“.... Ngomong-ngomong, Tiffany merindukan kalian.” Iris berkata dengan enggan.
Mereka berlima mendadak diam. Iris bisa melihat ketidaksukaan yang sangat jelas di mata mereka. Dulu, setiap raut teman-temannya seperti ini, Iris selalu berusaha mengatakan yang baik-baik tentang Tiffany di depan mereka supaya mereka juga bisa berteman dengan baik. Sedangkan Maya dan yang lain berusaha untuk menyadarkan Iris jika Tiffany bukan teman yang baik untuknya.
Tiffany pernah mengajak bertemu di salah satu kedai kopi. Ia menyuruh Iris untuk tidak membawa mobil supaya dia bisa mengantarnya pulang. Jadi, Iris menggunakan taksi ke sana. Iris menunggunya berjam-jam namun Tiffany belum datang. Ia bahkan menghubunginya berkali-kali dan Tiffany tidak mengangkatnya. Setelah 3 jam menunggu, barulah Tiffany menghubunginya kembali mengatakan bahwa mobilnya mogok. Mengingat sudah larut malam sangat susah mendapatkan taksi, akhirnya Iris menghubungi Maya untuk menjemputnya.
Bukan hanya itu saja, banyak kejadian yang setelah Iris ingat dan pikirkan kembali dari saat mereka masih kuliah Tiffany sengaja membuatnya hampir dimarahi Professor karena telat beberapa menit. Malam hari, Tiffany berkata jika Mrs. Chumley memundurkan jam perkuliahannya maka besok paginya Iris pergi ke kafetaria bersama Maya yang memang jam kuliah paginya kosong saat itu. Dan saat hampir mendekati jam pelajaran Mrs. Chumley yang sebenarnya, Tiffany langsung menghubunginya dan mengatakan bahwa kelas Mrs. Chumley tetap di jam biasa.
Belum lagi, saat dia dipermalukan di depan Gavin, bahkan teman-teman kuliahnya. Semua itu adalah perbuatan Tiffany namun Iris tetap tidak pernah menyalahkannya. Dan Iris baru sadar sekarang, betapa bodoh dan lugunya dia dulu. Dia sangat naif saat itu.
Untuk tidak membuat Iris sedih, Veronica mengeluarkan senyum terpaksa. “Aku akan mencari kafe yang bagus untuk kita.”
Iris menghela nafas. Mereka pasti masih berpikir jika Iris masih bersahabat dengan Tiffany. Belum lagi sekarang Tiffany sudah menjadi adik iparnya, tidak mungkin bagi Maya dan yang lain menjelekkan Tiffany di depannya seperti sebelumnya.
Beberapa saat kemudian satu persatu dari mereka pulang menyisakan Iris dan Maya.
“How is everything?” tanya Maya pelan. Dari awal ia tidak pernah melewatkan ekspresi sedih dan menyendiri milik Iris.
“Yeah, everything is good.” Iris mengangguk dan tersenyum. Namun matanya mulai memerah. Detik berikutnya air matanya jatuh tanpa diminta.
“Oh s**t, girl... Iris, are you alright?” Maya terkejut segera duduk di sampingnya dan memeluk Iris.
Iris menangis di bahu Maya. Ia berusaha mengeluarkan suara namun yang ada hanya gelengan kepala. Iris kira ia bisa mengendalikan emosinya saat menjawab pertanyaan biasa itu. Tapi hatinya menolak untuk bekerja sama. Dari orang-orang yang ia kenal, hanya Maya yang bertanya kabarnya. Hanya Maya yang sensitif di antara yang lain.
Maya tidak menuntutnya untuk mengatakan apa yang terjadi, ia hanya menenangkan Iris. “Hey, it's okay... It's okay...”
Cukup lama untuk Iris mengendalikan emosinya dan berhenti menangis seperti anak kecil. Ia mengambil tisu pemberian Maya dan mengelap hidungnya yang merah.
“Kalian benar,” Iris membuka suara. “Tiffany bukan teman yang baik untukku.”
Wajah Maya menjadi tidak sedap dipandang. “Apalagi kali ini yang dia lakukan? Kami sudah sering mengatakan bahwa wanita itu sangat jahat. Dia hanya menggunakan topeng peri di wajahnya dan kau baru percaya sekarang?!”
Apakah harus Iris menceritakan jika Gavin dan Tiffany terlibat dalam suatu hubungan. Dan iris menjadi roda ketiga di antara mereka? Tentu saja dia tidak akan pernah mengatakannya. Dia tidak ingin terlalu memalukan di depan Maya. Cukup dia dan Minah yang tahu seberapa busuk dan jahat Tiffany dan Gavin.
Melihat Iris yang masih diam tidak menjawab, Maya kembali berkata, “Apa perlu kita batalkan janji besok malam? Yang lain juga pasti akan senang jika tidak bertemu dengan penyihir itu.”
Iris menggeleng. Lalu tersenyum manis. “Lakukan saja. Dan buat pertemuan malam besok menjadi malam terakhirnya ingin bertemu kalian. Aku juga mulai tidak menyukai sikapnya.”
Maya menyeringai. “Yang lain pasti senang mendengar ini!”
Iris menggigit bibir bawahnya dengan mata basahnya. Ia menatap Maya sangat lama dalam keheningan sebelum memanggil sahabatnya ini. “May.”
“Hm?” Maya bergumam. Menatapnya dengan tatapan bertanya. “Kau perlu liburan? Bagaimana jika kita ke Bali atau Thailand? Jujur saja, kau terlihat mengerikan. Kau butuh liburan untuk menyegarkan pikiranmu. Katakan saja padaku dan aku akan ikut denganmu kemanapun kau pergi.”
Sepertinya, Iris memang perlu menceritakannya. Mungkin hanya cerita kasar ....
“Jika aku mengatakan bahwa Gavin tidak mencintaiku dan terpaksa menikahiku. Dan orang yang ia cintai adalah Tiffany, apa yang kau pikirkan?” tanya Iris berbisik.
Maya tertawa kecil mendengar lelucon dari Iris. “Oke, baiklah Iris. Itu sudah melewati batas candaanmu.”
Tidak ikut tertawa, Iris menatap Maya dengan sedih. Seketika tawa Maya perlahan menghilang ketika mengetahui bahwa Iris tidak main-main dengan perkataannya.
Dan jawabannya adalah Maya yang membeku dengan wajah terlihat mengerikan seolah baru saja melihat hantu. “... Seperti inilah wajahku.”
Memejamkan matanya, Iris menundukkan kepalanya.
“Darn it.” umpat Maya berbisik. Ia mencondongkan tubuhnya dengan panik. “Kau serius, Iris? Bukankah Gavin melamarmu karena dia menyukaimu juga?”
Iris kembali menangis dalam diam. Ia menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Awalnya aku juga berpikir jika dia juga mencintaiku. Kau tahu bagaimana saat aku merasa sangat bahagia menjawab ya. Kau juga tahu bagaimana semangatnya aku mengurus pesta pernikahan kami. Dan setelah aku pikirkan sekarang, aku merasa bahwa aku seperti lelucon di mata mereka berdua. Aku seperti badut untuk hiburan mereka.”
Maya kembali membawa Iris ke dalam pelukannya dan menenangkan sahabatnya yang masih menangis.
Iris terus menangis. Ia mengeluarkan semua keluh kesah yang beberapa hari ini ia pendam. Dengan mata berair dan hidung memerah, Iris menatap Maya dengan pilu.
“Jika dia tidak mencintaiku kenapa menikah denganku? Itu sangat sakit, May. Sakit sekali... Aku pikir kami akan menjadi suami istri yang saling mencintai. Kami membangun rumah tangga dengan cinta. Tapi nyatanya apa? Dia hanya menikahiku di atas kertas. Dia bahkan tidak repot-repot tidur di kamar kami dari mulai malam pertama kami.”
“That bastard...” Maya menggeram. Ternyata Gavin adalah seorang pria berengsek. Mendengar cerita Iris membuatnya ingin menerkam wajah Gavin hingga cacat. Ia menghembuskan nafas panjang untuk mengontrol emosinya kemudian bertanya pelan, “Jadi, setelah ini apa yang akan kau lakukan? Kau akan menceraikannya setelah beberapa hari menikah?”
Pertanyaan Maya membuat Iris berhenti menangis. Ia mengusap pipinya yang basah kemudian menjawab dengan nada dingin. “Aku akan membuat mereka berdua membalas perbuatan menjijikan mereka.”
Maya mengusap punggung Iris dengan lembut. “Kau tahu, Iris. Aku selalu mendukungmu. Jika terjadi sesuatu, hubungi aku. Aku akan selalu ada di setiap kali kau membutuhkanku.”
Iris memandang Maya penuh syukur. “Terima kasih, May.”
Maya tersenyum menepuk lengan Iris. “Anytime, Baby girl.”