c h a p t e r 0 3

1305 Kata
“Oke, nanti pulang sekolah, tunggu di depan gerbang ya.” Dila menepuk jidat bodoh seiring dengan langkah kakinya yang perlahan ia putar berlawanan arah dengan Delo. Dila benar-benar lupa kalau Delo akan menunggunya di depan gerbang sekolah saat pulang nanti. Kalau gini caranya, usaha Dila untuk kabur benar-benar gatot, alias gagal total! Belum tiga langkah Dila berjalan, Delo sudah lebih dulu memanggil namanya. “Dila!” Aduh! Dila refleks meringis, tapi cewek itu tetap lempeng berjalan tanpa menghiraukan panggilan Delo barusan. Sementara itu, merasa panggilannya diabaikan, Delo pun langsung turun dari motor lalu berlari kecil mengejar Dila. “Kok malah pergi,” ucap Delo, sembari mencekal lengan Dila. Dila buru-buru menepisnya. “Minggir-minggir, gue mau pulang.” “Iya, kan pulangnya bareng?” Dila kontan mendelik. “Gue enggak pernah bilang iya pas lo ngajak pulang bareng.” “Dila bilang iya.” “Enggak, gue gak bilang iya.” “Nah! Tuh tadi Dila bilang iya.” Delo berseru heboh. Dila mendengus. “Apaan sih,” gumamnya ketus. “Udah ah, awas, gue mau balik.” Dila langsung mengambil langkah ke pinggir, berjalan melewati Delo dengan tampang superjutek. Tadinya, Delo sudah berniat untuk mencegat Dila lagi, tapi suara dering ponsel yang tiba-tiba terdengar membuat cowok itu harus mengurungkan niatnya dan membiarkan Dila pergi menjauh. Dila sendiri yang sedang berjalan, tidak mau repot-repot menoleh ke belakang untuk melihat apa yang dilakukan Delo dengan ponselnya. Syukur juga, berkat adanya panggilan tersebut, Delo jadi tidak perlu mengejar dan mencegatnya lagi. Yang harus Dila khawatirkan saat ini adalah dirinya harus cepat-cepat sampai di halte sebelum Delo kembali menyusul. Jarak Dila dengan halte bus di depan tinggal dua meter lagi. Bersamaan dengan itu, Dila tiba-tiba mendengar namanya dipanggil. Saat ditengok ke belakang, benar aja, lagi-lagi Delo kembali mengekor! Buru-buru, Dila mempercepat langkah, dengan tanggap menapaki undakan-undakan halte, lalu melompat ringan memasuki bus. Tepat sedetik setelahnya, pintu bus langsung ditutup oleh kenek dan bus pun mulai melaju. Dari dalam bus, Dila dapat melihat Delo yang juga kini sedang balas menatapnya dari luar. Cowok itu sempat terlihat seperti sedang meneriakan sesuatu sebelum akhirnya sosoknya menghilang karena bus berbelok di tikungan. Dila menghela napas panjang. Kemudian, cewek itu mengedarkan pandangan. Hampir semua kursi sudah ditempati penumpang. Begitu menemukan bahwa di belakang masih tersisa satu kursi, Dila buru-buru menempatinya dan mulai melamun di sana. Hal seperti tadi bukan cuma pernah terjadi sekali-dua kali. Delo memang cukup sering mengajak Dila untuk pulang bareng dan Dila juga memang cukup sering menolak ajakan Delo. Kadang, cowok itu juga melakukan berbagai hal aneh agar Dila mau pulang bersamanya. Dan semua cara itu bukanlah cara yang lazim dilakukan oleh seorang ‘Delo’ yang Dila kenal. Dila pikir, selama tiga bulan berpacaran dengan Delo di kelas sepuluh, Dila sudah cukup mengenal Delo dengan baik. Cowok itu bukanlah tipe orang yang senang mencari perhatian. Tapi sekarang, bahkan hanya untuk mengajak Dila pulang bareng pun, Delo sampai membuat gegar satu sekolah dengan mengeret rok di tiang bendera. Dila pelan membuang napas berat. Kenyataannya, sampai saat ini pun, sepertinya Dila memang belum  mengenal Delo cukup baik. • • • Dulu, kalau ditanya siapa orang yang paling mengerti Delo, Dila bakalan dengan senang hati mengangkat tangan dan menjabarkan satu per satu kebiasaan beserta aib-aib Delo. Dari mulai dikejar anjing kompleks sebelah, sampai keluar rumah hanya memakai handuk cuma gara-gara ada tukang sekoteng lewat ketika dirinya tengah sibuk keramas. Delo benci sayur dan enggak suka makanan pedas. Makanya, setiap kali Dila lagi asik makan rujak atau makan masakan pedas lainnya, Delo selalu protes dan pidato tentang betapa kasiannya lambung yang kerap kali luka cuma karena terus-terusan dicekoki makanan pedas. Delo mungkin bukan tipe cowok pemaksa, tapi dia memang tidak gampang menyerah pada suatu hal yang inginkan. Dan sekarang, Dila baru sadar bahwa memaksa dengan tidak gampang menyerah itu beda tipis. "Mau pulang sekarang?" Delo bertanya dengan wajah ceria. Posisi duduknya sudah siap sedia untuk membonceng Dila. Lagi-lagi, hari ini pun Delo masih bersikeras untuk mengajak Dila pulang bersama. "Pake … sepeda?” Dila menatap Delo tak percaya. Kemarin-kemarin, Dila mungkin memang dicegat oleh Delo dan motor putihnya di depan gerbang sekolah, tapi sekarang? Cowok itu malah sedang duduk di atas sepeda birunya! “Iya.” Delo mengangguk. “Kemarin kan udah bilang kalau hari ini bakalan bawa sepeda.” Dila mengernyit. “Kapan—“ Oh. Pasti yang waktu itu. Delo berteriak bahwa dia akan membawa sepeda ke sekolah saat Dila sudah ada di dalam bus kemarin. Delo mengedikkan dagunya, mengisyaratkan Dila agar cepat-cepat naik. “Ayo, Dila, pulang.” Dila masih belum bergerak dari tempatnya. Alih-alih naik, cewek itu justru memerhatikan Delo dengan tatapan sulit diartikan. Melihat Delo yang sedang menunggunya untuk dibonceng seperti ini, sekilas mengingatkan Dila pada kenangan dua tahun yang lalu. Dulu juga Delo membawa sepeda birunya ke sekolah. Waktu itu, kelas sepuluh dan kelas sebelas masih belum diperbolehkan membawa kendaraan bermotor, jadi Dila terpaksa harus diantar-jemput oleh Delo dengan sepeda birunya. Tapi, kalau sekarang berbeda. Mereka sudah kelas dua belas dan Delo juga sudah diperbolehkan membawa kendaraan bermotor. Lantas, kenapa cowok itu mendadak repot-repot membawa sepeda yang justru membutuhkan tenaga lebih pada saat dipakai? Apalagi, saat ini keduanya pun sudah tidak punya alasan lagi untuk pulang bersama. “Enggak.” “Hah?” Delo mengedip. “Enggak,” ulang Dila. “Gue mau pulang sendiri naik bus.” “Busnya tadi udah pergi.” Dila melihat jam tangannya. Benar. Dila sudah telat sepuluh menit dari jadwal keberangkatan bus yang biasa mengantarnya ke rumah. “Enggak apa-apa, gue bisa naik bus yang selanjutnya.” Delo menatap Dila serba salah. “Dila mau nunggu di sini setengah jam?” Dila tidak menjawab, tapi Delo sudah tahu jawabannya. “Naik, Dila,” titah Delo, sedikit tegas. “Sekali ini aja, abis itu enggak lagi-lagi.” Melihat Dila masih diam, Delo pun inisiatif menambahkan. “Janji.” Dila akhirnya luluh. “Besok-besok jangan bawa sepeda lagi,” ujar Dila sembari beranjak naik dan berdiri di boncengan sepeda Delo. “Jangan ngelakuin yang aneh-aneh juga.” “Iya, gak akan bawa sepeda lagi,” timpal Delo. “Mungkin bawa skuter.” Melihat Dila tidak merespons sama sekali, Delo mau tak mau jadi tertawa garing sendiri. Rasanya tengsin banget. Niat mau mencairkan suasana, yang ada malah membuat suasana semakin krik krik. Setelahnya, suasana lebih didominasi oleh keheningan. Dila asik memandangi pohon-pohon yang berjejer di sepanjang trotoar sementara Delo sibuk mengayuh sepeda sambil menikmati terpaan lembut angin di wajahnya. Tak ada satu pun kata yang terucap, baik itu dari mulut Dila maupun Delo. Sampai akhirnya, Delo lebih dulu angkat suara dan membelah keheningan. “Dila.” “Hmm.” Dila menyahut pendek. “Kenapa enggak mau banget pulang bareng sih?” tanya Delo. Dila tidak langsung menjawab. Cewek itu justru terpekur lama mengamati dedaunan cokelat yang berguguran di sepanjang trotoar. Beberapa di antaranya ada yang bersatu dengan angin, ikut menari di udara, lalu berputar halus sebelum akhirnya mendarat di aspal dengan anggun. “Karena lo nyebelin,” kata Dila akhirnya. Delo merengut. “Kok nyebelin?” “Iya. Nyebelin. Suka bikin hal yang aneh-aneh mulu.” “Contohnya?” “Ngiket rok di tiang bendera.” “Kan itu buat ngajak Dila pulang bareng.” “Tapi aneh. Enggak normal.” “Emang kalau pake cara yang normal, Dila mau?” “Enggak.” “Tuh kan.” Dila tersenyum sedikit, pandangannya kembali mengarah ke pepohonan. Dulu, Dila selalu tertawa senang ketika Delo sengaja mempercepat laju sepedanya di jalanan yang menurun, menyebabkan angin berhembus kencang menerpa wajah Dila dan menerbangkan beberapa helai rambutnya yang sebatas bahu. Waktu itu juga sama, dedaunan cokelat turut menyapa dan berputar di sekeliling Dila seperti saat ini. Sore hari, terpaan angin, daun kering, dan s**u cokelat adalah hal-hal yang menjadi favorit Dila. “Dila.” Delo lagi-lagi kembali membuka suara. “Apa?” Delo diam sebentar. “Kita bisa balik lagi, enggak?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN