Possible Trace

1046 Kata
Danish terduduk kembali dengan bunyi napas yang dihembuskan kua. Nyata sekali kalau ia sedang mengeluh. “Astaga aku pusing sekali dengan urusan ini,” ujarnya sembari memegang kepala. “Kenapa si bodoh itu sampai bisa tersesat, sih.” Miss Faltzog yang berdiri tak jauh dari Francis Durrant tampak menoleh sedikit ketika mendengar keluhan itu. Ia ikut serta membantu Francis Durrant, tapi untuk sementara ini ia hanya mengamati dulu sehingga mau tak mau gadis pintar itu jadi agak terusik dengan perkataan Danish. “Perlu Anda ingat, Mr. Durrant, bahwa tersesatnya teman Anda ke dimensi lain dan membuat pemuda malang itu secara tak langsung ikut terlibat dalam proyek rahasia Aaron Chua juga disebabkan karena Anda membawa- bawa prototipe gawai kakek Anda.” Mr. Francis Durrant sekilas melempar pandangan kesal pada cucunya itu, membuat sang cucu seakan terkena tusukan pedang dobel. “Ah, betul juga,” gumam Danish. Wajah lelah dan jengkelnya tadi berubah menjadi penuh keputus asaan. “Aku begitu bodoh dan sok tahu hingga membawa- bawa gawai itu meski belum meminta izin Kakek. Aku minta maaf, Kakek.” Beberapa menit lamanya Francis Durrant tak bersuara. Ia tampak sibuk mondar- mandir, memeriksa ini itu, sampai akhirnya ia duduk kembali. Dalam kurun waktu itu ia terus- terusan dipandangi Danish dengan tatapan lara. Aku memang paling bersalah dalam kejadian ini. Bahkan sampai- sampai Kakek yang begitu menyayangiku juga ikut mengabaikanku. “Sebenarnya, cepat atau lambat, hal ini tetap akan terjadi, Danish.” Danish mengangkat kepala. Kakeknya tiba- tiba bersuara dalam kebuntuan dan kebisuan. “Maksud… nya?” Francis Durrant ikut- ikutan mengangkat kepala, menengadah dari kerjaannya. “Aku sudah bilang kalau Aaron Chua adalah pria yang sangat misterius sejak dulu, bukan? Bila ia memang sudah merencanakan ini sejak lama sekali, maka hal ini tentu tetap akan terjadi.” “Tapi Rick tidak perlu terlibat kalau begitu.” “Aku tidak mengetahuinya secara pasti,” kata Francis Durrant lagi. “Tapi aku cukup yakin dengan diriku sendiri bahwa terhubungnya dimensi yang satu dengan dimensi yang lain pasti akan berujung terlibatnya pihak- pihak yang tak diinginkan. Ini adalah hal yang sulit sekali dikendalikan.” Danish benar- benar sakit kepala. “Kakek, Miss Faltzog, aku keluar sebentar ya, mencari udara segar.” “Anda akan pergi kemana, Mr. Durrant?” “Kembali ke rumah. Jalan- jalan sebentar dengan Jill.” Jill adalah golden retriever berbulu tebal milik Danish. Ketika pemuda itu beranjak dari duduknya, tiba- tiba sebuah ide muncul dalam kepalanya. Ya. Jika sudah begini, kenapa ia tidak sekalian saja mencoba jalan ini? Mungkin terdengar mustahil, tapi bisa jadi ini akan membantu, bukan? Sejenak pemuda itu tampak masuk ke ruangan Aaron Chua yang berantakan, lalu keluar lagi semenit kemudian dengan senyum aneh di bibir. “Aku pergi dulu, ya.” *** Jill adalah anjing sudah diasuh oleh Danish sejak lima tahun yang lalu, dan sudah menjadi anggota keluarganya sejak saat itu pula. Bila ia bisa, ia akan memasukkan nama Jill ke dalam nama anggota keluarga resmi dalam surat- surat pemerintahan. Sayangnya, ia tidak bisa. Meskipun ia adalah keluarga Durrant yang kaya dan hebat itu. “Guk! Guk!” Jill tampak berlari dengan senang dari arah pintu depan rumah begitu mendengar mobil Danish yang memasuki pekarangan dengan pelan. Ekornya ia goyang- goyangkan dengan penuh semangat ketika Danish mematikan mesin mobil. Dan begitu ia membuka pintu mobilnya, pemuda itu tanpa ampun ditabrak oleh golden retriever itu. Danish berlutut lalu mengelus- elus anjing kesayangannya itu dengan senang. “Sudah makan?” “Guk!” “Bagus. Mau jalan- jalan sebentar denganku?” “Guk! Guk!” “Ya, ya baiklah. Jangan sambil marah begitu,” kata Danish berdiri lagi. “Kita masuk rumah sebentar, ya? Nanti kau dikira hilang seperti kawanku Rick.” *** Tak butuh waktu lama bagi Danish untuk pamit pada keluarganya untuk membawa Jill jalan- jalan. Ia sendiri sudah berganti pakaian dan membawa sepotong kaus kaki lusuh dan kumal. Sedangkan di kantor Ya, benar. Sebuah kaus kaki. “Ha!” seru Danish penuh semangat seperti anjingnya. “Kau ingin jalan – jalan ke taman, ya?” “Guk! Guk!” “Sayang sekali, buddy. Aku tidak bisa mengajakmu untuk bersantai- santai sekarang.” Danish lagi- lagi berlutut dekat anjingnya. Ia berbisik seakan- akan menyampaikan sebuah rahasia. Lucunya, sang anjing juga ikut berhenti menggerakkan ekornya dan mematung diam ketika Danish berbisik dekat telinganya. “Kau ingin melakukan sesuatu yang seru? Mau ikut denganku dalam sebuah misi?” “Guk!” anjing itu membalas dengan menyalak pelan. Sepertinya ia tahu kalau yang akan dilakukan majikannya ini adalah hal penting. “Nah kalau begitu, kau ciumlah ini dan mari kita cari tahu ada dimana orangnya,” kata Danish seraya mendekatkan kaus kaki itu ke moncong Jill. Jill dengan rakus mengendus- endus, dan sementara ia asyik dengan potongan kaus kaki, Danish mengikatkan tali ke lehernya. “Guk!” “Oh,” seru Danish, “Kau mengetahui sesuatu?” Anjing itu tampak berbalik ke arah rumah, tapi Danish segera menahannya. “Bukan, bukan di rumah. Kita harus mencari bau yang sama dengan kaus kaki ini di luar rumah, Jill. Coba kau endus lagi.” Dengan patuh, golden retriever itu mengikuti perintah Danish. Untuk beberapa waktu anjingnya menciumi kaus kaki itu, lalu mendongakkan kepalanya ke atas. Ia mengibaskan ekor lagi dengan girang. Danish menangkap maksud itu. “Ayo, Jill! Kita harus cepat!” *** Jill memang tidak dilatih dengan begitu baik indera penciumannya, tapi Danish sangat yakin kalau Jill cukup hebat soal ini.Ya, memang sih, ia tidak sepandai anjing- anjing pelacak di kepolisian, tapi ia sama sekali tidak meragukan Jill. Apalagi ras anjingnya memang termasuk ras tak hanya loyal dan pintar, tapi juga memiliki kepekaan indera cukup bagus. Danish diajak berputar- putar sedikit di jalan, sementara Jill menciumi aspal di depannya. Pemuda itu begitu bersemangat memperhatikan anjingnya yang sibuk mengendus itu, sampai- sampai ia tak begitu memperhatikan kemana ia dibawa pergi. “Guk! Guk!” salak Jill lagi dengan senang, ia duduk di dekat aspal, tak jauh dari minimarket tempat Rick bekerja. Bahu Danish turun, tapi ia tetap tersenyum. “Ah, kau betul juga. Rick sempat terbaring bodoh setelah ditabrak mobil di sini. Dan aku menyelamatkannya.” “Guk!” Jill kembali menyalak gembira, seakan- akan berkata ‘aku memang pintar bukan?’ “Tentu saja,” ujar Danish. “Tapi kita butuh jejak lain, Jill. Seketika Jill pun berlari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN