CLG | CHAPTER 25

1703 Kata
Menutupi kekesalannya, Tiffany kembali bertanya. “Kau sudah memiliki nama produknya? Aku sangat penasaran.” “Sebenarnya, aku masih memikirkannya ....” “Kami sudah membicarakannya sebelumnya.” Vincent masuk secara alami dalam pembicaraan Iris dan Tiffany. “Oh ya?” Tiffany tersenyum lebar. Iris memperhatikan ekspresi Tiffany dalan diam. Hanya Tuhan yang tahu apa yang penyihir ini pikirkan. Tiba-tiba saja tangan kekar di atas pahanya mengusapnya dengan usapan perlahan namun terasa kasar. Iris menahan nafasnya ketika merasakan nafas berat di sampingnya yang mendekat. “Sepertinya kalian cukup dekat.” “Kami akan saling berkomunikasi karena proyek ini.” Vincent mewakili mereka berdua bicara. Gavin mengangkat sebelah alisnya ketika menatap Vincent. “Oh, aku kira istriku yang memegang proyek itu sendiri.” “Bukankah Pak Gavin sendiri yang bilang tidak ingin membuat Bu Iris kelelahan? Karena Bu Iris bekerja di lapangan dan mengawasi proses proyek, tentu saja saya harus mengulurkan tangan. Saya sedang mencari beberapa investor untuk ini.” Iris yang sedari tadi diam akhirnya bertanya dengan terkejut. “Pak Vincent yang mencari investor?” Padahal dia sudah mendapatkan beberapa calon investor. Tapi akan tidak baik jika Iris mengatakannya. Vincent tersenyum. “Aku sudah mendapatkan beberapa. Kamu tidak perlu memikirkannya.” Gavin kembali melirik istri cantiknya. Tangan besar dan kasar miliknya berhenti mengelus. Ia meremas pelan paha Iris yang dibaluti pakaian kantornya membuat kelopak mata Iris bergetar. “Investor ya ....” Gavin bergumam pelan. Ia mengulurkan tangannya yang tadinya memegang gelas sampanye, menggenggam tangan Iris. Gavin tersenyum. “Aku akan berinvestasi penuh.” Seketika semua orang menahan nafas mereka, tidak terkecuali Iris. “Karena ini adalah proyek pertama istriku, aku akan mendukungnya sepenuh hati.” Gavin menambahkan sebelum memberikan kecupan hangat di punggung tangan Iris yang menegang. Wajah Tiffany mengeras hanya karena melihat tangan-tangan Gavin di tubuh Iris. Di tambah lagi kata demi kata yang keluar dari mulut Gavin membuat Tiffany hampir tidak berpikir jernih. Ia hampir saja meledak. Tiffany mencoba tersenyum namun terlihat kaku. “Iris, jangan pernah takut meminta bantuanku jika kau kesusahan, oke?” Iris melirik Tiffany. Wanita itu terlihat seolah menahan amarahnya dengan pandangan matanya selalu melirik tangan Gavin yang ada di atas pahanya. Iris terdiam sejenak dan seketika mendapat ide liar. Ia membalas senyuman Tiffany sambil satu tangannya berada di atas telapak tangan besar Gavin. “Kau adalah adik iparku yang pengertian. Aku beruntung memilikimu.” Ketika tatapannya terfokus pada tangan Iris, senyum Tiffany seketika menegang. Nafasnya keluar bergetar. Tubuhnya ikut bergetar kecil. Tangannya yang mengepal di bawah meja sudah menggores telapak tangannya. Ia yakin itu akan meninggalkan bekas luka besok harinya. Melihat wajah Tiffany yang pucat membuat Iris diam-diam menyeringai dalam hati. Tanpa sadar ia memainkan jari jari rampingnya di atas telapak tangan Gavin untuk membuat Tiffany meledak. Ayo kita lihat berapa lama lagi batas kesabaran penyihir ini .... Batin Iris. Gavin tersentak ketika merasakan sentuhan tangan lembut di atas tangannya yang beristirahat di paha Iris. Ia menatap tangan itu dan mencoba bernafas dengan benar. Beberapa detik berikutnya, jari jemari halus istrinya mengelus tangan Gavin membuat dia hampir berada di batas ambang kesadaran. Ia mulai bernafas berat. Ia merasakan aliran listrik menjalar di tubuhnya. Gavin bahkan bisa merasakan sesak di antara kakinya. Ia menangkap tangan mungil istrinya dan meremasnya dengan gerakan sensual. “Lakukan lebih jauh lagi, aku tidak berjanji kita akan tinggal lebih lama di sini,” bisik Gavin di telinga Iris membuat wanita itu menoleh cepat dengan kaget. Iris tidak tahu perbuatannya bisa mempengaruhi pria yang selalu menghindarinya. “Aku ... tidak bermaksud ....” “Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita akan pulang. Dan kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau dengan tubuhku.” Iris mengerjapkan matanya berkali-kali dengan mulut terbuka. Hei, melakukan apa?! Dia salah paham! Di bawah meja, Iris menarik tangannya dari genggaman Gavin. Namun pria itu tidak melepaskannya. Membuat Iris gugup dan panik. Padahal ia tahu sentuhan kecil Gavin bisa membuatnya merasakan sensasi aneh, tapi sepertinya karena keteledorannya sendiri Iris barulah sangat menyesal sekarang. “Pak Gavin rupanya orang yang suka mengumbar kemesraan ya? Beda dengan yang saya dengar.” Vincent bersuara membuat semua mata di meja mereka tertuju pada Gavin dan Iris. Gavin tertawa pelan. “Bagaimana ini .... Jika berada di dekat istriku, aku selalu ingin memeluknya.” “Yah, jika memiliki istri yang cantik tiada duanya pasti ingin seperti itu ....” Nada suara Vincent terdengar santai dan sedikit bercanda membuat orang yang mendengarnya tidak memikirkannya berlebihan. Tapi berbeda dengan Gavin. Senyum Gavin perlahan membeku. Setelah mendengar pengakuan bahwa pria di depannya ini juga menyukai istrinya membuat pikiran Gavin gelisah sedari tadi. Tangannya menggenggam sangat kuat tangan Iris membuat wanita itu mengeluh kesakitan. “Gavin ....” bisiknya. Gavin secara naluriah melepaskan genggaman tangannya. Ia tertawa pelan ketika menatap Vincent dengan tatapan berbahaya. “Maka dari itu, saya harus bekerja ekstra menjaganya dari lalat busuk di sekitar istri saya. Jika harus membunuhnya, saya pasti akan melakukannya tanpa mengedipkan mata.” Semua mata tertuju pada Gavin dengan pandangan bingung. Bahkan lalat pun tidak boleh mendekati istrinya? Omong kosong apa itu? Maya yang sudah tahu secara garis besar mengenai permasalahan Iris dengan Gavin memiliki ekspresi buruk. Pria ini terlalu berakting sangat keras hari ini. Dalam keheningan mereka, suara gelas yang diletakkan di atas meja terdengar nyaring. Merasakan tatapan di meja mereka beralih ke arahnya, Tiffany perlahan berdiri. “Aku lupa jika ada sesuatu yang harus aku tangani.” Tiffany melirik Gavin. Gavin mengangguk ringan. “Rafa akan mengantarmu pulang.” Rafa adalah asisten pribadi Gavin. Saat kemari, Gavin meminta Rafa untuk mengantar dia dan Tiffany ke sini karena dia malas membawa mobilnya. Akhirnya, mobil pribadi Gavin digunakan Rafa saat ini. Tiffany mengerjap kebingungan. Maksud Gavin .... Ia tidak ingin pulang dengannya? Tiffany tanpa sadar menggigit bibirnya dan menggenggan erat tas tangannya. “Katamu ada sesuatu yang mau ditangani, Tiffany ....” Iris mengingatkannya sangat lembut. Tiffany menegang ketika bernafas. Ia berkata dengan terpatah-patah. “Kalau begitu ... Aku ... Aku akan pergi .... Sekarang.” Tidak ada yang menatap kepergian Tiffany selain Iris. Dengan raut wajah datar dan tenang, ia melihat Tiffany keluar dari ruang makan pribadi mereka dengan cepat. Mereka lanjut menghabiskan makanan mereka yang tertunda. Dan Iris yang sangat puas dengan wajah Tiffany sebelum pergi, memakan makanannya dengan lahap. Setelah Gavin melihat piring istrinya kosong, ia berpikir sekarang waktunya untuk mereka pergi. “Well, Sudah larut sekarang .... kalau begitu kami juga akan pulang.” Gavin berdiri dan menarik Iris dengan lembut. Dengan tatapan bingungnya, Iris menatap Gavin. Ayumi yang tidak tahu jika beberapa menit sebelumnya ada ketegangan di ruangan itu, mendesah dengan tatapan iri. “Kenapa tiap pasangan baru selalu beranggapan jam 9 malam sudah larut dan pulang cepat?” Gavin memberikan tatapan yang mana semua orang di sana paham ke mana tujuannya. “Menikahlah segera dan kau akan tahu.” Gavin tersenyum tipis menatap teman-teman Iris bergantian. “Kami akan pergi terlebih dulu.” Gavin mengambil tas tangan Iris, memeluk bahu wanita itu dan keluar dari ruang pribadi tersebut. Melihat seorang pelayan berdiri tidak jauh dari tempatnya, Gavin berkata, “Masukkan ke dalam tagihanku.” Pelayan pria itu yang sudah mengenal wajah Gavin segera mengangguk patuh. “Gav— Gavin ....” Iris memanggilnya karena pria itu berjalan dengan langkah lebar sedangkan dia lupa sedang memeluk Iris. Otomatis Iris harus mengikuti langkah kakinya dengan tergesa-gesa. Ketika mereka berhenti di parkiran bawah tanah department store tersebut, barulah Gavin berhenti. Iris segera melepaskan pelukan Gavin yang menyesakkannya. “Di mana kartu mobilmu?” pertanyaan Gavin membuat Iris mengernyitkan dahinya. “Untuk apa?” “Aku yang akan mengendarainya.” “Apa?!” Iris terkejut, sungguh. Gavin menatapnya aneh. “Kamu ingin membiarkanku duduk manis di kursi penumpang sedangkan istriku yang membawa mobil? Serius, Iris?” Iris sontak mundur selangkah. Ia gelisah. “T—Tunggu .... Maksudmu kau akan ikut pulang denganku?” “Tentu saja. Apa lagi?” Tatapan Gavin pada Iris semakin aneh. Seolah pertanyaan Iris barusan sangat tidak masuk akal. Iris memikirkan ke waktu beberapa menit sebelumnya di mana Gavin membiarkan asisten pribadinya mengantar Tiffany pulang. Pria ini pasti sengaja melakukannya! Iris ingin memarahi Gavin tepat ketika seseorang menginterupsi mereka. “Sir.” Gavin dan Iris menoleh ke samping di mana Rafa berdiri dengan kepala menunduk sopan. Mereka tidak dapat membantu untuk mengerutkan dahi mereka. “Kau sudah mengantar Tiffany pulang?” tanya Gavin. Rafa menggelengkan kepalanya. “Nona Tiffany belum keluar.” Seketika Iris menyeringai kecil. Sepertinya wanita itu saat ini sedang sibuk di dalam mall. “Nah, karena asistenmu masih ada—” “Kalau begitu tunggu sampai dia tiba. Aku akan pulang dengan istriku.” Gavin memotong Iris cepat memberikan perintah untuk Rafa yang mengangguk patuh. “Hei, Gavin!” Teriak Iris ketika tasnya diambil Gavin. “Kau baru saja minum tadi!” “Hanya sedikit. Tenang saja. Kita akan selamat sampai di kediaman Mikhail." Gavin memeriksa tas tangan Iris dan mengambil kartu mobil miliknya. Ia mendekatkan sensornya dan membuka pintu untuk Iris. “Masuk.” “Aku akan pulang sendiri— Gavin!” Tidak ingin mendengar si keras kepala, Gavin mendorong tubuh Iris dengan lembut masuk ke mobil dan menutup pintunya. “Dan, satu hal lagi.” Gavin berkata pelan pada Rafa yang masih berdiri di tempatnya. “Cari tahu tentang Vincent.” Setelah melihat Rafa menunduk patuh, Gavin mengitari mobil kemudian masuk di kursi pengemudi. Iris menatap pria di sebelahnya dengan tidak percaya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar dan mendengus tidak senang. Sepanjang perjalanan pulang, Iris sibuk memperhatikan pemandangan malam di luar jendela mobil. Ponsel Iris bergetar tanda pesan baru masuk. Melihat nama Maya, ia membuka pesan tersebut. Maya: Sepertinya Vincent memprovokasi Gavin ketika kita berbelanja. Iris membacanya dengan cermat lalu mengingat kembali bagaimana sikap Gavin malam ini di depan teman-temannya. Yah, sepertinya karena itu makanya Gavin terlihat posesif. Tapi yang membuat Iris bingung adalah, kenapa pria ini melakukannya pada Iris? Toh, bukankah dia tidak menyukai Iris? Lalu, apa yang dilakukan Vincent hingga membuat Gavin terlalu berlebihan malam ini? Apakah itu menyangkut tentang Tiffany juga? Jika memang benar, seharusnya Gavin bersikap posesif kepada Tiffany, bukan pada Iris. Apakah karena Iris berada di tengah-tengah antara Gavin dan Tiffany, makanya Gavin memberinya sedikit pelajaran tadi? Iris menghembuskan nafas dalam. Semakin ia pikirkan semakin membuat kepalanya sakit
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN