“Aku…akh kita jalani saja dulu Rai” Raimas mengangguk. Ibnu tak menuntaskan kata hatinya, ia akan memikirkan kembali. Raimas menganggukan kepala tanda setuju. Akhirnya kedua insan yang sedang bersedih itu beranjak, memulai hari yang baru.
“Hari ini aku ada kuliah kak, kakak kerja atau cuti?” Raimas menyiapkan beberapa keperluan untuk kuliah. Ibnu sudah segar setelah mandi. “Ini ada kemeja ayah, kakak pakai dulu, kakak kan belum sempat ambil pakaian. Oh iya, nanti kakak pulang ke sini atau ke rumah?”
“Mungkin hari ini aku akan istirahat dulu Rai” Dengan satu tarikan nafas berat yang panjang Ibnu menjawab. Ia bekerja di sebuah perusahaan periklanan bagian perencanaan dan sebagai ketua tim. Beberapa jadwal hari ini sudah ia wakilkan kepada rekan-rekannya yang lain.
Pagi ini ia sempatkan untuk mengantar Raimas ke kampus, lalu pulang ke rumah. Setelah Raimas turun dari mobil, Ibnu menyalakan radio untuk menemaninya sepanjang perjalanan.
“Tak kan pernah habis airmataku, Bila ku ingat tentang dirimu, Mungkin hanya kau yang tahu, Mengapa sampai saat ini ku masih sendiri, Adakah di sana kau rindu padaku, Meski kita kini ada di dunia berbeda, Bila masih mungkin waktu kuputar kan kutunggu dirimu, Biarlah ku simpan sampai nanti aku kan ada di sana, Tenanglah dirimu dalam kedamaian, Ingatlah cintaku kau tak terlihat lagi, Namun cintamu abadi, Adakah di sana kau rindu padaku, Meski kita kini ada di dunia berbeda, Bila masih mungkin waktu kuputar kan kutunggu dirimu” Trek, Ibnu menghentikan suara radiaonya.
“Aaaaaaaaaaakkkkkhhhh” Ibnu membanting stir putus asa. Mematikan music yang terputar dimobilnya. Bergelut kembali dengan pikirannya, air mata terurai deras, “Bagaimana bisa aku mencintai orang lain hiks, aakkkhh” Tangan Ibnu memukul-mukul stir “Apalagi itu adik kamu sendiri hiks hiks aaaaaa” Lagi, ia memukul stir. “Apakah aku akhiri saja? Aku hanya mencintaimu Yasmin, aku menyesal mengabulkan permintaanmu, aku hanya ingin kamu dan tidak ada yang lain, aku harus bagaimana” Hati ibnu bergolak, semua pertanyaan itu taka da jawabannya “Tapi…. Aku juga tak ingin m*****i sebuah pernikahan suci ini hiiiikkksss, Yasmin, bisakah kamu kembali dan menghentikan pernikahan ini, akh padahal pernikahan ini pun aku yang memulainya” Ibnu tersenyum getir “Bagaimana jadinya kalau saja aku menolak permintaanmu ini kemarin? Apakah justru kamu akan tetap hidup dan akan tetap bersamaku sekarang?” Ibnu terus memukul stirnya, sampai tak terasa garis-garis merah bermunculan dijari-jarinya.
Ia habiskan amarahnya dan semua sesal yang ia rasakan saat itu juga. Ia harus menata hidupnya yang kini sudah menjadi seorang suami, ia harus tetap bertanggung jawab pada istri dan keluarga besarnya. Untuk sementara ia mengesampingkan perasaan cinta pada Yasmin yang sudah pasti tak dapat kembali lagi.
--
Bruk, Raimas menyimpan tumbukan buku, leptop dan tasnya di atas meja. Beberapa hari kemari tak sempat menyentuh pekerjaan dan tugasnya yang mulai menumpuk lagi. Ia mulai dengan membuka leptop.
Raimas adalah mahasiswa semester enam jurusan fotografi disalah satu kampus seni terkenal di Jabodetabek. Kesukaannya untuk mengabadikan berbagai hal mengantarkannya untuk menimba ilmu di kampus ini. Raimas memiliki paras yang anggun, menenangkan rasanya kalau melihat dia, kalem, namun sedikt plinplan. Sering sekali untuk memutuskan sesuatu ia harus mendengarkan pendapat dari teman-temannya, alasannya supaya mantap. Tidak tinggi namun tidak mungil juga, tinggi badan keumuman orang Indonesia, itulah Raimas.
Ia mendapatkan beasiswa saat awal masuk kuliah, tetapi hanya sebatas beasiswa semester saja. Meski tidak mendapatkan beasiswa full dan dapat uang saku kuliah, tetapi dari hasil hobinya ia memiliki cukup uang untuk membayar kekurangan biaya kuliah yang ternyata ada saja yang harus dibayar. Seperti praktek atau photocopy makalah.
Hobi memotretnya ia manfaatkan untuk mencari uang tambahan. Dengan membuka jasa foto produk makanan, orang-orang lebih banyak datang untuk membeli jasanya untuk foto makanan. Tetapi terkadang ia juga memanfaatkan momen wisuda dengan membuka stand foto wisuda dibeberapa kampus sekitar Jabodetabek.
Ia tidak bekerja sendiri, bersama keempat temannya termasuk Indra ikut mengembangkan usahanya. Hasil dari usaha kecil-kecilannya ini dapat membantu semua tim dalam urusan pembayaran kuliah.
“Rai, gimana kabar lho?” Tanya Richam yang baru datang “Nih, buat lo, minum dulu” Richam memberikan satu botol air mineral, Richam adalah teman si yang paling ngerti teman-temannya.
“Makasih Cha” Richam hanya menganggukkan kepala. “Ada tugas lain yang ketinggalan gak? Terus persentasi gue jadwalnya kapan ya? Gue takut kalo hari ini mana belum siap lagi” Nada Raimas sedikit khawatir.
“Lo tenang aja, tugas lo udah gue kerjaain sama Azka kemaren, gue ngerti keadaan lo beberapa hari ini jadi kita inisatif ngerjain, lagian persentasinya bukan hari ini kok”
“Syukurlah, makasih banyak ya Cha, kalian emang terbaik” Raimas memeluk sahabatnya.
“Cie cie cie yang peluk-peluk, mau donk aku juga ikut pelukan” Indra datang tiba-tiba membentangkan tangan bersiap memeluk kedua sahabat karib tersebut.
“Eee eee eenak aja kamu” Botol air mineral Raimas sukses mendarat di dahi Indra, Richam mencegahnya untuk ikut memeluk Raimas.
“Iya, iya, gue gak bakalan ganggu kalian, lanjutin gih” Indra manyun lalu kemudian diikuti dengan gelak tawa Richam dan Raimas.
“Azka sama khadijah mana? Tumben belum dateng?”
“Halo-halo-halo gaes, maaf gue terlambat gaes, nih ada projek baru bulan ini kita” suara ceriwis Azka sudah terdengar dari jauh. Bertambah lagi sahabat Raimas, Azka si paling ceriwis dan paling bisa negosiasi dengan klien. Urusan persentasi dengan klien adalah Azka ahlinya, dan Sembilan puluh persen berhasil.
Sedangkan Khadijah adalah si paling pendiam tapi gesit, urusan konsumsi, peralatan dan bersih-bersih studio adalah keahlian Khadijah.
“Nah, yang ditanyain udah dateng, langsung berdua lagi. Paket komplit” ujar Richam.
“Waaaahhh aazzzyyyeeekkk projek apa niiiihh?” Indra penasaran dengan senyum sumringah dan mata berbinar. Azka menyimpan beberapa buku dan leptonya langsung di buka.
“Aku sebut ini projek ya gaes ya, ada klien yang minta diabadikan moment pernikahannya mulai dari tunangan, prawadding, pengajian, siraman, dan weddingnya langsung semuanya sama kita, kayanya nih ya kita gak cukup orang buat ngerjain berlima aja, butuh beberapa orang lagi” Azka langsung melaporkan projeknya panjang lebar.
“Harganya udah fiks?” Indra bertanya.
“Tempatny dimana?” Raimas menambahkan.
“Siapa yang nikah?” Richam malah kepo dengan pengantinnya.
Pertanyaan yang bertubi-tubi dan dijawab tangkas oleh Azka. “Untungnya lumayan, yang nikah alumni kampus kita juga dan tempatnya gak ribet-ribet amatlah, paling jauh ke Ancol, daaaannn tenang semua biaya ongkos, makan sudah ditanggung, gimana? Keren kan klien kita satu ini? Dan kita harus memberikan yang terbaik”
“Siap” semua menjawab hampir bersamaan.
Perkuliahan telah usai, Raimas berhasil persentasi dadakan didepan dosen dan teman-temannya. Waktu yang masih panjang untuk membahas materi membuat Raimas ditunjuk untuk persentasi dadakan. Ia bersyukur karena Richam sudah menyiapkan bahannya.
“Hari ini mau kemana Rai?” Tanya Indra. Setelah keluar dari kelas Indra dan Raimas hanya berjalan berdua saja. Ia meminta ijin kepada teman-temannya untuk tidak ke studio dulu karena masih merasa berkabung.
“Mungkin aku akan pulang saja Dra, aku masih cape dan jujur masih merasakan sedih” gurat kesedihan memang masih telihat diwajah Raimas.
“Aku antar ya” Raimas hanya mengangguk. Sampai di parkiran Raimas mengerutkan dahi dan menajamkan penglihatannya. Ia melihat mobil Ibnu yang masih terparkir. Setelah turun dari mobil Ibnu tadi pagi ia tidak melihat lagi ke belakang, ia kira Ibnu sudah pergi.
“Dra, ada mobil ka Ibnu, kita ke sana dulu ya, tadi pagi aku dianterin dia, kebetulan dari rumah” Indra mengekor di belakang Raimas
Tok tok tok Indra dan Raimas mengetok kaca mobil, tidak ada jawaban. Kaca hitam mobil Ibnu tidak dapat melihat langsung penghuni didalam nya. Mereka mencoba mengtuk lagi, Raimas melihat ada Ibnu sedang tertidur. Setelah beberapa kali di ketuk, akhirnya kaca mobil terbuka.
“Ekh Rai, kamu udah pulang?” Ibnu sangat terlihat pucat, ia mengucek-ngucek matanya.
“Ya ampun ka, pucat banget wajah kakak, kakak juga demam” Raimas memegang dahi Ibnu “Kita antar pulang ya ka” Ibnu tak berdaya menjawab, ia berpindah posisi ke belakang sedang Indra menyetir.
Sampai di rumah Ibnu langsung di sambut oleh Bu Salma, mamanya Ibnu
“Ya Ampun Rai, Ibnu kenapa?”
“Ia demam ma, aku kira kak Ibnu udah pulang setelah nganter aku ke kampus tadi, ternyata pas aku pualng masih ada, untung aku lihat, kalau engga mungkin masih disana sampai sekarang, entah selamat atau malah nyusul kak Yasmin”
“Hus, kamu jangan gitu, biar mama ambil kain buat kompres, tolong kamu antar ke kamarnya ya” Raimas dan Indra menunggu didalam kamar Ibnu.
“Dra” Panggil Ibnu
“Iya kak”
“Tolong antar Raimas pulang ya, pakai mobil aku aja, dan biar mobilnya di simpen di rumah Raimas, kalau udah sembuh mungkin aku ambil” Raimas membetulkan selimut Ibnu.
“Baik kak” Jawab Indra menyanggupi. Bersamaan dengan Bu Salma masuk, Raimas dan Indra pamit.
“Nak Indra, boleh ibu bicara dulu dengan Raimas sebentar?” Indra hanya menganggukan kepalanya tanda setuju dan berjalan keluar.
“Kamu gak nunggu disini sampai Ibnu baikan Rai?”
“Gak usah ma” Ibnu lebih dulu menjawab. “Biarkan kita saling mendamaikan hati dulu ma, jujur, aku masih terpukul karena kehilangan Yasmin, begitupun dengan Rai, dan kalau bisa aku ingin pernikahan kita untuk tidak dikabarkan dulu kepada yang lain, sekalipun itu adalah keluarga dan tetangga, aku ingin tahu sejauh mana aku bisa menerima keadaan ini ma” terang Ibnu panjang lebar tanpa membuka mata sedikitpun dan diakhiri dengan nafas berat. Mata Ibnu masih perih dan berat sampai ia tak membuka mata saat bicara.
“Bagaimana pun Rai adalah istri kamu” Bu Salma mengingatkan.
“Kak, kakak apa ga apa-apa kan kalau aku tinggal?” Raimas segera memutuskan keadaan, ia pun ingin menghindar untuk tetap tinggal di rumah Ibnu. Ia masih memikirkan Indra yang sedang menunggunya di luar.
“Gak apa-apa Rai, pergilah, kita tenangkan pikiran kita masing-masing, kalau sudah tenang kita urus semuanya”
“Baik, aku pamit ya kak, ma” Raimas menyalami keduanya, dan langsung beranjak pulang.
“Rasa sesal didasar hati, diam tak mau pergi, haruskah aku lari dari kenyataan ini” Trek… Raimas mematikan suara music di mobil ibnu, liriknya begitu mewakili dengan dirinya sehingga ia tak ingin mendengarkannya
“Kenapa kamu matiin?”
“Gak apa-apa” dijawab singkat.
“Oh iya Rai, aku mau tanya, kenapa kamu panggil mama ke Ibu nya kak Ibnu” Raimas kaget dengan pertanyaan Indra, beruntung masih bisa ia sembunyikan.
“Oh, itu” Raimas gelagapan “Itu karena kak yasmin udah biasa panggil mama, ekh aku jadi ikutan, hubungan mereka sangat dekat, bahkan akan menikah namun takdir belum mengijinkan sampai akhirnya kak Yasmin meninggalkan kita semua” Raimas bercerita sedih.
Ia merenungkan segala sesuatu yang disembunyikan sudah pasti akan ditemukan, tinggal menunggu waktu kapan terbukanya. Hal itu adalah pernikahannya dengan Ibnu.
Mendengar penuturan Raimas Indra hanya mengangguk, hingga sampai di pekarangan rumah Raimas hanya ditemani suara mobil, sepi.
“Nak Indra, masuk dulu ya, ada yang ingin bapak bicarakan”