Five

1528 Kata
"Liburan? Kenapa tiba-tiba?" Galuh yang tengah menyeruput coklat hangatnya, menatap sang Ayah yang duduk berhadapan dengannya dan Galih. "Bukan tiba-tiba, Yah. Kan Ayah tahu, kalau aku memang ada rencana buat liburan tapi haris ditunda sementara waktu karena ada projek khusus. Ternyata, Abang juga berencana mau liburan, makanya aku pikir kenapa kita enggak liburan keluarga aja sekalian? Kan sudah lama kita enggak liburan." Ayahnya tampak gamang, tangannya memutar mie di dalam piring makannya. "Ayah mau sih, tapi kan izin liburnya agak susah. Apalagi buat liburan begitu." "Yah.. Ayah kan bisa cuti. Enggak harus sampai selesai liburan bareng kita kok, kalau memang Ayah enggak bisa libur lama, Ayah bisa ikut kita tiga hari saja." "Iya, Yah. Lagian kan enggak setiap saat kita bisa liburan. Mumpung ada kesempatannya, jadi bagus kalau kita bertiga liburan bareng." Ayahnya mereka tersenyum. "Memangnya kalian enggak liburan bareng sama pacar-pacar kalian? Kok malah ngajak nya Ayah sih?" Galuh dan Galih saling pandang, kemudian mendengus. "Kalau aku sih, bakalan ajak pacarku juga nanti, Yah. Tapi kalau Galuh kan, memang jomblo dia." Bibir Galuh langsung cemberut mendengar ucapan Abangnya. "Memangnya kenapa kalau akhirnya jomblo? Kan aku jadi bisa bareng Ayah pas liburan nanti!" Lalu tatapan nya kembali ke arah sang Ayah yang hanya terkikik mendengar perkelahian kecil dua anaknya. "Ayah mau kan, ikut liburan?" Dengan senyum kecil, Ayah mereka mengangguk. "Tapi kayaknya Ayah cuma bisa pas liburan semester aja deh. Itu pun paling enggak lebih dari tiga atau empat hari." Galuh langsung bersorak senang. "Aku yang akan pesan tiketnya buat Ayah!" katanya semangat. "Abang juga dibayarin kan?" "Enak aja! Aku cuma mau bayarin Ayah," tolak Galuh. Ayahnya tertawa. Tangannya terulur mengusap kepala Galuh dengan sayang. "Anak bungsu Ayah sudah besar. sudah bisa cari uang sendiri bahkan bayarin Ayah liburan. Bangga banget rasanya." Mendengar Ayahnya yang memuji, Galuh langsung menunduk malu. Awalnya dia juga menulis hanya untuk iseng, sekedar menyalurkan hobi. Lalu saat dia mulai mendapatkan uang dari menulisnya, dia mulai berpikir bahwa menulis bisa memberikan dia uang jajan untuk dirinya sendiri. Dan kemudian saat karyanya cukup laris di pasaran dan dia mendapatkan banyak uang, dia mulai merasa bahwa hasilnya menulis bisa membantu untung meringankan beban Ayahnya, karena Galuh tidak perlu lagi mendapatkan uang dari Ayahnya sebagai uang bulanan. "Ya kan, Yah? Galih juga berpikir begitu. Ngeliat dia udah bisa nyari uang sendiri, rasanya agak sedih. Gimana nanti kalau dia udah punya pacar dan menikah? Rasanya Galih bisa nangis ratusan kali dalam sehari." Galuh menatap sebal pada Abangnya. "Jangan lebay! Yang ada juga Abang yang akan nikah duluan. Nantinya di rumah ini cuma tinggal aku sama Ayah, jadi aku enggak akan mau nikah. Aku akan disini saja, bareng sama Ayah." Padahal Galuh tidak begitu serius saat mengatakannya, namun Ayahnya tampak sangat terkejut. "Nak, kenapa bilang begitu? Ayah ini sudah tua, enggak apa-apa kalau Ayah sendirian. Kamu itu harus menikah, dalam agama kita menikah itu juga kewajiban." "Iya, Gal. Kenapa kamu ngomong begitu sih? Pamali! Kamu itu perempuan, harus menikah. Kalau kamu khawatir Ayah akan sendirian kalau kita berdua menikah, biar nanti Abang yang tetap tinggal disini." Galuh mengerjap, menatap Ayahnya dan Kakaknya secara bergantian. Kenapa jadi begini? Padahal dia tidak serius dengan ucapannya. "Enggak boleh, Galih juga enggak boleh tertahan di rumah ini cuma karena mengkhawatirkan Ayah. Seorang menantu enggak akan nyaman tinggal dengan Mertuanya. Ibu kalian juga dulu begitu, dia meminta agar kami mengontrak rumah saja karena enggak cocok dengan Kakak Ayah waktu itu. Jadi jangan biarkan ada wanita lain yang merasakan hal yang sama dengan Ibu kalian. Kalian cukup datang kesini setiap minggu kalau menikah nanti." Galuh cemberut, dia langsung menghabiskan coklat panas yang masih tersisa di dalam mug nya. "Apaan sih? Lagian aku juga nikahnya masih lama. Jadi buat apa bahas itu dengan serius sekarang?" Setelah mengatakan itu, Galuh langsung bangun dari duduknya dan berjalan ke arah kamar. Meninggalkan Ayah dan Abangnya yang hanya bisa menggelengkan kepala takjub. * "Kamu masih datang ke panti asuhan setiap minggu? Apa kamu enggak ngerasa itu hal yang sia-sia saja? Memang apa untungnya pergi ke sana?" Geoffrey baru saja hendak keluar bertemu dengan Neneknya, saat dia mendengar teguran dari Kakak pertamanya. Meskipun begitu, Geo masih tersenyum saat dia berbalik badan dan bertatapan dengan kakak perempuan nya itu. "Aku enggak cari keuntungan dari mengunjungi panti asuhan, Kak. Aku hanya senang berada di sana." Kakak perempuan nya itu menyeringai. "Karena kamu merasa senasib dengan mereka?" Tabah dan sabar adalah kunci Geo masih bisa hidup waras selama ini. Kali ini pun sama. Dia hanya tersenyum saat mendengar ucapan dari kakaknya itu. "Mungkin? Yang jelas di sana bisa bikin aku lebih tenang, daripada disini." Tidak memperdulikan wajah kakaknya yang terlihat marah, Geo lekas menghampiri mobil miliknya. Mobil ini memang keluaran lama, hadiah ulang tahun dari Kakeknya. Geo sangat menyayangi mobil ini lebih daripada apapun, sehingga saat Ayahnya menawari dia untuk menukar mobil dengan yang baru, Geo menolak. Perjalanannya terasa sama saja meskipun dihimpit macet yang tiada habisnya. Alat bantu dengan masih menempel di telinga, memastikan dia bisa aman berkendara di jalanan tanpa menyebabkan kecelakaan karena tidak berhasil mendengar klakson dari pengguna lain. Geoffrey bukan lahir dengan kecacatan itu. Dia adalah bayi normal seperti yang lainnya. Tapi sebuah kecelakaan merenggut pendengarannya, dan juga merenggut hal lain yang juga sangat berharga baginya. Puluhan menit kemudian, dia tiba di sebuah rumah bernuansa jaman dulu dengan halaman depan yang luas, ditumbuhi dua pohon besar. Belum juga kakinya turun dari mobil, senyumnya sudah terukir saat wanita tua cantik sudah menunggunya di depan pintu. "Cucuku!" Geo lekas berlari, memeluk tubuh renta neneknya tercinta. "Bagaimana bisa kamu rutin datang ke panti asuhan tapi enggak rutin jengukin Nenek?" Neneknya mengeluh, membuat Geo semakin erat memeluknya. "Mana mungkin saya melupakan Nenek. Bukannya saya setiap minggu selalu kesini?" Pelukan mereka terurai, Neneknya menatap wajahnya lurus-lurus. "Jika kamu mengunjungi panti asuhan satu minggu sekali, maka seharusnya kamu datang menjenguk Nenek tiga kali dalam seminggu." Tertawa, Geo langsung mengangguk. "Tolong Nenek yang bilang sendiri ke Papi supaya saya bisa bolos kerja tiga hari dalam seminggu buat jenguk Nenek." "Huh! Mana bisa? Yang ada Papi kamu itu akan mengomeli Nenek." Lagi, Geo tersenyum. Dia menggandeng tangan Neneknya untuk masuk ke dalam rumah. Rumah masa kecil Geo, dimana dia lebih sering menghabiskan waktu disini karena kedua orang tuanya yang aktif bekerja di kantor. Bukan berarti Papi dan Maminya tidak perduli, justru mereka adalah orang tua terbaik yang Geo tahu. Hanya saja saat itu perusahaan milik Ayahnya belum sebesar sekarang sehingga mereka harus bekerja lebih keras dari yang lain untuk bisa memajukan perusahaan mereka. "Kamu tahu, kemarin Gabriel datang kemari?" Saat nama kedua Geo disebut, wajah Geo langsung berubah ekspresi. "Dia membujuk Nenek lagi?" Neneknya mengangguk pelan. "Padahal Nenek sudah bilang bahwa semuanya sudah Nenek serahkan ke Papi kalian. Tapi dia masih saja bersikeras karena berpikir Nenek yang bisa mengubah keputusan Papi kalian." "Biarkan saja, Nek. Dia maupun Kakak enggak akan bisa merasa puas kalau belum mencapai apa yang mereka inginkan. Sebisa mungkin, lebih baik Nenek tidak terlalu keras pada mereka karena mereka bisa melakukan apa saja kepada siapapun." Mendengar ucapan Geo, Neneknya langsung memegangi tangan Geo dengan lembut. "Apa mereka masih bersikap kasar sama kamu? Seperti yang mereka lakukan berbulan-bulan lalu?" Meneguk ludah, Geo kemudian menggeleng. "Tidak ada." Lalu dia lekas meninggalkan Neneknya dan menghampiri dapur. "Jadi kita akan masak apa hari ini? Hmm.. Kalau dari bahan yang terlihat disini, sepertinya tumis kacang panjang dan Rolade?" Neneknya datang menghampiri. Tangannya merangkul pundak Geo. "Tentu, makanan kesukaan kamu." Senyum Geo bertambah lebar. Ini adalah aktivitas kesukaannya setiap minggu, memasak bersama dengan Neneknya. Neneknya adalah wanita yang hangat dan penyayang namun harus kehilangan sumber kasih sayangnya, yaitu Kakek Geo yang meninggal dua tahun silam. semenjak ditinggal pergi belahan jiwanya, Sang Nenek memutuskan untuk tetap tinggal di rumah yang dulunya ia tempati bersama Sang suami. Neneknya menolak untuk ikut tinggal bersama anak-anaknya yang lain. "Kalau seandainya kamu enggak nyaman, usahakan untuk menjaga jarak dari kakak-kakak ku. Hubungan darah tidak bisa bohong, Geo. Walaupun sejak kecil kalian sudah tinggal bersama di rumah besar, tapi pada kenyataannya mereka bukan lah kakak kandung kamu. Jadi mereka enggak akan berpikir panjang buat nyakitin kamu, kayak apa yang pernah mereka lakukan." Gerakan tangan Geo yang sedang memotong kacang panjang, langsung terhenti. Padahal dia datang hanya untuk bersenang-senang bersama dengan Neneknya, tapi rupanya Sang Nenek masih saja merasa khawatir padanya. "Saya bisa jaga diri, Nek. Kejadian yang lalu, itu karena saya yang lalai. Ke depannya enggak akan ada kejadian seperti itu lagi, jadi Nenek enggak perlu khawatir." Meskipun sudah berkata demikian, nyatanya Geo sendiri masih merasa waspada dan was-was. Masalah ini bukan lah masalah kecil yang bisa dia hadapi dengan mudah. Lawannya adalah saudaranya sendiri yang memiliki koneksi yang lebih banyak daripada dirinya. Sedangkan Geo yang lama terperangkap dalam trauma masa lalunya, pernah kehilangan banyak kekuatan sehingga kini dia harus membangun kembali kekuatannya demi bisa bertahan. "Beritahu apapun yang terjadi sama Papi kamu. Jangan kamu sembunyikan seperti yang biasa terjadi. Kami disini enggak akan membiarkan kamu mengalami kejadian buruk lagi, jadi kamu jangan merasa sendirian. Apa kamu mengerti?" Memeluk pundak Neneknya, Geo mengangguk dalam pelukan itu. "Saya mengerti, Nek. Saya akan ingat bahwa banyak orang yang ada di pihak saya, maka saya enggak akan takut lagi." Setidaknya, kini dia bisa lebih kuat daripada dirinya yang dulu. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN