“Gavin—”
Gavin menarik lengan Iris dan menekannya dengan kasar ke dinding. Iris mengusap wajahnya saat air dari shower mengenainya hingga mengaburkan pandangannya. Gavin mendekat dan menghilangkan jarak di antara mereka. Bahkan Iris bisa merasakan sesuatu yang panas menyentuh bagian bawah perut ratanya.
Iris menahan nafasnya tanpa sadar. Ia memerah. Apakah mereka akan melakukannya di kamar mandi? Bukankah ini terlalu ekstrim? Teman kerja dia selalu mengatakan saat pertama kali akan merasakan sakit. Bukankah seharusnya mereka melakukannya di ranjang besar mereka?
Iris tersadar dari pikirannya saat sebuah tangan besar dan kasar milik Gavin sudah menangkap wajahnya, memaksanya mendongak ke atas dan menciumnya.
Ini terlalu mendadak dan kejadiannya cukup cepat membuat Iris tidak siap. Ia membesarkan kedua matanya saat merasakan sesuatu di bibirnya, mencoba masuk ke mulutnya dengan paksa. Gavin dengan kuat mencengkram rahang Iris hingga sakit membuatnya mengadu kesakitan dan membuka mulutnya. Gavin tidak melewati kesempatan tersebut. Pikiran Iris menjadi kosong saat pria itu sudah memiliki akses di mulutnya, menari-nari di sana. Menjelajahi seluruh tempat tanpa terkecuali. Tubuh Iris menegang. Ia mematung dengan bodoh.
Beberapa saat kemudian, akhirnya Iris bisa mengimbangi permainan lidah Gavin. Sebenarnya, ia wanita yang cepat belajar jika langsung mempraktekkannya. Dalam ciumannya, Iris putus asa. Ia mengerang dalam ciuman memabukkan pria itu seraya meremas pinggang keras Gavin. Iris baru tahu ciuman Gavin sangatlah nikmat. Ia menyukainya. Iris menyukai ciuman tersebut.
Gavin berhenti kemudian saat merasa jika Iris butuh bernafas. Dan dengan cepat Iris mengambil nafas dengan rakus.
Gavin sedikit menunduk, melihat wanita di depannya —yang terengah— dengan dingin. “Belajarlah untuk memuaskan suamimu.” Lalu meninggalkan Iris begitu saja.
Iris masih menempel di dinding dengan terkejut. Ia menyentuh bibirnya yang panas lalu melirik pintu kamar mandi. Ini merupakan pertama kalinya Gavin menciumnya seperti tadi. Dan memikirkan tatapan terakhir Gavin membuat dadanya Iris sesak. Gavin tidak pernah menatapnya dingin.
Beberapa menit setelah berganti ke gaun polos berwarna gading di bawah lutut, Iris memasuki ruang makan dengan lesu sebab memikirkan perkataan dan kelakuan Gavin di kamar mandi. Tinggal beberapa langkah lagi menuju meja makan, Iris berhenti. Ia dengan bingung melihat Gavin yang duduk di sebelah adiknya. Sedangkan bangku kosong hanya tersisa satu, dan itu di depan Gavin, bersebelahan dengan Regina —Ibu Gavin dan Tiffany—.
“Kamu sudah bangun, Iris?”
Iris sedikit tersentak kaget. Ia melihat sekelilingnya yang tengah meliriknya lalu tersenyum kepada Rosalina. “Nenek.” Iris menyapanya dengan sopan lalu menyapa kedua orang tua Gavin kemudian Tiffany. Mereka dengan ramah membalasnya lalu kembali melanjutkan makan.
“Ayo kemarilah. Makan sarapanmu selagi hangat.”
Iris mengangguk patuh lalu duduk di kursi kosong.
“Aku dengar kamu pergi ke kamarku beberapa hari terakhir. Maafkan aku, Iris. Setelah meminum obat aku langsung tertidur.” Tiffany berkata dengan menyesal.
Iris tersenyum lembut. “Jangan dipikirkan. Bagaimana kondisimu sekarang?”
“Aku sudah sehat dan bisa kembali bekerja.”
“Jika kamu masih tidak enak badan, seharusnya istirahat lebih banyak.”
Entah itu kesalahan matanya yang menangkap momen singkat, Iris melihat wajah dingin Tiffany sebelum wanita itu kembali tersenyum dan menggeleng. “Aku sudah baik-baik saja. Kakakku kewalahan mengurus pekerjaan saat aku sakit.”
Iris tidak bisa berkata-kata lagi. Jadi ia hanya mengangguk. Dan memfokuskan dirinya pada makanan di hadapannya. Saat hendak menyuapi dirinya sendiri, ia tidak sengaja melirik bagaimana Gavin mengambil beberapa makanan dengan sendirinya untuk Tiffany. Itu terlihat... Sedikit aneh.
Melihat Iris menatap kelakuan Gavin, Regina dengan cepat menjelaskan. “Itu sudah menjadi kebiasaan Gavin mengurus adiknya dari mereka kecil.” Regina lalu menatap Gavin dengan sedikit marah. “Bukankah Mama sudah bilang ubah kebiasaanmu itu! Tiffany bukan anak kecil lagi.”
Rosalina mengangguk. “Kamu sudah menikah, Gavin. Perbanyak perhatian untuk istrimu, bukan adikmu.”
Sedangkan Jeffery hanya diam merasa kedua wanita sudah memarahi anaknya. Itu sudah cukup.
Iris bisa melihat wajah Gavin yang mendadak suram. Gavin melirik di sebelahnya dan Iris mengikuti lirikan pria itu. Terlihat Tiffany menundukkan kepalanya dengan murung.
“Gavin sangat menyayangi adiknya dari dulu. Mama harap kamu tidak sedih karena duduk bersebelahan dengan Mama.”
Iris menoleh dan tersenyum. “Tidak apa-apa, Ma. Tiffany adalah adik perempuan satu-satunya, wajar untuk Gavin merawatnya.”
Ya, Iris menekankan kata-kata tersebut ke pikirannya juga. Mereka kakak beradik, apa yang salah dengan kasih sayang saudara.
Iris kembali sarapan dalam diam. Namun ia merasa masih ada yang mengganggu pikirannya. Jadi ia diam-diam melirik ke depan. Dan melihat Gavin kembali menghadap ke depan dan menyantap sarapannya dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya bergerak turun ke bawah meja. Iris mengalihkan matanya melirik Tiffany. Tangan kiri wanita itu juga di bawah.
Tatapan Iris bergulir ke sarapannya. Ekspresinya tidak dapat dibaca dengan jantung yang berdegup cepat. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan ponsel dari tas yang berada di pangkuannya lalu mengambil gambar diam-diam apa yang terjadi di bawah meja dengan cepat, dan memeriksanya.
Iris memejamkan matanya ketika menghirup udara lalu membuka kedua mata indahnya seraya menghembuskan nafas perlahan. Saat tangannya yang memegang ponsel bergerak naik dan melihatnya, Iris bisa merasakan tangannya sangatlah lemah. Sangat lama Iris melihat foto yang ia ambil dengan kamera ponselnya. Dan detik berikutnya wajahnya pucat pasi, tubuhnya menegang. Matanya memerah dan sedikit buram, sepertinya air matanya akan jatuh.
“Iris?”
Iris tersentak. Ia mengerjapkan matanya, menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas, lalu menatap Regina. “Iya, Ma?”
Regina mengerutkan dahinya, tampak khawatir. “Kamu terlihat pucat. Apa kamu baik-baik saja? Makananmu...”
Iris menatap piringnya yang tidak tersentuh dengan banyak pikiran. Kepalanya terasa ingin pecah. Iris tidak kuat. Ia berdiri hingga kursinya terjatuh, lalu menatap kosong keluarga Mikhail yang sangat terkejut akan sikap Iris.
“Iris, kamu baik-baik saja?” Rosalina bertanya sangat khawatir.
“Maaf... Iris merasa tidak enak badan.” Iris bergumam seraya menundukkan kepalanya. Mengambil tasnya, ia langsung bergegas ke kamarnya tanpa mempedulikan panggilan Nenek dan Mama.
Minah yang baru saja masuk ke ruang makan, melihat Nona mudanya melewatinya begitu saja seraya menahan tangisannya membuat ia khawatir.
Rosalina tidak berhenti melepaskan tatapannya pada Gavin hingga pria itu menghela nafas dalam dan berdiri. “Aku akan melihatnya.”
Tapi saat ia ingin melangkah, Minah sudah dulu menghentikannya. “Saya saja yang memeriksanya. Nona muda memang sering mengalami pusing tiba-tiba.”
Setelah melihat Minah pergi, barulah Gavin menatap neneknya dan tersenyum tipis. “Dia akan baik-baik saja.”
“Mulai besok duduk di sebelahnya dan perhatikan kesehatannya,” perintah Rosalina dengan dingin.
Gavin mencoba untuk tidak membuat emosinya naik, jadi dia hanya mengangguk dan tersenyum. Namun, Tiffany memiliki ekspresi yang jelek saat mendengar itu.