Jika Richard memberikan kendali penuh untuk Iris menggantikan Gavin mengelola kantor cabang di Singapura, setidaknya Iris bisa tinggal sendirian tanpa melihat 2 wajah busuk. Dan Gavin tidak akan bisa mengendalikan keluarganya.
Richard tersenyum. “Sudahlah. Kembali ke mejamu dulu. Nanti kita bicarakan ini lagi.”
“Kenapa tidak sekarang, Pi?” Iris menggigit bibirnya dengan wajah penuh harap membuat Richard menatap anak satu-satunya cukup lama, yang mana membuat Iris gelisah.
Richard menghembuskan nafas pelan sebelum mengangguk setuju. “Beri Papi waktu sebentar.”
Iris bernafas dalam. Dengan terpaksa ia keluar dari ruangan ayahnya dan duduk di belakang meja kerjanya. Setelah itu, dirinya termenung. Ia menggigit kuku ibu jarinya dan berdoa di dalam hati jika Richard akan menyetujui kemauan putrinya.
***
Gavin tengah fokus pada pekerjaannya ketika terdengar suara ketukan di pintu. Kemudian sesosok pria masuk ke dalam dengan sebuah dokumen tipis di tangannya.
Rafa adalah salah satu asisten pribadi Gavin selain Tiffany. Dia hanya satu tahun lebih muda dari Gavin dan merupakan adik kelas Gavin saat mereka bersekolah di tempat yang sama. Selama ini, Rafa memiliki pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan dengam Tiffany yang hanya mengurusi masalah kecil dan yang tidak terlalu sulit.
Rafa berjalan menuju sisi di samping Gavin. Ia menunduk dan berbisik di telinga Gavin hingga pria itu berhenti membubuhkan tanda tangannya seketika. Rafa meletakkan dokumen yang ia bawa di meja Gavin dan mundur selangkah.
Gavin terdiam. Ia melihat dokumen tipis tersebut dengan datar. Gavin meletakkan bolpoin yang ia pegang tadi tanpa suara yang mana membuat Rafa bergidik. Semakin tenang bosnya ketika marah, semakin ia khawatir dengan apa yang terjadi selanjutnya.
Gavin mengulurkan tangannya untuk mengambil dokumen itu dan membukanya. Ia melihat beberapa foto dan membaca data diri di sana. Wajah Gavin mulai berubah dingin ketika ia membaca hingga ke bagian bawah kertas. Rafa bahkan bisa melihat genggaman Gavin pada dokumen tersebut mengepal hingga membuat kertas-kertas tersebut menjadi berkerut tidak beraturan.
Gavin menghirup udara dalam diam dan menghembuskannya perlahan. Matanya menyipit dengan dingin dengan bibirnya yang berbentuk segaris tipis. Sangat jelas suasana hatinya tidak begitu bagus.
“Sir...” Rafa mencoba menyadarkan Gavin dan perasaan amarahnya yang sangat tenang.
“Kumpulkan bukti lainnya lagi. Aku akan membongkar semuanya hingga waktunya tiba,” titah Gavin dengan dingin. Dia akan membalaskan semua perbuatan orang itu dengan mengenaskan. Berani-beraninya orang itu mempermainkannya! “Juga, tolong belikan beberapa cairan antiseptik.”
“As you say, Sir.” Tanpa bertanya untuk apa, Rafa segera menunduk sejenak sebelum keluar dari ruangan Gavin dengan kecepatan penuh. Ia tidak ingin berlama-lama di dalam satu ruangan bersama bosnya yang sedang mencoba memendam amarahnya.
Baru saja Rafa meninggalkannya sendiri, ponsel Gavin berdering. Gavin melihat nama pemanggilnya adalah Richard, ayah Iris, Gavin kemudian bersandar di kursinya. Lelah dengan emosinya yang ia pendam sedari tadi, ia memejamkan matanya ketika mengangkat panggilan telepon tersebut. “Iya, Pi?”
Beberapa detik berikutnya setelah menjadi pendengar, mata dingin Gavin kembali datang. Ia membuka kedua matanya dengan wajah lebih suram. Aura berbahaya miliknya menguar dengan cepat.
***
Tidak sampai 2 jam Richard sudah memanggil Iris ke ruangannya. Dan mendengar penolakan dari Ayahnya sendiri membuat Iris terdiam dengan wajah pucat.
“Papi bilang apa ...?” tanya Iris seolah ingin mendengarnya lebih jelas.
“Papi sudah menghubungi Gavin. Dan dia bilang kalian sedang bertengkar makanya kamu bertingkah aneh hari ini. Dia juga sudah menjelaskan alasan kalian bertengkar karena kamu sangat egois menyuruhnya pulang cepat. Dia memiliki banyak pekerjaan yang harus diurus. Jika pekerjaannya dapat diselesaikan oleh sekretarisnya, dia pasti akan pulang cepat.”
Tiba-tiba Iris mundur selangkah. Kenapa tiba-tiba menjadi begini?! Ia sedikit bergidik. Jantungnya berdegup cepat. Ini tidak seperti yang ia bayangkan.
“Kalian baru saja menikah tapi sudah bertengkar.” Richard menggelengkan kepalanya. “Kamu harus bersikap dewasa, Iris. Jangan seperti anak kecil terus. Kasihan Gavin...”
Iris menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Papi—”
“Papi tetap menolak permintaanmu mengambil alih cabang di Singapura.”
“Bukan begitu, Papi—”
“Serahkan dokumen yang harus Papi tanda tangani. Lalu temui Vincent dan beritahukan pada dia jika kita akan bertemu Gavin di restoran biasa.”
Mendengar nama Gavin kembali membuat Iris sedikit gemetar. Pria itu.... Bagaimana bisa Gavin berbohong seperti itu?! Padahal mereka tidak bertengkar sama sekali jika dilihat dari sudut pandang Gavin. Iris juga sudah sebisa mungkin bersikap biasa-biasa saja di depan pria itu. Apakah secara tidak sadar, Iris bersikap aneh di depan Gavin?
“Iris? Kau melamun?”
Iris mengerjapkan matanya. Lalu menatap ayahnya. “Ah ya, tunggu sebentar.”
Iris keluar sebentar dari ruangan Richard, menuju telepon kabel di mejanya dan memesan ruang makan pribadi lalu mengambil berkas yang sudah ia pilah, kemudian memberikannya kepada Richard.
“Kenapa kita bertemu dengan Gavin tiba-tiba, Pi? Bukankah jadwal hari ini kita akan mensurvei lokasi baru?” Lokasi baru yang Iris inginkan sejak ia kembali ke Indonesia. Dulu, jika ia tidak bisa menjadi sekretaris Gavin, Iris ingin membuka usaha kecil-kecilan untuknya. Ia pernah mengatakan hal ini kepada Ayahnya.
Dan Richard hanya tersenyum dan mengatakan ‘Akan ada suatu saat. Sekarang, kamu belum siap.’ Iris tidak tahu suatu saat itu butuh waktu yang cukup panjang.
Di tengah-tengah membubuhkan tanda tangan, Richard tersenyum menatap anaknya. “Kita akan membiarkan Vincent menangani cabang di Singapura. Nah, sekarang pergi kabari Vincent.”
Iris mengangguk lalu undur diri. Dalam perjalanan menuju ruang CEO, Iris melanjutkan lamunannya. Ide Ayahnya yang menggantikan posisi Gavin kepada Vincent bagus juga. Dengan begitu, Gavin tidak akan semakin berkuasa.
Tanpa sadar Iris sudah berada di meja sekretaris Vincent, Maya. Maya sudah mengatakan padanya sebelumnya bahwa Vincent mengangkat Maya menjadi sekretaris pria itu.
“Jika Bu Iris datang kemari hanya ingin mencuci mata, harap kembali ke ruangan Bu Iris segera.”
Iris tersadar dari lamunannya. Ia langsung memukul bahu Maya dengan gemas hingga sang empunya mengadu kesakitan.
“Pak Vincent ada di dalam, May?”
“Tunggu sebentar, Ma'am.” Maya beranjak dari kursinya lalu mengetuk pintu di sebelah ruangan kecilnya dua kali lalu Maya membuka pintu. “Bu Iris ingin bertemu Bapak.”
“Suruh dia masuk.”
Suara dari dalam sampai ke pendengaran Iris. Maya memberi ruang untuk Iris masuk lalu menutup pintunya rapat. Dan sekarang hanya Iris dan Vincent di dalam.