Masih mengenakan pakaian kerjanya, Iris berbaring miring menghadap jendela Prancis yang memperlihatkan pohon-pohon tinggi dengan daun berguguran. Tatapannya masih kosong semenjak dari ruang makan. Tiba-tiba saja air matanya bergulir tanpa permisi namun Iris tidak terisak sama sekali.
Tidak ada yang terjadi... Tidak akan ada yang terjadi... Tidak ada...
Iris selalu menggumamkan kalimat itu dalam hatinya. Mereka hanya berpegangan tangan, tidak lebih. Mungkin saja Gavin ingin memberi dukungan kepada Tiffany atau sebaliknya Tiffany memberikan dukungan untuk Gavin yang dimarahi Mama. Ya, tidak ada yang terjadi di antara mereka...
Tapi kenapa ia menangis? Kenapa Iris merasa dadanya sangat sesak? kenapa ia sangat sedih?
Bagaimana jika mereka menjalin hubungan di belakangnya?
Iris bersumpah jika memang itu yang terjadi, dia tidak akan memaafkannya.
Baru saja memikirkan itu, ponselnya bergetar. Sebuah nomor asing kembali menghantuinya beberapa hari terakhir ini. Di hari pernikahannya, Iris sudah memblokir nomor asing. Tapi bukan berarti orang itu akan berhenti mengganggunya. Besoknya ia kembali mengingatkan Iris dengan nomor lain dan Iris kembali memblokirnya. Dan besoknya lagi, nomor asing kembali masuk membuat Iris lelah. Akhirnya ia membiarkan saja.
Dan sekarang nomor asing itu masih mengganggunya. Iris membuka pesan bergambar pria itu. Hanya satu foto. Tapi sangat jelas. Terlihat Gavin dan Tiffany berciuman di dalam mobil.
Terkejut, dengan segera Iris duduk. Iris merasa tubuhnya sudah kehilangan roh. Bibir dan jemarinya bergetar hebat hingga ponselnya jatuh di lantai.
Suara ketukan pintu lalu disusul panggilan Minah membuat Iris dengan cepat mengusap air matanya dan menyimpan ponsel retaknya ke dalam nakas rias.
“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya Minah dengan khawatir.
Iris tersenyum. “Aku hanya pusing.”
“Biarkan saya memijitnya.”
Minah mendekat lalu memijit pelan pelipis Iris. Iris memejamkan matanya dan menikmati pijitan di pelipisnya.
“Um Nona... Apakah baik-baik saja?”
"Ya, Minah."
Minah hanya mengangguk dan tidak bersuara. Namun gerakan memijatnya sedikit aneh dari biasanya.
Iris membuka matanya perlahan lalu mendongak menatap Minah. Minah pasti ingin mengatakan sesuatu. “Ada apa, Minah?”
Minah menggelengkan kepalanya. “Lupakan saja. Saya rasa saya salah lihat.”
“Katakan.” Iris menatapnya dingin.
Melihat tatapan Iris, Minah dengan susah payah menelan salivanya. “Sekitar pukul 3 pagi, saya ingin ke toilet. Saat membuka pintu, saya melihat pintu kamar Nona Tiffany terbuka dan Tuan Gavin keluar dari sana. Takut ketahuan, saya kembali menutup pintu— Ah maaf Nona, sepertinya saya salah lihat. Tadi subuh sangat gelap dan pandanganku tidak baik. Sepertinya saya salah lihat—”
Minah adalah Nanny-nya semenjak ia mengenakan popok. Wanita itu tidak akan berbohong padanya. Ditambah lagi, kamar Minah hanya beberapa langkah dari kamar Iris dan Gavin. Minah memang berkata jujur.
Melihat Minah yang merasa tertekan dan bingung. Iris dengan cepat memotongnya, “Minah!”
Minah terdiam.
“Siapa saja yang tahu tentang ini?”
“Anda orang pertama yang saya beritahu.”
Iris mengangguk pelan lalu berbisik dengan dingin, “Tidak ada yang boleh tahu tentang ini, mengerti?”
Dan Minah mengangguk patuh. “Tapi, bagaimana dengan Anda?”
Iris tidak menjawab. Ia kembali berbaring miring menghadap ke jendela Prancis dan memejamkan matanya. “Katakan kepada semua orang termasuk Papi dan Mami, jika aku tidak enak badan. Jadi, mereka tidak perlu mencariku.”
“Tapi, Nona—”
“Bangunkan aku jika sudah siang. Aku ingin tidur.”
Juminah menatap wajah Iris dengan sendu. Kenapa Nona kesayangannya bisa mendapatkan situasi seperti ini? Karena dia hanyalah seorang Nanny, ia tidak bisa membantu banyak. Minah langsung pergi dan menutup pintu kamar Iris rapat.
Selang beberapa detik, dengan mata masih terpejam, Iris menggenggam bed cover dengan erat hingga buku-buku jarinya pucat memerah.
Mereka —Gavin dan Tiffany— bersenang-senang di belakangnya. Mereka menghabiskan waktu bersama di belakangnya. Mereka tidur bersama di belakangnya.... Memikirkan foto ciuman mereka di tambah dengan laporan Minah yang menangkap basah Gavin dari kamar Tiffany semakin menguatkan pemikiran Iris bahwa mereka telah tidur bersama. Dan pertanyaannya sekarang adalah semenjak kapan?!
Sejak kapan mereka menjalin hubungan diam-diam di belakangnya?
Tentu saja Iris tidak akan membiarkan mereka tetap menginjak harga dirinya sebagai seorang istri bodoh. Jika Tiffany atau Gavin lupa, perlu Iris ingatkan bahwa semenjak ia duduk di bangku sekolah, Iris sudah berlatih ekspresi dan berlakon.
Iris membuka kedua matanya perlahan. Menampilkan mata merah penuh dendam. Dan menatap di depannya dengan tenang. Ia mematikan sifat periangnya dan mengeluarkan aura baru. Matanya memancarkan aura dingin dengan jejak berbahaya.
Iris tidak akan membiarkan mereka hidup bahagia. Mereka tidak akan bisa bahagia di atas penderitaannya. Ia akan membalas dendam.
Benar... Ia akan membalas dendam kepada kedua saudara menjijikan itu.
***
Sepanjang hari Iris mengurung dirinya di kamar. Barulah esok paginya ia merasa lega. Setelah mengurung diri seharian, Iris bisa menenangkan emosinya. Dan untung saja Gavin tidak tidur di kamar mereka. Jika Iris membuka matanya pagi ini dan melihat Gavin di sebelahnya, ia tidak tahu apakah bisa menyembunyikan rasa benci, mual, dan jijiknya.
Cukup lama untuk Iris turun ke lantai dasar, berpikir dengan begitu Gavin dan Tiffany sudah pergi duluan. Namun nyatanya, mereka masih di ruang makan. Tidak hanya itu saja, berubahnya posisi Regina dan Gavin malah semakin membuat Iris suram. Regina duduk bersebelahan dengan Tiffany. Dan Gavin duduk di sebelah kursi kosong yang sudah dapat di pastikan untuk Iris duduki.
Iris mengerjapkan matanya dan menghilangkan raut dinginnya. Ia memberikan senyum tipis ketika berjalan mendekat. Dengan terpaksa ia duduk di sebelah Gavin. Sedikit menjauhkan kursinya hingga ke tepi mendekati nenek lalu menyapa semua orang seolah tidak terjadi apa-apa kemarin.
“Kamu ingin bekerja? Jika masih sakit lebih baik istirahat dulu. Nenek akan memanggil dokter keluarga untuk merawatmu.” Rosalina berkata dengan lembut.
Iris tersenyum lalu menepuk lembut lengan Rosalina. “Iris sudah sehat, Nek.”
“Kau ini!” gerutu Rosalina tersenyum. “Makanlah yang banyak supaya tidak sakit.”
“Siap!” Iris tertawa.
Iris menatap semua keluarga Mikhail yang mengelilingi meja makan dalam diam. Sekarang, ia sudah masuk ke lingkaran Mikhail. Tapi bukan berarti keluarga Mikhail akan berpihak padanya jika ia memberikan kejutan yang menjijikan tersebut. Jeffery dan Regina sudah pasti akan membela anak-anaknya dan berpendapat bahwa Iris sakit jiwa. Walaupun ia memberikan bukti, tapi itu hanya satu foto, tidak akan cukup. Semua orang akan berpikir jika itu direkayasa.
Tidak ada yang bisa menjadi sekutunya selain Nenek. Hanya Nenek yang akan berdiri di depannya dan membelanya. Hm... Iris harus memiliki banyak skema untuk membuat kedua sejoli menjijikan itu mendapatkan hukuman yang setimpal.