1. Pernikahan Berujung Duka

2581 Kata
 Seruan kata sah menggema di rumah Naina. Suasana haru dan pilu telah dirasakan. Duduk di samping Arya, matanya mengemban air mata. Semua emosi kini ada dalam hatinya. Tangan terangkat berdoa sambil menunduk, tidak menyangka statusnya sudah berganti. Naina menutup matanya menghayati setiap doa yang dilantunkan. Berharap setiap hari yang akan datang baik-baik saja.   Namun, itu tidak terjadi. Karena tepat saat pembacaan doa selesai, ayah Arya mengejang hebat membuat semua orang panik. Tanpa melihat Naina, Arya segera berlari menghampiri sang ayah dengan ibunya. Naina juga menyusul, dia terkejut campur takut. Tidak tega melihat ayah mertuanya yang tersiksa. Arya begitu khawatir. Dia takut jika ayahnya kambuh lagi. Sayangnya, ajal menjemput sang ayah tercinta.   "Tidaaaakkkk!!!" teriak Arya memeluk ayahnya. Dia menggoyangkan tubuh ayahnya dan memeriksa denyut nadi berharap masih hidup dan hanya pingsan.   "Ayah, bangun! Ini Arya udah nikah, ayah jangan bercanda gini! Ayah, bangun!" seru Arya terasa mengiris hati semua orang.   Ibunya menangis di samping Arya. Mereka yang menjadi saksi menutup mulut. Orang-orang berbisik mengatakan jika ayahnya Arya sudah lega karena melihat Arya dan Naina menikah, jadi permintaan terakhirnya terkabul. Itu membuat Arya meremas tangannya ingin meninju mulut mereka. Naina mati gaya. Hanya matanya yang memandang pilu Arya dan keluarganya.   Air mata Arya mengalir. Laki-laki setegar Arya menangis sambil menunduk. Pertama kalinya Naina melihat Arya menangis. Naina tersentak dalam hati. Pandangannya tidak ingin berpaling dari Arya. Rasanya sakit saat ingin menangis, tetapi tertahan berusaha tegar. Arya menghapus air matanya dengan Rahang bergetar. Kasihan dan peci hitam yang dia kenakan tampak lebih pekat karena suasana hatinya. Siapa yang menyangka acara sakral pernikahan menjadi duka kematian.   Arya sendiri yang dengan segala tenaganya menyiapkan proses pemakaman ayahnya. Tanpa melepas pakaian pengantin. Tidak menghiraukan seruan orang-orang yang mengucapkan bela sungkawa. Sampai dia ikut menguburkan ayahnya. Bakti yang dilakukan Arya sangat mendalam sebagai seorang anak. Dia tetap di makam ayahnya sambil termenung. Sang ibu begitu syok dan pingsan. Keluarga Naina membawanya istirahat, sementara Naina tetap di belakang Arya yang juga masih mengenakan kebaya putih.   Dia berdiri meremas jari-jari tangan. Entah kenapa tidak ingin meninggalkan Arya duduk sendirian. Para tampan musuh yang menjadi suaminya itu sangat menyedihkan. Dia terus menahan tangis. Sampai hari sudah pukul empat sore, Arya masih betah menemani makam ayahnya. Naina ingin menegur, tetapi lidahnya seakan kelu. Dia tidak bisa apa-apa selain tetap berdiri. Tiba-tiba Arya berbicara membuat Naina terlonjak kaget.   "Naina, ayo pulang!"  Arya berdiri dan pergi lebih dulu. Naina melongo menatap Arya yang berjalan lemas. Dia segera mengikuti Arya pulang. Tiba di rumah, tidak ada senyum di wajah semua orang. Arya juga masuk begitu saja menemui ibunya. Arya berhenti di depan pintu kamar.   "Gue mau ganti baju lo tetep ikut?" ucap Arya melirik Naina.  Lalu, dia masuk kamar begitu saja sebelum Naina menjawab. Naina kesal, tetapi rasa kasihannya lebih besar dari itu. Dia menghela napas panjang dan pergi menemui orang tuanya yang bersedih sekaligus senang karena Naina resmi menikah.   "Naina, hari ini sangat mengejutkan, Nak! Ibu sama ayah nggak tau harus berbuat apa. Yang jelas kita tenangin diri dulu. Kamu ganti pakaian sana! Istirahat!" ujar ibunya Naina.  Naina hanya mengangguk sambil tersenyum. Tidak sengaja melihat dua temannya duduk di teras rumah Arya. Naina ingin pergi ke sana.  "Bu, Naina mau istirahat di rumah Arya aja. Di sini agak sesak. Nanti Naina balik lagi. Tadi Arya di kamar sama ibunya," kata Naina dan ibunya mengangguk.  Segera mengambil pakaian dari kamar dan membawanya ke rumah Arya. Hanya berlari sedikit sudah sampai membuat kedua temannya berdiri kaget.   "Ya Ampun, Naina! Akhirnya gue bisa ketemu sama lo! Beneran gue nggak habis pikir sama hari ini. Awalnya gue bahagia karena lo jadi nikah. Malah jadi sedih begini!" Nurmala langsung memeluk Naina dengan suara serak.   Naina membalas pelukan temannya. "Ya, mau gimana lagi? Ini udah takdir! Gue mau mandi dulu! Ntar ngobrol lagi! Kalian masuk aja, Arya sama ibunya lagi di rumah gue!" kata Naina sambil melepaskan pelukannya dan memandang kedua temannya itu.  "Yang bener aja lo masih pakai kebaya? Riasan melati di kepala? Jangan bilang seharian lo sama Arya emang pakai baju pengantin?" tanya teman laki-laki Naina. Dia Ahmad Sandi Sadeva. Usianya dua puluh satu tahun, satu kelas dengan Naina dan Nurmala. Dia memang sangat dekat dengan Naina.   "Iya! Eh, tunggu bentar. Kenapa lo bisa ada di sini? Harusnya cuma Nurmala yang tau gue nikah sama Arya!" mata Naina memicing.   "Hehe, gue yang ngasih tau dia. Habisnya gue bingung kalau datang sendirian." jawab Nurmala nyengir.  Naina mendesah pasrah, lalu menunjuk hidung Sandi. "Lo jangan kasih tau siapapun apalagi temen sekelas! Gue udah sepakat sama Arya buat sembunyikan pernikahan ini!" pinta Naina.  "Iya-iya! Santai aja! Udah sana mandi! Bau lo campur aduk!" Sandi menutupi hidungnya.   Naina mengendus baunya sendiri dan ingin muntah. Dua temannya itu tersenyum dan mengikuti Naina masuk rumah. Naina tampil lebih segar dengan pakaian rumahan yang longgar. Kebaya serta riasan di kepalanya sudah disimpan rapi untuk dibersihkan besok. Sekarang cukup lelah dan duduk bertiga di ruang tamu. Tangan menyangga kepala, bibir cemberut, pandangan melamun. Nurmala dan Sandi saling pandang memberi kode untuk bertanya pada Naina terlebih dahulu. Akhirnya Sandi mengalah, dia berdeham membuat Naina menatapnya.   "Gue turut berdua cita, Na. Gue juga seneng kalau lo udah nikah meskipun sama Arya. Gue yakin ini demi kebaikan lo juga. Siapa tau kalian bisa aku habis ini," ucap Sandi meringis kaku.  Naina berdecak. "Gue sama cowok k*****t itu nggak bakal bisa akur sampai kapanpun!" tegas Naina dengan malas.   "Halah, tiap malam juga kalian bakal akur sendiri," gumam Sandi sambil memutar-mutar bola matanya.   Naina memicing. "Ha? Ngomong apaan tadi?"   Nurmala menyenggol lengan Sandi. "Lo apaan, sih?! Kagak usah dengerin dia, Na! Dia otaknya agak gesrek sedikit! Eh, terus lo ngapain habis ini? Gue lihat keluarga kalian sedih banget. Kalau perasaan lo gimana?" tanya Nurmala sedikit mendekatkan diri pada Naina. Sandi juga ikut mendekat.   "Siapa, sih, yang nggak sedih? Gue dekat banget sama paman. Ayahnya Arya itu baik banget. Dia sabar kalau lagi misahin gue sama Arya berantem. Jelas gue ngerasain kehilangan. Tadi di kuburan, rasanya nggak nyangka kalau paman udah pindah rumah. Gue aja sedih apalagi Arya sama ibunya? Anehnya gue nggak bisa nangis. Kalian tau kenapa?" Naina menatap dua temannya bergantian. Mereka menggeleng. "Karena gue syok lihat Arya nangis!" sambung Naina.  Sandi dan Nurmala terkejut. "Apa? Nggak salah dengar, nih? Dia bisa nangis?" Sandi menggeleng pelan.  "Kaget, 'kan lo berdua! Dia yang selalu buat ulah, ketawa sana-sini, pinternya kebangetan, kakak tingkat paling rese sekampus bisa nangis!" ujar Naina.  Nurmala menjentikkan jarinya. "Berarti hatinya terluka banget itu!"   "Ya jelas, lah! Gimana, sih, lo! Udah jangan ngomongin itu lagi. Gue jadi tambah kasihan sama dia. Nggak tega juga!" lemas Naina.   Sandi dan Nurmala kompak mendesah pasrah. Mereka memandang rumah Naina yang terlihat jelas karena pintu rumah terbuka. Naina mengerjap pelan.   'Gue harus gimana sekarang?' batin Naina.  Memutuskan untuk kembali ke rumahnya bersama Sandi dan Nurmala. Mereka mengucapkan bela sungkawa sekaligus ucapan selamat kepada orang tuanya Naina. Bicara dengan mereka di ruang tamu sedangkan Naina mencari Arya. Dia hanya ingin tahu keadaan Arya dan ibunya. Tepat seperti dugaannya, Arya masih di dalam kamar sedang bicara dengan ibunya. Naina masuk begitu saja membuat mereka menatap Naina dengan pandangan yang berbeda. Arya mengunci pandangan Naina dengan sorot matanya yang tidak bisa dibaca. Naina hanya berdiri di ambang pintu sampai ibunya Naina memanggil. Dia mendekat sambil mengukir senyum tipis.   "Naina, ada apa? Nyari Arya, ya?" tanya ibunya Arya.   Seketika Arya dan Naina melotot. "Enggak, kok, Bi! Aku mau ketemu sama Bibi aja. Mau tanya keadaan Bibi," jawab Naina.   "Kenapa cuma Bibi? Nggak sekalian sama Arya? Duduk sini!" pinta ibunya Arya menyuruh Naina duduk di sebelahnya.   Naina menurut. Dia melirik Arya, tetapi Arya memalingkan wajahnya. "Bibi apa kabar? Apa ada yang sakit?" tanya Naina meneliti wajah mertuanya.   Ibunya Arya tersenyum manis, "Nggak ada, Na! Udah lumayan baik."  "Bibi habis nangis? Jangan sedih lagi, Bi. Ada Arya sama Naina, 'kan di sini?" Naina bingung harus berkata apa.  "Emangnya kalian mau bersama? Kayaknya enggak," sindir ibunya Arya. Seketika Arya dan Naina saling pandang kemudian saling acuh lagi. "Setidaknya, ayahnya Arya sudah melihat kalian menikah. Di sana dia ingin kalian tetap bersama, tapi pasti kalian sulit melakukannya," lanjutnya.   "Bu, nggak usah di bahas lagi. Ibu istirahat aja dulu. Arya mau ke depan dulu," pamit Arya yang diangguki ibunya. Dia keluar begitu saja tanpa melirik Naina.   "Naina, kamu bisa bantu acara pengajian nanti malam? Bibi mau pulang!" pinta ibu mertuanya.   Naina mengangguk cepat. "Naina antar pulang, ya! Biar pengajian buat paman nanti Naina yang urus," ujarnya.   "Bibi nggak kuat, Na! Bibi masih nggak nyangka!" ujar mertuanya dengan suara serak ingin menangis.  Naina menggeleng dan memeluk mertuanya. "Sstt, Bibi jangan sedih lagi. Paman udah tenang di sana. Bibi yang ikhlas!" ujar Naina mengelus punggung ibunya Sava yang menangis di pelukannya.   Arya mengetahui hal itu. Dia hanya bisa diam dan menahan semuanya dalam hati. Terkejut saat di ruang tamu karena ada teman Naina. Dia harus menghampiri sekedar menyapa sebagai tuan rumah. Mereka saling pandang. Biasanya jika di kampus suka ikut campur pertengkaran Arya dengan Naina, kini mereka memasang ekspresi ragu untuk bicara.   "Kalian datang?" tanya Arya memecah keheningan.   Nurmala menghela napas lega. "Ar, gue turut berduka cita. Lo pasti sedih banget merasa kehilangan," ucap Nurmala prihatin.   Arya tersenyum pahit sambil memalingkan pandangan. "Iya," jawabnya datar.   "Gue juga ikut berduka cita, Bro! Nggak peduli gue kesal sama lo gara-gara nyari ribut mulu sama Naina. Gue nganggap kita temen sekarang," kata Sandi.   Arya menoleh. "Makasih, tapi Naina yang ngajak ribut bukan gue," tegas Arya.  "Lo masih aja! Sekarang kita udah tau kalau kalian nikah. Keadaan masih kayak gini jangan buat masalah sama Naina. Gue sedih tau nggak lihat Naina sedih," ujar Sandi membuat Arya tersenyum miring.   "Oh, ya? Bagus kalau gitu, seenggaknya ada yang sedih karena Naina. Gue permisi dulu. Makasih udah datang!" pamit Arya dan keluar rumah.  Naina dan Sandi menatap Arya heran. "Lo kenapa ngomong gitu, sih? Dia lagi sedih malah lo buat kesel!" protes Nurmala.   "Habis ekspresinya ngeselin, Nur!" elak Sandi membuat Nurmala berdecak.   Malam pengajian sedang berlangsung. Naina bisa melihat Arya yang mengaji bersama orang-orang dengan menahan sedih. Entah kapan Arya mengeluarkan tangisnya agar sedikit lega. Naina menunggu sampai acara selesai agar bisa bicara dengan Arya. Biar bagaimanapun juga dia harus tetap berkomunikasi dengan musuhnya.   Seharusnya senyum palsu yang Naina tampikan karena sudah menikah seperti drama di televisi yang sering ibunya tonton. Namun, ini terbalik. Berkali-kali Naina mengatakan pada diri sendiri untuk bersabar dan menerima dengan lapang d**a. Semua orang sudah pulang. Kini Arya juga langsung pulang menemui ibunya. Ayah dan ibu Naina paham jika Arya butuh waktu sendiri sehingga membiarkan Arya pergi.   Naina juga pergi ke kamar tanpa bicara sepatah kata pada orang tuanya. Dia tengkurap memandang layar handphone yang menunjukkan pukul delapan malam. Pikirannya penuh dengan Arya. Naina sedih karena tidak ada yang menanyakan bagaimana perasaannya menikah dengan Arya. Temannya hanya bertanya untuk kematian ayah mertuanya. Orang tuanya pun tidak peduli. Semuanya terarah ke kematian ayahnya Arya tanpa mengingat ada perasaan Naina yang terkorbankan.   "Kalau dipikir-pikir, Arya juga ikut jadi korban, 'kan? Justru sedihnya berlipat ganda. Apa sebaiknya gue nggak nemuin dia aja, ya?" gumam Naina sambil mengetuk pelan handphone-nya. "Ck, tapi gue mau ngucapin bela sungkawa sama dia!" lanjutnya sambil memeluk bantal.  Tiba-tiba handphone-nya berdering memunculkan pesan dari Arya. Naina terbelalak, "Dia pegang handphone? Kirain lagi nenangin ibunya!"   Segera membaca pesan Arya yang menyuruhnya datang karena permintaan ibunya. Naina mengernyit. "Lagi? Karena permintaan orang tua lagi? Bisa nggak dia ngasih alasan yang lain biar hati gue nggak tambah tersiksa! Kata-kata karena orang tua itu bikin gue nyesek tau nggak!" Naina menggerutu sendiri sambil turun dari ranjang. Tanpa pamit dia menuju rumah Arya. Langsung di sambil pelukan oleh ibu mertuanya sampai Naina berdiri kaku.   "Bibi, ada apa?" tanya Naina dengan suara lembut.   "Cuma pengen lihat kamu. Malam ini kamu tidur di sini, ya!" pinta ibu mertuanya sambil melepas pelukannya.   Naina ternganga, kemudian tertawa ringan. "Emangnya kenapa, Bi? Arya nggak mau nemenin Bibi?" canda Naina.  "Bukan begitu! Dia terus di kamar nggak mau keluar. Kamu temenin dia, ya!" pinta mertuanya ramah.  "Apa?! Kalau aku nemenin Arya yang ada nanti bertengkar, Bi! Mungkin karena capek makanya nggak mau keluar. Tadi Arya sendiri yang ngabarin Naina disuruh kesini, katanya permintaan Bibi. Jadi urusannya sama Bibi, dong, bukan sama Arya," elak Naina.  "Hahaha, kenapa jadi panjang alasannya? Emang Bibi yang nyuruh Arya biar kamu mau datang. Bujuk dia ya, Na! Dari pagi belum makan," mertuanya sedih.  Naina mengangkat kedua alisnya. "Dia nggak lapar mungkin!" jawabnya asal.  'Gue juga lupa kalau belum makan,' batin Naina.  "Pokoknya kamu nginep di sini, nggak pakai alasan lagi! Terlepas dari kematian suamiku, ini juga malam pernikahan kamu, Naina. Bibi ngerti gimana perasaan kamu sekarang. Mau apa enggak, kamu harus di sini malam ini! Ajak Arya makan!" putus ibu mertuanya.   Naina mengerjap. "Akhirnya ada yang ngerti perasaan Naina," gumam Naina. Kemudian, Naina menggeleng kuat. "Emangnya Bibi udah makan? Belum, 'kan? Naina mau nemenin Bibi aja!" sambung Naina.  "Masuk ke kamar Arya sekarang, Naina!" perintah mertuanya. Naina diam sebentar. "Kalau Bibi maksa, Naina pulang!"   Tangan Naina ditarik sampai di paksa masuk ke kamar Arya. Naina melongo tidak percaya. "Kamu baru boleh pulang besok pagi!" titah mertuanya tidak bisa diubah. Dia menutup pintu Arya cukup keras.  Naina segera membuka pintunya lagi, tetapi suara Arya membuatnya terhenti. "Baru datang langsung pergi? Nggak punya sopan santun lo?" Arya duduk di lantai bersandar ranjang.   Naina menoleh dan menghampiri Arya. "Assalamualaikum, Arya! Gimana? Udah sopan belum?" Naina sok manis.  "Waalaikumsalam!" jawab Arya datar.   Naina melipat tangan di d**a, mengamati Arya sampai membuat Arya risih. "Berdiri terus capek kali!" ujar Arya.  Naina berdecak. Duduk di samping Arya dengan jarak satu lengan. "Wajah lo burem kalau cuek begitu! Kenapa pucat kayak cat tembok retak? Perlu vitamin?" tanya Naina asal.  "Nggak lucu!" Arya masih tidak memandang Naina. Tembok di depannya yang berwarna putih lebih menarik daripada Naina.  "Siapa yang bercanda? Gue serius!" Naina juga memalingkan wajahnya.   "Ibu gue minta apa sama lo? Sampai nggak boleh pulang sampai besok pagi," tanya Arya.   Naina tersenyum miring. "Syukur deh, lo udah ngomong sama gue. Seharian sepi banget. Bibi pengen gue nemenin lo. Nyuruh lo makan. Dia aja nggak mau makan," jawab Naina seadanya.   "Ck, emangnya lo sendiri udah makan? Nggak usah sok diet! Tambah jelek sukurin, loh!" Arya baru menoleh membuat Naina menatapnya. "Hahaha, sayangnya candaan lo juga nggak lucu!" Naina mendesis.  "Lo pikir aja apa gue sempat mikir soal makan?" Arya mengurut dahinya seakan sangat lelah. Perasaannya dan pikirannya yang lelah. Naina menjadi mendesah. Menekuk lutut, menatap lantai. "Gue ngerti kok. Gue... Juga ngerasain gimana sedihnya. Kehilangan orang tua itu berat. Lo yang sabar aja. Masih ada ibu lo yang harus di jaga. Jangan buat dia sedih," kata Naina mirip bergumam.   Arya menatap Naina dengan redup. Kemudian, tersenyum begitu lama menyiratkan kepahitan. Naina meliriknya tidak berani bertatap muka.   'Jadi agak aneh habis ngomong begitu. Mana si Arya senyum lagi!' batin Naina.  "Gue tau, cewek gila!" Arya menyentil dahi Naina membuat Naina menoleh sewot. "Kok, lo main tangan, sih?! Gue balas ntar lo nangis lagi!"   "Siapa yang nangis? Sejak kapan ada air mata di mata gue?" elak Arya.   "Sejak habis ijab kabul, k*****t! Lupa ingatan lo, ya? Lagian, jangan ngelak kalau mau nangis soal paman. Semua anak boleh sedih, kali! Kalau lo tahan terus bisa-bisa lo yang sakit. Gue sih, biasa aja kalau lo sakit, cuman Bibi pasti lebih parah sedihnya" Naina membayangkan Arya sakit menahan air mata.  Arya tersentak karena Naina melihatnya menahan tangis saat mengucap janji pernikahan. Dia ingat semua kejadian pagi hari yang membuatnya serasa terjun dari jurang. Dia menatap Naina begitu lekat penuh arti. Naina sampai bingung, melambaikan tangan di depan Arya, tetapi Arya tak kunjung berkedip. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN