CLG | CHAPTER 11

1226 Kata
Iris membuka pintu Minah tanpa mengetuk membuat Minah kaget. Sebelum Minah bisa bertanya, Iris sudah dulu membungkam mulutnya. Masuk ke dalam kamar Minah lalu menutupnya. “Nona, ada apa?” “Mulai malam ini aku akan tidur di sini.” Iris mengumumkan. Tatapannya mendarat ke tempat tidur Minah yang hanya bisa ditiduri satu orang lalu berdeham. “Well, aku akan tidur di bawah.” Minah menggeleng cepat. “Oh tidak, tidak, Nona. Anda harus tidur di kasur. Biar saya saja tidur di bawah.” Iris menggigit bibirnya merasa tidak enak hati. “Bagaimana jika kita tidur di bawah bersama?” Beberapa menit setelahnya Iris dan Minah sudah berbaring di bawah. Minah melirik Iris yang tidur membelakanginya namun ia tahu bahwa Iris belum tidur. “Saya tidak tahu apakah saya terlalu lancang atau tidak, tapi saya sangat khawatir dengan Anda, Nona. Kenapa Anda tidak tidur di kamar Anda?” Iris membuka matanya. Ia menatap datar di dinding sebelum berkata dengan tenang. “Ada Gavin di kamar.” Minah mengerutkan dahinya. Bukankah Gavin selalu tidur di ruang kerja atau kamar Tiffany? Kenapa sekarang ingin tidur sekamar dengan Iris? Pertanyaan dalam benak Minah juga menjadi pertanyaan Iris. Dia tidak berpikir sampai sejauh ini bahwa Gavin akan tidur di kamar mereka. “Tapi, Nona. Cepat atau lambat Anda tidak mungkin berada di kamar saya setiap malam.” Pundak Iris menjadi lesu. Iris tahu itu. Dia tidak akan bisa terlalu lama tidur di luar kamar mereka. Tapi setidaknya dia bisa mengulur waktu hingga beberapa hari ke depan. *** Iris terkejut saat ia menggeser pintu kamar mandi, Gavin sudah berdiri di depannya. “Damn it, Mikhail!” Melihat kerutan halus Gavin, Iris berdeham. Ia kembali menjadi wanita anggun dengan suara lembutnya. “Gavin, kamu mau mandi? Aku sudah selesai menggunakannya.” Untung saja Iris membawa pakaiannya untuk berganti di dalam kamar mandi. Jadi, ia hanya perlu mengambil tas, sepatu, dan coat kerjanya. Iris memberi ruang untuk Gavin dan berjalan menuju walk in closet. “Tidur di mana kamu semalam?” Tanya Gavin yang rupanya membuntuti Iris. Iris tersentak sejenak. Hampir saja tas yang ia ambil terlepas dari tangannya. Iris menoleh, memberikannya senyuman manis. “Aku tidur di sebelahmu sepanjang malam. Kamu tidak ingat?” “Benarkah?” Iris tidak menanggapinya. Ia memasang court shoes berwarna kuning dan menyampirkan hand bag berwarna hitam di lengannya. Tanpa melihat Gavin, ia berjalan menuju pintu kamar. “Aku pergi dulu, Gavin!” *** “Jadi, pabrik ini bisa digunakan sekitar 3 bulan lagi?” tanya Iris seraya mengitari gedung yang hampir sempurna. Calon bayinya! Tidak lama lagi Iris akan menjadi ibu dari pabrik yang ia lihat sekarang. “Paling cepat bulan depan kita bisa menggunakannya, Bu.” “Kalau begitu saya ingin lihat di dalamnya.” Iris dengan semangat berseru. “Mari ikuti saya, Bu. Tapi mohon untuk hati-hati. Masih ada lantai yang belum selesai dibereskan.” Iris mengangguk paham dan berjalan beriringan dengan mandor tersebut. Pak Wahyu tidak menyangka jika wanita muda ini ingin berperan aktif dalam menyaksikan gedung lama yang akan dijadikan sebuah pabrik kecantikan. Bahkan Bos masa depan gedung itu sangat gigih, serius dan sesekali akan memberikan pendapat. Iris terkejut melirik jam tangannya yang menunjuk pukul 3 sore. Dia melupakan jam makan siangnya karena terlalu fokus melihat-lihat calon bayinya. Iris mengambil ponselnya dan melihat beberapa panggilan masuk dari Papi, Mami, Vincent, Ayumi dan Nenek Rosalina. Tidak ada panggilan masuk dari Gavin membuatnya mendenguskan kekehan. “Bu Iris, mari makan!” ajakan ini sudah kedua kalinya Pak Wahyu katakan. Setelah 2 jam yang lalu. “Iya, Pak. Saya mau menelepon dulu sebentar.” Iris menjauhi perkumpulan para pekerja. Baiklah, pertama-tama Iris menghubungi Ibunya. Tidak menunggu lama untuk Emiliana mengangkatnya. “Apa kamu masih sibuk, sayang?” “No, Mi. Iris baru saja selesai mengecek ke lapangan. Ada apa Mami menghubungi Iris?” “Jam berapa kamu pulang?” “Um... Iris kurang tahu, Mi. Sebenarnya setelah ini Iris mau lanjut menemui klien.” “Kamu sudah makan siang, sayang?” “Sudah.” Iris menjawab lancar. “Mami tahu kamu bohong. Jangan terlalu fokus bekerja. Ingat juga kondisi tubuhmu.” Iris terkekeh merasa bersalah. “Ini mau ke rumah makan terdekat, Mi.” Terdengar helaan nafas Emiliana. “Oh ya, malam ini kamu harus luangkan waktu. Ajak Gavin makan malam di rumah. Mami rindu kamu dan Gavin.” Iris menegang. Pegangannya di ponsel menjadi erat. “... Mi, sepertinya malam ini Iris tidak punya waktu luang. Gavin juga pulangnya larut malam. Lain kali saja ya, Mi.” “Iris, kamu ini—” “Mi, Iris matikan dulu ya. Iris mau makan!” Iris melihat layar ponselnya yang gelap. Ia menghela nafas penuh sesal. Mungkin hari ini ia bisa menghindari orang tuanya tentang Gavin, tapi bagaimana ke depannya? Apakah dia bisa tidak mengajak Gavin ke rumah masa kecilnya tanpa menimbulkan kecurigaan? *** “Bu Mikhail, kalau mau mengajak makan siang itu di jam 12 ya. Ini sudah jam 4 sore. Bukan makan siang lagi namanya.” Veronica mengomel membuat Iris tertawa lebar. “Iya nih. Bisa-bisanya telat makan siang. Mau sakit?” Jane menatapnya tajam. “Maaf mendadak... Habisnya dari pagi aku sibuk di lapangan sampai lupa waktu.” “Jadi, bagaimana pabrik barunya? Aku dengar kau akan menangani produk kecantikan perusahaan,” tanya Maya. Iris mengangguk. “Aku harus mencari beberapa investor yang mau bekerja sama denganku.” Mereka mengangguk. “Lumayan.” “Benar.” Ayumi mengangguk. “Artinya posisi sekretaris Pak Richard sebentar lagi kosong, benar ‘kan!” Iris melihat wajah berseri-seri Ayumi, Veronica dan Jane membuat ekspresi Iris datar dan suram. Seharusnya mereka sedih karena Iris akan pindah ke kantor barunya. Bisa-bisanya mereka bahagia dengan kepergian Iris yang tidak lagi berada di lantai kantor yang dekat bersama mereka nantinya. Iris berkata datar, “Nama kalian masuk ke daftar hitam Pak Richard.” Mereka kembali tertawa terbahak. “Kapan bisa beroperasi?” tanya Jane kembali ke topik sebelumnya. “Tiga bulan lagi. Paling cepat 1 bulan. Hari ini para pekerja mulai memasukkan mesin-mesinnya ke dalam pabrik.” “Wowww...” Iris membusungkan dadanya dengan bangga seraya mengibas rambutnya ke belakang dengan jemari lentiknya. Ia mengeluarkan paper bag yang ia letakkan di dekat kursinya lalu mengeluarkan tiap paper bag kecil untuk teman-temannya. “Apa ini?” tanya Ayumi penasaran dan yang lainnya segera melihat isi dalamnya. Jane adalah orang paling pertama yang berteriak kegirangan. “Produk GODDESS?! Ini untuk kami?!” “Karena ini baru uji coba dan wadah untuk produk-produk ini belum bisa diproses, aku hanya bisa memberikan kalian wadah biasa seperti ini.” Iris menatap teman-temannya dengan tatapan menyesal. Maya mengibaskan tangannya tidak peduli. “Jangan khawatirkan itu.” Veronica mengeluarkan produknya lalu membandingkannya dengan punya Maya. Produk mereka berdua memiliki warna wadah yang berbeda. “Oh ini sebabnya kau menanyakan permasalahan kulit kami kemarin?” Iris mengangguk seraya memberikan sebuah kertas untuk Maya, Jane, Ayumi dan Veronica isi. “Aku akan menggunakan kalian sebagai penguji. Jadi, mohon kerja samanya. Lengkapi data kalian di sini. Jangan lupa untuk foto sebelum kalian mencoba dan foto satu bulan kemudian. Aku mohon kalian memberi penilaian yang jujur, jangan hanya karena ini produk gratis dan aku adalah teman kalian, kalian memberi ulasan yang baik untuk produk ini!” Maya tertawa. “Aye aye, Capt!” Mereka menyimpan kembali produk kecantikan ke dalan paper bag mereka dan mengucapkan terima kasih kepada Iris.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN