BAB 3

1002 Kata
Pondok pesantren menyediakan dua ranjang tingkat di dalam kamar santri itu, satu ranjang tingkat berada disebelah dinding yang menempel pada dinding kamar mandi, satu ranjang tingkat lagi menempel pada dinding yang menyiku dari dinding kamar mandi, kamar itu terisi empat orang santri termasuk Bara. Di samping pintu terdapat meja belajar. Tapi jarang digunakan karena para santri lebih menyukai belajar atau menghapal sambil duduk di kursi panjang di bawah pohon. " Heh, Somat. Si padilan kamarnya sebelah mana?" Bara bertanya asal menyebut nama orang. Rohmat sedang menggulung sarung di pinggangnya tidak menyahut panggilan Bara, begitu pun dengan Aldi sibuk mencari pecinya, sementara Arul menyiapkan kitab yang akan di bawanya. Tidak ada yang menyahut pertanyaan Bara, karena Bara tidak menyebut nama salah satu dari mereka sehingga ketiganya mengabaikan pertanyaan Bara. Brak. Bara menggebrak meja dekat pintu membuat semua tersentak lalu menoleh pada Bara. " Ada apa tho, mas?. Tikus masuk yo? Wes biasa, mas. Ndak usah takut" ucap Rohmat santri yang berasal dari Semarang. " Lo pada ngga ada yang denger gue nanya apa tadi?!" Bara bertanya sambil menatap tajam satu persatu teman barunya. " Gue tanya, sama lo..." tunjuk Bara pada Rohmat. " Dimana kamar si Padilan yang tadi?" Bara mengulang pertanyaannya " Oh, mas nya nanya sama saya, tho..nama saya Rohmat mas Bara...bukan Somat" sahut Rohmat langsung meraih paksa tangan Bara kemudian menjabatnya " Dan saya, Arul mas. Yang ini.. Aldi" timpal Arul lantas menunjuk Aldi dengan ibu jarinya " Gue ngga nanya nama lo bertiga! Yang gue tanya..." " Yang tadi itu bukan Padilan, mas. Namanya Ahmad Fadilah, biasa disini dipanggil mas Fadil " jelas Arul memotong ucapan Bara " Ggrrhh.." Bara menggeram kesal karena sedari tadi tidak ada yang menjawab pertanyaannya. " Ya, mas. Kalo kamarnya mas Fadil ada di sebelah kamar kita ini.." Aldi memberitahu " Bilang dari tadi! Nanya apa..jawab apa.." sahut Bara kemudian langsung melangkah pergi dari kamar menuju kamar Fadilah *** Jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Bara tidak langsung pergi ke asrama Fadilah, namun ia berjalan menuju rumah pak Kiai. Tampak orang yang ia cari tengah duduk berbincang dengan seorang santri, bara menghentikan langkah, ia menengok kanan kiri mencari tempat duduk yang nyaman untuk bersembunyi. Kembali ia mengurungkan niatnya pergi kerumah Pak Kiai. " Sampeyan iku kudu nggolek jodo, mas.." (kamu itu harus cari jodoh mas..) kata Iqbal pada Fadilah. " Sampeyan kan uwes suwi tho, seneng karo'e mba Haura, Yo..usaha dong" ( kamu sudah lama kan, suka sama mba Haura)katanya lagi " Walah, Bal. Ya aku seneng..Yen dhewekke ora, kepiye?" ( Walah, Bal. Ya aku sih suka..tapi kalau dia tidak, gimana? )Sahut Fadilah lalu menghembuskan napas panjang kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. " Yo, paling ora nduduhke gawean ngono lo, supoyo dhewekke ngerti nek sampeyan seneng dhewekke " ( ya, paling ngga usah dulu, supaya dia tau kalau kamu suka sama dia) . " Iqbal, kok sibuk ngurusi jodo wong liyo? Apa sampeyan nduwe calon dhewe?" ( Iqbal, kamu kok sibuk ngurusin jodoh orang? Memang kamu sudah punya calon?" Sindir Fadilah. " Wes, sing penting mas Fadil ndisik..Ojo nganti kalah karo'e mas Bara.." ( sudah, yang penting mas Fadil dulu..jangan mau kalah sama mas Bara..) sahut Iqbal menepuk bahu Fadilah. Tanpa mereka ketahui, Bara juga sibuk dengan ponselnya mencari tau arti dari yang mereka perbincangkan karena nama dirinya juga di sebut sebut dalam pembicaraan, kini..ia mengerti semuanya. Tidak berniat mendengarkan kelanjutan percakapan lantas Bara meneruskan niatnya ke rumah Pak Kiai. Ia ingin cepat cepat mengetahui apa rencana papanya dan ibu tirinya. Namun ketika sudah mendekati rumah yang di tuju, tampak tidak ada lampu menyala di dalam rumah. ' masa' baru jam segini udah molor' batin Bara berucap. Kembali ia mengurungkan niatnya, ia akan kembali besok untuk bertanya langsung pada Pak Kiai. Bara kembali pada niat awalnya yaitu asrama Fadilah, meski ia tau yang bersangkutan berada di mana. *** Bara memaksa salah satu santri dari asrama Fadilah untuk bertukar tempat dengan dirinya. " Heh! Siapa nama lo?" Tanyanya kasar. " Saya Khairul, mas" " Lo pindah ke kamar sebelah sana! Bawa barang barang lo sekarang juga! Bawain sekalian barang barang gue kesini!" Titah Bara se enaknya. " Waduh..ya ngga bisa gitu dong, mas. Saya kan sudah dari dulu disini.." Khairul menolak secara halus. " Jadi lo, ngga mau?!" Tanya Bara sambil menarik lengan Khairul. " " Rul. Cari aman aja, Rul" ucap Umam dengan bibir bergetar, matanya melirik memberi kode pada Khairul ke arah tubuh Bara yang bertatto. " I..iya, mas.." sahut Khairul terbata, kemudian bergegas membereskan barang barangnya. Lalu langsung berjalan keluar kamar membawa barangnya yang tidak semua dimasukan kedalam tas. Khairul adalah santri asal Ciamis yang melarikan diri dari rumah karena sering mengalami kekerasan dari bapaknya. " Naha aya jalma sapertos anjeunna? Duh Gusti Allah..Naha aing jadi jelema hade perlakuan nu teu adil siga kieu?" ( Kok ada ya, manusia bengis kayak dia? Duh Gusti Allah..kenapa saya orang yang baik mendapat perlakuan seperti ini?" Gumam Khairul setelah melewati ambang pintu. Tak berapa lama ia kembali membawakan tas ransel milik Bara beserta isinya. Tanpa berucap sepatah katapun karena takut, Khairul langsung meletakkan tas itu di atas meja kemudian lari terbirit-b***t kembali ke asrama sebelah. Tinggallah Umam dan Bara di kamar itu, Bara menoleh menatap Umam. Dengan gerak cepat Umam langsung melompat ke atas ranjang tingkat bagiannya kemudian menutup wajahnya dengan sarung. Dalam hati ia berharap semoga Fadilah dan Iqbal cepat kembali ke asrama. Sementara itu Bara bingung sendiri, mengapa orang orang disini begitu takut padanya? Apa karena ia adalah seorang ketua geng motor? Tapi orang orang di sini belum mengetahui apapun tentang dirinya? Entahlah..ia tidak mau repot memikirkan hal itu, Bara naik ke atas ranjang bagian Khairul. Kemudian mencoba memejamkan matanya. Suara ngobrol beberapa orang terdengar masuk ke dalam kamar " tattonya itu loh, serem. Yakin bisa masuk surga banyak tatto begitu?! " " Ojo kenceng kenceng suaramu, ngko nek tangi kowe keno bogem! arep Kowe? " Umam cengengesan mendengar Iqbal " wes turu! biar besok bisa ndak telat subuhan!" Fadilah memperingati " Iyo Iyo mas, su-bu-han!" Umam menekankan suaranya di akhir kata
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN