsi, tanpa keyakinan sedikitpun dengan perkataan Rick. “Kau berbeda dariku. Kau masih memiliki ingatan lamamu, sedangkan aku tidak.” “Yah… itu di luar kuasaku, bukan?” kilah Rick. “Aku tidak menghendaki memoriku juga dihapus.” Algie tidak mengatakan apa- apa lagi, sehingga membuat suasana begitu kikuk di antara mereka. Namun dari kejauhan terdengar bunyi bel yang ditekan, dan langkah kaki mendekati pintu. Tamu di depan disambut oleh kepala pelayan pria pirang itu, yang baru saja melewati mereka dengan cepat. Algie menoleh dengan congkak ke belakangnya sedikit, dan sembari menunggu ia menjnetik- jentikkan jemarinya. Tak berapa lama, datanglah Ferdo –sang kepala pelayan seraya menyodorkan sebuah paket kotak kepada Algie. “Tuan Algernon,” katanya sambil menyerahkan kotak itu, “Paket dari Tuan Piuggini.” Algie ber-‘hmm’, lalu segera mengamati keterangan yang tertulis di bagian depan kotak. Ia membacanya dengan cepat, lalu mengulurkan kotak itu pada Rick. “Untukmu,” kata Algie. “Piuggini baru saja memberikanmu hal paling istimewa untuk misi pertamamu.” Rick mengerutkan alis. “Hal paling istimewa?” “Cobalah kau guncang.” Rick mematuhinya tanpa banyak pertanyaan. Kotak itu terasa ringan dan ada sesuatu yang bergedebuk di dalamnya. “Senjata,” sahut Algie tanpa basa- basi. “Kukira aku paham maksud Piuggini sekarang.” Ia pun berdiri dari duduknya. Rick yang masih bingung memandang pergerakan Algie. “Apa maksudnya?” “Tentang kebenaran berita yang kusampaikan atau tidak,” kata Algie. “Aku meminta pada B-125 agar kau menjadi anggota, dan saat itu aku hanya bertemu dengan Piuggini. Aku tak tahu apakah ia benar- benar percaya denganku mengenai dirimu dan kelebihanmu, atau tidak. Tapi paket ini sudah cukup menyatakan bahwa kau diberi tes pertama. Misi pertama.” Rick merasa otaknya amat bodoh tiap kali ia berbicara dengan Algie. Ia juga tak tahan harus diejek terus bila nyinyir bertanya pada pria pirang berkacamata itu. Rick sudah muak dengan kecongkakannya. “Jadi…” “Kau masih belum mengerti?” wajah mencibir Algie yang menyebalkan kembali terpampang di depan mata Rick. “Jadi, misi pertamamulah yang menentukan segalanya. Bila kau berhasil, maka kau akan diterima menjadi anggota baru Red Shield, dan aku juga akan disegani. Bila kau gagal, aku akan menjadi bahan cemoohan kelompok. Dan tentu saja kau takkan menanggung akibat apa- apa.” “Dan kau akan mengusirku?” “Mungkin,” kata Algie. “Kita lihat saja nanti.” Rick semakin gugup. Game ini tidak membuatnya bersenang- senang, malah menjadikan dirinya tegang dan stress. Penuh tekanan. “Nah,” kini di wajah Algie tiba- tiba muncul senyum tak terduga, “Kukira kau juga belum tahu apa bagian dari bisnis sampingan keluarga Don Boschzitto?” “Tidak.” “Kuberitahu. Mereka juga memperjualbelikan barang- barang berteknologi canggih dalam pertahanan dan keamanan. Namun dalam artian berbeda. Kau paham maksudku?” Rick melihat ke mata Algie, yang jelas mengarah pada paket yang dipegang tangannya. “Jual- beli senjata?” “Ya,” bisik Algie. “Jadi bisa kupastikan senjata yang baru saja kaudapat hari ini adalah model dan desain terbaru.” Rick terombang- ambing antara perasaan terpukau dan takut. Bila ia diberi senjata, maka misi pertamanya adalah… Rick sudah bisa menebaknya. “Haze memintaku untuk datang bertemu dengannya malam ini. Aku yakin ia juga memintamu ikut serta, Leonard. Ia pasti telah menuliskannya di dalam kotak itu.” Rick tidak berkata apapun, sedangkan Algie meneruskan, “Bukalah kotak itu, bila kau meragukan kata- kataku.” *** Sementara percakapan antara Rick dan Algie tengah berlangsung, di sisi lain –dunia lain –Miss Faltzog dan kedua Durrant masih berusaha menyambungkan komunikasi mereka denvan Rick. “Halo? Halo? HALO?” ulang Kakek Danish –Francis Durrant –setelah membongkar dan memasang ulang barang rakitannya. Danish, sang cucu memandang penuh pengharapan. Namun setelah melakukan hal itu berulang- ulang selama hampir setengah jam, Francis tampak menyerah. “Ada apa, Kakek?” tanyanya, “Apa kita tidak bisa terhubung lagi dengan Rick?” Kakek Danish bersandar di kursinya. “Gagal.” “Tapi, tapi, kita bisa mencoba pada gelombang frekuensi yang lain, bukan? Kita masih bisa mencoba masuk kembali ke gelombang komunikasi Rick setelah itu.” Francis Durrant menggeleng. “Memang.” “Nah, kenapa kita tidak langsung mencobanya?” Danish berubah jadi penuh semangat, “Bila Kakek bersedia, Kakek bisa mengajari aku supaya bisa ikut membantu—“ “No, boy,” potong Francis. “Meski itu bisa dilakukan, itu tak dapat dilakukan sekarang.” Danish bingung. “Mengapa?” Miss Daphne Faltzog yang sejak tadi membisu, ikut buka suara. “Sejak setengah jam yang lalu, Tuan Besar Durrant telah mencoba hal itu, Mr. Durrant.” “Lalu?” “Tidak bisa,” geleng gadis itu. “Semua saluran sudah diambil alih. Kita disabot.” “Disabot?” “Baru saja, sistem kita sengaja dirusak oleh sistem dimensi sana,” jelas Francis Durrant. Mereka memblokir akses kita, namun sebaliknya –mereka dapat mengakses kita. Semua sistem yang telah kurancang dengan mudah mereka hancurkan barusan. Sistem yang kubuat tiba- tiba menghapus dirinya sendiri.” Rahang bawah Danish makin turun ke bawah, dan tanpa ia sadari ia terduduk di samping sang Kakek. “Jadi kita tidak bisa terhubung dengan saluran komunikasi Rick lagi?” “Mungkin kita bisa mengusahakannya, Nak,” kata Francis. “Namun perusakan sistem barusan sudah cukup memberi kita peringatan.” “Peringatan tentang… apa?” Francis Durrant menghirup napas dalam- dalam. “Bahwa peretasan yang kita lakukan tidak dianggap main- main oleh mereka. Dan bila kita mencoba hal yang sama kembali, maka akibatnya bisa sangat beresiko: mereka mungkin akan bermain- main pula dengan nyawa temanmu.” Wajah Danish memucat. “Ja— jadi, tidak ada harapan lagi?” “Ada,” tegas Daphne Faltzog. “Pasti ada. Dan itulah yang mesti kita pikirkan sekarang, Mr. Durrant.” Danish membisu sesaat. Namun tiba- tiba saja ia tersentak, membuat sang Kakek dan kepala laboratorium terkejut. “Kenapa kita tidak mencari Aaron Chua saja?” tanya Danish. “Dia sudah merakit super komputernya sendiri, bukan? Kita bisa membawanya kembali ke sini dan memberi sedikit ancaman agar ia mau merakit ulang. Bila dia berhasil, kita bisa ikut ke dimensi tempat Rick berada.” “Ada banyak masalah untuk itu, Mr. Durrant, “ sela Miss Faltzog. “Pertama, kita tidak tahu soal kemana menghilangnya Aaron Chua. Dia bisa saja masih berada di sini atau dimensi tempat teman Anda sekarang. Kita tidak bisa memastikan.” “Kedua,” lanjut gadis itu sambil mengangkat telunjuk dan jari tengahnya, “Dan ini yang paling penting. Aaron Chua tidak terikat dengan siapapun dan apapun. Kita tidak punya apa- apa untuk mengancamnya, dan ia bisa dengan mudah melepaskan diri dari kita. Dan nyatanya, memang kita tidak dapat menjamin apapun yang bersangkutan dengannya. Ia manusia bebas.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN