"Rose! Dimana kau jalang sialan!" suara seorang lelaki menggema di seluruh penjuru ruangan memanggil sebuah nama yang tak kunjung datang.
Tatapan lelaki itu mengedar, menatap ke sekeliling berharap menemukan wanita pemilik nama itu. Tapi sayangnya, setelah berkali-kali ia meneriaki namanya, wanita itu tak juga menampakkan batang hidungnya. Tidak biasanya Rose menghilang begitu saja. Biasanya wanita itu akan tergopoh-gopoh menemuinya saat di panggil.
Lelaki itu mengetatkan rahangnya. Percikan amarah mulai meletup di dadanya. Seharusnya Rose berada di kamarnya, menyiapkan segala keperluannya. Tapi pagi ini, ia terpaksa harus menyiapkan semuanya sendiri. Membuat lelaki itu mengeluarkan amarahnya di pagi hari.
Lelaki itu berjalan dengan langkah yang cepat. Membuka satu persatu bilik kamar yang ada di rumah megah ini. Ia yakin, wanita yang di carinya masih berada disini. Lagipula mana mungkin Rose melarikan diri dari sini? Wanita itu hanya memiliki dirinya. Hanya lelaki itu yang dimiliki Rose.
"Roseline!"
Lagi, lelaki itu kembali meneriaki nama Roseline dengan suara keras. Membanting setiap pintu kamar yang di dalamnya tidak ada wanita yang ia cari. Emosinya semakin meluap kala Rose tidak juga muncul padahal hari sudah hampir siang. Dan lelaki itu harus pergi ke kantor.
"Sialan! Kemana wanita itu!"
Brak!
Suara pintu yang terbuka dengan kasar memecahkan keheningan di dalam sebuah ruangan kamar yang ukurannya cukup sempit. Lelaki itu menatap nyalang ke arah tempat tidur berukuran kecil. Disana, ia melihat seseorang bertubuh mungil tengah meringkuk dengan kedua tangan yang menutup telinganya. Tubuhnya tampak bergetar. Terdengar suara isakan kecil dari bibir wanita itu.
Bukannya merasa iba, lelaki itu malah menyeringai tajam sembari melangkah mendekati ranjang wanita itu. "Disini kau rupanya, ya?" ujarnya dengan ekpresi yang mengerikan seperti predator yang akan menghabisi mangsanya.
Rose semakin memejamkan matanya. Tubuhnya beringsut menjauhi lelaki itu. Wanita itu semakin terisak kala rasa takut semakin menyeruak ke dalam sudut hatinya. Tangan-tangan kurusnya sampai mencengkeram rambutnya yang tak beraturan. Pergelangan tangannya tampak terluka. Terdapat beberapa lebam di tangan dan juga wajahnya. Siapa lagi kalau bukan lelaki berwajah bengis itu yang melakukannya.
"Jangan... Ku mohon jangan sekarang, Jovan."
Jovan, lelaki itu tertawa mengejek mendengar ujaran lirih syarat akan penuh ketakutan yang keluar dari bibir Rose. Tatapan lelaki itu beralih ke beberapa karya yang ia ciptakan di kulit putih milik Rose. Tangannya terulur hendak menyentuh tangan Rose namun wanita itu semakin menjauhkan tubuhnya. Membuat Jovan kembali emosi dan menatap tajam ke arah Rose. Tangannya tergerak menyentuh surai hitam milik wanita itu dan membuat wanita itu mendongak dengan paksa agar menatapnya.
"To-tolong lepaskan... aku."
Wanita itu merintih kesakitan. Tubuhnya, hatinya, dan mentalnya. Semuanya hancur bersamaan. Satu tahun ia hidup bersama Jovan, lelaki itu tidak memberikan sedikitpun rasa tenang untuknya. Setiap hari yang ia dapatkan hanyalah perlakuan kasar. Jovan yang selalu melakukan hal gila hanya untuk membuat Rose menderita. Rose tidak tahu apa penyebab dibalik sikap Jovan.
Di depannya sekarang bukanlah Jovan yang ia kenal saat pertama kali bertemu. Tidak ada lagi Jovan yang menatapnya hangat. Tidak ada lagi Jovan yang berbicara lembut. Tidak ada lagi Jovan yang selalu memeluknya erat. Yang tersisa sekarang hanyalah Jovan dengan tatapan tajam seperti monster yang akan menghabisi nyawanya.
"Melepaskanmu? Jangan harap, Rose." Lelaki itu menyeringai, menarik pergelangan tangan Rose dengan kasar dan menghimpit wanita itu ke dinding.
Rose semakin menunduk penuh ketakutan. Ia tidak berani menatap manik hijau emerald milik lelaki itu.
"Tatap mataku atau aku akan kembali melakukan hal gila padamu," ancam Jovan saat Rose tidak mau menatap matanya.
Perlahan Rose mulai membuka matanya. Menatap lekat manik emerald di hadapannya. Lelaki itu, lelaki yang mampu membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Lelaki yang menawarkan hidup bersama dengan penuh kebahagiaan. Lelaki yang selalu menatapnya dengan hangat dan penuh kasih sayang. Iya, di hadapannya adalah lelaki yang sama. Lelaki yang ia cintai bahkan setelah semua yang Jovan lakukan padanya, Rose masih tetap mencintai Jovan, bahkan akan selalu cinta.
Pandangan wanita itu mengabur karena matanya basah namun ia masih bisa melihat Jovan yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.
"Aku tidak akan pernah membiarkanmu tenang, Rose. Aku ingin kau tahu kalau satu-satunya orang yang sangat ingin menghancurkanmu adalah aku, orang yang sangat kau cintai."
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh Jovan. Bagaimana mungkin orang yang ia anggap bisa membawanya ke lembah kebahagiaan justru orang itu malah ingin memasukkannya ke jurang kehancuran?
Manik emerald itu menatapnya tajam. Terasa menusuk seolah benar-benar ingin membuat Rose terluka. Tidak ada kebohongan yang terlihat. Semuanya tampak nyata.
Sebulir kristal kembali jatuh membasahi pipi wanita itu. Menatap lelaki yang sangat dicintainya itu dengan terluka. Kini ia paham mengapa banyak orang yang tetap setia dengan pasangannya meskipun pasangannya sudah bersatu dengan tanah karena mereka tidak pernah berhenti mencintai meskipun raganya tak dapat lagi di dekap. Meskipun suaranya tak dapat lagi di dengar. Meskipun tangisnya tak dapat lagi di usap. Rose ingin menjadi salah satu dari mereka yang tak pernah berhenti mencintai. Rose ingin selalu mencintai Jovan sampai kapanpun. Namun bagaimana ia bisa melewati semuanya saat ia sudah mulai merasa lelah? Segala kesakitan yang diberikan Jovan telah melekat sempurna di hatinya.
Rose hanya ingin Jovan memperlakukannya selayaknya istri. Ia ingin Jovan yang dulu kembali. Meskipun semuanya terdengar mustahil, namun Rose sangat ingin hal itu terjadi. Ia ingin hidup damai bersama Jovan dan anak mereka. Ia ingin menua bersama Jovan.
Selama ini, ia tidak pernah tahu apa alasan Jovan menyakitinya begitu dalam. Setiap kali Rose menanyakan, Jovan selalu bungkam. Namun ia dapat melihat sorot penuh luka saat Rose menanyakan itu pada Jovan. Rose tidak mungkin membiarkan Jovan hidup dalam penuh kebencian. Ia sungguh ingin tahu apa alasan Jovan melakukan ini.
"Katakan padaku... mengapa kau menyakitiku begitu dalam? Mengapa kau membiarkanku hidup jika kau memang membenciku? Mengapa?" Rose berbisik. Pertanyaan yang selalu berputar dan belum menemukan jawabannya. Jawaban atas apa yang membuat Jovan sangat membencinya.
Jovan terdengar mendengus kasar. Ia berjalan menjauhi Rose. Membuat wanita itu mampu bernafas lega. Kembali menatap Jovan dengan sorot mata menuntut. Ia hanya ingin Jovan memberitahu apa kesalahannya maka Roseline akan memperbaikinya. Apapun akan ia lakukan untuk Jovan. Tidak peduli jika nantinya akan membahayakan dirinya sendiri.
"Harusnya kau bertanya kepada dirimu sendiri mengapa aku melakukan semua ini. Aku bukanlah orang gila yang menyiksa seseorang tanpa alasan yang jelas," tukas Jovan menatap Rose dengan sengit.