DUA

3288 Kata
Sofa lembut berwarna coklat muda berhiaskan kain putih bercorak anyaman timbul berwarna merah memunculkan bentuk bunga disekeliling memenuhi setiap sudutnya seperti sebuah bingkai yang melindungi timbulan-timbulan bunga unik di tengah-tengahnya. Aku menyandarkan kepalaku tepat diatasnya, rasa rileks menyelimuti seluruh tubuhku. Sesekali aku menyesapi air jeruk hangatku pada cangkir bening memperlihatkan air jeruk hangat yang masih penuh karena baru dua kali aku menegaknya secara perlahan. “Kau sudah pulang Naruto-kun.” Kata Hinata yang berjalan perlahan mendekatiku, tangan kanannya mengelus-elus perutnya yang sudah membuncit, sementara tangan kirinya memegangi punggungnya. Ia berusaha berdiri sedikit tegak walaupun terlihat susah karena beban yang ia bawa bertambah pada bagian perutnya. Aku menatap Hinata mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Degup jantungku mulai timbul-membuatku sedikit nervous. Aku tak paham apa yang membuat Hinata semakin cantik. Aku setuju dengan tatapan mataku yang terkadang sembrono untuk menganalisa sesuatu. Semakin hari dengan bertambah besarnya perut Hinata, kecantikan yang ia miliki semakin bertambah. Apa lagi Hinata sekarang berpenampilan sedikit berbeda dan tidak seperti biasanya, seminggu yang lalu ia memutuskan untuk memotong rambutnya sebahu-alasannya ia tidak ingin merasa ribet karena rambutnya yang telah panjang menjuntai melebihi punggungnya. Sejujurnya aku sedikit keberatan dengan keputusan Hinata untuk memotong rambutnya, akan tetapi kalau hasilnya seperti sekarang lain lagi ceritanya. Aku sangat menyukainya. Aku berdiri antusias, rasa capek yang awalnya mengalir pada tubuhku mendadak menghilang setelah aku melihat istriku bersama dengan buah hatiku yang masih dalam kandungannya berjalan perlahan mendekatiku, aku menjemputnya dan meraih tubuhnya, setidaknya aku bisa membopongnya untuk mengurangi beban berat yang ia bawa-meskipun aku tahu tindakanku itu tidak mungkin bisa mengurangi beban yang ia bawa. Aku penasaran bagaimana rasanya jika menjadi perempuan dan hamil seperti Hinata. Bibirku melebar membentuk senyuman, aku bergidik geli membayangkan jikalau aku hamil. Hinata menatapku penasaran “Kau kenapa Naruto-kun?.” Tanyanya sembari jemari lentik Hinata menyentuh wajahku lembut. Aku menggeleng dan tertawa kecil “Tidak, aku hanya teringat akan hal lucu.” Jawabku sedikit menggantung. Kedua alis matanya bertaut menjadi satu “Apa itu.” Tanyanya penasaran. Aku hanya menggeleng-malu juga aku mengatakannya pada Hinata. Rasa nyeri menyerang lenganku, Hinata memberiku hadiah sebuah cubitan kecil padaku. Aku meringis kesakitan karenanya. “Hinataaa…” Keluhku. “Salahnya diam tak mau memberitahuku.” Jawabnya kecewa. Aku tertawa dibuatnya. Kami berdua duduk disofa, Hinata menatap perutnya yang sudah membuncit. “Aku akan mengambilkanmu minuman dan cemilan yahh.” Sahutku seraya berdiri. Hinata meraih tanganku “Tidak usah Naruto-kun, aku sudah makan tadi.” “Hinata tidak lapar lagi?.” Tanyaku padanya, Hinata menggelengkan kepalanya memberikan sebuah jawaban padaku. Ggrrooowwwlllll…. Aku membeku, Hinata terdiam di tempat, kecuali wajahnya yang berubah merah padam menandakan ia malu. Aku tertawa “Akan aku ambilkan makanan untukmu.” Kataku sembari ke belakang mengambil beberapa makanan. Aku membuka lemari es, menatap seluruh isi di dalamnya. Aku mengambil satu cup es krim strawberry kesukaan Hinata, aku berbalik untuk mencari sebuah nampan. Aku beranjak mengambil nampan almunium berukuran sedang. Aku menaruh se-cup es krim, segelas s**u murni, dan beberapa buah. Segera aku kembali ke tempat dimana Hinata telah menungguku. Hinata mengalihkan pandangannya pada setelah ia mendengar langkah kakiku, aku tersenyum dan meletakkan nampan yang aku bawa dari dapur ke meja di depan Hinata. Aku meraih gelas panjang yng penuh dengan cairan putih segar. Hinata menerima dengan kedua tangannya, ia segera menegak isi dari gelas itu sampai tertinggal separuh saja, ia mengembalikan lagi gelasnya padaku. “Kau ingin aku kupaskan buah atau mau makan es krim atau ada juga biskuit disini.” Tanyaku menjabarkan apa yang aku bawa. “Kau membawa semuanya Naruto-kun.” Tanyanya. Aku mengangguk “Iyaa, siapa tahu Hinata ingin memakan semuanya.” “Seperti aku manusia yang rakus saja.” Ceplosnya menatapku sedikit sinis. “Bukan kau yang rakus, tapi disini ada bocah yang mudah lapar.” Kataku sembari aku meletakkan tanganku di perut Hinata. Sebuah gerakan menyambut tanganku yang menyentuh permukaan perut Hinata. Hinata sedikit meringis. “Bayinya menendang.” Seruku takjub, tanganku bergerak seiring dengan perut Hinata yang juga menonjol-nonjol hilang timbul akibat janin di rahimnya bergerak begitu keras. “Semangat sekali kau sayang di dalam sana. Apa yang sedang kau mainkan? Sampai-sampai tangan Ayahmu kau tendang-tendang seperti ini.” Kataku mengajak bayiku berbicara. Tendangannya semakin keras, perut Hinata bergerak seperti ombak berpindah-pindah dari atas sampai ke perut bawah. Sesekali Hinata menarik dan meghembuskannya panjang, aku meliriknya-aku merasa Hinata sedikit menahan rasa sakit. “Kau tak apa Hinata?.” Tanyaku khawatir. Ia menggelengkan kepalanya “Tidak, aku hanya takjub saja. Si kecil aktif sekali bergerak saat kau menyentuh perutku, Naruto-kun.” Jawabnya tersenyum. “Sepertinya dia ingin mengajakku bermain Hinata.” Seruku girang, aku tak menyangka bisa seantusias ini pada kehamilan Hinata, ini memang kehamilan pertama bagi keluarga Uzumaki tentunya. Hinata tertawa renyah “Pastinya dia ingin mengajak Naruto-kun bermain, lihat saja saat Naruto-kun memegang perutku, dia akan langsung meresponnya.” Imbuh Hinata setuju. Aku membungkukkan tubuhku, sekilas aku mencium perut Hinata dan mengelusnya lagi, dan gelombang seperti ombak pun muncul lagi seiring dengan lamanya tanganku menyentuh tangan Hinata. “Hampir 7 bulan kau mengandung Hinata.” Sahutku. Hinata tertawa “Kau benar, aku merasakan banyak keajaiban selama aku mengandung.” Jawabnya sambil membayangkan kenangan dimasa lalu. Sebelah alisku terangkat tinggi “Keajaiban??.” Tanyaku penasaran. Hinata mengambil nafas panjang ditengah-tengah aku menunggu jawaban Hinata “Naruto-kun, bisakah tanganmu kau tarik dari perutku. Aku ingin istirahat sebentar.” Cetusnya sedikit meringis. Aku segera menarik tanganku menjauhi perut Hinata. Tak lama gelombang ombak menonjol-nonjol diperut Hinata pun hilang. Hinata menarik nafas panjang, ia berusaha merilekskan dirinya. Aku memandang perut Hinata yang nampak sudah tenang “Dia sepertinya sudah kembali tidur.” Ceplosku memandangi perutnya. Hinata mengangguk setuju “Dia tenang dan bergerak lembut saat Naruto-kun tidak mengelus perutku. Tapi, saat Naruto-kun menyntuhnya dia jadi sangat aktif sekali bergerak. Aku merasa perutku seperti ada yang mengaduk-aduk dari dalam.” Celetuknya mengelus-ngelus lembut perutnya yang membesar. “Aku akan berhati-hati lagi saat menyentuhnya.” Kataku. Hinata beralih menatapku secepat kilat “Jangan begitu, jika kau ingin menyentuhnya tak apa, lakukan saja.” Sergahnya, tanganku sontak ia pegang. Hinata menatapku dengan tatapan seriusnya. “Tapi, aku tak mau kau menahan rasa sakit seperti tadi.” Hinata tertawa “Aku tak apa Naruto-kun, asal dia sehat dan bergerak aktif seperti tadi itu tak masalah bagiku.” Aku tersenyum “Baiklah, tapi nanti jika Hinata ingin istirahat atau kesakitan jangan ragu untuk memanggilku atau memegang tanganku seperti tadi yah. Sebisa mungkin aku akan berusaha membantu meskipun hal yang aku lakukan hanya mampu mengurangi sedikit apa yang dirasakan Hinata.” Jawabku meyakinkan disambut anggukan oleh Hinata. “Ahhh, Mau es krim?.” Tanyaku teringat akan nampan yang aku bawa. “Tentu!” “Makan es krim yang banyak biar nanti bayinya bisa tumbuh besar.” “Aku tidak mau makan terlalu banyak es krim, setidaknya setelah usia kandunganku sudah 7 bulan. Aku akan menyeleksi sendiri makananku, aku tak mau ada hambatan saat kelahirannya karena beratnya melebihi batas.” Aku mengangguk “Aku paham, setidaknya makan es krim yang banyak untuk sekarang ini, dia butuh asupan asam folat untuk pertumbuhannya.” Jawabku. Hinata menghela nafas “Aku takut dia terlalu besar nanti.” Aku terdiam “Makan satu cup saja satu hari.” Hinata meraih cup es krim, ia membuka penutupnya dan mulai menyendokkan sedikit demi sedikit es krim di dalamnya. “Aku akan mengupaskan apel untukmu.” Sahutku mengambil pisau kecil dan mulai mengupas buah apel merah, membentuknya seperti kelinci. “Naruto-kun tidak istirahat?.” Tanya Hinata. Aku masih fokus mengupas buah apel untuknya “Nanti saja.” “Tidak capek kah?, aku dengar besok Naruto-kun ada misi lagi.” Tanyanya lagi padaku. “Iyaa, misi biasa. Menurutku tidak begitu berat.” Jawabku santai, aku meletakkan pisau kecilnya kembali ke nampan. Aku meraih garpu dan membawa kupasan apel ke Hinata. Hinata langsung menyambut apel yang telah aku kupaskan untuknya, ia mengambil garpu kecil dan segera menusukkan ujung garpunya ke salah satu apel yng berukuran paling kecil, ia makan buah apel secara perlahan. Ia kembali menusukkan buah apel yang berukuran paling besar “Aaa…” Sahutnya sembari tangannya yang memegang garpu bersama apel yang tertusuk diujung garpu ke depan mulutku. Aku terdiam dan membuka mulutku lebar, ia menyuapkan buah apelnya padaku. Aku tersenyum disela-sela aku mengunyah dan menikmati dingin serta manis asamnya buah apel di dalam mulutku. ***___*** Setiap sudut ruangan berwarna putih, aku bisa menghitung berbagai warna diruangan ini jika aku melakukannya-aku heran mengapa ruangan pemeriksaan atau rumah sakit selalu identik dengan warna putih, setidaknya berilah sedikit corak warna lain untuk menghidupkan suasana. Berjejer troli berwarna coklat bermotif kayu disetiap sudut ruangan, mereka menyimpan setiap peralatan medis diatasnya sesuai dengan fungsinya masing-masing. Poster bergambar tubuh manusia dan aliran chakra menghiasi dinding putih kusam di ruangan ini, hanya di dalam poster inilah aku bisa menemui berbagai warna-tak banyak dan mereka dapat dihitung jumlahnya. Hinata keluar dari dalam toilet, aku menatapnya mulai beranjak berbaring di tempat pemeriksaan salah satu ruangan di rumah sakit konoha. Sakura keluar dari balik tirai putih, ia mengenakan seragam putih-putih, rambut pink sebahu ia ikat menjadi satu seperti ekor kuda di belakang, tak ketinggalan bandana merah yang menjadi ciri khas Sakura. “Umur kehamilan Hinata sudah 27 minggu, selama pemeriksaan aku tidak menjumpai adanya keluhan patologis yang dirasakan Hinata. Cuma Hinata khawatir ketika ia memperhatikan keadaan bayinya yang posisinya kini Sungsang.” Jelas Sakura membaca hasil pemeriksaan. “Posisinya bisa berubah kan?.” Tanya Hinata khawatir-aku malah ikutan khawatir. Sakura mengangguk “Tak apa, mengingat hamilnya masih berumur hampir ke 7 bulan, janin masih bisa bergerak mutar-mutar di dalam kandungan istilahnya berenang di dalam perut.” Jelas Sakura dengan mimik wajah sangat meyakinkan. “Berarti bisa kembali ke posisi normalkan?.” Tanyaku khawatir. Sakura mengangguk “Bisa, janinnya masih belum terlalu besar jadi masih bisa berubah-rubah posisi. Tapi, coba untuk rutin bersujud. Dengan melakukan rutinitas sujud akan membuat posisi janin kembali normal.” Jelas Sakura. Hinata menghela nafas “Sujud yah.” Sahutnya menatapku, aku terjingkat. “Memangnya kenapa Hinata?.” Tanya Sakura. “Bagaimana bisa aku melakukan rutinitas sujud seperti itu, sekali sujud pasti Naruto-kun menyerangku.” Sahut Hinata tertunduk, semburat merah di wajahnya menyeruak keluar. Sakura terdiam menatapku dengan ekspresi keheranan, aku kikuk dibuatnya. “Aku tak menyangka kau bisa se-agresif itu, Naruto.” Sahut Sakura menggelengkan kepalanya. “Apa boleh buat, aku kan laki-laki. Lagipula, lelaki mana yang tidak tergoda dengan istri mereka yang terkadang secara tak sengaja memasang posisi erotis??.” Elakku berusaha membela diri, aku tak tahu bagaimana rupa wajahku sekarang. Aku berdehem beberapa kali untuk menghilangkan rasa kikuk yang aku rasakan, aku tak menyangka istriku bisa berkata sejujur itu pada Sakura. Rona merah diwajah Hinata masih belum memudar, aku jadi teringat malam-malam saat aku bersama dengan Hinata. Setiap centi wajahnya benar-benar menandakan apa yang Hinata rasakan, ia sangat seksi saat itu dan tiba-tiba aku merasa h***y karenanya. Sakura berdehem dan kembali fokus “Boleh tahu, berapa kali kalian berdua berhubungan intim selama satu minggu?.” Tanya Sakura sedikit berbisik. Rasa panas menyerang wajahku, aku melirik Hinata, wajahnya mengisyaratkan bahwa ia merasakan apa yang aku rasakan. Sakura menatapku menunggu jawaban dengan tatapan seriusnya. “Satu minggu, 3-4 kali.” Jawabku singkat sembari menahan rasa malu. Sakura mengangkat sebelah alisnya “Tak perlu malu, aku sering mendengar hal seperti yang aku bahas bersama kalian berdua.” Jawabnya. Aku berdehem “Aku tahu, tapi tetap saja.” “Melakukan hubungan intim untuk usia kehamilan sekarang ini memang tak apa-apa, karena libido istri terjadi peningkatan. Berhubungan intim dilakukan bertujuan untuk membuka dan membantu pelebaran jalan lahir. Akan tetapi jangan terlalu sering dilakukan, sebisa mungkin lakukan coitus diluar dan jangan di dalam, dikarenakan bisa memicu kontraksi yang nantinya berdampak pada kelahiran bayi di usia kehamilan yang belum seharusnya. Saranku lakukan hubungan intim 1-2 kali dalam satu minggu” Jelas Sakura. Aku mengangguk paham “Kalau aku boleh tahu, dianjurkan atau tidak dianjurkan berhubungan intim itu saat memasuki usia kehamilan berapa?.” Sakura terdiam berfikir “Dianjurkan untuk tidak berhubungan intim dikarenakan bisa memicu abortus saat usia kehamilan masih awal-awal atau bisa disebut Triwulan pertama, sekitar 0 sampai 12 minggu. Minggu-minggu awal tidak diperkenankan karena janin masih rentan. Usia kehamilan 13 sampai 28 minggu itu memasuki Triwulan kedua, biasannya istri akan merasakan peningkatan libido disini dan terjadi peningkatan frekuensi dalam berhubungan intim, hal itu tak mengapa tapi jangan terlalu rutin karena dalam a******i laki-laki terkandung hormon yang bisa memicu kontraksi.” Jelas Sakura. “Aku akan hati-hati.” Kataku berjanji pada diri sendiri. “Nanti diakhir atau mendekati tanggal persalinan berhubungan sangat dianjurkan, rutin juga tak masalah asal hamilnya normal tanpa ada penghambat. Meskipun kebanyakan orang tidak nyaman melakukannya karena beban kandungan bertambah, belum lagi seringnya sakit pada punggung dan keluhan-keluhan lain yang menyertai sejalan dengan semakin dekatnya hari kelahiran. Makanya, aku sarankan nanti kalau sudah waktunya melahirkan jangan malas-malas berhubungan, karena bisa mempercepat persalinan.” Imbuh Sakura. “Aku mengerti.” Sahut Hinata kikuk. Aku terdiam dan merenung-awalnya membicarakan posisi janin di dalam kandungan Hinata yang sungsang, bisa berubah membicarakan persoalan hubungan intim. Aku hanya menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya. “Ingat, lebih berhati-hatilah Naruto.” Sahut Sakura memperingatkan sekali lagi. Aku mengangguk untuk kesekian kalinya. ***___*** Gemericik air yang mengalir ke dalam sebuah bambu yang sesekali menimbulkan dua kali ketukan jika bambu terisi penuh dengan air. Langit akan berubah gelap dalam beberapa menit lagi, meskipun kegelapan belum menguasai langit konoha, diantaranya langit keemasan sudah dipenuhi dengan taburan berjuta-juta diamond yang siap menghiasi kegelapan malam dengan cahaya terangnya, kemerlipnya yang kecil-kecil menambah suasana senja yang dingin menjadi lebih hangat, hangat dan hangat. Aku menarik nafas dalam, berusaha menikmati udara senja yang tak kalah segar dengan udara dimalam ataupun pagi hari sebelum matahari terbit dengan cahayanya yang mampu menelan gelapnya malam. Aku bisa merasakan aliran darah dalam tubuhku mengalir beraturan. “Santai sekali hidupmu Nak.” Suara menggelegar memecah kedamaian yang telah aku ciptakan di dalam tubuhku. “Diam, kau Kurama. Aku hanya ingin bersantai sejenak, jadi untuk kali ini jangan menggangguku. Kembalilah tidur.” Ucapku sedikit jengkel pada Kurama. Suara tawanya menggelegar “Sombong sekali kau bocah.” “Sekali-kali sombongkan tak masalah.” Jawabku tertawa. Kurama menatapku aneh, aku membiarkannya dan kembali berusaha rileks. “Naruto-kun..” Panggil Hinata dari belakangku. Aku menegakkan tubuhku dan menoleh pada Hinata, ia menyodorkan cangkir putih padaku, aku meraihnya. Aroma harum khas rempah-rempah menyambutku, air minum jahe hangat-setidaknya tubuhku akan hangat setelah meminumnya. “Kau tidak masuk Naruto-kun.” Tanya Hinata yang ikutan duduk di bangku tepat disamping bangku aku duduk. “Nanti saja, aku maih ingin disini.” Jawabku padanya. Hinata ikut duduk dan bersandar disampingku. Sekilas aku menatapnya tersenyum dan kembali menatap kearah langit senja, semburat warna gelap merah keemasan ditemani dengan kilauan permata malam membaur membentuk gradasi bermotif abstrak, garis awan putih berpinggiran emas akibat pantulan matahari terbenam menemani pemandangan senja hari kian terlihat mewah. Dalam hati aku tidak percaya, aku sudah melewati beberapa bulan menemani Hinata yang sedang mengandung buah hati hasil cinta kami berdua. Tanganku meraih puncak perutnya yang membesar dibalik kain setelan yang dikenakan Hinata, tepat tanganku menyentuh perutnya respon bayi di dalam perut mulai memperlihatkan aktivitasnya. Gelombang seperti ombak mulai terlihat disekitar jemari tanganku yang mengelus perut Hinata. Aku terkekeh dengan keaktifannya disaat aku menyentuhnya. Tak sabar aku melihat rupawan bayi yang ada dikandungan Hinata. Rasa hangat menyambut jemari tanganku, Hinata memegang tanganku, aku menatapnya menahan gejolak yang menyerangnya di dalam perut. Refleks aku mengangat tanganku “Maaf Hinata, kau pasti kesakitan.” Sahutku menyesal. Hinata menggeleng “Tak mengapa, aku tidak merasa kesakitan. Hanya sedikit kewalahan dengan gerakkannya yang sangat aktkf di dalam perutku.” “Aku tak tahu kenapa dia sangat aktif saat aku menyentuhnya.” Hinata tersenyum “Itu artinya dia menyukaimu Naruto-kun, otomatis dia meresponnya karena kau ayahnya.” Jawab Hinata, tangannya membelai wajahku lembut. “Aku sangat bahagia kau menjadi istriku sekarang dan juga menjadi ibu dari anak-anakku setelah si kecil ini lahir di dunia.” Kataku disela-sela aku mencium puncak gundukan perut Hinata. Tak lama gelombang ombak muncul kembali di perut Hinata-sebegitu cintanya si kecil padaku, rasa kagum terus menerus menerpaku. “Dia nanti laki-laki atau perempuan yah?.” Tanyaku menebak-nebak. Hinata tertawa “Menurutmu Naruto-kun?.” Tanya Hinata masih dalam gelak tawanya. Kedua alisku menaut “Kalau dari reaksi gerakannya yang sedikit liar. Entah kenapa aku berpikir kalau dia laki-laki.” Jawabku sedikit menganalisa. Kedua tangan Hinata meraih wajahku tepat dipipi, ia menarikku dan menciumku sekilas “Tepat sekali Naruto-kun.” Katanya berbisik. Aku terperangah “Beneran laki-laki??.” Tanyaku tak percaya. Hinata sumringah, ia mengangguk semangat. Aku kembali terheran “Tapi, bagaimana kau mengetahuinya Hinata.” Tanyaku penasaran, aku menatap kedua matanya dalam untuk mencari jawabannya sendiri. “Naruto-kun….” “Aku tahu, kau melihatnya dengan mata Byakugan. Aku sampai lupa kemampuan mata Byakugan bisa melihat sesuatu sampai 360 derajat lebih baik dari mata manusia biasa.” Kataku menghela nafas, mendadak moodku berubah muram. “Kau kenapa Naruto-kun?.” Tanya Hinata khawatir melihat perubahan emosiku. “Aku hanya sedikit iri dengan kemampuan mata itu. Setidaknya Hinata bisa mengerti bagaimana rupawan buah hati kita di dalam sini.” Jawabku sambil mengelus perutnya-tanganku kembali merasakan gelombang gerakan yang ditimbulkan oleh buah hati kami. “Ada saatnya Naruto-kun bisa melihatnya. Nanti saat dia lahir di dunia ini, kau lah yang akan menatapnya untuk pertama kali.” Jawab Hinata menenangkan diriku. Aku mengangguk “Aku yang akan menggendong dan melihatnya untuk pertama kali saat dia sudah lahir di dunia ini.” Kataku meyakinkan. Hinata mengangguk “Aku yakin Naruto-kun bisa mendapatkan apa yang Naruto inginkan.” Aku sumringah, moodku perlahan kembali ceria. Aku mencium bibir Hinata sekilas dan beralih mencium perutnya yang membesar. Sontak Hinata berdiri perlahan, aku terdiam menatapnya. “Kenapa?.” Tanyaku sambil mengelus lembut perut Hinata. “Aku lupa, aku akan ke kamar dulu Naruto-kun. Aku ingin melakukan saran yang diberikan Sakura, ingat posisi buah hati kita masih sungsang.” Jawab Hinata sembari menatap perutnya dengan mata Byakugan, segera ia beralih menjauhiku menuju ke kamar. “Apa aku perlu membantu?.” Tanyaku mengikutinya dari belakang-aku benar-benar melupakan usahaku untuk bersantai menatap suasana senja langit konoha. Braakkkkkkkk…. Hinata menutup kasar pintu kamar kami-hampir hidungku patah karena menabrak keras pintu yang tiba-tiba ia tutup jika aku tidak menghentikan laju frekuensi cara berjalanku. “Hinata…” Seruku memanggilnya dan aku berusaha mengetuk pintu kamar yang ia kunci dari dalam kamar. Tak lama Hinata menyahut dari balik pintu tertutup “Maaf Naruto-kun, bukannya aku tidak suka. Tapi, aku takut saat aku melakukan gerakan sujud demi memperbaiki posisi janin yang sungsang kau tiba-tiba datang menusukku dari belakang, aku tidak mau hal itu terjadi.” Jawabnya dengan suara diawal keras menjadi pelan diakhir. Wajahku memanas, aku diam seribu bahasa mendengar istilah yang unik tapi terkesan aku adalah orang paling m***m sedunia. Aku tak bisa membalas perkataan yang Hinata lontarkan kepadaku-seagresif itukah aku?. Otakku terus menerus menanyakan hal yang sama berulang kali. “Aku akan mengunci diri dikamar sebentar Naruto-kun, tak lama. Aku hanya perlu setengah jam saja.” Sahutnya lagi. Aku terjingkat mendengar suara Hinata lagi “I.. Iyaa.. Aku paham.” Jawabku kikuk. Mataku menatap pintu yang terkunci dari dalam kamar, aku memutuskan untuk menyiapkan makan malam sembari menunggu Hinata melakukan aktivitas yang akan menjadi rutinitasnya. Setidaknya aku mempunyai waktu untuk melatih kemampuan memasakku yang aku peroleh darinya. Aku menatap tusuk sate yang tergeletak di meja porselen, diantara berjuta bahan makanan entah mengapa aku terfokus dengan tusuk sate yang masih bersih belum terpakai. Aku meraihnya dan mengangkatnya tinggi sejajar dengan wajahku. “Apa aku terlalu sering menusuk Hinata yah?.” Tanyaku di dalam keheningan-aku sadar sekarang ini otakku semakin lama semakin miring jika memikirkan perkataan Hinata yang mengandung banyak kata kiasan aneh. “Lagi-lagi tusuk.” Dumelku membuang tusuk sate ke sembarang tempat. Aku kembali fokus merangkai bahan-bahan makanan mentah menjadi sebuah hidangan yang pantas untuk disantap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN