"Ibu tidak mau hal seperti ini terulang lagi.”
Bu Iis, selaku guru PKn yang termasuk ke dalam jajaran guru galak seantero sekolah, menatap nyalang pada kedua murid yang kini duduk di hadapannya.
Berita tentang rok abu-abu yang berkibar di tiang bendera telah sampai ke telinga Bu Iis dengan cepat. Terang aja, guru dengan sikap patriotisme yang tinggi itu langsung mengamuk dan menyeret pelaku pembuat onar ke ruang BP dengan segera.
Baik Dila maupun Delo, keduanya sama-sama diam. Jangankan bersuara, untuk sekadar balas menatap mata Bu Iis pun mereka enggan. Percaya atau tidak, tatapan Bu Iis itu lebih mematikan ketimbang tatapan Medusa.
"Ibu benar-benar kecewa. Hal yang kalian lakukan itu sangat melecehkan bangsa Indonesia! Bagaimana kalau sampai para pahlawan tahu bahwa generasi penerus bangsanya seperti ini? Kalian itu …,” Bu Iis geleng-geleng kepala tak habis pikir. “benar-benar kacau.”
"Maaf, Bu."
Hanya dua patah kata itulah yang mampu Dila suarakan setelah nyaris setengah jam berada di ruang BP dan diceramahi habis-habisan oleh Bu Iis tentang bagaimana menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Diam-diam Dila mengumpat dalam hati, melirik dongkol cowok di sebelahnya yang justru tampak tak bersalah sama sekali.
Ini semua gara-gara Delo! Kalau bukan karena cowok itu yang kelewat iseng mengambil rok abu-abu Dila lalu mengeretnya di tiang bendera, mungkin saat ini Dila sudah duduk manis di kelas sambil sibuk menyimak pelajaran berikutnya.
Ina sih enak, dia langsung kabur tepat sedetik setelah Bu Iis datang menyergap anak-anak yang asik bergerombol di lapangan ketika jam pelajaran sedang berlangsung.
"Ya sudah, kalian boleh kembali ke kelas. Ini Dila, rok kamu. Cepat sana ganti baju.”
Dila tersenyum kecil, lantas mengangguk singkat lalu buru-buru mengambil rok abu-abu yang disodorkan Bu Iis. Sementara itu, Delo yang sudah lebih dulu berjalan keluar ruang BP kini terpaksa harus menghentikan langkah sewaktu mendengar Bu Iis malah kembali memanggil namanya.
"Sini kamu." Bu Iis mengayun-ngayunkan tangannya sembari tersenyum manis, mengisyaratkan agar Delo mendekat.
Sebenarnya, kalau aja tempramen Bu Iis enggak sesensitif kucing yang lagi hamil, mungkin bakalan ada banyak murid cowok yang menggoda guru muda itu, mengingat wajahnya yang memang di atas rata-rata guru kebanyakan.
Tapi ternyata, pribahasa don't judge book by it's cover memang benar adanya. Cover sih boleh malaikat, tapi dalamnya? Setan!
Dengan tampang polos bercampur heran, Delo melangkah menghampiri Bu Iis. "Kenap—“
"Sudah berapa kali Ibu bilang? Tidak boleh ada siswa berambut gondrong di sekolah ini! Cukur atau Ibu botakin kepala kamu?!"
Belum sempat Delo menyelesaikan kalimatnya, Bu Iis sudah lebih dulu menarik kuping cowok itu ke atas dengan s***s, sukses membuat Dila yang berdiri di tak jauh dari sana langsung cekikikan karena melihat Delo meringis kesakitan.
"Eh, iya, Bu. Entar saya potong!" Sambil meringis menahan nyeri di kupingnya yang dijewer, Delo mengacungkan jarinya membentuk huruf V. "Sumpah!"
"Sumpah kamu bakalan cukur rambut?"
"Sumpah ini sakit!" Dengan tampang memelas, Delo menunjuk-nunjuk kupingnya yang mulai memerah.
"Ya sudah, biar Ibu tambah lagi, ya?" kata Bu Iis penuh penekanan, lengkap dengan senyum manisnya yang mampu membuat siapa saja bergidik ngeri.
"Eh, jangan, Bu! Iya, nanti saya cukur rambut!”
Dila susah payah mengatupkan mulutnya untuk menahan tawa, namun ekspresi memelas sekaligus polos yang Delo tampilkan malah membuat tawa Dila semakin tak terkontrol.
Setelah bermenit-menit bernegosiasi dan merayu Bu Iis agar melepas jewerannya, akhirnya guru muda berlesung pipi itu membebaskan Delo dan melotot.
"Besok, Ibu tidak mau tahu. Kalau sampai rambut kamu masih gondrong, biar Ibu sendiri yang botakin kepala kamu.”
Delo balas mengangguk paham sambil mengusap-ngusap kupingnya yang memerah. Setelah melakukan sesi ceramah untuk yang kedua kalinya—kali ini tentang bagaimana menjadi murid yang baik—Bu Iis pun membiarkan Dila dan Delo untuk kembali ke kelas masing-masing.
Walaupun saat ini keduanya sedang berjalan di koridor depan, tapi Dila masih belum bisa berhenti tertawa. Terlebih lagi karena beberapa meter di depannya, Delo masih sibuk meringis dengan tangan mengelus-ngelus telinga.
“Jangan ketawa, Dila,” ujar Delo. Cemberut. Langkahnya mendadak terhenti dan tubuhnya berputar menghadap Dila.
Dila pun refleks berhenti. “Lagian, suruh siapa iseng banget. Yang tadi itu udah kelewatan,” kata Dila.
“Yang tadi itu bukan iseng,” sanggah Delo, menampilkan raut lugu.
“Kalau bukan iseng terus apa?” tantang Dila. “Jail? Gak ada kerjaan? Buat asik-asikan? Gak lucu tau.”
Delo menggeleng. “Bukan.”
“Terus? Buat apa?” Dila menaikkan sebelah alis.
Delo tersenyum. “Buat ajakan pulang bareng.”
***
Ina melirik Dila yang tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja dengan heran.
Pasalnya, sejak cewek itu kembali dari ruang BP setengah jam yang lalu, wajah Dila benar-benar terlihat kusut dan muram. Sayang, sejak bel pergantian pelajaran berbunyi beberapa menit yang lalu, Dila masih juga tak menunjukkan tanda-tanda akan bersuara untuk sekadar bercerita tentang apa yang terjadi.
“Dil, lo kenapa sih?” Ina menyikut lengan Dila pelan dengan mata menatap fokus ke depan, memerhatikan Bu Mar yang sedang asik bercuap-cuap ria tentang perkembangan partai politik di Indonesia.
Dila sempat bergerak sebentar, tapi posisinya tak berubah. “Enggak.”
“Enggak gimana? Muka lo tuh keliatan lagi bete banget,” kata Ina. “Tadi di BP ada apa? Bu Iis ngomong apa aja?”
Kali ini, Dila mengangkat wajahnya lalu menegakkan punggung. Cewek itu sempat mendengus kecil sebelum akhirnya mulai bercerita dengan wajah menggebu. “Sumpah, gue kesel banget sama Delo. Kenapa sih dia itu iseng banget? Mending kalau rok gue cuma diumpetin doang, lah ini? Dia kan nyampe ngiket rok gue di tiang bendera segala. Yang kena omel siapa? Gue-gue juga!”
“Ya elah.” Ina memutar bola mata. “Ini kan bukan pertama kalinya lo diisengin.”
“Ya tapi kali ini tuh udah keterlaluan!” Dila mendelik dongkol. “Lagian dia itu sebenernya kenapa sih? Perasaan dulu pas kelas sepuluh sama sebelas dia masih baik-baik aja, enggak bandel sama caper kayak sekarang.”
“Dulu kan lo masih jadi ceweknya. Ngapain juga sih dia caper ke ceweknya sendiri?” ujar Ina seraya mengeluarkan alat tulis lalu mulai sibuk mencatat. “Kalau emang lo risi dikejar sama dia mulu, ya bilanglah, Dil. Jangan malah cuma diem terus marah-marah sendiri.”
“Ya ampun, Na. Gue udah bilang ke dia berapa kali sih? Tuh anak sampe sekarang enggak ada nyerah-nyerahnya.”
Dila enggak bohong sewaktu mengatakan bahwa ia sudah berulang kali menyuruh Delo untuk berhenti mengejarnya. Dimulai dari cara yang paling halus: menghindar dan menolak semua maksud baik dari Delo, sampai yang paling ekstrem: membentak dan bicara secara blak-blakan kalau ia merasa kesal terhadap semua perlakuan cowok itu.
Namun sayangnya, meskipun Dila menunjukkan penolakan mentah-mentah terhadap semua perjuangan Delo, tapi anehnya, cowok itu tetap aja cuek dan lempeng. Delo sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung terhadap semua penolakan Dila. Cowok itu justru malah balas tersenyum atau cengengesan kalau Dila sudah membentak dan memarahinya.
Kalau sudah begini, Dila juga suka kadang bingung sendiri. Di satu sisi, dia benar-benar jengkel terhadap sikap Delo. Tapi di sisi lain juga, Dila malah merasa tak enak karena sudah mengucapkan kata-kata yang terlalu kasar. Apalagi, Dila seringnya mengucapkan itu di depan anak-anak yang lain.
“Coba lo cari cowok baru deh, Dil. Siapa tau Delo bakalan berhenti ngejar-ngejar lo,” celetuk Ina kemudian. “Itung-itung lo move on. Enggak ada salahnya juga kan?”
Dila langsung terdiam. Tidak menolak, tidak juga mengiyakan.
***
Dila melongok ke arah parkiran takut-takut. Ada banyak motor dan sepeda yang terparkir di sana, lengkap dengan segerombolan murid yang asik nongkrong di tepi lapangan parkir. Kepala Dila celingukkan, mencari-cari keberadaan Delo di antara hilir mudik anak-anak yang berjalan, namun nihil. Cowok itu tak ada di mana pun.
Dila menghela napas lega. Sejurus kemudian, cewek itu mulai melangkah ke area lapangan parkir untuk menuju ke gerbang depan sekolah.
“Buat ajakan pulang bareng.”
Dila tiba-tiba saja teringat akan ucapan Delo siang tadi. Cewek itu tak habis pikir, kenapa sih Delo masih saja berusaha mengejarnya? Untuk memperbaiki hubungan mereka yang pernah retak? Atau hanya untuk kembali menorehkan luka di tempat yang sama seperti waktu itu?
Bukan salah Dila kalau saat ini dia bersikap begitu ketus pada Delo. Cowok itulah yang memulai semuanya.
“Apa?”
“Buat ajakan pulang bareng,” ulang Delo. Tersenyum. “Mau kan?”
“Enggak,” balas Dila langsung. Matanya mendelik. “Gue makin gak mau pulang bareng kalau caranya malah kayak tadi.”
Dila semakin mempercepat langkah ketika dilihatnya jarum panjang pada jam tangan karetnya telah menunjuk ke angka dua. Tinggal tersisa lima menit lagi sebelum bus yang akan mengantarnya ke rumah tiba di halte depan sekolah. Kalau sampai Dila telat, bisa-bisa cewek itu mati lumutan menunggu bus berikutnya yang akan datang lima belas menit kemudian. Atau yang lebih parah lagi, Dila bakalan bertemu dengan Delo sewaktu cowok itu tanpa sengaja mengemudikan motornya melewati halte yang sedang ditempati Dila.
“Ya habis, kalau enggak gitu, Dila pasti bakalan nolak buat ketemu,” ujar Delo. “Ya? Mau kan?”
“Enggak!”
Langkah tergesa Dila perlahan melambat kala kakinya berpijak pada area terluar lapangan parkir, dan akhirnya berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang terbuka lebar. Cewek itu refleks terdiam, matanya menatap lurus pada sosok cowok berjaket biru dongker yang tengah duduk di atas motor putihnya.
Dan begitu pandangan di antara keduanya bertemu, Delo dengan cepat melambaikan tangan lalu tersenyum ceria.
“Oke, nanti pulang sekolah, tunggu di depan gerbang ya.”