“Pak Richard mengajak Anda makan siang dan bertemu Pak Gavin untuk membahas urusan pekerjaan.”
“Dan mengenai apa itu?”
“Penanganan cabang Singapura.”
Vincent menyandarkan tubuhnya di kursi seraya menatap wajah Iris. “... Kau terlihat tidak baik. Apa yang mengganggu pikiranmu?”
Iris membalas tatapan Vincent. Lalu tersenyum sopan. “Saya baik-baik saja.”
Vincent masih menatap Iris. Ia mengangguk sekilas lalu berdiri. “Kalau begitu kita bisa pergi sekarang.”
Iris menunduk lalu hendak membalikkan badan, namun Vincent segera menghentikan dia.
“Kamu bisa pergi dengan saya.”
Iris sedikit memiringkan kepalanya. Dengan tidak yakin ia berkata, “Um ... Baiklah... Saya akan memanggil Maya juga.”
“Maya tidak perlu ikut. Ayo.”
Vincent membuka pintu ruangannya dan Iris segera menyusulnya di belakang. Setelah mengatakan ke mana dirinya akan pergi kepada Maya, Vincent dan Iris berjalan menuju lift terdekat
“Aku dengar kamu baru menikah.” Vincent membuka percakapan saat di lift.
Mereka hanya berdua. Sedangkan Richard berkata ia akan menyusul ketika Iris menghubunginya sebelum masuk ke dalam lift.
Iris mengangguk pelan. “Ya, Pak.”
“Jangan terlalu formal denganku.”
Entah kenapa pendengaran Iris menangkap kelembutan saat pria itu bersuara. Berbeda saat bicara dengan Maya tadi.
“Ini masih jam kerja. Tidak etis jika saya bertindak tidak sopan.”
Vincent melirik Iris dalam diam. Kemudian kembali menatap ke depan.
Pintu lift bergeser dan mereka berdua keluar.
“Aku yakin Maya akan sedih karena kita tidak mengajaknya.”
Membayangkan Maya menangis dan mengutuk Iris membuat Iris tertawa. “Seharusnya Anda mengajaknya, Pak.”
Vincent ikut tertawa seraya menggeleng. Vincet membuka pintu keluar untuk mereka berdua lalu kembali bersuara, “Banyak pekerjaan yang harus ia urus hari ini. Karena mendadak, tidak baik jika aku membawanya bersama kita.”
“Kita?”
Mendengar suara familier membuat Iris terkejut. Ia melihat ke depan dan Gavin sudah berdiri di depannya dengan pemandangan Porsche hitam pekat di belakang pria itu.
Merasa momen canggung di antara mereka, Iris segera memperkenalkan masing-masing mereka. “Gavin, ini Pak Vincent—”
“Vincent saja, Iris.” Potong Vincent lembut. Tanpa tahu diam-diam Gavin menatapnya tajam. Ia mengulurkan tangannya pada Gavin dan Gavin membalas jabatan tangan Vincent tanpa tanda bahaya.
Iris berdeham karena semakin merasakan aura aneh di sekelilingnya. “Vincent, ini Gavin—”
“Suami Iris.” Gavin berkata dengan jelas ketika matanya bertemu dengan mata Vincent.
“Saya tahu.” Vincent tersenyum. “Bukankah pertemuan kita terlalu cepat? Saya kira Anda akan langsung ke restoran, Pak Gavin.”
Gavin tersenyum tipis. Tidak membalas Vincent, ia menatap Iris. “Masuklah ke mobil. Banyak hal yang harus kita bahas, Sayang.”
Gavin membuka pintu untuk Iris dan memperlihatkan tempat duduk berbahan kulit di sana. Terlihat empuk. Menggiurkan. Tapi tidak untuk Iris. Memikirkan bahwa Tiffany lah yang sering duduk di sana membuat rautnya menjadi dingin.
Iris menggelengkan kepala seraya tersenyum. “Tidak akan muat untuk kami berdua.”
Gavin mengangkat sebelah alisnya.
Seolah tahu bahwa Gavin tidak mengerti makaudnya, Iris menjelaskan dengan tenang, “Aku dan Pak Vincent akan menggunakan mobil perusahaan. Kamu bisa mengendarai mobilmu.”
Lagi-lagi tanpa Iris sadari, Vincent meliriknya dalam diam. Namun Gavin merasakannya. Gavin menatap Vincent, memberi senyuman namun seseorang tahu senyuman itu tidak seperti senyuman biasanya. Itu terlihat sedikit menyeramkan.
“Pak Vincent akan menggunakan mobil perusahaan sendirian. Benar kan Pak?” Gavin menatapnya.
Vincent tertawa. Lalu melihat Iris di sebelahnya. “Aku akan menunggu Pak Richard. Kamu bisa pergi bersama Pak Gavin.”
Pria ini tidak bisa diajak bekerja sama. Iris menggerutu dalam hati dengan masih mempertahankan senyumannya. Iris mengangguk dan membiarkan dirinya duduk di mobil Gavin.
Setelah memasang sabuk pengaman, Gavin segera menjalankan mobilnya. Sesekali ia akan melirik Iris yang diam sedari tadi. Wanita itu hanya melirik keluar jendela tanpa minat.
“Sepertinya kamu ingin pergi jauh dari suamimu.”
Iris melirik pria itu sejenak sebelum kembali menatap di luar jendela gelapnya. “Itu hanya perasaanmu, Gavin. Aku malah bertanya-tanya kenapa kamu berbohong dengan Papi padahal kita tidak bertengkar.”
Gavin tersenyum kecil. “Oh, aku kira kita bertengkar. Sikapmu tadi pagi sedikit aneh. Aku pikir ini ada kaitannya dengan kesibukanku.”
Kesibukan mengurus Tiffany maksudmu? Iris memutar kedua bola matanya jengah. Ia berbalik menatap Gavin dan tersenyum. “Aku sudah belajar untuk menghargaimu. Maka dari itu aku ingin membantu meringankan bebanmu.”
“Dengan menjadi kepala kantor cabang di Singapura tidak akan bisa meringankan bebanku,” cetus Gavin dingin cukup membuat Iris terdiam. Gavin kembali melihat ke depan jalan dengan sikap santai lagi. “Sepertinya kamu masih belum tahu jika Papi hanya membutuhkanku satu bulan ke depan untuk sebuah proyek di Singapura. Ini bukan berkaitan dengan aku mengambil alih cabang di Singapura.”
Jujur saja, Iris terkejut. Ia kira Richard akan memberikan kantor cabang yang berada di Singapura untuk Gavin. Rupanya hanya untuk sebuah proyek. Pantas saja Richard pernah berkata dia tetap memiliki kendali penuh atas seluruh bisnis Adinata.
“Jadi, singkirkan rencana bodohmu itu, Iris” sambung Gavin tepat saat mereka sudah berhenti di depan restoran.
Iris melepaskan seat belt dengan cukup cepat berharap bisa membuka pintu duluan. Namun ia kalah cepat dengan Gavin yang sudah berdiri di luar dan membuka pintu mobil untuk Iris duluan membuat Iris cemberut.
Mobil Vincent juga sudah sampai. Ia keluar bersama Richard.
Tiga pria berbeda usia tersebut berjalan berdampingan saat memasuki restoran. Sedangkan Iris membuntuti mereka dari belakang. Tapi hanya sebentar. Karena setelah seorang pelayan memandu mereka, mendadak Gavin berjalan beriringan dengannya membiarkan Vincent dan Richard di depan mereka.
Iris lebih melambatkan langkah kakinya supaya dia tidak terlihat seperti berjalan bersebelahan dengan Gavin. Tapi ternyata pria itu mengetahuinya cukup cepat, jadi ia ikut melambat.
“Jika kamu berjalan seperti ini, kamu akan tertinggal jauh.” Gavin menunduk dan berbisik di telinga Iris.
Iris berhenti dan menegang. Wajahnya bahkan terlihat sedikit memerah.
Melihat Iris yang berhenti, Gavin pun ikut berhenti dan menatap wanita itu. “Dan sekarang kamu berhenti... Apa perlu aku menggendongmu supaya kita bisa menyusul mereka, Sayang?”
“Tidak tahu malu...” Gerutu Iris dengan wajah memerah lalu berjalan cepat, meninggalkan Gavin di belakangnya.
Gavin hanya bisa menatap punggung istrinya dalam diam. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya saat ini.