-----------------------------------------------
"Jangan pergi"
"Aku cinta sama kamu"
"Aku gak bohong"
"Please, jangan pergi"
Suara-suara alam bawah sadar membuat dadaku sakit. Tiba-tiba tubuhku tersentak, dengan mata mengerjap dan bibir yang bergetar. Anak rambut basah oleh keringat dahiku.
Samar, kudengar suara kipas angin yang kini tengah menghadap ke arahku. Kamar yang saat ini kutempati memang terdapat kipas angin biru hasil undian takbiran tahun lalu, namun tak membuat keringatku berhenti mengalir.
Lagi dan lagi
Bukan hanya sekali dua kali melainkan sudah bertahun-tahun, namun mimpi itu tetap bersarang pada alam bawah sadarku.
Kuhembuskan karbondioksida dengan volume besar melalui mulutku. Aku terdiam menatap bingkai foto di dekat kipas angin. Di dalam kamar bercat biru violet ini, aku terdiam beberapa saat. Sambil melihat bingkai foto itu, aku tersenyum miris menahan sedikit serangan rasa beberapa saat yang lalu.
Mimpi itu bukanlah adegan masa lalu yang sering dialami manusia depresi. Bukan juga mimpi indah yang sangat diidam-idamkan remaja masa kini. Mimpi aneh yang sedikit memiliki benang tak kasat mata dengan hidup yang kujalani.
Namun, semakin aku mencari tahu tentang makna mimpi yang menghantuiku bertahun-tahun maka semakin terpuruk hati yang tak bersalah ini. Mimpi itu, hanya akan muncul dua kali dalam sebulan dengan maksud sama. Meski mimpinya sangat jelas, namun aku tak mampu mengenali makna yang ada di dalamnya.
Mengapa mimpi itu muncul?
Mengapa harus aku?
Aku menunduk menghindari penglihatanku pada bingkai foto berwarna coklat kemerahan. Tak kuasa menahan, air mataku luruh dengan sedikit isakan.
Aku hanyalah sosok cengeng yang bersembunyi pada topeng datar.
Sambil menutup pandangan dari bingkai foto itu menggunakan rambutku yang menjuntai, aku berjalan menuju balkon untuk melihat langit malam yang kuyakini penuh dengan bintang.
Di balkon 2:1 ini, aku terdiam menatap keindahan langit. Dari kadar gelap langit, bisa kupastikan bahwa kini jarum pendek tengah berada pada angka 1.
Kukira hari ini aku akan tidur lelap karena tugas sekolah sudah kuselesaikan beberapa hari yang lalu. Nyatanya, bukan tugas lagi yang menggangguku namun mimpi itu.
Ya, seperti inilah hidupku. Mudah terkena insomnia karena tugas dan mimpi tak jelas itu. Tidak salah, apabila teman sekelas mengejekku "panda mengantuk" karena 2/3 kehadiranku di kelas hanyalah raga tanpa roh. Karena rohnya tengah berkeliling dunia paralel. Hal itu terjadi karena jadwal tidur malamku yang tidak teratur dan minimnya keinginan tidur setelah mimpi aneh.
Aku berdiri kembali ke kamar menuju ke meja belajar. Kuambil satu manga yang belum sempat aku tamatkan beberapa hari yang lalu. Sambil membawa manga dan satu botol minum, aku menuju balkon tuk menghabiskan malam.
Sedihku hilang, berganti dengan rasa kesal kepada Ichijou Raku sebagai tokoh utama dari manga yang k****a.
"Astaga, masih belum peka juga nih bocah. Kalo dia hidup di dunia nyata mungkin udah aku jedotin ke pintu." kesalku sambil terus membalikkan halaman kiri ke kanan.
Sejenak kumelihat ke depan, ada sosok yang sangat kukenal tengah melangkah menuju musholla kecil dekat rumahku. Sepertinya sosok itu juga melihatku. Kini sosok itu tengah melambai-lambaikan tangannya. Aku membalasnya dengan jari tengah dan jari telunjuk yang kuletakkan di pelipis kemudian menyorotnya ke arah sosok tengil itu. Setelah sosok itu masuk ke musholla, aku mengusap gelang rajut di tangan kananku.
Setelahnya, aku turun ke lantai bawah untuk sholat tahajud sebelum jarum panjang jam 4 itu menuju ke angka 2.
***
Aku mengunci blue sky—sepeda beat biru, di parkiran dalam sekolah. Kemudian, aku berjalan menuju koridor-koridor sepi yang menuntunku ke ruang kelas dekat ruang BK. Kubuka pintu kayu dengan tag kelas XI IPA 3, kemudian berjalan menuju bangku baris kedua dekat pintu. Aku mulai meletakkan kepalaku dengan tangan kanan sebagai bantalannya. Dan akhirnya aku pun lelap menunggu teman-temanku membangunkanku untuk upacara. Kelas terasa sepi karena jam analog hitam-putih masih menunjukkan pukul setengah 6 pagi.
***
"Za, bangun... " ucap seseorang dengan suara cempreng yang sangat kukenali.
"Za, ini udah jam 7. Upacara dah mau mulai. Mau aku bangunin atau dibangunin sama Pak Jenggot?" tanyanya sengit
"Bentar li, nyawa aku belum kumpul nih." gumamku agak keras agar cewek ikal itu mendengar jelas.
Tak kudengar apapun lagi. Namun...
"KHANIZATUZ RAMADHANI!!!"
Sekitar nol koma empat detik, kepalaku bangun menatap lurus ke depan dimana bapak berjenggot tebal tengah melotot ke arahku.
Khanizatuz Ramadhani, itulah namaku.
***
Tbc.
❄Melankolis Kutub❄