CLG | CHAPTER 26

1699 Kata
Iris tampak melamun hingga Gavin harus memanggilnya. “Iris, Sayang?” Gavin meliriknya sekilas sebelum kembali ke jalan. “Siapa yang mengirimmu pesan?” Iris mengerjapkan matanya. Tanpa membalas pesan Maya, Iris menyimpan ponselnya ke dalam tas. Dia menjawab, “Maya menyuruhku menghubunginya jika sudah tiba di Mansion.” Gavin yang tidak menangkap keanehan kembali memfokuskan dirinya pada jalan. Perjalanan pulang mereka tidak memakan waktu yang lama. Iris baru saja melepas seat belt tepat saat Gavin membuka pintu untuknya. Tanpa sepengetahuan Gavin, Iris memutar kedua bola matanya. Oh, serius?! Apa lagi ini? Mereka sudah tidak berada di depan orang lain. Jadi kenapa pria ini masih berakting menjadi pria yang sangat mencintai istrinya? Iris keluar dengan jengah. Ia berjalan cepat menuju kamar meninggalkan Gavin yang berjalan santai di belakangnya. Iris masuk ke walk in closet, mengambil baju tidur dan masuk ke kamar mandi. 30 menit kemudian Iris menggeser pintu kamar mandi. Ia terkejut bahkan hampir terperanjat dari tempatnya ketika melihat sesosok tubuh di hadapannya. Gavin, pria itu berdiri di depan pintu, menutup jalan keluar untuk Iris. Iris seketika mundur beberapa langkah, dan mendongak. “Um, kau ingin mandi, Gavin?” Iris sudah menggunakan pakaian tidur yang menutupi hingga pergelangan tangan dan kakinya. Tetapi, karena ia baru saja mandi air panas, uap kamar mandi membuat wajahnya memerah dan terlihat lembut dan kenyal. Tatapan Gavin tidak bisa lari dari bibir lembut yang sedikit terbuka itu. Sudah lama dia tidak merasakannya. Merasakan kelembutannya saat ia mencicipinya. Mendengar erangan putus asa dari Iris ketika ia menciumnya lebih dalam .... Memikirkannya membuat Gavin bernafas berat. Dia menjawab Iris dengan suara serak dan dalam. “.... Ya.” Iris yang lugu sedang kebingungan mendengar nada suara Gavin. Apakah pria ini sakit lagi? Tapi ia masih ingat tadi mereka tidak makan makanan pedas. Juga, Gavin menghabisi makanannya dengan baik. “Kau ... Tidak sakit, kan?” tanya Iris hati-hati. Apakah dia sakit? Gavin tertawa pelan. Hanya Tuhan yang tahu betapa sakitnya bagian tubuh bawahnya saat ini. “Kamu ingin membantu aku mandi, Istriku Iris?” Refleks wajah Iris bersemu merah dengan bibir terbuka. Pria ini sangat suka sekali menggodanya! Dia mendorong tubuh Gavin ke samping yang sangat sulit. “Minggir. Aku ingin tidur.” Gavin menatap Iris cukup lama lalu membuka jalan untuk Iris keluar. “Jangan tidur dulu.” Gavin berkata dengan jelas setelah memberi ruang kosong untuk Iris lewat. Iris berhenti di langkahnya. Wajahnya memucat seketika dan jantungnya berhenti berdetak beberapa saat. Saat ia berbalik Gavin sudah menutup pintu kamar mandi yang buram. Apa maksudnya? Kenapa dia menyuruh Iris untuk jangan tidur dulu? Apakah dia ingin melakukannya sekarang?! Kenapa juga pria itu selalu mengingatkannya mengenai itu tiap malam?! Apakah itu hanya sebuah lelucon? Apakah Gavin hanya ingin menggodanya, membuatnya takut setengah mati? Well, Gavin sangat hebat karena Iris sangat gelisah sekarang. Jantungnya berdegup kencang karena takut. Ia belum berani melakukannya. Iris takut jika sekali mereka berhubungan, ia akan kembali luluh pada pria itu. Menggigit kuku mengkilapnya, Iris duduk di depan meja rias. Ia terlihat jelas sangat gugup ketika membuka laci dan mengambil sisir di dalamnya. Karena tangannya gemetar, sisir yang ia ambil jatuh di lantai. “Oh geez!” Iris mendongak ke atas dan memejamkan matanya. Ia bernafas perlahan, mencoba menenangkan jantung dan tubuhnya. ‘Jangan panik, Iris... Tidak akan ada yang terjadi malam ini.’ Iris merapalkan kata-kata itu di dalam hatinya berulang kali sebelum kembali tenang. Ia tidak tahu jika ia butuh kurang dari 10 menit untuk menenangkan dirinya sendiri. Itu cukup cepat dalam situasi seperti ini. Menghembuskan nafas panjang, ia membuka kedua mata indahnya. Iris mengambil sisir di bawah dan mulai menyisir rambut panjangnya. Ia menatap pantulan wajah cantiknya di cermin. Raut wajahnya mulai tenang. Tidak ada lagi kepanikan seperti sebelumnya. Tapi masih menunjukkan ketegangan. Beberapa menit kemudian ia bisa mendengar pintu kamar mandi bergeser dan Gavin keluar dengan hanya mengenakan celana panjang kasual yang bertengger rendah di pinggulnya. Dari cermin rias, Iris bisa melihat dadanya yang bidang dengan otot-otot Gavin yang kencang, turun ke bawah perut ia melihat garis V yang menggoda. Tanpa Iris sadari mulutnya terbuka sedikit, wajahnya memerah dan ia dengan susah payah menelan salivanya. Gerakan menyisir rambutnya ikut terhenti seketika. Iris berharap rahangnya tidak jatuh ke lantai dengan air liur menetes. Jika Iris melakukannya, demi Tuhan, dia pasti sangat malu. Saat tatapan mereka bertemu lewat cermin, Iris secara naluriah melarikan matanya. Ia mengerjapkan matanya dan kembali menyisir rambutnya. Iris mencuri pandang setelah ia meletakkan sisirnya di dalam laci. Pria itu bergerak ke tempat tidur dan duduk bersandar di kepala ranjang. Ia fokus membaca buku. Ketika Gavin menoleh menatapnya lagi, Iris kembali melarikan pandangan matanya dan sibuk mengambil produk perawatan kulitnya. Ia mengaplikasi tiap produk satu demi satu bertahap sangat lama. Sebelumnya, kurang dari setengah jam Iris telas selesai melakukan perawatan rutin malamnya. Tapi spesial untuk hari ini ia menghabiskan satu jam lamanya di meja rias.Yang biasanya satu produk cuma dipakai sekali, untuk malam ini Iris mengaplikasikan di wajahnya sebanyak 3 hingga 5 lapis per produk. Iris berdecak dalam hati. Jika setiap hari ia harus melakukan hal seperti ini, kurang dari dua minggu kemudian produknya akan habis sebelum waktunya. Gavin melirik jam dan mengangkat sebelah alisnya. Ia sudah memperhatikan istrinya dari tempat tidur. Iris, istrinya melakukan perawatan malam yang lumayan lama malam ini. Dia menggunakan banyak produk dan selalu berhenti beberapa menit sebelum melanjutkan menggunakan produk selanjutnya. Astaga .... Berapa tebal lapisan yang digunakan istrinya di wajah kecilnya itu? Apakah kulitnya bisa bernapas? Apakah wanita itu tidak merasakan risih karena terlalu tebal mengenakan semua produk tersebut? Gavin pikir Iris sudah selesai dengan perawatan wajahnya, tapi ketika Iris mengambil lotion dan membalurkannya di kulit tubuh dia dengan perlahan membuat Gavin menghembuskan nafas panjang. Mau tidak mau Gavin mengerutkan dahinya. Melihat Iris sepertinya tidak akan selesai dalam waktu singkat, ia memutuskan untuk meletakkan buku bacaannya di nakas samping. Ia membetulkan posisi baringnya dan memejamkan matanya. Iris berlama-lama saat menggunakan body lotion seraya diam-diam melirik Gavin dari cermin meja rias. Ketika Gavin mulai memejamkan matanya dan tidak berubah posisi tidur, Iris terdiam beberapa saat di tempatnya duduk. Setelah memastikan Gavin sudah terlelap, ia berdiri perlahan. Berjalan berjinjit tanpa menimbulkan suara, Iris membuka pintu dan menutupnya kembali sangat pelan. *** Suara ketukan di pintu kamar membuat Minah membuka pintu dengan cepat. Seolah tahu siapa yang akan datang, ia menunduk dan memberi jalan untuk Iris. “Nona Iris.” Iris menguap lebar seraya berjalan menuju bantal dan kasur tipis yang sudah Minah siapkan di lantai. Ia memposisikan tubuhnya dengan nyaman dan memejamkan matanya. Minah menutup dan mengunci pintu sebelum bergabung dengan Iris di sana. “Nona baru pulang?” Iris menganggukkan kepala dan membuka matanya yang tidak lagi mengantuk. Ia ingin berbagi kebahagiaannya tentang kemalangan Tiffany malam ini. Duduk bersila, Iris menceritakan seluruh kejadian ketika mereka di mall hingga di restoran. Dan Minah tertawa mendengar bagaimana semangatnya Iris mempraktekkan ekspresi wajah Tiffany yang terlihat sangat jelek. “Astaga, dia pasti sangat marah dan sedih.” Minah mengusap ujung matanya yang berair karena terlalu banyak tertawa. “Bukan hanya marah. Dia pasti sangat murka.” Iris bergumam pelan. “Lalu bagaimana, Nona? Pegawai toko itu sudah menghubungi Nona?” Iris memberikan senyum misterius ketika mengangguk perlahan membuat Minah membesarkan kedua mata dan mulutnya. Manajer toko tempat Iris dan teman-temannya berbelanja mengirimnya pesan singkat ketika dia mandi. Setelah melihat isi pesan tersebut, wajah Iris terlihat bahagia. Hampir saja ia tertawa terbahak-bahak namun mengingat lagi bahwa Gavin masih ada di kamar mereka. “Dia rela melakukan apapun untuk mendapatkan yang dia mau.” Minah berdecak seraya menggelengkan kepalanya. Memandang jauh, Iris mendesah pelan. “Yah, seperti itulah Tiffany Mikhail.” Minah melihat jam dinding di kamarnya lalu menatap Iris. “Hari sudah tidak lagi dini. Nona, sebaiknya kita tidur segera.” Iris mengangguk. Tanpa sadar ia menguap lebar. Membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya, Iris bergumam, “Selamat malam, Minah.” “Selamat malam, Nona Iris.” Minah menatap Iris yang sudah menuju ke alam mimpi dengan sendu. Ia tidak tahu sampai kapan Nona-nya akan bertahan dengan pernikahan buruk ini. Setiap hari dalam doanya Minah selalu meminta Tuhan untuk mengembalikan keceriaan untuk Nona-nya walau harus bercerai. Mengusap rambut Iris dengan sayang, Minah mendesah. “Akan ada hari yang tenang setelah badai. Anda harus kuat supaya bisa mencapai kebahagiaan, Nona Iris.” Dan jawaban Iris adalah semakin mendekat ke Minah dengan senyum tipis. *** Paginya, Iris kembali ke kamar sebelum Gavin bangun. Gavin akan bangun setelah ia selesai berpakaian kerja. Gavin akan bertanya apakah dia tidur di kamar mereka dan Iris akan menjawab ya dengan keyakinan yang tidak bisa diganggu gugat. Well, ia mulai terbiasa berbohong pada Gavin. Semakin hari kebohongannya semakin mengagumkan. Mungkin Iris harus merayakannya. Dan malam harinya, kembali terulang seperti malam sebelumnya. Iris melakukan itu selama 2 minggu penuh. Dia dia sangat bangga dengan kerja kerasnya menghindari Gavin tiap malam. Dan malam ini, seperti malam sebelumnya. Iris bergerak menuju meja rias. Duduk di sana, seperti biasa mengambil pengering rambut dan mengeringkan rambutnya. Ia memperlambat gerakannya. Menoleh ke belakang dan melihat Gavin yang sudah terlelap membuat Iris segera mematikan alat pengering rambut. Ia berjalan jinjit menuju pintu dan menutupnya pelan. Minah selalu bangun sebelum Iris. Ia harus sibuk membantu pelayan menyiapkan sarapan untuk Nona mudanya. Pukul 5 pagi, Iris bangun. Ia pikir dia sudah bangun awal seperti hari-hari sebelumnya. Ketika ia membuka pintu kamar Minah, ia terkejut bukan main melihat wajah tenang Gavin di depan kamar Minah. Pria itu berdiri dengan wajah tanpa ekspresi dan kedua tangan di silangkan di depan dadanya. Gavin masih mengenakan pakaian tidur tadi malam. Iris yakin dia berhalusinasi. Jadi, dia mengucek matanya berkali-kali dan ketika membuka matanya, Gavin masih berdiri di sana. Seketika wajah Iris kehilangan warnanya. Di mana Juminah?! Kenapa dia tidak berjaga di depan pintu atau membangunkan Iris ketika Gavin ada?! Satu-satunya jawaban yang Iris tidak ketahui adalah Gavin datang ketika Minah sudah turun ke bawah. “Bukankah sudah cukup untukmu bermain, Sayang?” Suara Gavin sangat tenang tanpa riak. Malah membuat Iris bergidik. Dari pertanyaan Gavin terdengar jelas bahwa pria ini sudah tahu bahwa Iris tidak tidur di ranjang mereka berhari-hari. Tapi, bagaimana pria ini mengetahuinya ketika dia tidur nyenyak? Apakah Gavin pura-pura tidur ketika Iris keluar dari kamar? Oh Tuhan .... Ia sudah melakukan kesalahan fatal. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN