CLG | CHAPTER 20

1190 Kata
Selama 5 malam, Iris selalu sigap berada di sekitar Gavin. Mulai dari menyuapinya makan, menontonnya meminum obat, bahkan membantunya ke kamar mandi. Dan ketika Gavin menyuruhnya mengambil apapun yang pria itu inginkan, Iris pasti akan lakukan. Iris tidak dapat membantu untuk dirinya bertanya-tanya. Bukankah dokter pribadi Mikhail sudah mengatakan sakit perutnya tidak parah? Tapi kenapa Gavin belum juga sembuh? Iris mengerutkan dahinya. Apa jangan-jangan pria ini sengaja .... Tetapi, apa alasannya seperti ini? Tidak mungkin karena ingin terlalu lama bersama Iris. Sangat tidak mungkin. Bukankah dia benci berada di sekitar Iris? Lalu apa motifnya melakukan ini? Apakah karena ia hanya beralasan padahal sebenarnya hanya ingin menggunakan hak cutinya? Memikirkannya membuat kepala Iris sakit. “Kita harus pergi ke rumah sakit." Setelah banyak pertimbangan akhirnya Iris bersuara. Ia sedang berdiri di depan ranjang di mana Gavin masih terbaring seraya memejamkan matanya. Ketika Gavin mendengar apa yang dikatakan Iris, ia mengernyitkan dahinya. Gavin membuka matanya perlahan dan menatap Iris. “Aku hanya perlu dirawat di rumah.” Menutup telinganya, Iris kembali bersuara. “Aku sudah menghubungi pihak rumah sakit. Ambulans akan segera datang.” Sontak Gavin duduk tegap. “Aku bilang aku hanya perlu istirahat di rumah.” Iris mengangguk paham. “Baiklah. Kalau begitu selamat beristirahat.” Gavin melihat Iris menuju walk in closet, beberapa saat berikutnya wanita itu keluar dengan menggunakan coat sepanjang di atas lutut dan pump berwarna coklat muda, blouse lengan panjang dan celana panjang berwarna putih, kemudian tas tangan cokelat kulit. Terlihat siap untuk bekerja membuat Gavin gelisah. “Mau ke mana kamu?” Gavin bertanya. “Kerja.” Iris menjawab singkat. “Tapi aku belum sembuh.” “Aku akan meminta bantuan Minah untuk merawatmu. Sudah empat hari aku tidak masuk kerja.” “Aku tidak ingin dirawat Minah.” Gavin berkata dingin. “Kalau begitu aku akan menyuruh—” “Aku tidak ingin dirawat siapapun,” potong Gavin dengan gigi bergemeretak. Iris sudah tidak sabar ingin meninggalkan kamar mereka. Iris mendengus. Tidak ingin dirawat siapapun. Dia pikir dia bisa pilih-pilih?! Atau sebenarnya dia ingin dirawat oleh adik tercintanya, Tiffany? Wajah Iris menggelap. Jika memang seperti itu, kenapa tidak kemarin Iris biarkan saja pria itu dirawat Tiffany selama 4 hari tersebut dan dia kerja dengan tenang?! “Kemudian rawat dirimu sendiri.” Iris berjalan cepat menuju pintu. “Siapa yang menyuruh pergi?” Gavin memandang Iris yang tidak menanggapi perkataannya membuat ia menaikkan satu tingkat suaranya. “Aku menyuruhmu berhenti di tempatmu berdiri, Iris Rianna Mikhail!” Refleks Iris berhenti tepat saat ia memegang handle pintu, ia menegang sejenak. Iris Rianna Mikhail... Dulu, Iris sangat ingin mendengar nama panjang itu. Ia selalu menerka-nerka, apakah ia bisa menggunakan nama keluarga Mikhail? Dan sekarang, setelah menyandang nama keluarga tersebut yang Iris rasakan adalah kekecewaan. “Aku suamimu, Iris. Kamu harus mendengarkan perkataanku apapun itu.” Gavin kembali berkata saat Iris masih terdiam. Iris menundukkan kepala seraya menggigit bibir bawahnya. Apakah harus? Setelah pria itu melakukan hal yang paling susah untuk Iris terima? Apakah Iris harus patuh pada pria yang diam-diam mengencani adik kandungnya sendiri? Iris segera menutupi wajah sedihnya ketika berbalik. “Dengar, Gavin. Kita memang menikah. Aku di sini adalah istrimu. Tapi aku memiliki pekerjaan. Selama 4 hari aku tidak masuk kerja, pekerjaanku terbengkalai. Tidak mungkin aku melepaskan tanggung jawabku begitu saja.” “Oh jadi menurutmu aku saat ini sedang melepaskan tanggung jawabku di perusahaan?” Iris bernafas masih mencoba sabar. “Tugasmu masih bisa diberikan kepada asistenmu, benar? Sedangkan aku, aku bekerja sendiri. Aku masih belum memiliki sekretaris atau asisten pribadi. Maka aku harus melakukan pekerjaanku sendiri. Tidak hadir lebih dari 3 hari sudah cukup membuat pekerjaanku menumpuk.” Gavin mendengus. Dengan dingin ia berkata, “Sepertinya pekerjaanmu lebih penting dibandingkan merawatku. Tanggung jawabmu diperuntukkan ke pekerjaan dibandingkan merawat suami. Katakan saja jika kamu tidak sabar meninggalkanku yang sakit-sakitan di rumah dan menemui karyawan baru ayahmu. Kamu pasti merindukannya, benar? Kamu tidak perlu mencari alasan yang panjang, Sayang. Aku paham itu....” “Apa?!” Iris menggelengkan kepala. Merindukan siapa?! Karyawan baru apaan?! Pria ini menuduhnya dengan santai membuat Iris murka. Kesabaran Iris sudah berada di ambang batas. Dia dengan marah menatap Gavin. “Urusi dirimu sendiri!” Setelah meneriaki kata-kata tersebut, Iris segera membuka pintu kamar dan menutupnya dengan kasar. Masih dengan perasaan kesal, Iris turun ke lantai bawah dengan cepat. Ketika Nenek melihat Iris, ia menyuruhnya sarapan dulu. Namun dengan sopan Iris menolak dengan alasan ia sudah terlambat bekerja. Dan beberapa saat kemudian sopir sudah membawanya. Setelah pintu tertutup, Gavin mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sangat marah. Benar-benar marah. Rupanya 4 hari mereka bersama adalah batas kepura-puraan Iris. Wanita itu tidak sanggup terlalu lama bersamanya. Daripada merawat suaminya yang sakit, wanita itu malah memikirkan pria lain di kantor ayahnya. Memikirkan itu entah kenapa membuat perasaan Gavin semakin menggelap. Gavin berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah kepergian Iris, Gavin rasa percuma ia pura-pura sakit lagi. Toh sebenarnya di pagi hari pertama ia sudah membaik. Jadi untuk apa tetap di rumah kalau tidak ada yang merawatnya? Tidak ada orang yang bisa ia suruh-suruh. Lebih baik dia berangkat kerja. Turun ke bawah, Gavin melihat keluarganya baru saja selesai sarapan. Mereka semua melihat Gavin terkejut. Tiffany yang baru saja mengambil kunci mobilnya juga ikutan terkejut. Kakaknya baru sembuh sekarang? “Gavin, kamu sudah sembuh? Kenapa tidak istirahat dulu hari ini dan kembali kerja besok?” Regina memberikan saran seraya mendekati anaknya. “Aku baik-baik saja, Ma.” “Kamu sudah sarapan, Nak?” “Gavin sarapan di kantor saja, Ma.” “Bagaimana dengan bekal? Tunggu dulu, Mama akan menyiapkan bekal makan siangmu untuk nanti—” Gavin melirik jam tanganya sebelum bergegas. “Sudah terlambat, Gavin pergi dulu.” “Tapi Gavin—” Regina melihat anaknya yang sudah keluar dengan cepat. Bahkan Tiffany tidak bisa menghentikannya. Melihat Gavin sudah mengendarai mobilnya dengan cepat membuat keluarga Mikhail khawatir. “Iris dan Gavin tidak bertengkar, bukan?” tanya Rosalina. “Mereka berdua terlihat bertingkah aneh hari ini.” Regina segera menenangkan ibu mertuanya. Suaranya terdengar gugup seolah menenangkan dirinya juga. Biar bagaimanapun Iris adalah menantu yang baik. “Mama jangan pikirkan hal itu. Mereka sudah terlambat pergi bekerja makanya seperti itu.” Tanpa mereka berdua sadari, Tiffany diam-diam tersenyum. Perasaannya sangat ringan ketika mendengar bahwa Gavin dan Iris bertengkar. Jeffery, Ayah Gavin keluar dari kamar lengkap dengan pakaian kantorannya. “Gavin sudah masuk kerja? Aku mendengar suara mobilnya tadi.” Regina mengangguk. Mendekati Jeffery dan berbisik. “Apakah ada yang salah? Kenapa dia tiba-tiba masuk kerja?” “Apanya yang salah? Wajar saja dia sudah masuk kerja, sangat aneh jika dia sakit lebih lama dari ini.” “Tapi dia keluar dengan wajah tidak baik. Seperti sedang kesal.” “Tidak usah memikirkan hal yang bukan-bukan. Siapa tahu kalau ia kesal tentang pekerjaannya?” Jeffery menenangkan Regina dengan mengusap bahunya. Ia kemudian menatap Tiffany. “Kamu belum pergi, Nak?” Dengan malu Tiffany menggeleng. “Tiffany pikir Gavin akan menunggu Tiffany. Tapi dia sudah pergi.” “Berangkat dengan Papa lagi saja hari ini.” “Iya, Pa.” Tiffany mengangguk patuh. Setelah pamit pada Ibu dan Neneknya, Tiffany mengikuti Jeffery masuk ke mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN