Bab. 2

1087 Kata
“Kau sudah bangun?” Rose mengerjapkan kelopak matanya karena cahaya silau yang memaksa masuk ke dalam retina coklat madu itu. Kemudian tatapannya beralih ke sosok yang duduk di sebelah ranjangnya. Rasa takut kembali menyeruak ke sudut hatinya kala matanya bersitatap dengan manik emerald milik Jovan. Ia masih bisa merasakan sekujur tubuhnya terasa remuk karena kegilaan yang dilakukan Jovan pagi tadi. “Sedang apa kau disini?” tanya Rose yang merasa heran karena Jovan berada di kamarnya. Karena sejak malam pernikahan mereka, Jovan telah berubah 360 derajat. Lelaki itu sama sekali tidak mau menyentuh Rose sedikitpun. Mereka pun tidur di ranjang yang terpisah dan jaraknya jauh. Jadi saat melihat Jovan berada di kamarnya tentu membuat Rose heran. Jovan menatap wanita malang di depannya. Dapat ia lihat banyak bekas luka yang ia torehkan di tubuh mungil itu. Terbesit rasa bersalah di hatinya namun segera ia tepis. Baginya, tidak ada kata maaf bagi orang yang sudah mengambil kebahagiaannya. Dan sayangnya, Roseline adalah orang yang harus bertanggung jawab atas semua ini. “Aku hanya ingin memastikan kalau kau masih hidup. Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan cepat, Rose. Akan ku buat hidupmu seperti di neraka dengan penderitaan yang abadi,” tukas Jovan dengan tajam. Hati Rose mencelos kala mendengar ucapan Jovan yang terasa seperti belati. Begitu menyakitkan menusuk ke dalam relung hatinya. Seharusnya ia sadar, kalau Jovan tidak akan sebaik itu hanya untuk menanyakan keadaannya. Harusnya ia sadar kalau Jovan yang ada di depannya bukanlah Jovan yang dulu mencintainya. Seharusnya ia tidak perlu berharap apapun. “Aku baik-baik saja,” lirih Rose. Wanita itu bergerak sedikit menjauh dari Jovan. Lelaki itu melirik, ia bisa merasakan perasaan takut yang dimiliki Rose. “Aku sedang tidak ingin menyakitimu. Tenanglah,” ucapnya pelan. Rose mengangguk patuh. Hatinya sedikit menghangat karena Jovan tidak berniat menyakitinya. Setidaknya untuk saat ini. Jovan menegakkan punggungnya, kembali menatap beberapa luka di tubuh wanita itu. Terlintas pertanyaan, mengapa wanita itu masih bertahan? Kenapa wanita itu masih mau berada disisinya? Padahal Rose bisa saja melarikan diri dari rumah ini dan melaporkan segala tindakan yang dilakukan Jovan. Tapi lagi-lagi, kenapa wanita itu hanya diam saja dan pasrah menerima semuanya? “Kenapa kau masih bertahan disini?” Jovan berbisik. Meskipun terbawa angin, suaranya terdengar jelas di pendengaran Rose. Namun Rose bungkam. Berulang kali Jovan menanyakan hal yang sama dan ia juga sudah menjawabnya. Karena bagi Jovan, alasan Rose bertahan di sini sangatlah konyol. “Kau sudah tahu jawabannya,” ujar Rose. Wanita itu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Tak sanggup jika harus bersitatap dengan manik milik Jovan. Jovan mendesis pelan. Ia tahu apa maksud Rose. Ia tahu apa jawaban Rose ketika ia bertanya soal ini. Tapi Jovan adalah manusia yang penuh dengan logika dan kerealistisan. Jadi menurut pandangannya, tidak ada wanita yang sanggup bertahan meskipun tersakiti. Kalaupun ada, maka itu adalah wanita bodoh. Dan Rose adalah satu-satunya wanita bodoh yang pernah ia temui. “Apa tidak ada jawaban yang lain?” tanya Jovan lagi. Rose menggeleng pelan. “Tidak ada. Karena aku mencintaimu. Itulah alasan mengapa aku masih bertahan sampai sekarang.” “Bodoh,” ejek Jovan diiringi dengusan kasar. Rose tersenyum tipis. Bodoh? Iya. Dia akui kalau dia memang wanita yang bodoh. Rela tersakiti asalkan ia bersama Jovan. Karena dalam hidupnya, Jovan adalah satu-satunya orang yang ia sayangi. Ibu dan ayahnya yang telah lama tiada membuat Rose tidak lagi mendapatkan kasih sayang. Dan di waktu yang tepat, saat itu Jovan datang dengan segala kasih sayang yang lelaki itu berikan. Membuat Rose jatuh cinta begitu dalam dengan lelaki itu. Perasaannya tidak akan pernah hilang bagaimanapun sikap Jovan terhadapnya. “Jika kau memang mencintaiku...” jovan menatap dalam ke netra cokelat madu milik Rose. *** “Aku memperkosanya.” Seorang lelaki yang sedang menyesap jus jeruk hampir saja menyemburkan airnya keluar saat mendengar ucapan orang yang duduk di depannya. Kedua matanya menatap penasaran serta tak percaya. “Siapa? Apa kau sudah menjelma menjadi seorang b******n yang memperkosa gadis? Dimana hati nuranimu? Hah?!” cecarnya dengan tatapan sengit. Ia tak percaya dengan apa yang telah dilakukan oleh temannya itu. Karena yang ia tahu, temannya adalah orang yang sangat menyayangi dan memuliakan wanita. Jadi begitu mendengar kabar itu, tentu ia terkejut. “Roseline,” ujar Jovan dengan tatapan datar. “Hah?” otak Regan mendadak menjadi buntu saat mendengar perkataan Jovan. “Maksudmu, kau memperkosa Roseline?” lanjutnya lagi. Jovan mengangguk pelan. Regan hampir saja tertawa saat mendengar ucapan Jovan kalau saja lelaki di depannya itu menatapnya dengan tajam dan serius. Regan pun terpaksa menelan kembali rasa ingin tertawanya daripada harus dijadikan samsak oleh Jovan. “Rose itu istrimu, Jo. Tidak ada istilahnya suami memperkosa istri karena itu adalah hal yang memang semestinya dilakukan,” ujar Regan. Pagi ini, ia cukup di kejutkan dengan kedatangan Jovan di rumah sakit tempat ia bekerja. Biasanya Jovan adalah orang yang super sibuk dengan pekerjaan. Hanya karena ingin menyampaikan berita konyol itu, Jovan sampai rela mendatanginya. Regan adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana kondisi rumah tangga Jovan. Bagaimana perlakuan yang Jovan berikan untuk Rose. Regan iba tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menasehati Jovan meskipun tidak pernah di dengar. “Rose tidak pantas menerima semua ini, Jovan.” Regan berujar memecahkan keheningan yang tercipta. Jovan pun langsung menatapnya tajam, tak setuju dengan ucapan Regan. “Dia pantas menerima semuanya,” balasnya dengan penuh penekanan. Regan mendengus pelan. Lelaki itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah jendela kaca. Menatap gedung-gedung tinggi yang ada di sana. “Apa menurutmu orang yang tidak bersalah pantas diperlakukan seperti itu?” tanyanya lagi. “Tapi dia adalah orang yang berkaitan dengan itu semua,” tukas Jovan. “Bukan dia yang melakukannya,” tekan Regan lagi. Lelaki itu sudah cukup sering memberitahu Jovan kalau apa yang dilakukannya itu sama sekali tidak benar. Namun Jovan sangat keras kepala. Dendam yang ada di hatinya sudah membutakan mata serta akal sehatnya. Jovan tidak lagi menjawab. Ia tahu Regan sangat menentang segala perlakuan Jovan kepada Rose. Maka dari itu ia memilih diam. Berdebat dengan Regan sama saja membuang waktu. “Berikan aku barang itu,” ujar Jovan. Regan menghela nafasnya pasrah karena Jovan masih tidak mau mendengarkannya dan berjalan menuju laci obat. Mengambil satu botol kecil berisi pil berwarna kuning. Kemudian memberikannya kepada Jovan. Jovan segera mengantonginya. “Aku tahu kau mencintainya,” kata Regan. Jovan menaikkan pandangannya mendengar ucapan Regan. Menatap wajah temannya itu dengan sinis. “Kau sendiri tahu siapa wanita yang sangat aku cintai. Jadi berhenti berpikir kalau aku mencintai jalang sialan itu,” tukas Jovan kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan kerja Regan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN