SATU

2764 Kata
Dalam kegelapan malam, pendengaranku yang lumayan tajam menangkap beberapa suara selain suara yang ditimbulkan oleh istriku tercinta. Aku menyadari ini bukan malam pertama kami lagi, tapi setiap detiknya membuatku merasakan kenikmatan berlebih, seperti saat malam pertama kami berdua ketika tubuh kami menyatu-hanya rasa b*******h dan rasa ingin memeluk lebih kuat agar dia tidak lepas dari pelukanku. Aku mendekap erat istriku sayang, dia terbaring dalam tidurnya yang damai-aku bertaruh sekarang dia sudah tiba di alam mimpi indahnya. Desiran halus menyerangku saat kulit halusnya menyentuh kulitku, aku berusaha untuk mendinginkan otakku agar tidak mengganggunya tidur karena tubuhku mulai terangsang lagi untuk kesekian kalinya. Gerakan halus aku rasakan saat istriku sedikit menggeliat dan merubah posisi tidurnya yang tadinya membelakangiku, sekarang dia berbalik menghadapku. Aku membeku sejenak, menikmati pemandangan yang indah di depanku. Untuk kesekian kalinya aku menyadari, aku tidak sendirian lagi sekarang. Aku telah berkeluarga, senyumanku mengembang dengan lebarnya. Tanganku teraih membelai lembut poni rambutnya yang teracak berantakan, aku merasakan rambutnya sedikit lepek karena basah terkena keringat akibat panas tubuh kami berdua beradu. Sekilas aku mencium dahinya lembut, aku bersyukur bisa bersamanya. Aku meraih selimut tebal yang hanya menutupi tubuh kami berdua sebatas perut, aku menutupi tubuh Hinata sampai ke batas leher, aku menggeser tubuhku agar lebih dekat dengannya-aku ingin mendekapnya lebih erat lagi. Sekilas aku menatap kearah jendela, bulan purnama dengan sinarnya yang amat terang benderang menyerbu masuk menyinari kami berdua yang terbaring. Tak lama aku pun jatuh tertidur dan menyusul istriku ke alam mimpi indah kami berdua. ***____*** Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, perlahan aku membuka mataku. "Kau sudah bangun Naruto-kun." Sahutnya dari balik pintu. Aku menangkap sebagian tubuhnya menyembul dari balik pintu. Rambutnya terikat kebelakang seperti ekor kuda berkali-kali terayun akibat gerakan yang ia lakukan. "Pagi Hinata.." Sapaku sedikit tercekat karena nyawaku masih belum kembali sempurna. Langkah anggunnya mendekatiku, ia mencium sekilas bibirku, aku terpaku "Morning kiss..." Kata Hinata menjulurkan lidahnya, aku terperangah. Hinata lekas lari meninggalkanku sendirian dikamar lagi sebelum aku bertindak untuk membalasnya. Aku bertaruh wajahku merah sekarang, aku memegang kedua pipiku yang panas "Dia penuh dengan kejutan." Kataku takjub. Sudah empat bulan umur pernikahan kami berdua, aku tak menyangka banyak hal baru yang tak aku ketahui tentangnya. "Naruto-kun cepatlah berbenah diri, sarapan sudah aku siapkan." Kata Hinata dengan nada sedikit di tinggikan. Aku terjingkat "I.. Iyaaa, aku segera turun." Hinata mengangguk "Hinata..." Panggilku sebelum dia berbalik untuk kembali ke dapur. "Apa??" Tanya Hinata. "Terimakasih..." Kataku tersenyum. Hinata tersenyum dan menghilang di balik pintu. Aku beranjak dari tempat tidurku dengan sigap aku menarik setiap sudut kain sprai berwarna keunguan dengan motif lembut disetiap sentinya. Selimut tebal aku raih, satu gerakan cepat aku melipatnya dan menatanya rapi di tempat tidur. Aku berjalan keluar menuju ke dapur, melihat sekilas istriku Hinata yang fokus dengan pekerjaannya. "I Love you..." Bisikku dalam kesendirianku, aku segera ke kamar mandi. Aku menyentuh air hangat yang telah Hinata siapkan untukku, aku tak menyangka dia bisa menghendel semua pekerjaan di rumah ini. Aku berdiri menghadap kearah cermin yang tergantung memanjang ke bawah, memantulkan penuh bayangan tubuhku. "Sixpack, lengan sedikit berotot juga..." Kataku menilai tubuhku sendiri. "Ahhhh~~~ bodoh amat..." Cetusku mwngacuhkan bayangan di cermin dan mulai membersihkan diri. ***___*** Blamm... Bunyi yang ditimbulkan pintu kamr mandi saat tanganku menutupnya. Hinata menghambur dan menabrak tubuhku, ia membuka pintunya kasar. Aku terjingkat melihatnya, refleks aku mengikutinya dari belakang. "Hinata.." Panggilku menemui Hinata yang sudah menundukkan sedikit tubuhnya kearah wastafel, tangan kanan Hinata memegang perutnya dan tangan kirinya sibuk dengan air yang mengalir dari kran untuk ia gunakan membasuh mulutnya. Wajah Hinata pucat, aku memegang tekuknya dan sedikit memberikan masase untuk memperingan kondisi Hinata. Ia kembali mual dan memuntahkan isi perutnya. Dengan satu ayunan, aku menggendong tubuhnya yang mulai lemas ala bridal. "Kau sakit?." Tanyaku mulai khawatir. Hinata menggeleng "Entahlah, mendadak perutku mual." Aku merasakan degupan jantungku 'apa mungkin Hinata???' aku sedikit berharap pertanyaanku akan terjawab 'iya'. Aku membaringkan Hinata ke Sofa panjang yang lembut dan empuk, aku meraih bantal untuk membuatnya terasa nyaman berbaring disana. "Aku akan mengambil air gula hangat untukmu." Kataku. Hinata mengangguk "Naruto-kun." Panggil Hinata, aku berhenti dan menatapnya "Tolong ditambahkan jahe di dalamnya" Aku mengangguk "Iya.." "Kagebunshin no Jutsu" Seruku, dua bayangan muncul. "Kau jaga Hinata, dan kau panggil Sakura kesini, aku ingin meminta bantuannya mengobati Hinata." Titahku, bayanganku mengangguk dan menghambur mengerjakan tugas masing-masing. Tak lama aku membawa satu mug air jahe hangat untuknya, Hinata menyambutku, ia beranjak duduk bersandarkan bantal pada punggungnya, bunshinku membantunya. Aku duduk ditepi sofa dan menyodorkan mug perlahan dan membantu Hinata untuk meminumnya. "Bagaimana??" Tanyaku khawatir. "Mendingan Naruto-kun.." Jawabnya terdengar lemas. "Kau masuk angin??" Hinata menggeleng "Tidak sepertinya..." "Narutoooo..." Seru Sakura yang datang mendekati kami berdua. "Maaf membuatmu datang kesini." Kataku. Sakura menggelengkan kepalanya "Tidak apa-apa, coba aku lihat." Sahut Sakura menggeser posisiku duduk di samping Hinata. Aku menatap Sakura yang mulai beradu dengan chakranya. Ekspresinya semula serius dan khawatir berubah melembut dan senyum Sakura mengembang. "Hinata, selamat yah." Sahut Sakura memeluk Hinata. Aku kebingungan "Bagaimana Hinata, Sakura?" Tanyaku. Senyum Sakura makin melebar "Kau tak perlu khawatir Naruto, Hinata wajar mengalami Mual." Jelasnya tersenyum lebar. "Wajar bagaimana, wajahnya sampai pucat begitu." Sergah Naruto. "Jadi kau belum tahu." Tanya Sakura. Hinata terkekeh "Maaf, aku belum memberitahunya." Kata Hinata yang semakin membuatku penasaran apa yang terjadi. "Yang benar saja kalian berdua ini. Berikan aku penjelasan yang benar." Kataku memprotes. "Kau memang tidak pernah berubah Naruto, masih sama lamban seperti dulu, Hinata hamil. Usianya sudah 18 minggu." Kata Sakura yang berhasil membuatku membeku dan mematung di tempat. Hinata masih terdiam sesekali ia tersenyum padaku. "Kau hamil Hinata?." Tanyaku tak percaya. Hinata mengangguk "Iyaaa..." Sebuah bom meledak dari dalam tubuhku, aku merasa seluruh tubuhku seperti terserang aliran listrik bertegangan besar. Tanpa perintah dari otak, aku refleks merengkuh tubuh Hinata ke dalam pelukanku. Mendadak mataku terasa panas, tetesan bening air mata mengalir keluar dari pelupuk mataku, jatuh membasahi baju Hinata. "Naruto-kun..." "Selamat Hinata... Aku... Aku akan menjadi seorang ayah.." Seru Naruto. "Dan aku akan menjadi Ibu." Imbuh Hinata tampak sumringah. Sakura terkekeh melihat kami berdua "Selamat untuk kalian berdua yahh.." "Terimakasih" Ucap Hinata tertawa bahagia. "Naruto-kun, mulai sekarang jaga kondisi Hinata. Dengarkan semua keluhan dan apa yang dia mau." "Aku tak apa-apa Sakura.." Sela Hinata. "Aku tahu, kau sudah mendingan sekarang. Tapi, mulai kapan kau sudah mual-mual begini Hinata??." Hinata mengingat-ingat "Aku rasa sudah lama." Jawabnya dan aku terkejut. "Naruto, kau...." Ucap Sakura menggalak. Hinata cepat-cepat mengelaknya "Sakura-san jangan salahkan Naruto, aku memang menyembunyikan darinya, karena aku tak mau Naruto khawatir. Lagian banyak juga tugas dan misi dari Hokage keenam Kakashi. Jadi, aku tak mau merepotkannya selagi aku bisa menanganinya." Jawab Hinata. Aku duduk bersimpuh didepan Hinata, aku memegang erat kedua tangannya "Maafkan aku, aku sudah...." Ucapku menyesal. Hinata menggeleng "Tidak, aku yang salah, aku memang menyembunyikannya dari Naruto-kun, aku memang mencari kepastian bahwa aku memang hamil. Setiap hari aku juga memantaunya, dia ternyata berkembang." Kata Hinata memastikan. Aku membelalakan mataku "Memantaunya dengan byakugan??" Tanyaku. Hinata mengangguk. "Aku bersyukur aku bisa melihatnya." Celetuk Hinata tersenyum, aku menatapnya mengelus-elus puncak perutnya. "Matamu memang tajam Hinata." Sahut Sakura mengacungkan jempol. Sakura segera berjalan ke meja, ia mengambil bolpoin dan secarik kertas. "Apa itu?." Tanyaku penasaran dan kini sudah disamping Sakura menuliskan sebuah catatan. "Ini, aku membuat resep, aku memberikan Hinata obat dan vitamin untuknya dan janin yang ada ditubuhnya, nanti tembuslah ke Apotik Konoha Naruto." Aku mengangguk "Aku paham." "Hinata, kau tak perlu khawatir, ibu hamil memang mengalami apa yang kau alami termasuk aku juga. Setelah bangun tidur nanti upayakan jangan langsung bangun dan berdiri, perlahan saja dari rebahan kemudian duduklah sebentar, sambil duduk makanlah sesuatu camilan seperti kue kering dan juga jangan lupa minum s**u kalau Hinata suka dan tidak bertambah mual karena susu." Hinata mengangguk memahami "Kalau mual aku biasanya menyeduh jahe hangat." "Itu bagus, jahe bisa mengurangi atau meringankan rasa mualmu." "Aku akan menjaga kondisi Hinata." Sahutku pasti. "Memang itu yang harus kau lakukan." Ucap Sakura padaku. ***___*** Aku masih merasakan tanganku gemetaran, terkadang terasa seperti kesemutan. Berulang kali aku menghentak-hentakkan tanganku-setidaknya aku bisa mengurangi sedikit kesemutan yang terus melanda tanganku. Rasanya ada sesuatu yang selalu ingin melambung dari dalam tubuhku, aku menyadari apa itu. Tak bisa terbayangan jika aku sudah menyandang gelar "Calon Ayah" aku berani membayangkan di setiap kehidupanku kali ini bakal akan terasa ramai. Aku menatap perut Hinata yang kini terbaring tidur di sofa, aku menyuruhnya istirahat. Tak tega melihatnya mengurus rumah sedangkan rasa mualnya terkadang masih muncul. Sakura memberiku beberapa tanaman herbal untuk mengurangi keluhan Hinata. Sepanjang hari aku menggantikan Hinata untuk menghendel pekerjaannya, ia sempat menolaknya-yah karena aku menolaknya jadi dia terpaksa menuruti apa kemauanku. Rasa capek menghantamku, aku tak menyangka pekerjaan Ibu Rumah Tangga bisa secapek ini-apa Ibu dulu juga merasakan hal yang sama denganku. Rasa kagum meluap-luap di dalam diriku. Aku mengubah posisiku tidurku, gerakanku membuat Hinata ikut merubah posisi tidurnya. Aku menatap wajahnya yang damai di dalam kegelapan dan hanya sinar bulan yang menyinari malam kami berdua, aku meraih tubuhnya dan merengkuhnya kedalam kehangatan. Lama aku termenung menatap wajah sampai mata berat mulai menyerangku, tak kuasa menahannya aku pun jatuh tertidur. ***___*** Sesuatu bergoyang, aku terbangun karena Hinata menggoyang-goyangkan lenganku, aku menggosok mataku yang masih berat untuk terbuka. "Maaf, membangunkanmu Naruto-kun." Kata Hinata meminta maaf. Aku menggeleng dan bangun dari tidurku. Aku duduk dan menatap Hinata, tanganku teraih untung mengelus rambutnya. "Kau merasa sakit?." Tanyaku khawatir. "Tidak, aku hanya lapar." Jawabnya dengan wajah sedikit memerah. "Kau ingin sesuatu." Tanyaku lagi. Hinata mengangguk "Aku ingin makan Naruto." Aku mengangkat sebelah alisku, aku bertanya pada diri sendiri. "Ingin makan Naruto??." Tanyaku sedikit takut. Hinata mengangguk, aku menelan ludah. Perlahan aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku merasakan tubuh Hinata mengejang, tapi mata lavendernya masih menatapku dengan tatapan sayu. Aku menelan ludah untuk kesekian kali, aku ingin melumat bibirnya yang mungil. "Narutomaki..." Kata Hinata cepat. Aku kembali membeku, wajahku mulai panas. Mendadak aku menjauhkan wajahku darinya, aku tertawa secara terpaksa dan keras-aku tersadar aku sangat malu pada Hinata. "Hinata ingin makan Narutomaki?." Tanyaku memastikan. Hinata mengangguk "Iyaa, entah kenapa aku ingin sekali makan Narutomaki." Aku terkekeh mengatur kadar maluku yang masih tinggi-aku berharap Hinata tak menyadari kebodohanku padanya. "Jam berapa sekarang." Kataku sambil melihat kearah jam yang terletak diatas laci disamping tempat tidur kami. "Masih jam 2, pasti Ramen Ichiraku masih tutup." Sahut Hinata menatap jam dinding dengan ekspresi muram. "Mungkin, tapi akan aku carikan Narutomaki untukmu. Sepertinya kau ngidam sekali sekarang." Kataku padanya. Hinata tertunduk "Maaf, malam-malam membuat tidurmu terganggu." Katanya bersandar dibahuku. Aku tertawa "Sudah pasti tidak Hinata, aku akan membelinya. Tapi, maaf akan memakan waktu yang lama.." Jawabku mengira-ngira. Hinata tertawa renyah "Tidak apa-apa Naruto-kun." Aku mengelus perut Hinata yang masih belum terlalu membuncit, tapi aku bisa merasakan ada satu nyawa lagi yang akan hidup bersama kami. "Baiklah, aku pergi dulu yahh.." Pamitku sontak mengganti baju secepat kilat dan berlari keluar kamar. "Naruto-kun, Jangan memaksa kalau tak ada.." Serunya. "Iyaaa~~ aku paham." Jawabku sedikit berteriak. "Saatnya ke Ichiraku Ramen." Cetusku, kemudian berlari dan melompat dari satu atap rumah ke rumah yang lain. ***____**** Dua hentakan kaki mengantarkanku sampai di depan pintu putih yang masih tertutup-aku penasaran apa dibalik pintu ini orang-orang ichiraku sudah sibuk mengolah bahan ramen. Perlahan aku menempelkan telingaku ke pintu, aku berusaha konsentrasi untuk dapat mendengarkan bunyi di dalam rumah-samar-samar aku mendengar bunyi orang memasak. Tanganku teraih untuk mengetuk pintu. Dduuaaakkkkkk... "Sakitttt~~~~" Ujarku mengelus-ngelus kepalaku yang masih terasa nyeri. "Apa yang kau lakukan?" Tegur seorang wanita dengan nada tingginya-sepertinya aku mengenal nada suaranya. Aku menatap siapa yang menjitak kepalaku, aku menatap seorang wanita yang tak lain adalah Sakura, ia berdiri berkacak pinggang sembari mata emeraldnya menatapku tajam. "Ngapain kau kesini Sakura?." Tanya Naruto. Ia menghela nafas panjang-sepertinya ia berusaha untuk menurunkan kadar emosinya. "Kau itu Naruto, kenapa malah balik tanya hhahh???" Cetuk Sakura. Aku mencebik "Kau yang memukulku kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?." Protesku masih mengelus kepalaku yang sakit. "Aku ingin membeli makanan." Jawabnya menghela nafas. Alis kananku terangkat tinggi "Kau ngidam juga?." Tanyaku padanya. Tatapan Sakura berubah muram "Iyaa dan aku tak bisa menahannya." Aku merasa miris dengannya-aku dengar Sasuke pergi lagi dalam sebulan setelah satu minggu acara pernikahannya dengan Sakura, aku tak tahu harus membantu apa kepada Sakura. "Mau ketuk sekarang atau??." Tanya Sakura berdiri melipat tangannya di depan d**a. "Aku tahu..." Jawabku. Aku mengetuk pintu dimana dapur warung ramen Ichiraku di hasilkan. Lama kami berdua menunggu akhirnya pintu putih terbuka untuk kami. "Ahhh, Naruto-kun, Sakura-chan." Sapa Ayame dari balik pintu. "Ayame-san, apa Narutomakinya ada. Aku ingin membelinya beberapa untuk Hinata." Kataku pada Ayame. Wajah Ayame tampak terkejut "Aku masih mengolahnya." "Kalau aku ingin membeli ramennya tanpa topping Narutomaki." Imbuh Sakura. Teuchi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menatapku, Ayame, dan Sakura bergantian "Baiklah, aku usahakan pesanan kalian bisa kalian berdua nikmati. Masuklah dulu dan tunggu di dalam." Usul Teuchi. "Terimakasih." Sahut kami berdua lega. 'Aku tak habis fikir, orang ngidam itu apa memang harus dituruti apa kemauannya yah' batinku menebak-nebak "Naruto-kun..." Sahut Sakura. Aku menoleh "Apa?" Sakura tersenyum "Terimakasih sudah menemaniku makan ramen sampai-sampai kau juga mengantarku pulang." Jawab Sakura. Aku nyengir "Tak masalah." "Andai dia disini, aku pasti tidak akan merepotkanmu Naruto." Sahut Sakura. Aku tertegun "Kau ini bicara apa Sakura, sudah seharusnya aku begitu. Lagian Sasuke juga mempercayakanmu padaku, jadi jangan heran kalau aku juga memperhatikanmu." Jawabku menjelaskan. Ia menghela nafas panjang "Bagaimana dengan Hinata, dia pasti menunggu." Aku menggelengkan kepala "Tentu saja dia menunggu Sakura. Tapi, Hinata pengertian, dia pasti tidak akan marah kalau aku juga menemanimu. Lagian, kalian berdua ibu hamil yang sama-sama sedang ngidam kan??." "Mau bagaimana lagi Naruto, namanya juga ngidam." Sahut Sakura tertawa, aku juga ikutan tertawa. "Memang haruskah ngidam dipenuhi?." Tanyaku penasaran. Sakura menggelengkan kepala "Ngidam tak harus dipenuhi Naruto, Ngidam boleh kau penuhi asalkan wajar dan ada manfaatnya. Semisal kalau ngidamnya aneh-aneh yahhh sebaiknya jangan." Jelas Sakura. Aku menatap langit malam yang penuh dengan taburan diamond putih berkilau. "Tapi, ada yang mengatakan kalau ngidam tidak dipenuhi bisa membuat anak suka ngeces*droll* Naruto." Aku terjingkat "Masak sampai segitunya???" Tanyaku terkejut. "Katanya Naruto, aku anggap itu hanya mitos." "Ohhh, mitos." Kataku lega. Sakura menatapku sinis "Tapi apa salahnya kita para istri minta sama suami untuk dimanjakan dan dipenuhi permintaannya. Kita kan juga mau perhatian kalian para suami." Cerocos Sakura sebal. Aku menatapnya sebal "Aku perhatian kok sama istriku." Jawabku membela diri. Sakura mengheka nafas panjang "Andai dia disini." Gumannya menatap langit. "Hanya satu bulan Sakura-chan." Jawabku memastikan. "Aku tahu, tapi berat sekali asal kau tahu. Setiap hari aku merenung tentangnya, dan belum tahu juga dia memikirkanku atau tidak." "Dia pasti memikirkanmu Sakura-chan. Apa lagikau sedang hamil sekarang." Kataku menenangkan. "Aku harap begitu." "Percaya sama Sasuke." Sakura mengangguk "Iya, aku tahu." Pelan-pelan kami menikmati setiap langkah kaki kami berjalan, terkadang hembusan angin dingin membuat kerut seluruh lapisan kulitku, Sakura memeluk jaketnya agar ia tidak kedinginan. Nampaknya ia masih bisa merasakan dingin walaupun ia sudah mengenakan jaketku juga. Kami sampai di depan rumah kontrakan Sakura, ia menyewa rumah itu bersama dengan Sasuke selepas mereka berdua menikah. Sakura dengan lembut mengucapkan terimakasih padaku, meski ia berusaha untuk bisa tetep terlihat tegar. Namun, sarat suaranya masih menandakan bahwa ia benar-benar merasakan kesepian. Aku tahu bagaimana rasanya sendirian dan kesepian-Sakura kau memang hebat. ***___*** Hinata menikmati suap demi suap Narutomaki, aku membeli 20 lebih Narutomaki-niatnya buat jaga-jaga jika Hinata ingin memakannya lagi. Akan tetapi, ia sudah menghabiskan 15 gulung Narutomaki. Aku hanya termangu menatapnya makan. Rona wajahnya memerah saat ia tahu aku mengamatinya makan. "Naruto-kun, ini..." Sahutnya sambil tangan yang memegang sumpit dan Narutomaki diantaranya terayun ke depanku-ia berniat menyuapkannya padaku. Aku menggeleng "Tidak Hinata, makan saja sampai kau benar-benar merasa kenyang." "Aku tak apa, Naruto ikutan makan. Aku tahu kau menyukai topping ini. Setidaknya temani aku makan." Jawabnya sedikit kecewa dan tangannya masih terayun di depanku. Aku meraih tangannya dan menyuapkan Narutomaki ke dalam mulutku. Hinata tersenyum. "Apa aku harus membelinya lagi?." Tanyaku takut kalau Hinata masih merasa lapa dan ngidam. "Tidak, cukup Naruto-kun. Maaf aku sudah membuatmu repot dengan keinginanku yang sedikit aneh." Jawabnya menundukkan kepala. Aku tertawa, refleks tanganku mengelus sayang kepaa Hinata hingga membuat rambutnya sedikit berantakan "Keinginanmu tidak aneh kok, masih wajar untuk dipenuhi. Lagian, ini untuk buah hati kita yang masih ada di dalam perut." Jawabku sembari mengelus perut Hinata. Hinata tersenyum lebar, matanya menatapku sayu-aku merasakan bagian dari dalam tubuhku berkejolak. Hinata menutup mulutnya refleks karena ia menguap "Ngantuk??" Tanyaku padanya. Ia mengangguk "Maaf, habis makan langsung mataku berat." Aku tertawa "Tak apa-apa Hinata, ayo tidur." Kataku berdiri langsung menggendongnya ala brigdal hingga ke kamar kami. Aku meraih selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya hingga batas bahu, aku beralih dan merebahkan tubuhku disampingnya. Hinata meraih tubuhku dan mendekapnya erat. Aku membalasnya, sekilas aku mencium dahi Hinata. Tak lama kami berdua terlelap di tengah-tengah dinginnya malam menjelang fajar. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN