Sebastian menoleh menatap ke arah Pak Kiai
" Saya minta maaf atas kelakuan anak saya, Kiai" . Pak kiai mengangguk lalu tersenyum, " tidak apa apa, santri baru biasanya memang seperti itu, belum bisa mengendalikan dirinya"
" Terima kasih, Kiai. Saya berharap Langit bisa berubah menjadi lebih baik setelah mendalami ilmu agama di pesantren ini" ucap Sebastian pelan
" Insyaallah, Pak Bastian. Kita doakan saja, semoga Langit bisa memahami apa yang di ajarkan di sini, sehingga dapat merubahnya menjadi pribadi yang lebih baik"
Bara melipat kedua tangannya di depan d**a, kembali memutar bola matanya malas
" Udah ceramahnya?! Sekarang tunjukin dimana kamar gue, capek! Mau tidur!"
" Langit!" Tegur Bastian.
" Hhhmmm" Bara menyahut malas sambil memalingkan wajahnya
Bara terpaksa menuruti perintah papanya untuk datang ke tempat ini, karena sang papa mengancam akan menjual rumah peninggalan Salma - mama kandung Bara.
Rumah yang memiliki begitu banyak kenangan masa kecil suka maupun duka bersama dengan sang mama
Bara juga tidak diperkenankan memimpin perusahaan besar yang sebenarnya adalah milik keluarga Salma. Ia harus merubah segala tingkah laku dan sifatnya terlebih dahulu. Sesungguhnya niat papanya benar, hanya saja Bara sangat tidak menyukai ibu tirinya, Sofie.
Berkali kali ia mencoba membuat ulah agar ibu tirinya itu tidak kerasan di rumah, tapi sialnya justru dirinya yang di kirim ke pesantren.
" Saya titip Langit, Kiai " pesan sang papa ketika akan berpamitan
" Insyaallah, Langit akan baik baik saja di sini"
" Lalu bagaimana dengan rencana kita, pa?" Celetuk Sofie bertanya
Langit yang sedari tadi menatap muak wajah Sofie seketika membulatkan matanya sempurna. " Rencana apa? Apa lagi yang lo rencanain buat hidup gue, hah?!" Tanya Bara, ia sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Sofie menjadi gugup karena suara Bara yang kencang menggelegar. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Sebastian. " Rencana apa lagi, pa? Apalagi yang papa sembunyiin dari Langit?!"
Pak kiai terkejut lalu beranjak dari kursinya kemudian melangkah perlahan sambil tersenyum
" Sabar, nak Langit. Biarkan papa dan mamamu pulang, nanti mereka akan memberitau apa yang harus kamu tau, jika sudah waktunya" ucapnya pelan. Bara menoleh, " dia bukan mama gue, Pak tua!". Jawab Bara menatap Pak Kiai tapi telunjuknya mengarah pada wajah ibu tirinya. Kemudian Bara kembali menatap sangat tajam ke arah Sofie. Sedetik kemudian kembali mengalihkan pandangan pada papanya
" Langit udah gede, pa. Langit ngga mau terus terusan di atur sama papa. Liat aja nanti!" Ancam Bara kemudian langsung berlari menuruni undakan tangga lalu melangkah cepat meninggalkan tempat itu tanpa mengucap salam
" Sekali lagi, maafkan kelakuan anak saya, Kiai"
" Sudah, sudah..saya maklum bagaimana anak muda jaman sekarang. Kita berdoa saja, Langit bisa menjadi orang yang lebih sabar"
" Kalau begitu, kami pamit pulang Kiai, kami akan kembali jika Langit sudah memperlihatkan perubahan dirinya yang lebih baik"
" Aamiin ya rabbal aalamiin" jawab Pak Kiai kemudian mereka saling berjabat tangan. Dan tak lama setelah orang tua Bara meninggalkan tempat itu, muncul Haura dari dalam rumah. Haura adalah anak gadis Pak Kiai satu satunya.
***
Bara tengah duduk di salah satu kursi panjang yang berada di bawah pohon besar, ia mengangkat satu kakinya diletakkan di atas kaki satunya lagi. Ucapan Sofie yang mengatakan sebuah rencana sangat mengganggu pikirannya. Tapi yang pertama harus ia lakukan adalah keluar dari tempat ini.
Ia menatap ke arah depan dengan pandangan kosong. Merenungi dirinya sendiri. Jujur saja jika dirinya memang bukan lah laki laki yang baik. Balapan liar mabuk mabukan, mempermainkan perempuan, bahkan semasa sekolah dulu ia sering ikut tawuran antar pelajar. Dan saat ini, ia bergabung dengan salah satu geng motor yang sangat di takuti di Jakarta, tak tanggung tanggung, dirinya lah ketua geng motor itu. Sudah tidak terhitung geng motor di Jakarta yang ia taklukan dan kini bergabung dengan geng motor yang ia pimpin. Beberapa kali keluar masuk penjara, tapi di tebus kembali oleh sang papa. Ia juga tau Sofie tidak menyetujui tindakan suaminya, tapi Bara adalah pemilik perusahaan yang sesungguhnya. Jika terdengar oleh eyang kung nya, sudah pasti Sebastian akan mendapat masalah besar. Ia sangat tau itu.
Pluk!
Tiba tiba ia merasakan sesuatu jatuh mengenai kepalanya. Bara tersadar lantas mendongak, tidak ada apapun..hanya daun daun yang rindang. ' daun jatuh mungkin..' batinnya, tapi kemudian hidungnya mencium aroma tidak sedap. Lalu ia mengangkat tangan menyentuh kepalanya, memegang sesuatu yang lunak di sana, Bara meraba kemudian menurunkan kembali telapak tangannya. Ia melihat sesuatu yang menjijikkan lalu menciumnya.
Iuh.
Ternyata kotoran burung jatuh tepat mengenai kepalanya.
Brengsek!
Bergegas ia beranjak dari duduknya, celingukan mencari sosok Fadilah. Laki laki itu belum sempat memberitahu dimana letak kamarnya. Dari kejauhan tampak para santri melakukan aktifitasnya, ada yang mencabut rumput, ada juga yang memasukkan sampah ke dalam sebuah plastik besar warna hitam, di salah satu kursi panjang ia melihat sosok yang dicarinya tengah membahas sebuah kitab bersama dua orang santri yang lain. Bara berjalan menghampiri mereka.
" Hei, dimana kamar gue? Sekarang juga lo anter gue, gue mau mandi! Liat ni..kepala gue di berakin burung!" Ucap Bara ketus sambil memperlihatkan telapak tangannya yang belepotan kotoran burung yang tadi ia pegang. Ketiga santri saling pandang kemudian tergelak tawa
" Woi!!" Bentak Bara keras, seketika tiga santri menutup mulutnya menahan tawa
" Sopan lo ketawa di depan gue?" Ucap Bara ketus menatap tajam kearah ketiga nya
" Sudah, sudah. Mari mas Bara saya antar ke kamarnya" Fadilah memegang bahu Awan menuntunnya menuju asrama sambil mengedipkan mata pada kedua temannya memberi kode agar berhenti tertawa.
Fadilah berjalan di depan sementara Bara mengikuti dari belakang. Melewati rumah rumah panggung sampai akhirnya Fadilah mengarah pada satu rumah, ia menoleh pada Bara di belakangnya, " mari mas Bara, asrama mas Bara yang itu" kata Fadilah menunjuk dengan ibu jarinya. Kemudian keduanya menaiki beberapa undakan lalu Fadilah mengetuk pintu
Tok..tok..tok.
" Emang ada orang di dalem?" Tanya Bara
Fadilah tersenyum lalu mengangguk. " ya, satu asrama bisa empat atau enam santri mas, kalau satu asrama..satu santri, jadi perumahan komplek tho mas,"
" tapi kalo satu asrama empat atau enam orang namanya bukan asrama, kandang!" sahut Bara ketus, Fadilah hanya tersenyum menanggapi
Pintu di buka dari dalam, "Assalamualaikum" Fadilah mengucap salam. " Waalaikumsalam" jawab seorang santri. " Dimana kamar mandinya?" Tanya Bara langsung. Belum sempat Fadilah menjawab, Bara melihat santri baru keluar dari kamar mandi sambil mengusap handuk kecil di kepalanya. Bergegas ia melangkah menerobos ke dalam asrama kemudian menyambar plastik putih dari atas meja yang berisi sabun mandi cair dan shampoo sachet yang sedari tadi ia lihat sewaktu berdiri di ambang pintu
" Loh, loh. Iku darbene kulo.." ujar seorang santri yang sudah menggenggam gayung bersiap akan mandi, namun Bara sudah keburu masuk ke dalam kamar mandi sebelum kalimatnya selesai.
( Loh, loh itu milik saya..)
" Wes, nanti aku yang ngganti. Wes, tenang wae.." Fadilah menyahut sambil menggeleng samar ( udah, nanti saya yang ganti. Udah tenang aja..). " Dia itu siapa sih, mas Fadil?" Aldi, seorang santri bertanya. " Saya juga ndak tau, Al. Tadi itu cuma di suruh pak Kiai untuk jemput dia di depan gerbang, eh..malah lagi duduk ngangin di kursi dekat asrama santriwati" Fadilah memberitau
" Yo wes, tak tinggal dulu, nanti kenalan saja kalau sampeyan mau tau. Assalamualaikum " Fadilah pamit kemudian melangkah pergi.
Aldi, Rohmat dan Arul, membicarakan penampilan Bara yang urakan. Rambutnya yang gondrong, lengan dan leher bagian belakang yang bertatto, celana jeans yang dikenakan robek robek, sampai kaos tanpa lengannya.
Tak berapa lama Bara selesai membersihkan diri, ia menenteng plastik yang isinya ia pakai untuk mandi, Kemudian melemparnya ke arah si pemilik, lalu di tanggap dengan sigap oleh Rohmat. " Tuh, punya lo. Gue ganti satu truk tapi ada syaratnya.." ujar Bara
" Apa syaratnya, mas?" Tanya Rohmat si pemilik sabun dan shampoo. " Harus abis seharian!" Sahut Bara cuek lalu merebahkan tubuhnya di salah satu ranjang yang kosong.
Rohmat melongo dengan jawaban Bara yang terdengar menjengkelkan.
" hhhuuufffttt" Rohmat menghela napas.
'' dasar wong edan '' gerutunya